Yang memutuskan pergi tidak layak dicari. Menebar rindu memperdalam luka. Niat untuk melupakan, kenyataan masih begitu mengharapkan. Minggu kedua di semester akhir. Angel melepas celemek ditubuhnya, menggantungkan di tempat biasa. Merapikan penampilannya sejenak sebelum berpamitan pada beberapa partner kerjanya.
Hari ini Angel sudah membuat janji pada salah satu pembimbingnya. Masih ada waktu, ia memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu di Horison sebelum pergi ke kampus. Mengajukan judul skripsi dan memulai penelitian. Ransel putih masih setia di punggungnya. Jaraknya tidak terlalu jauh, Angel memutuskan berjalan mengirit uang bulanannya. Tidak ada lagi mata kuliah. Mungkin hanya beberapa kelas yang akan Angel masuki, selebihnya ia lebih banyak di luar.
Kembali menjadi seorang Angel yang tak kasat mata. Sapaan hangat dan senyuman yang ia lemparkan pada beberapa orang dibalas dengan wajah datar ataupun membuang muka. Menatap malas, benci, jijik dan mengejek menjadi satu. Cacian yang masih bisa Angel dengar.
"Habis dipake. Nggak bisa muasin, dibuang deh."
"Serakah sih, tiga-tiganya dimainin,"
"Sekarang satu aja nggak ada,"
"Kasihan sih. Tapi ya udah lah, ya. Bukan urusan kita,"
"Sampah."
Kesabaran Angel di uji. Biarpun semua orang mengatakan hal buruk tentangnya. Angel tidak akan peduli. Ia tidak tersinggung ataupun merasakan hal benar dari ucapan orang-orang yang hanya bisa menghujat. Bentuk iri yang dilampiaskan dengan sebuah gosip murahan. Bukan hanya telinganya yang sudah tertutup rapat. Tapi juga hatinya yang sudah menebal akibat semua kalimat kasar yang diarahkan padanya.
Angel menghembuskan napasnya pelan. Duduk di lantai koridor dengan barisan kelompoknya. Disudut kanan sendirian, bukan Angel yang tidak ingin bergabung, kelompoknya yang menjauh saat Angel datang.
Tidak ingin larut dalam kegelisahan. Angel mulai memeriksa proposal dirinya selagi menunggu namanya dipanggil untuk bimbingan. Pikiran Angel melayang. Luna dan Lily. Kedua perempuan itu tidak pernah Angel lihat di kampus. Dari kabar yang ia dengar, Lily stop out. Angel kaget saat kabar itu dibenarkan oleh salah satu dosen. Belum lagi kepergian Luna. Dari desas-desus yang beredar. Luna melarikan diri. Tidak ingin mendengarkan orang lain, Angel sengaja setiap hari pergi ke gedung sebelah hanya untuk memastikan. Luna ada atau tidak selama dua minggu terakhir. Nihil. Luna absen.
Alex sungguh menjauhkan orang-orang yang begitu ia sayangi. Pergi bersama Lily dan meninggalkannya seperti kaleng minuman kosong. Menggigit bibir bawahnya, ia menunduk. Sudah pasti alasan Lily stop out tidak lain dan tidak bukan adalah Alex. Kedua orang itu pasti sudah memutuskan untuk pergi. Apa yang ia bayangkan di dalam imajinasinya sungguh liar.
Jika alasan Alex meninggalkannya karena ingin melihatnya bahagia. Semua itu salah besar. Dimana titik bahagia setelah Alex memutuskan pergi darinya? Setelah Alex menghancurkan semua angan-angan, memberi sebuah luka yang sudah membusuk dan bernanah. Luka tersebut semakin besar, menjadi basah setiap harinya. Angel mengusap sudut matanya sebelum bulir bening itu kembali membasahi wajahnya. Ia mendongak, hidungnya sedikit tersumbat.
"Angelista,"
"Iya," Angel menjawab cepat. Bangkit dari tempat duduknya, memasuki sebuah ruangan.
Memberikan salam sopan. Angel duduk berhadapan dengan dosen cantik dihadapannya. Menyerahkan judul skripsi, beberapa proposal untuk diserahkan kepada perusahaan. Dengan sangat pandai Angel mulai menjelaskan maksud dan tujuan. Semua isi dari ketikannya sudah Angel hafal, bahkan titik koma sekalipun ia tahu dimana letaknya.
"Terima kasih, Bu." Angel menundukkan kepalanya tanda usai pembicaraan panjang lebarnya. Perasaan lega mulai menjalar disekujur tubuhnya. Terlihat pembimbing begitu puas dengan hasil kerja dan judul miliknya. Angel mengulum senyum. Melangkah tanpa menimbulkan suara, terlihat begitu senang. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara saat menutup pintu.
Baru saja Angel berbalik, ingin meluapkan rasa senangnya. Tubuhnya langsung membentur pintu yang baru saja ia tutup. Sebuah kotak besar diulurkan padanya, ia terima dengan kaget.
"Ini apa?" Tanyanya bingung menerima tiga kotak itu dengan menatap dua perempuan di hadapannya.
"Lo nggak tau kalau temen lo ada yang
masuk rumah sakit?" Angel mengerutkan
keningnya. Sementara perempuan yanng
bertanya padanya memutar bola matanya
jengah. "Viola sakit."
"Iya aku tau," Angel mengangguk polos. "Terus kenapa? Tadi aku udah kasih sumbangan sama bendahara buat besuk Vio."
"Bendahara minta kita ke rumah sakit."
"Ya udah, nih." Angel dengan polosnya mengulurkan lagi tiga kotak di peluknya.
"Vio kan sahabat kalian,"
"Bego banget sih, lo. Kita bertiga mau lo yang besuk dia."
"Kenapa aku? Vio pasti mengharapkan kalian yang datang. Dia juga mungkin nggak kenal sama aku."
"Iya juga sih. Vio nggak mungkin tau ada temen sekelas kayak lo. Tapi udahlah, ya. Nggak penting." Perempuan dengan rambut berwarna biru menepuk kening Angel dengan sebuah amplop yang akhirnya jatuh di atas kotak. "Itu ada uang sumbangan satu kelas. Lo beli buah, apa kek, makan, cake atau terserahlah. Terus sisanya buat ongkos lo. Harusnya lo sadar diri, duit lo paling kecil!"
Angel menatap kepergian dua orang yang
tiba-tiba menghampirinya. Menghembuskan nafasnya, Angel berjalan ke sudut ruangan, meletakkan kotak di lantai. Salah satu faktor penyembuhan seseorang, pemberi semangat terbesar adalah seorang sahabat.
"Mungkin mereka bertiga lagi berantem, Ngel." Angel tersenyum, menyemangati dirinya sendiri. Ia membuka tas miliknya, mencari sebuah kantung plastik besar yang kalau tidak salah terselip di sana. Senyuman Angel mengembang, menjadikan satu di dalam kantung plastik. Biasanya orang sakit tidak akan nafsu makan. Angel mengunjungi beberapa toko. Membeli buah, roti dan beberapa makanan lainnya. Kedua tangannya sudah penuh dengan semua barang belanjaan, uang yang ia terima masih cukup banyak. Akhirnya Angel memutuskan untuk membeli sebuah cake, satu bucket bunga. Angel tidak tahu apa yang disukai oleh Vio. Jadi ia berharap perempuan itu nantinya bisa menerima pemberian dari teman sekelasnya.
Angel meletakkan semua barang belanjaannya di pinggir jalan depan toko bunga. Ia merasa bingung harus membawanya bagaimana. Bus tidak akan berhenti, jika dirinya ingin naik bus harus berjalan beberapa meter lagi di bawah terik matahari. Angel menggeleng lemah. Keringat sudah membanjiri wajahnya. Tapi bagaimana lagi. Taxi? Tidak. Angel terlalu sayang dengan uangnya.
"Mbak," Angel tersentak kaget. "Pesan Car-Drive?"
Angel mengernyitkan keningnya. Menatap sosok lelaki berseragam didalam mobil. "Nggak kok, salah orang." Balas Angel sopan. "Dia batalin kampret,"
"Lah anjing, di kira kita lagi main-main apa,"
"Liat aja, gue teror nomor telponnya."
Angel menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan pembicaraan dua lelaki di dalam mobil tersebut. Ia mulai memungut barang belanjaannya. "Mbak mau kemana? Sama kita aja, dikasih diskon kok. Nggak perlu pesan dulu, tarifnya special."
"Maksudnya?" Angel mengerutkan keningnya.
Merasa tidak sopan. Akhirnya lelaki yang berbicara padanya turun dari mobil. Benar dugaan Angel, lelaki tersebut masih sekolah, seragamnya terlihat logo sekolah swasta favorit. "Jadi kita ini Car-Drive. Mbaknya ngerti Car-Drive?" Angel mematung. "Jadi kayak ojek online, tapi ini mobil,"
"Oh iya tahu," jawab Angel girang.
"Kita tadi mau jemput penumpang. Tapi dia batalin, rese kan? Gimana kalau Mbak aja?"
"Mahal?"
"Potong dua puluh persen deh, kembaliin modal bensin sama buat makan siang."
"Seriusan? Aku nggak di culik kan?"
"Ya kali Mbak, ngapain gue culik. Nih," Lelaki tersebut menunjukkan sebuah tag nama miliknya. "Kita masih anak sekolahan, kalau di apa-apain, datang aja ke sekolah,"
"Anak sekolahan jam segini belum pulang. Kenapa kalian di luar?"
Lelaki bertag nama Adrian itu menelan salivanya. "Bilang 'iya' aja bisa nggak?" Tanyanya datar.
"Ya udah iya,"
"Nah! Gitu dong Mbak! Dari tadi, udah panas terus gue jelasinnya rada panas. Enakkan di dalem, Adem, ada Ac." Angel tertawa geli dengan tingkah Adrian. Lelaki itu membantunya memasukkan barang ke mobil dengan hati-hati.
"Nama Mbaknya siapa?" Tanya Adrian menoleh kebelakang, mengulurkan tangan kanan yang disambut Angel hangat. "Gue Adrian,"
"Angel,"
Adrian mengangguk. "Mau besuk orang sakit?" Adrian kembali menghadap ke depan.
"Iya, temen kampus." Adrian mengangguk.
"Kenapa kalian nggak sekolah?"
"Bosen aja, jadi kita cari hiburan sebentar."
"Kelas berapa?"
"Dua belas,"
"Bentar lagi ujian," Adrian mengangguk. "Yang jadi supir juga masih SMA?" Angel tidak melihat seragam sekolah yang sama digunakan oleh lelaki yang sedang mengemudi. Sebuah jaket yang menutup tubuhnya.
Adrian terbahak. "Ya kali gue supir. Nggak ada bahasa yang lebih halus lagi apa?"
"Tandanya lo sukses mendalami karakter," Adrian menepuk bahu temannya dengan rasa prihatin.
"Maaf kalau gitu. Namanya siapa? Kita belum kenalan," Angel mengulurkan tangannya. Ia melihat lelaki itu membalas uluran tangan Angel tanpa menoleh kebelakang, fokus menyetir. "Angel,"
"Farid,"
Jalanan lumayan macet. Angel dihibur dengan dua lelaki dihadapannya. Ia ikut tertawa saat melihat salah satu di antara keduanya tertawa. Jelas, Angel tidak diajak dalam obrolan.
"Mbaknya ngerti?" Tanya Adrian menoleh.
Angel menggeleng. "Nggak. Seru aja lihat kalian," Adrian terkekeh pelan, menurunkan kaca mobil saat memasuki gerbang rumah sakit. Farid memakirkan mobilnya, dipaksa untuk mengantarkan penumpang sampai dengan tujuan.
"Beneran nggak papa? Serius, aku bisa bawa sendiri."
"Kita cowok apa lihat cewek bawa banyak barang terus diem aja, gitu? Hati saya itu terlalu lembut untuk melihat sesuatu yang membutuhkan pertolongan, Mbak." Adrian tersenyum lebar. "Iya gak, Rid?"
"Nggak."
"Telor busuk lo," Maki Adrian. Angel terkekeh geli melihat keduanya. Berjalan terlebih dahulu dengan kedua lelaki itu mengikutinya. Angel hanya membawa satu barang. Selebihnya, Adrian dan Farid berbagi. Mencari sebuah ruangan tempat Vio di rawat.
"Eh, kenapa berhenti? Udah sampai? Mana ruangannya?" Adrian mendongak. Melihat papan petunjuk, mereka sedang berdiri di persimpangan koridor. Ada tiga lorong yang harus dipilih, depan, kanan atau kiri. "Bukan ruang jenazah kan? Far, kita nganterin manusia kan?"
"Setan," Ketusnya.
Adrian mendengus pelan. "Sumpah, hidup lo ngebosenin banget tanpa gue,"
Angel tidak terlalu mendengarkan obrolan dibelakangnya. Ia menyipitkan matanya, menajamkan penglihatannya saat melihat seorang lelaki baru saja keluar dari sebuah pintu yang akan menjadi tujuannya.
"Mbak, berat nih," Bisik Adrian menyadarkan Angel.
"Oh iya, letakin disini aja. Makasih ya," Adrian dan Farid meletakkan seluruh barang di depan pintu kamar VIP. "Gimana kalau makan siangnya aku traktir?"
"Wah mana bisa nolak, Mbak," Angel tertawa kecil. Adrian tersenyum hangat.
"Dimana Mbak?"
"Kebetulan aku kerja di Horison. Kalian bisa langsung kesana habis ini. Nanti aku bilang sama temen,"
"Nggak, makasih." Tolak Farid membuat Adrian menatap bingung. "Gilak aja lo. Tempat nongkrong Kakak gue bego. Lo mau dia lihat kita bolos?" Bisik Farid.
"Oh iya," Adrian menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Lain kali aja, Mbak."
"Seriusan?"
"Iya. Kalau gitu kita pulang, ya. Makasih Mbak,"
"Aku yang terima kasih,"
"Iya, sama-sama," Balas Adrian yang sangat manis.
Sebelum masuk ke ruangan. Angel merapikan penampilannya. Mengetuk sebanyak dua kali sebelum menggeser pintu ke samping. Pemilik kamar langsung menatapnya tanpa bergeming di atas ranjang. Angel menutup kedua kakinya. Menarik dua sudut bibirnya ke atas. "Hai," Sapa Angel kikuk.
"Siapa?" Vio menggerakkan bola matanya. Menatap Angel dari atas ke bawah-bawah ke atas.
Sebelum menjawab pertanyaan Vio. Angel memasukkan barang bawaannya. Meletakkannya di- Angel menelan ludahnya. Kakinya terhenti begitu saja setelah melihat apa yang terjadi di dalam kamar dengan luas sembilan kali lima meter tersebut.
Bukan seperti ruang rumah sakit yang pernah ada. Yang ada dihadapannya saat ini sungguh luar biasa. Ranjang tempat tidur king size berwarna putih. Ada ratusan balon yang memenuhi langit kamar dengan pita warna-warni yang menjuntai ke bawah. Belum lagi puluhan balon yang dibiarkan menyapu lantai. Tidak cukup sampai di sana. Di pojok kamar ada sebuah meja panjang berwarna putih. Dilapisi dengan telapak meja dengan motif bunga-bunga pink. Tumpukan kotak kado dan kue tart berjejer rapi di atas sampai di bawah-bawah karena tidak cukup untuk menampung. Mulai dari kotak kado yang paling besar sampai yang paling kecil. Belum lagi di sofa dan dinding ruangan yang dihias semewah dan sebagus mungkin dengan ucapan get well son Viola. Angel menelan ludahnya yang nyangkut ditenggorokan. Menutup mulutnya.
"Letakin aja, kalau nggak muat. Lo letakin di depan pintu." Angel mendekati ranjang Vio setelah meletakkan barang bawaannya, memberi bucket bunga. "Lo suruhan siapa?"
"Kita temen sekelas," Angel tersenyum kecil. Membuat Vio mengernyit bingung memperhatikan Angel lebih teliti lagi.
"Oh. Buangan Alex?"
"Buangan?" Angel mengerutkan keningnya.
"Lo yang dulu digosipin pacarnya Alex kan? Terus sekarang gosipnya lo dibuang?" Angel tersenyum getir. "Sory, gue nggak terlalu hapal sama temen-temen kelas."
"Iya nggak papa," Angel memberikan bucket bunga di tangannya yang langsung diterima Vio dan diletakkan disamping tubuhnya, bergabung dengan puluhan buket lainnya yang Vio dapatkan.
"Lo boleh pulang," Bukannya mendengarkan pengusiran itu. Angel malah menarik kursi dan duduk disamping ranjang. "Mau ngapain lo?"
"Yang aku tau. Kalau besuk seseorang itu bukan hanya sekedar datang terus kasih buah atau makanan. Tapi juga kasih motivasi dan memberi semangat. Jadi yang sakit bisa cepet sembuh," Vio menghembuskan napasnya pelan. Angel tersenyum. "Kabar kamu gimana?"
"Sayangnya yang besuk gue hanya lewat barang. Lo nggak lihat?" Angel mengangguk pelan. "Aneh lo," Kekeh Vio geli.
"Kamu marahan sama dua temen kamu?" Vio meletakkan ponselnya di atas nakas.
"Nggak, kenapa?"
"Kenapa mereka perintahin aku yang pergi besuk kamu?"
"Mana ada sih, zaman sekarang temen yang masih setia di saat susah?"
"Bukan temen itu namanya,"
"Sayangnya semua temen gue gitu,"
Angel mengerutkan keningnya. "Jadi mereka sama sekali nggak besuk kamu? Meraka hanya kirim barang lewat jasa seseorang?" Vio mengangguk dua kali.
"Keluarga?"
"Termasuk keluarga,"
"Maaf kalau aku banyak tanya." Angel melihat Vio tidak terganggu dengan semua pertanyaannya. "Kamu sakit apa?"
"Demam biasa,"
"Oh, i-iya." Angel mengangguk kikuk. Jujur saja ia tidak pernah mengorbol berdua bersama Vio. Perempuan itu terlalu dingin dan tidak perduli dengan sekitarnya. Ditatap intens oleh Vio seperti sekarang membuatnya salah tingkah.
"Mau buah? Aku kupasin ya, aku juga bawa kue,"
"Nggak," Vio menggeleng geli sambil menahan tangan Angel yang ingin berdiri. "Tuh, ada yang udah dikupas," Tunjuk Vio dengan dagu. Angel tersenyum getir. "Nama lo siapa?"
"Angel. Angelista," Jawabnya antusias.
"Oke, nanti gue hapalin nama lo. Bonus buat orang kedua yang besuk gue,"
"Oh iya," Angel merapatkan kedua kakinya. "Tadi aku lihat Nando keluar dari kamar kamu,"
"Oh," Vio mengerjapkan matanya. Ia menunduk, menghindari tatapan Angel. Bisa Angel simpulkan ada yang terjadi antara Vio dan Nando. "Nando mantan gue," Sukses. Kedua mata Angel membulat sempurna. "Biasa aja dong, ekspresinya." Vio tertawa kecil. "Lo juga digosipin sama dia kan?"
"Nggak. Aku temenan sama dia," Angel menggeleng cepat.
"Santai aja. Lo polos banget," Angel tertawa kecil. "Nggak ada yang tau. Termasuk kedua temen gue. Jadi gue harap lo bisa tutup mulut,"
"Iya."
"Jadi? Kenapa Alex tinggalin lo?" Vio menatap Angel penuh menyelidik. "Karena dia lebih pilih Lily?"
"Kamu tau dari mana?" Tanya Angel pelan.
"Bitch, Lily. You know?" Angel mematung. "Kayaknya lo nggak tau. Lo bisa temuin orang kayak Lily di bar-bar terkenal. Menjadi pemuas nafsu, dapet duit. Itu pekerjaannya. Well, hanya beberapa orang di kampus yang tau siapa Lily, Luna juga kayaknya nggak tau kehidupan temannya itu." Vio menghembuskan napasnya pelan. "Semua orang punya pilihan. Gue dengar, Luna kabur."
Apa lagi yang Alex sembunyikan darinya. Berapa banyak lagi yang Angel tidak tahu tentang semuanya. Kebodohan atas cinta yang membutakan otak dan pikirannya. Apa selama ini dirinya hanya sebuah mainan? Mainan yang dibuang karena bosan. Dilupakan tidak bisa menarik perhatian. Ditinggalkan seperti barang tak layak pakai.
Rasa sakit yang selama ini ia pendam kembali meluap. Memutuskan untuk pergi dan berpamitan pada Vio. Angel tidak sanggup jika harus berbagi lagi dengan seseorang yang mungkin akan mengejek dan menertawakannya. Menarik napasnya, Angel kembali menutupi semua rasa sakit itu dengan sebuah senyuman. la menatap pintu kamar Vio sekali lagi sebelum pergi dari sana.
"Aduh, Maaf," Angel menundukkan kepalanya, tidak sengaja menabrak sebuah brankar yang lewat saat ia berbalik. Senyuman Angel perlahan memudar. Ia termenung dengan tatapan lurus ke depan. Merasa penglihatannya benar. Angel berbalik cepat, tepat saat brankar didorong masuk ke sebuah ruangan, dengan jelas terlihat siapa orang yang tidur di atasnya.
"Kak Luna," Angel berlari menghampiri Luna. Perasaan panik langsung menyelimuti tubuhnya. Ia ikut masuk, melihat dua orang perawat itu memindahkan Luna ke ranjang dan mengatur infus agar berjalan normal dengan semestinya. Angel berdiri tegang ditengah ruangan.
"Kalau butuh sesuatu. Tekan tombol aja," Luna mengangguk. Kedua suster itu keluar setelah memastikan keadaan Luna sudah aman.
Angel masih berdiri mematung. Tanpa sadar, bulir bening tersebut jatuh dari kedua mata cantiknya membasahi pipi. Angel meremas tas punggungnya, Luna menatapnya teduh. Ketakutan dan kekhawatiran itu sirna saat Luna tersenyum. Merentangkan kedua tangannya dengan berkata. "Come here, baby,"
Angel berlari berhamburan ke pelukan Luna. Menumpahkan seluruh rasa yang tidak bisa Angel jelaskan. Memeluk erat seakan perwakilan bagaimana perasaan dirinya saat ini. Hancur. Orang yang ia pikir menjauh dan tidak ingin menemuinya lagi. Orang yang Angel pikir akan menjauh darinya ternyata salah. Begitu hangat sebuah pelukan, tidak ingin Angel lepaskan.
Luna mengusap kepala Angel. Bergantian mengelus punggung Angel yang bergetar. Luna menghembuskan napasnya lega. Sejujurnya Luna tidak suka suasana mengharukan. Ia tidak suka menangis dihadapan orang lain. Semua pertahanan dirinya luntur terbawa suasana mengharukan yang Angel ciptakan. Isakan kecil membuatnya menangis dalam diam. Mencoba kuat dihadapan Angel.
"It's oke. Gue nggak akan tinggilin lo, Ngel. Jangan nangis," Meski Luna yakin suaranya bergetar. Ia mencoba sebaik mungkin agar terdengar biasa begitu sampai di telinga Angel. "Ini yang jadi pilihan lo. Gue udah kasih tahu kan? Lo akan mengalami rasa sakit lebih dari sebelumnya. Lo bisa melalui semuanya. Lo pasti bisa,"
Angel mengangguk patuh tanpa melepaskan pelukannya. Dirinya masih ingin bersandar pada Luna. Angel ingin Luna mengerti apa yang ia rasakan saat ini.
"Jangan nangis," Luna melepaskannpelukannya, menghapus jejak air mata di wajah Angel. "Masih ada gue."
Angel mengangguk, tidak bisa mengungkapkan betapa senangnya ia melihat Luna kembali. "Kak Luna kemana aja?" Angel nyentuh kening Luna yang diperban. "Terus ini kenapa?"
"Gue nggak papa," Luna menurunkan tangan Angel. "Gue bahagia bisa lihat lo,"
"Aku pikir Kak Luna juga ninggalin aku sama Kak Eon," Senyum di bibir Luna memudar. "Kak, semuanya buat aku bingung,".
"Gue udah tau semuanya. Tentang Alex yang tinggalin lo, hubungan Alex dan Lily, Leon, Lily dan kejadian pertengkaran hebat Alex dan Leon. Gue udah tau."
"Apa Kak?" Angel belum tahu alasan kenapa Alex dan Leon bertengkar.
"Nanti gue akan ceritakan semuanya sama lo. Tapi ini udah jam dua, lo pasti belum makan siang. Gue mau lo makan dulu, kayaknya gue mau tidur bentar. Efek obat buat gue ngantuk." Angel mengangguk. "Cari makan. Nanti lo sakit." Angel membantu Luna merebahkan tubuhnya. Menyelimutinya dan memberikan senyuman bahagia menatap Luna. Setidaknya ada satu orang yang mengatakan tidak akan pergi meninggalkannya.
Apa yang dimaksud takdir? Kedua orang yang sudah berusaha menjauh kembali dipertemukan. Langkah kaki Angel terhenti di depan pintu bersamaan dengan senyumannya yang tenggelam di telan bumi. Sekarang. Tepat dihadapannya. Angel tidak mungkin salah lihat. Dia. Lelaki dengan jaket yang menutupi seluruh tubuhnya, hoddie jaket yang nyaris menutup seluruh wajahnya yang menunduk. Angel masih bisa mengenali. Angel begitu yakin dengan penglihatannya.
Tidak ada satu orang di dunia ini selain lelaki itu yang mampu menggetarkan jantungnya hingga mendobrak pikirannya menjadi kacau, seluruh sistem syaraf berubah fungsi. Bagaimana aroma tubuhnya masih begitu Angel ingat sampai saat ini. Satu bulan menghilang tanpa jejak. Kakinya lemas seketika. Ia terpaku tidak bergeming, mohon hentikan waktu sekarang. Hentikan semua benda yang bergerak dan tinggal kan dirinya seorang diri. Biarkan ia memeluk lelaki dihadapannya tanpa harus membuat alasan. Biarkan Angel melepas semua rindu dan khawatir melenyapkan kecewa untuk ia peluk kencang dalam dekapan tangan kekar. Biarkan ia merasakan sentuhan lembut yang mengelus pipi, menggenggam tangannya dengan begitu hangat dan memabukkan.
Semuanya seperti mimpi di siang bolong. Begitu air mata itu meluncur tanpa bisa ia cegah. Bunyi lemparan benda keras yang memecahkan jendela kaca tidak membuatnya berpaling dari lelaki dihadapannya.
"ANJING! PERGI LO BAJINGAN!"
Angel menunduk dengan mulut terbuka, mengusap wajahnya kasar. Mendengarkan semua umpatan kasar Luna yang ditunjukkan untuk seseorang yang baru saja masuk melewatinya.
Angel kembali mendongak. Sekarang lelaki itu hanya berjarak satu langkah dengannya. Alex juga tidak bergeming. Rasa sesak Angel kembali datang. Ia ingin menumpahkan seluruh rasa kecewa dan penyesalan yang mendalam pada Alex. Tapi yang terjadi ia ingin berhamburan kepelukkan lelaki itu. Bagaimana dengan gerakan slow motion Alex membuka hoddie jaket yang menutupi seluruh wajahnya. Membuat Angel berhenti bernapas saat mata yang tadinya menunduk kini tepat menatap di kedua retina miliknya.
Bolehkan Angel maju satu langkah lagi? Izinkan ia untuk memeluknya. Sekali saja. Angel ingin merasakan kehangatan saat bahu lebar itu memberikan perlindungan. Kakinya seperti dipaku. Sulit melangkah meski sudah Angel paksakan.
Tidak ada yang berubah. Masih seperti Alex yang terakhir kali Angel lihat. Hanya sedikit pucat, sebuah tatapan mata kosong. Kosong seperti sesuatu tidak pernah terjadi di antara keduanya saat Alex melewatinya begitu saja. Angel menggigit bibir bawahnya kuat dengan kedua mata terpejam dalam isakan tangis. Tangannya mengepal. Dengan jarak sedekat itu. Nyatanya begitu sulit ia raih. Aku kangen.
-
"Nih, dosisnya udah gue tambah. Kalau Bimo tau. Gue nggak tanggung jawab." Willy meletakkan tabung kecil ke meja.
"Jangan tergantung sama obat. Efeknya nggak baik buat ke depan, seenggaknya lo harus usaha cari penyembuhan sendiri. Semua saran gue nggak ada yang mau lo dengerin."
"Em," Gumam Alex tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ya udah, gue pamit pulang dulu," Willy berdiri, mengalungkan tasnya. "Le, gue balik."
Leon yang sedang tidur di lantai dekat jendela mengangkat tangan kirinya ke atas. "Oke, thanks Wil."
Kepergian Willy membuat suasana kembali sunyi. Alex duduk diam di depan televisi sama sekali tidak bergeming. Matanya memang mengarah pada benda persegi empat yang menempel di dinding, tidak dengan pikirannya yang melayang Membiarkan layar bergerak tanpa suara. Leon masih mencari keberadaan Luna, seperti orang gila yang sebulan ini tidak bergerak ataupun beranjak dari belasan laptop yang berserakan. Berat badannya turun, Leon kurang makan dan tidur. Jika Bimo tidak menyuruh mandi ataupun mengganti pakaian. Mungkin Leon tidak akan melakukannya. Dari semua CCTV, Alat pelacak yang pernah ia pasang di dalam ponsel Luna tidak menunjukkan titik terang. Ia hanya menemukan ponsel itu di sebuah tempat sampah depan apartemen. Leon seperti ayam kehilangan induknya. Larut dalam semua pikiran tentang Luna. Yang ia lakukan hanya diam, merenung dan mengumpat saat semua yang ia lakukan berakhir sia-sia. Leon tidak pernah merasakan begitu frustasi saat ditinggalkan seseorang. Jangankan untuk makan, menggerakkan mata saja rasanya sulit.
"Rom,"
"Em," Sahut Leon memutar ponselnya dengan pandangan kosong. Pipinya ia tempelkan di lantai seperti anak kecil.
Penampilan yang sangat mengenaskan. "Gue gila, ya?" Bola mata Leon bergerak. Menatap Alex yang tidur di sofa. "Gue gila, nggak?"
"Menurut lo?"
"Kalau gue gila. Jangan kirim gue ke rumah sakit. Langsung bunuh gue aja," Leon menghembuskan napasnya. la berjalan mendekati Alex. "Makanya lo harus bisa terima keadaan. Sesakit apapun itu pasti punya obatnya. Pake otak, Lex."
"Dia dimana sekarang?"
Leon menghempaskan tubuhnya di karpet. Mengetik sesuatu di laptop. "Sehari setelah kejadian itu, gue sama Bimo cari dia di rumah. Nggak ada siapa-siapa. Waktu gue cari tau, dia udah pergi ke Hongkong."
"Luna masih belum ada kabar?" Leon menggeleng. "Rasanya gimana? Kehilangan?"
"Apa ya. Rasanya mau bunuh orang,"
"Gue emang sedih waktu tau Lily pergi. Tapi gue nggak ngerasain hal yang sama kayak lo waktu Luna pergi." Saat Bimo mengatakan bahwa Lily pergi untuk menjauh dari mereka, Alex tidak memberikan ekspresi berlebihan.
"Yah, bego." Maki Leon menatap Alex malas. "Tandanya lo nggak cinta sama Lily dodol. Ah, dipake otak. Apa tidur tiga hari buat seluruh sistem otak lo tersumbat?"
Alex tidak menjawab, kembali sibuk dengan pikirannya. Hanya ada satu nama yang dia ingat saat matanya terbuka. Nama yang selalu memintanya bangun dengan sebuah senyuman seakan menunggu hadiah. Bagaimana sentuhan nyata begitu terasa, aroma lavender disekeliling tubuhnya. Sesuatu yang menggerakkan bola matanya. Nyatanya sudah ia dorong pergi dengan semua kalimat yang tidak akan termaafkan. Jangan maafkan dirinya. Alex sendiri tidak pantas menerima maaf ataupun untuk meminta maaf. Berapa kali Alex menyakitinya. Menarik ulur seorang perempuan yang begitu tulus menerimanya. Yang bisa ia lakukan hanya memberi luka.
Apa kabarnya. Bagaimana dengan kuliahnya. Jalan dengan baik atau tidak. Siapa yang mengingatkan untuk tidak bekerja terlalu keras. Dan yang paling penting, Apa masih mengharapkan dirinya?
"Gue balik," Suara itu memecahkan semua pikiran Alex. Bimo menyingkirkan kabel-kabel hitam l di meja dengan kakinya, meletakkan bingkisan makanan. Mengambil tiga piring lalu membagi nasi bungkus yang ia beli sewaktu perjalanan pulang ke apartemen.
"Ada perkembangan?" Tanya Bimo. Leon menggeleng, mengambil piring nasi milik Bimo, miliknya masih terbungkus. "Eh, setan." Umpat Bimo hanya bisa mengelus dada. la mengambil piring milik Leon, memberikan satu pada Alex. "Makanya, kalau ada jangan disia-siain. Kalau udah pergi, gila kan lo? Kemarin aja lupa karma, mampus,"
Leon tidak membalas ucapan Bimo. Ia makan dengan setengah nyawanya. Sedangkan Alex lebih banyak diam setelah bangun dari tidur panjangnya. Sedikit ada yang aneh menurut Bimo.
"Leher lo kenapa?" Tanya Alex mengerutkan keningnya. Bimo langsung mengusap leher bagian kanannya.
"Tadi. Waktu perjalanan gue pulang dari luar kota. Nggak sengaja ketemu sama cewek." Bimo mencari posisi enak agar bisa bercerita dengan nyaman. "Sumpah aneh banget. Dia pake baju putih, banyak darahnya. Tadinya gue pikir dia habis kecelakaan apa gimana. Jadi gue deketin, jiwa penolong gue tergerak lihatnya,"
"Jangan buat ketawa, Bim. Jangan buat lelucon yang nggak pas sama kondisi."
"Yaelah gue serius, Le. Sumpah, suer gue kesambet- eh jangan, sumpah gue beneran." Alex mendengarkan. "Pas gue samperin, dia langsung meluk gue. Anjir gue merinding. Mana pas gue sadar, tempatnya itu mirip kayak OX. Mikir nggak sih, ngapain tuh cewek sendirian duduk di sana?"
"Terus apa hubungannya sama yang ada dileher lo?" Leon mengernyitkan keningnya.
"Digigit gue anjirr! Kuntilanak sialan!". Bimo mengumpat. "Langsung gue dorong terus kabur. Bodo amat gue udah merinding,"
Leon mendengus malas. Ia kembali menatap layar laptop sampai akhirnya sebuah panggilan masuk menggetarkan ponselnya.
"Hallo.." Bimo dan Alex langsung menatap Leon. "lya, gue Leon. Dengan siapa?"
"Dari kepolisian,"
Leon mengerutkan keningnya. Ketiganya saling menatap satu sama lain.
"Kenapa? Farid?"
"Bukan," Bimo mengelus dadanya lega.
"Apakah betul jika anda adalah suami dari pemilik mobil sedan berwarna merah dengan plat-"
"Tunggu-tunggu-" Leon memotong.
"Saya belum menikah. Tapi saya kenal dengan mobil yang anda sebutkan. Ada apa?"
"Mobil tersebut atas nama Luna mengalami sebuah kecelakaan di de-" Leon mengambil kunci mobilnya dan berlari keluar apartemen di ikuti Alex dan Bimo. Perasaan campur aduk. Khawatir, panik dan lega bercampur menjadi satu saat polisi mengatakan jika Luna baik-baik saja. Meskipun begitu, Leon tidak bisa tenang sebelum memastikannya sendiri. Dari penjelasan di telpon, Luna mengalami kecelakaan dengan sang pelaku yang melarikan diri. Mendengarnya membuat Leon panas. Siapa yang berani menyebabkan seorang Luna terluka? Tidak ada ampun.
"Jadi temen gue nggak papa?" Tanya Bimo. Ia mengenal dokter yang menangani Luna.
"Gak papa, kebentur dikit keningnya. Over all, bayinya ok."
"Bayi?!" Pekik Leon dengan kedua mata membulat kaget. Semua orang di UGD menatapnya. Bimo yang merasa jika Leon mengganggu pasien lain langsung meminta maaf sebagai perwakilan.
"Loh, belum tau?"
Bimo tersenyum, menepuk dada Leon yang masih dalam keterkejutan. "Jangan malu-maluin," Bisiknya.
Alex mendengus. Tidak begitu heran. Melihat berapa sering Leon dan Luna melakukannya. Akan membingungkan jika itu tidak akan menimbulkan hasil. Sangat jelas, gawang itu sudah ditendang gol oleh Leon waktu SMA. Setelah bertanya pada perawat UGD. Ternyata Luna baru saja dipindahkan ke ruang VIP. Tidak sulit mencarinya, ketika memasuki gedung VIP, sudah ada daftar nama pasien yang tertera di layar monitor.
Leon menggeser pintu ke samping. Bertepatan dengan seseorang yang sama menggeser pintunya dari dalam. Leon kaget melihat ada Angel dihadapannya. Keterkejutan itu langsung sirna, Leon langsung menghampiri Luna. Meninggalkan Alex yang mematung di tempat. Kepalanya yang menunduk menatap sebuah sepatu putih yang ia kenal. Sepatu murahan milik perempuan yang ia kenal. Jantungnya berdetak kencang. Kedua tangannya mengepal di saku jaket. Alex tidak sanggup untuk mengangkat wajahnya. Sebuah gejolak aneh ingin memeluk, tidak bisa tersampaikan.
Kakinya ingin mendekat. Yang terjadi masih tetap diam. Bagaimana aroma lavender begitu menenangkan pikirannya. Membuat matanya terpejam menikmati aroma lembut yang begitu ia rindukan. Alex tidak ingin Angel tahu jika dirinya menikmati moment seperti ini. Biarkan Alex nyaman sejenak dihadapan Angel. Sampai isakan tangis yang begitu kecil tertangkap ditelinganya. Perlahan tangannya terangkat ke atas. Membuka hoddie yang menutupi kepalanya, mata cantik itu menyambutnya. Tidak dengan sebuah senyuman. Perih begitu menyakitkan
.
Tidak ingin larut. Alex memutuskan kontak pertama kali, melewati Angel begitu saja. Menggeser pintu hingga tertutup. Terpisah oleh sebuah kayu. Alex memejamkan kedua matanya. Tubuhnya berputar untuk memastikan Angel masih berdiri ditempatnya atau tidak. Perempuan itu sudah pergi. Alex menyandarkan punggungnya ke pintu.
"PERGI GAK! LO BAJINGAN LEON! GUE BENCI SAMA LO!"
Alex mengusap wajahnya. Tubuhnya terdorong ke samping saat pintu dibelakangnya bergeser. Bimo baru saja masuk.
"Maafin gue, maafin gue Lun. Gue nggak akan lakuin hal itu lagi. Gue janji. Maafin gue,"
Alex dan Bimo bersandar di pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Menatap bagaimana sadisnya seorang Luna menghajar seorang Leon. Memukul kepalanya, menendang dan melemparinya dengan semua barang. Sesuatu yang cukup menarik melihat kelemahan seseorang. Bagaimana seorang Leon begitu dijunjung tinggi oleh semua karyawan ataupun partner kerja. Begitu disegani dan dihormati sebagai Bos. Keahliannya dalam menghancurkan sistem pertahanan. Masih kalah dan memohon bahkan bertekuk lutut pada seorang perempuan.
"Lo harus belajar dari apa yang lo lihat saat ini," Alex menoleh. "Mungkin besok, posisi Leon akan lo hadapi,"
"Maksud lo?"
Bimo menepuk pundak Alex. "Come on dude. Nggak ada alasan lo tinggalin dia. Kalau lo beneran suka. Jangan nangis kalau dia udah beneran hilang karena terlalu lama menunggu kepastian. Semuanya ada di lo, Lex."
Kalimat tersebut mengiang ditelinganya. Dengan tidak bertanggung jawab, Bimo meninggalkannya dalam kebisuan. Alex menatap Leon dan Luna sekali lagi. Setelah pertengkaran hebat, membuat isi kamar hancur. Akhirnya keduanya berpelukan meski Luna masih memberontak.
Alex memutuskan keluar, berjalan cepat menelusuri koridor dengan kepala yang menoleh ke segala arah. Ia mencari sesuatu yang berharap masih bisa Alex temui. Harapannya terwujud. Disebuah kantin Angel sedang menghabiskan makanannya. Alex mendekatkan tubuhnya ke dinding, bersembunyi mengawasi perempuan itu dari kejauhan. Bagaimana sulitnya Angel makan karena rambut yang begitu mengganggu. Seharusnya Alex datang dan duduk di samping Angel. Menghalangi rambut itu agar Angel bisa makan dengan tenang. Kakinya terasa seperti di paku ke lantai. Melihat Angel baik-baik saja sudah sangat bahagia. Meski Alex berbohong saat ia mengatakan akan ikut bahagia jika Angel bahagia. Yang ia harapkan, dirinya yang memberikan kebahagiaan itu, bukan orang lain. Kenyataannya ia pemberi rasa sakit terbesar.
Hanya untuk bertanya apa kabar pada Angel tidak bisa Alex lakukan. Dirinya yang mendorong pergi. Bagaimana egoisnya Alex ingin menarik kembali. Alex memejamkan kedua matanya. Menyandarkan kepalanya ke dinding, mengusap wajahnya kasar.
Gue kangen.
"Leon akan tanggung jawab, Om,"
"Bukan masalah tanggung jawab. Saya tau kamu akan tanggung jawab. Tapi saya sudah sangat kecewa sama kamu, saya restuin kalian berdua pacaran bukan tandanya kalian bisa melakukan hal di luar batas."
Leon menelan ludahnya. Mengusap telapak tangannya yang sudah basah sejak pertama kali datang ke rumah orang tua Luna. Menjelaskan tujuan dirinya berkunjung. Setelah mendapatkan semburan bertubi-tubi, akhirnya Papa Luna sudah mulai bisa bicara dengan tenang. Lelaki gagah dihadapannya menghembuskan napasnya pelan. Mengusap wajahnya. "Jadi sudah berapa bulan?"
"Enam Minggu," Ujar Leon diselimuti rasa gugup ingin mengubur dirinya sendiri saat ini.
Keheningan itu akhirnya terpecah dengan sosok wanita cantik yang membawa tiga minuman dan makanan ringan.
"Makasih Tan," Leon menunduk sedikit, diikuti Alex dan Bimo yang dari tadi diam.
"Minum dulu," Wanita itu mempersilahkan. Yang tidak bisa ditolak oleh Bimo, ia sudah menahan rasa kering ditenggorokannya dari tadi.
"Jadi gimana, Om?" Leon memberanikan dirinya lagi. "Maunya Leon secepatnya, Kalau bisa akhir minggu ini."
"Emang kamu bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu seminggu?"
"Jangankan seminggu Om. Malam ini aja kalau Om setuju bisa terlaksana." Bimo bersuara. Menyenggol lengan Leon yang duduk disampingnya, menaik-turunkan alisnya menatap Leon.
Bimo sudah mengenal baik kedua orang tua Luna. Dulu, dirinya pernah menjalin hubungan dengan salah satu keluarga besar perempuan tersebut. Dan juga, Papa Luna adalah bawahan Papanya. Yang tandanya, Luna adalah anak dari seorang anggota militer sama seperti dirinya. Terbayang betapa marahnya saat tahu Leon membuat malu di keluarga itu dengan menghamili anak perempuan satu-satunya? Bimo dan Alex memilih untuk diam. Leon pantas mendapatkannya. Meski kesalahan bukan hanya milik Leon. Keduanya salah. Alex memutuskan untuk keluar. Menghirup udara segar di malam hari setelah hujan deras. Bayangan Angel kembali memenuhi isi otak Alex Mendengarkan keputusan Leon yang ingin melepaskan masa lanjangnya membuat Alex aneh sendiri. Orang yang begitu konyol. Anak ingusan yang masih suka berfikir dengan otak sesempit itu akan menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Alex tersenyum kecil, Leon di otaknya itu masih seperti anak SMA. Lucu membayangkan jika teman dekatnya sudah di panggil seorang Papa, terlebih lagi itu Leon.
Semua bayangan masa lalu bersama Leon harus terhenti dengan getaran ponsel di saku belakang celananya. Alex berdiri sebentar untuk mengambil benda pipih dibelakang tubuhnya.
Alex menatap lama sebelum menggeser tombol hijau itu kesamping, mendekatkan ponselnya ke telinga. Tidak ada kata sapaan. Begitu pula dengan orang yang menelponnya. Kesunyian yang terjadi menjadi lebih tegang. Alex menggerakkan bola matanya ke bawah. Menatap ujung sepatunya.
"Kita fight," Alex memejamkan kedua matanya. Rahangnya mengeras. "Kalau gue menang. Lo tarik lagi perjanjian waktu itu. Gue mau Angel jadi milik gue,"
"Jawab dulu mau ngapain?" Bimo menahan lengan Alex yang bersiap untuk keluar dari mobil. "Lo mau fight?"
"Nggak." Alex keluar begitu saja. Bimo kembali menghadapkan tubuhnya ke depan, memperhatikan Alex lewat kaca mobil.
"Lo nggak bisa ikutin dia?"
"Gue harus balik ke rumah sakit, Luna sendirian. Kenapa nggak lo aja?"
Bimo menggerakkan bahunya. "Badan gue sakit semua. Gue baru pulang dari luar kota, dan lo minta gue ke luar kota lagi. Remuk sumpah, gue ngantuk."
Leon menghembuskan napasnya pelan. Menjalankan mobilnya kembali. "Ya udah, Alex bukan anak kecil yang masih butuh pengawasan," Kalimat yang Leon keluarkan sangat berbeda dengan hatinya. Perasaannya yang cemas memikirkan keadaan Alex, tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Luna sendirian di rumah sakit.
Sepulang dari kediaman orang tua Luna, Alex langsung meminta Leon untuk mengantarkannya ke OX. Mobil yang mengantarkannya menuju OX sudah mulai berjalan menjauh. Alex menutup seluruh kepalanya dengan hoddie. Kedua tangannya ia masukkan ke saku jaket. Memasuki lorong-lorong sempit menuju OX. Jalanan yang berlubang yang digenangi air. Dingin, gelap dan mencengkam. Terlebih sudah jam satu malam.
Tidak ada suara sorak-sorai dari dalam gedung. Menandakan tidak ada orang yang mengadakan pertandingan malam ini. Alex mendorong pintu besi tersebut, membuka hoddie jaket, berjalan menuju satu-satunya orang yang ada di ruangan itu. Duduk di pinggir ring dengan kedua kaki menggantung. Alex menatap malas, memberi jarak dua meter dari lelaki yang memanggilnya untuk datang.
"Hai, Lex," Nando meremas botol air mineral yang baru saja ia habiskan, melemparkan ke ujung ruangan masuk dengan sempurna ke tong sampah. "Udah siap?"
Alex menghembuskan napasnya, memejamkan kedua matanya sejenak lalu menatap Nando yang tersenyum padanya. Alex benci senyuman palsu yang sering Nando tunjukkan padanya. "Kenapa gue harus menerima tawaran lo?"
"Karena lo nggak mungkin serahin Angel sama gue secara cuma-cuma,"
"Lo pikir dia barang?"
"Simple, gue nggak suka di anggap sebagai cowok yang melanggar suatu perjanjian. Jadi kita bermain dengan semestinya aja." Alex tidak bergeming. "Kenapa? Lo takut kalah?"
"Gue nggak pernah kalah," Alex menatap tajam. "Kalau lo nggak curang dari awal pertandingan."
"This is OX!" Nando membuka kedua tangannya lebar. "Nggak ada peraturan disini. Sama kayak hidup lo," Senyuman miring dengan nada mengejek. "Nggak masalah kalau lo menolak. Tandanya lo kalah sebelum bertanding." Nando melompat turun. "Setelah ini, gue akan buat Angel jadi milik gue. Karena lo cowok yang nggak pernah ada untuk memperjuangkan sesuatu yang berharga. Gue udah kasih kesempatan, meski kemenangan buat lo adalah hal mustahil." Nando berjalan mengelilingi tubuh Alex. Sambil memainkan tutup botol yang ia lempar ke udara dan ia genggam kembali, begitu seterusnya. Pantulan suara yang begitu menggema saat bicara. "Gue akan buat Angel jadi milik gue. Buat dia terbuai, sehingga dia lupa sama lo. Selanjutnya, gue akan tinggalkan cewek itu," Nando mengentikan langkahnya. Suaranya yang pelan dengan intonasi iblis ditelinga Alex sungguh membuat api ditubuhnya meluap keluar. Di tengah malam penglihatan remang-remang. Terlihat siapa iblis sebenarnya. Nando menatap belakang kepala Alex sembari melanjutkan kalimatnya. "Setelah gue tidur sama di-"
"BANGSAT!"
Nando terhuyung kebelakang beberapa langkah akibat pukulan Alex ditulang pipinya. Menyeka ujung bibirnya yang mengeluarkan darah segar.
Nafas Alex menjadi naik turun dengan berat. Penglihatannya merabun, tidak bisa menghentikan emosinya yang sudah meletup-letup. Alex melompat naik ke atas ring, membuka jaketnya menyisahkan kaos hitam yang begitu ketat ditubuhnya. Memperlihatkan tubuhnya yang begitu indah di mata kaum hawa. Alex menatap Nando penuh kebencian.
"Sini. Anjing." Panggil Alex. Nando tertawa kecil. Kalimatnya selalu bisa memancing emosi lelaki yang kini menatap murka padanya. "Kalau gue menang. lo. Bangsat. Bunuh diri dihadapan gue."
"Of course. Tapi kalau gue yang menang. Lo. Jangan pernah muncul dihadapan Angel, jangan pernah ganggu dia dan jangan pernah ikut campur termasuk apa yang mau gue lakuin sama perempuan itu."
"Lo bajingan."
"Emang lo nggak? Gue yakin lo bakal ngelakuin hal yang sama dengan ucapan gue tadi. Pendekatan, tidur, lalu tinggalkan. Itu adalah lingkaran hidup lo."
Alex mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras. "Lo yang kasih tau Luna?"
"Luna?" Nando mengerutkan keningnya, mengingat sebentar sebelum tersenyum dan berkata. "Oh! Soal cowoknya yang selingkuh sama temannya sendiri?" Kesabaran Alex habis. Ia menghajar Nando dengan seluruh umpatan dikepalanya.
Siapa lagi orang yang akan membocorkan rahasia itu jika bukan Nando. Membuat kabur dan renggangnya hubungan sepasang kekasih itu. Alex sudah menduga saat pertama kali Leon menceritakan jika Luna pergi dari apartemen dengan alasan hubungan singkatnya bersama Lily sudah diketahui oleh Luna. Lily tidak sebodoh itu untuk menghancurkan hubungan pertemanannya sendiri dengan Luna. Satu-satunya alasan kuat orang yang memberitahu semua itu adalah Nando. Bimo tidak akan peduli dengan kisah cinta orang lain.
Meski Alex merasa fisik dan psikisnya belum sepenuhnya sehat sempurna. Mendengarkan apa yang akan dilakukan lelaki itu pada perempuan yang begitu ia jaga, membuat Alex harus sehat sepenuhnya. Angel tidak boleh jatuh ke pelukan Nando. Tidak boleh dekat dengan lelaki itu, Alex harus memastikan Angel jauh dari jangkauan Nando. Meski harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Alex berulang kali terhempas tanpa bisa melawan dengan benar. Bangkit dan jatuh. Lebih baik dirinya mati tanpa harus menyerahkan Angel pada Nando. Alex tidak akan pernah sudi.
"Hanya segini?" Tanya Nando tersengal. Alex memejamkan kedua matanya menahan sakit disekujur tubuhnya yang terlentang, perlahan bangkit dengan bantuan pagar ring. Tidak ada kesempatan, Nando langsung menarik kakinya membuat Alex terseret ke tengah. Ia meringis saat hantaman kuat tubuh Nando yang melompat dan menindih tubuhnya. Mulutnya terbuka lebar dengan tangan menekan perut, meringkuk. Alex menggeleng pelan, membuat rambutnya yang basah bergoyang, air keringat itu berjatuhan membasahi wajahnya.
Perlahan kesadarannya mulai menghilang. Tergantikan dengan semua memori indah yang pernah ia lakukan. Ingatan yang begitu menenangkan hati dan pikirannya. Suara yang begitu merdu mulai menguasai dirinya.
-
"Alex?"
"Em?"
"Kamu suka sama aku?" Alex mengangguk. "Suka sama cinta sama nggak?"
"Beda,"
"Apa bedanya?"
"Suka itu bisa timbul dimanapun. Contohnya lo lihat Bimo, lo pasti suka kan? Tapi bukan sebuah rasa ingin memiliki. Rasa itu bisa berubah, cinta berawal dari suka. Mereka cepat datang dan cepat pergi. Suka belum tentu cinta. Tapi kalau cinta udah pasti suka. Karena cinta merangkup semuanya."
"Apa cinta juga cepat datang dan cepat pergi?"
"Emmm," Alex berfikir sejenak. "Semua tergantung sama pengemudinya masing-masing."
"Kamu termasuk yang mana? Cepat datang dan cepat pergi atau lambat datang dan lambat pergi?"
"Nggak keduanya."
Angel menegapkan kepalanya. "Kenapa?"
"Kenapa harus ada pergi? Lebih baik jangan datang kalau harus pergi. Kalaupun gue harus pergi, itu adalah kepergian untuk selamanya."
"Kamu bilang tadi suka sama aku, apa itu termasuk dalam rangkuman kalimat cinta?"
-
"Bangun. Hanya segini usaha lo mau lihat gue mati?"
Alex membuka kedua matanya, nafasnya terengah. Suara merdu Angel kembali berputar di otaknya. Percakapan yang kembali mengingatkan dirinya jika Alex sudah salah dari awal.
'Maafin gue, Ngel. Seharusnya gue nggak datang ke hidup lo. Seperti apa yang pernah gue katakan. Kalaupun gue harus pergi, itu adalah kepergian selamanya. Gue nggak pernah menyesal memperjuangkan lo di titik akhir hembusan nafas gue.'
"Bangun. Pengecut."
Alex menelan ludahnya. Menenangkan dirinya sejenak sebelum bangkit berdiri. Alex mencoba menormalkan penglihatannya.
"Kalau gue menang,"
"Menang? Lo lihat keadaan lo sekarang."
"Gue nggak akan serahin Angel sama lo. Sampai gue mati, gue nggak akan biarin Angel jadi milik lo, bajingan!"
"Gue udah menang," Nando tersenyum kecil, berjalan pelan mendekati Alex. "Sesuai dengan perjanjiannya. Jangan pernah lo deketin Angel lagi atau lo mati kalau kita lanjutkan pertandingan ini."
Emosi, kesal, marah, murka, semua rasa sakit dalam tubuh Migel hilang sekejap. Kepalan kuat tangannya melonggar. "Diam," Gumam Alex tanpa menatap lawan bicaranya. Disana, tepat saat Nando berjalan dari tempatnya berdiri. Sosok perempuan yang menjadi alasan Alex berada di atas ring sudah berdiri mematung, menatapnya. Alex bisa melihat dengan jelas jika Angel menggeleng pelan. Perlahan, kakinya mundur ketakutan. Alex mendorong tubuh Nando, melompat turun ketika melihat Angel berlari keluar dari OX. Sama terkejutnya, Nando hanya bisa mematung. Alex tidak tahu sejak kapan Angel sudah berdiri disana. Apa yang dilihat dan ia dengar. Alex berusaha mengejar ketertinggalan. Panggilannya sama sekali tidak di dengarkan oleh perempuan itu.
"Ngel? Angel, gue bisa jelasin semuanya." Tangannya dihempaskan. Alex tidak menyerah, ia mengejar. Mencoba menghentikan langkah Angel yang terus menghindar saat Alex menghalanginya.
Angel terus berjalan kemana saja asalkan bisa menghilang dari hadapan Alex sekarang juga.
"Gue bisa jelasin, please dengerin gue."
"Nggak." Angel menghentakkan kakinya. "Aku mau pulang."
"Gue antar,"
"Nggak." Angel menarik tangannya saat Alex menyentuhnya. la mundur dua langkah dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Kilatan kekecewaan yang sudah mendalam. Alex bisa melihat rasa sakit di kedua retina cantik itu. "Alex stop!" Angel kembali mundur saat Alex melangkah maju.
"Gue bisa jelasin,"
"Jelasin?" Angel menghapus air matanya kasar. Tidak pantas untuk menangisi semua masalah yang terjadi. "Aku lelah Alex, aku Lelah," Isaknya.
"Bukan seperti yang lo pikirin,"
"Aku emang bego dalam semua masalah diluar materi pelajaran. Nggak seharusnya kamu berdiri di antara mereka dan ikut meneriakan betapa tololnya aku. Kamu pikir aku nggak tau apa maksud dari yang kamu lakuin sama dia? Semua orang yang mendengarnya juga tau." Angel menggigit bibir bawahnya. Angel harus kuat. "Aku pikir kamu beda sama mereka. Aku pikir kamu lelaki yang memang pantas aku perjuangkan meski kamu udah buang aku semau kamu. Aku pikir kamu bisa merubah pandangan aku tentang cowok yang punya tato itu nggakjahat. Ternyata aku salah. Kamu jahat."
"Ngel,"
"Aku nggak tau lagi harus gimana hadapin kamu. Aku nggak ngerti apa mau kamu, Alex," Angel semakin terisak. "Kamu jadiin aku barang taruhan, Alex. Kamu-" Angel membuang wajahnya, tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
"Nggak, Ngel. Sama sekali nggak,"
"Iya!" Angel kembali berbalik. "Setelah kamu anggap aku patung dihubungan kamu sama Lily. Sekarang kamu anggap aku apa? Barang? Setelah kamu bosan bisa diserahkan sama orang gitu aja, Kamu nggak punya perasaan."
Alex mendekat, mengangkat tangannya menghalangi air hujan yang jatuh di atas kepala Angel. "Kenapa kamu ngelakuin hal ini sama aku? Apa aku pernah berbuat jahat sama kamu?" Tanya Angel pelan. "Kamu nggak perlu jadiin aku barang taruhan agar aku menjauh. Kamu nggak perlu jadiin aku barang taruhan agar aku menghilang dari kamu. Aku akan ikutin apa maunya kamu sekarang."
"Gue gak jadiin lo barang taruhan."
"Barang lelang?"
Alex memejamkan kedua matanya. Mengusap wajahnya kasar. "Nggak, Ngel."
"Maaf. Aku nggak bermaksud tuduh kamu." Angel menarik napasnya dan menghembuskannya pelan. "Maaf kalau aku pernah berteduh disebelah kamu, seharusnya aku nggak ambil jaket kamu waktu itu. Seharusnya aku menghindar. Maaf karena aku yang lebih dulu jatuh cinta sama kamu. Maaf karena aku memilih bertahan waktu kamu minta aku pergi. Maaf karena aku masih memilih bertahan meski kamu dorong aku lagi." Angel tersenyum. "Selama ini aku hidup dengan baik tanpa orang lain di sisi aku. Aku akan hilangkan perasaan bodoh ini. Aku yang terlalu tolol mengharapkan sesuatu yang nyatanya hanya sebuah lukisan hitam putih di sebuah gudang." Angel mengusap air matanya yang turun bercampur air hujan, mengambil dua langkah ke kiri dan berjalan setengah berlari meninggalkan Alex.
"Ngel, gue antar. Ini udah malam dan nggak ada kendaraan yang lewat sini." Alex mengejar. "Gue nggak mau lo sakit,"
'Sekarang aku sakit, Alex! Aku sakit!'
Angel harus pergi, semakin ia melihat Alex maka hanya ingatan luka yang bisa ia ingat. Cahaya yang datang dari arah utara membuat Angel melambaikan tangannya tanpa mempedulikan Alex yang terus mengajaknya bicara. Sampai akhirnya motor itu berhenti. Siapapun itu Angel harap bisa memberikannya tumpangan. Motor tersebut berhenti, Angel tersenyum kecil pada sanggup pengendara motor yang ia kenal.
"Mbak Angel?" Tanpa pikir panjang, Angel naik ke atas motor begitu saja. Angel tersenyum, menatap Alex teduh.
"Aku punya perasaan. Bukan barang. Aku manusia. Itu kalau kamu lupa siapa aku."
Adrian. Pemilik motor itu hanya diam dalam kebingungan. Ia menatap Angel dan Alex bergantian. Setelah mendapat anggukan pelan dari Alex, Adrian langsung mengendarai motornya pergi dari sana.
Aku manusia, Alex.
Alex melihat kepergian motor itu yang semakin mengecil lalu menghilang di pertigaan. Selanjutnya rasa sakit itu menyerang. Membuat Alex tumbang.
'Angel. Hari itu gue belum bisa jawab pertanyaan lo tentang suka dan cinta. Ngel, gue udah ketemu sama jawabannya, dan lo tau. Jawaban itu bagaikan tali di leher gue sekarang. Semakin mencekik saat gue sadar sekarang kita punya jarak.'
Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel