Aroma daging panggang langsung tercium begitu Alex memasuki kapal. Suara musik yang mengalun lembut ikut memeriahkan suasana. Dimana ada Leon, ditempat itu ada pesta. Alex dan Leon belum resmi berbaikkan. Tidak ada kata maaf ataupun saling memaafkanndi antara keduanya. Canggung satu sama lain begitu terasa. Tidak sedekat dulu. Tidak ada obrolan yang biasa mereka lakukan.
Kapal mulai berlayar begitu Alex masuk. Dengan langkah besar, ia menuju sisi kanan kapal. Menghiraukan orang yang melihatnya. Emosinya tiba-tiba naik melihat apa yang dilakukan Bimo. Rencananya untuk menghampiri lelaki itu gagal karena tiba-tiba Bimo muncul, berdiri di hadapannya. Alex mengepalkan kedua tangannya dengan rahang mengeras, menajamkan matanya. Bimo tersenyum tipis, meninju kecil dada Alex.
"Sakit?" Satu pertanyaan itu membuat dunia Alex runtuh. Tangannya yang mengepal terlepas sempurna. Bola matanya bergerak. "Come on dude, lo tau rasanya. Kenapa lo kasih rasa itu ke orang lain?"
Alex bungkam.
"One more, Lex," Bimo membasahi bibirnya. Mengalihkan pandangannya sejenak sebelum menatap Alex kembali. Bimo tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Alex. "Lo sakitin dia. Saat itu gue akan kasih tau yang sebenarnya. Tinju ilegal dan hubungan lo sama Lily." Alex memejamkan kedua matanya. "Gue nggak mau melindungi orang yang nggak tau diri kayak lo. Cara halus gue nggak berhasil buat Angel menjauh dari lo. Dengan semua rahasia lo, akan jadi senjata Angel lepas dari lo dan orang brengsek seperti kita. Pikirin baik-baik, Lex," Ujar Bimo sebelum pergi meninggalkan Alex.
Emosi yang sudah sampai ke ubun-ubun jatuh bagai air yang ditumpahkan dari ember. Memadamkan sebuah api. Alex merasakannya. Rasa sakit yang Angel rasakan. Alex tahu, rasa perih itu lebih tajam saat Alex melihat perempuan itu menangis karena perbuatannya.
Tiupan angin yang cukup kencang membawa pergi emosi dan segala rasa dalam dirinya. Alex menunduk sejenak, mengumpulkan semua energi yang nyaris dibawa pergi. Pandangannya sendu menatap Angel. Perempuan itu mengalungkan kamera di lehernya, perlahan bangkit dari tempat duduknya. Saat tubuh mungil itu berputar. Alex langsung mengunci tatapannya. Siapa yang menyangka, Angel membalas tatapannya. Bukan lari dan menghindar seperti apa yang ia pikirkan. Alex sadar akan satu hal. Angel tidak pernah lari, Dirinya yang selalu melarikan diri dari perempuan itu, meski yang salah ia sendiri.
Angel tersenyum tipis, berjalan mendekati Alex. Keduanya sama-sama terdiam. Saling meneliti satu sama lain. Ada bekas air mata di sudut mata Angel. Alex bisa melihatnya. Dan itu melukai dirinya.
"Aku tahu,"
"Lo gak tahu, Ngel,"
Senyuman Angel bergetar. "Karna kamu nggak pernah kasih tau aku dari awal. Kamu mau aku gimana?"
"Gue minta maaf,"
"Apa aku akan terus tutup mata? Aku tau Alex, tapi aku mau kamu yang jelasin sendiri tanpa aku tanya. Aku tunggu, tapi sepertinya kamu nggak punya niat buat memperbaiki semua itu,"
"Karena gue takut lo terluka,"
"Aku nggak salah kan? Saat aku merasakan ada orang yang masuk ke kamar semalam. Orang itu dia. Kamu yang perintahin dia masuk ke kamar kita, kan? Pantas saja kamu bohong nggak ada siapa-siapa di kamar," Air mata Angel meluncur tak berbekas tertiup angin. Alex mengepalkan tangannya. "Kamu pikir aku udah tidur. Aku belum tidur, Alex. Aku belum tidur saat kamu tinggalin aku disofa dan tidur sama dia di ranjang,"
Angel memejamkan kedua matanya. Rasa sesak itu kembali datang saat ingatannya berputar melihat kejadian semalam. Dimana rasa takut, kecewa, dan sakit menjadi satu. Kedua tangannya mengepal, tubuh bergetar. Seharusnya Angel terbiasa dengan itu semua. Seharusnya ia sudah siap dengan apa yang terjadi karena memilih bertahan. kenapa rasanya sulit sekali? Kenapa sakit dan membuatnya sulit bernapas?
Angel sudah menentukan pilihan dari awal. Tetap bersama lelaki brengsek dihadapannya meski Ayah sudah melarang. Sekarang Angel tahu, jika Ayah tidak ingin dirinya terluka lebih dalam lagi. Angel menghembuskan nafasnya pelan. Membuang semua emosi, kecewa dan penyesalan disana. Kedua mata itu terbuka dan basah disekitar bulu mata cantiknya. Memberikan senyuman tipis sebelum pergi dari hadapan lelaki itu.
Alex terdiam. Merasakan aroma lavender yang menjauh secara perlahan. Menatap kosong lautan m yang membentang. Untuk memulai pembicaraan saja Alex tidak bisa. Sepengecut itu dirinya dihadapan perempuan itu? Angel tidak mungkin mematahkan kakinya. Sebelum Angel melakukan semua itu, Alex sudah merasakan seluruh tulangnya remuk tak bersisa. Jika bisa memilih, Alex akan memilih untuk berdiri di atas ring dengan Nando yang menjadi lawannya. Rasa sakit itu akan terasa jelas, tidak seperti sekarang. Alex tidak tahu bagian mana yang salah dalam dirinya.
Alex berbalik. Angel sudah bergabung dengan Luna. Ceria seperti biasa. Angel selalu bisa menutupi rasa sakit dengan sebuah senyuman yang cantik. Selama perjalanan, Alex memilih menjauh. Ia naik kelantai dua dan duduk disana seorang diri. Angel melihatnya, saat Alex lewat disampingnya.
"Kenapa?" Luna menunjuk Angel dan Alex bergantian dengan sebuah capitan daging ditangannya. "Lo berdua berantem?"
Pertanyaan Luna sukses membuat semua orang menatap Angel, rehat sejenak dari aktivitas masing-nmasing. "Nggak," Angel tersenyum. Menyibukkan dirinya, ia merasa risih menjadi pusat perhatian. Posisinya akan selalu berbalik. Seolah dirinya yang salah karena Alex menghindar. Apa akan selalu seperti itu? Harus dirinya yang memulai pembicaraan terlebih dahulu? Kenapa Alex selalu menjadikan dirinya sebagai tersangka? Seharusnya ia yang menghindar bukan Alex. Seharusnya Angel yang diam bukan Alex.
Angel menghembuskan napasnya. Menatap Lily yang sedang mengobrol bersama Bimo. Tidak ada kecanggungan sama sekali. Bahkan mereka tertawa ringan disela orbolan. Lily seolah sudah sangat lama mengenal Alex, Leon dan Bimo. Atau hanya Angel yang tidak tahu jika sebenarnya ada kejanggalan di antara mereka?
"Akh!" Cepitan panas yang sedang dipegang oleh Ferdy menyentuh lengan Angel. Rasa panas langsung menembus pori-pori kulitnya.
"Sory, Ngel. Gue nggak sengaja," Ferdy melepaskan cepitan itu dan meraih tangan Angel panik. Angel kurang konsentrasi membuatnya tidak sadar jika Ferdy sudah berdiri disampingnya.
"Nggak papa," Angel menarik tangannya, memberikan seulas senyuman pada Ferdy.
"Coba gue lihat," Luna menghampiri. Angel langsung menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya.
"Aku nggak papa,
"Gue obatin,"
"Aku obatin sendiri aja," jawab Angel cepat.
Luna berpikir sebentar sebelum mengangguk sekali. "Ya udah, kotak obat-obatan ada didalam." Angel mengangguk. "Serius nggak papa?"
"Iya, Kak,"
"Gue bantuin, ya," Ferdy menahan tangan Angel. Angel menggeleng pelan, memberikan senyuman tulus pada Ferdy yang mengkhawatirkannya. Ada rasa bersalah yang Angel lihat.
"Aku bisa sendiri, nggak papa,"
Derapan langkah kaki membuat semua mata tertuju pada sosok lelaki yang baru saja turun dari tangga. Semuanya terdiam begitu Alex muncul. Angel menyembunyikan tangannya dengan gerakkan pelan, Alex sudah melihatnya terlebih dahulu. Alex menarik lembut tangan Angel membuat orang yang melihatnya bernafas lega. Semua praduga yang mereka pikirkan tidak terjadi. Ferdy memperhatikan kedua orang itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Aku nggak papa," Ujar Angel saat Alex mengeluarkan sebuah kotak obat tanpa suara. Meletakkannya di meja sebelum membalas tatapan Angel. Alex menghembuskan nafasnya pelan. Ia mengangkat tubuh Angel dengan mudah seolah mengangkat anak kecil dan mendudukkannya di meja panjang yang menempel di dinding kapal.
Angel menahan napasnya kaget dengan gerakan Alex yang tiba-tiba. Ia berniat turun, Alex menahan kedua kakinya.
"Jangan gerak," Ujar Alex terdengar seperti ancaman. Angel terdiam.
Melihat Alex mengeluarkan sebuah salep kecil. "Aku nggak papa," Alex melirik tidak suka, Angel mendengus. "Sini, aku bisa sendiri," Tangan Angel terulur ke depan untuk mengambil alih. Alex menurunkan tangan Angel pelan, membuka kedua kaki Angel lebar sehingga Alex bisa berdiri ditengahnya.
"Mana, tangannya," Angel menggeleng, memilih mundur karena jarak yang terlalu dekat. Sepertinya tidak bisa, dinding kapal sudah sangat pas di punggungnya. "Sini," Alex menunjukkan telapak tangannya, setelah banyak pertimbangan akhirnya Angel menyerahkan tangannya.
Lelaki itu langsung mengolesi lengan Angel yang melepuh. Meniupnya dengan penuh perhatian. Angel bisa mencium aroma rambut Alex yang menunduk di hadapannya. "Aku lihat semuanya," Ujar Angel pelan. Menghentikan aktivitas Alex. Lelaki itu tidak bergeming. "Kamu mau gimana?"
Suara yang begitu dekat dengan telinganya bergetar. Alex mengangkat wajahnya, membalas tatapan Angel. "Aku mau marah juga nggak berhak. Aku kecewa juga, aku siapa buat kamu? Kita nggak sedang menjalin hubungan seperti Kak Leon dan Kak Luna. Jadi aku bingung mau bersikap seperti apa?"
"Ngel,"
Angel menggeleng pelan. Kristal bening sudah membendung di kedua matanya. "Aku nggak marah. Itu hak kamu, aku yang milih tetap bertahan. Aku kira aku bisa masuk dan tetap berdiri disana meski hanya sebagai penonton. Tapi rasanya nggak bisa. Aku nggak bisa, Alex. Aku nyerah," Air mata itu jatuh tak tertahan. "Aku nggak mau rasa itu berubah terlalu dalam," Angel menghapus air matanya kasar. "Maafin aku,"
"Apa semuanya harus ada suatu ikatan?" Tanya Alex pelan. "Apa gue harus bilang would you be my girl friend, dulu? Apa gue harus bilang I love you, dulu?" Angelntidak bergeming, mengulum bibirnya yangnbergetar. "Apa yang bisa dijanjikan dengan kedua kalimat itu? Tidak ada jaminan. Itu hanya sebuah kalimat bullshit, Ngel,"
"Bukan itu," Angel menggeleng, menarik nafasnya dan membuang wajahnya saat air mata itu kembali membasahi pipinya. Ia tidak ingin Alex melihatnya. "Aku sama sekali nggak nuntut kedua kalimat itu. Hanya saja, siapa aku? Siapa aku di sini. Hanya penonton atau pemain,"
"Lo pemainnya," Angel menjauhkan wajahnya saat Alex ingin menyentuh pipinya.
"Lalu dia? Aku hanya penonton disini. Dia pemain aslinya,"
"Nggak Angel," Geram Alex.
"Iya."
"Gue bilang nggak!"
Kedua mata Angel terpejam kaget. Bukan hanya Angel, tapi orang yang sedang berkumpul di luar langsung menatap ke dalam. Angel mengepalkan kedua tangannya dengan tubuh bergetar. Untuk pertama kalinya selama ia mengenal seorang Alex. Angel mendengar teriakan tepat dihadapan wajahnya, tatapan mata tajam dan murka. Air mata Angel meluncur, kali ini menimbulkan bekas pada kedua pipinya. Untuk menghapus jejak air mata itu saja tangan Angel sangat sulit untuk digerakkan.
"Gue nggak bermaksud bentak lo, Maafin gue," Tubuhnya masih menegang. Angel terdiam. Menatap Alex dengan pandangan sulit diartikan.
"Lex,"
"Keluar," Potong Alex tanpa menatap Bimo.
Bimo menarik napasnya dan membuangnya kasar, menutup pintu dan meninggalkan keduanya. Alex mengatur napasnya. Menghilangkan semua emosi yang datang karena secuil kalimat dari bibir Angel. "Lo pemainnya, Ngel. Lo. Bukan dia." Tekannya.
"Penonton lebih banyak tau dari pada seorang pemain. Mereka hanya duduk dan memperhatikan." Angel memberanikan diri untuk tidak lari meninggalkan Alex. Andai saja ada yang bisa membawanya pergi. Harapannya tidak akan terwujud, usiran halus saja membuat Bimo tidak ingin ikut campur. Alex memejamkan kedua matanya sebentar. Mengepalkan kedua tangannya yang berada di meja sisi kanan dan kiri Manda. "Kenapa aku?"
"Gue nggak minta. Kalau gue bisa, malam itu gue nggak harus terpesona sama lo. Dan lo, nggak akan pernah kenal sama cowok brengsek seperti gue. Andai saja gue bisa mengulang semua itu."
Ada yang menusuk jantungnya. Angel merasa perih saat kalimat itu keluar dari bibir Alex. "Jadi kamu nyesal?"
"Nggak, Ngel." Alex menarik rambutnya dengan satu tangan. "Bukan itu maksud gue,"
Angel membuang napasnya, ia mendorong pelan bahu Alex dan melompat turun. "Apa yang aku nggak tau dari kamu, dia mengetahuinya. Atau mungkin bukan hanya sekedar sebuah ciuman romantis, lebih dari itu. Maaf, aku nggak bermaksud tuduh kamu," Angel menghapus sisa air mata di pipinya.
Menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku pergi, aku akan ikut kapal ini lagi setelah mengantar kamu dan temen-temen kamu ke pulau,"
Alex memejamkan kedua matanya. Merasakan Angel melangkah menjauh. "Gue jawab," Langkah Angel terhenti. Alex memutar tubuhnya, menatap punggung Angel. "Fine, gue akan jawab semua pertanyaan lo,"
Angel menutup kembali pintu yang sempat ia buka sedikit. Ia berbalik. Memberikan senyuman yang menunjukkan lesung pipi di kedua pipinya. Angel menggeleng. "Aku nggak akan tanya, Aku mau kamu yang kasih tau tanpa ada paksaan,"
"Lily partner gue," Ujar Alex tanpa hambatan sama sekali. "Partner apa yang lo pikirkan, itu benar." Angel mengepalkan kedua tangannya, mempertahankan senyuman yang bergetar. Baru saja, Alex menembakkan anak panah tepat dikepalanya. "Apa lagi? Soal gue berantem sama Ferdy? Leon? Gue kasih tau semuanya!" Ucapnya menggebu-gebu. "Tentang semalam? Lily-" Entah apa yang dikatakan Alex selanjutnya Angel tidak bisa mendengar. Ada yang menutupi kedua telinganya dari belakang. Angel tidak bisa lagi menyembunyikan semua rasa kecewa itu. la tidak bisa lagi tersenyum dikala rasa sakit seakan sudah meledak. Pengakuan Alex, Siapa Lily dan semuanya. Angel menggigit bibir bawahnya dengan mata terpejam.
"Cukup. Kenapa nggak sekalian lo dorong dia dari atas kapal?" Bimo memberi saran. Angel menurunkan tangan Bimo yang menutup kedua telinganya.
"Lo yang maksa gue buat kasih tauNsemuanya. Dia mau gue bilang semuanya.NGue kasih tau dia sebelum dia tau dari lo!" Alex menunjuk Bimo. "Sekarang gue udah jujur,"
"Bukan gini caranya, bangsat!" Bimo melangkah maju dengan emosi. Sejak tadi Bimo sudah menahannya. Kali ini ia tidak bisa diam.
"Lo nggak tau apa-apa!" Ujarnya emosi.
"Gue nggak minta lo dipihak gue! Silahkan berdiri dipihak dia dan dia!" Alex menunjuk Ferdy dan Leon yang kini sudah berdiri didepan pintu. "Seperti yang lo katakan, gue sumber masalahnya disini, sekarang lo puas?" Bimo menarik kerah baju Alex hingga tubuh Alex terdorong kebelakang dan membentur tembok.
"Bim!" Panggil Leon. Ia langsung memisahkan keduanya. Sepertinya emosi tidak bisa terelakkan. Bimo sudah lebih dulu melemparkan sebuah pukulan di wajah Alex. "ANJING, akh-" Leon meraih pipi kirinya yang terkena pukulan Alex. Lelaki itu tidak sengaja terpukul karena berusaha memisahkan.
Angel memejamkan kedua matanya dengan menggeleng pelan. Meringis melihat semua perabotan yang terusun rapi sudah berjatuhan di lantai. Luna bergerak maju berniat untuk memisahkan, Leon langsung menahan tangannya. "Lo gila, nggak akan ada yang mau berhenti sebelum ada yang mati di antara keduanya!" Pekik Luna memberontak.
Angel menyingkir saat Leon menarik paksa Luna keluar. Memberi jalan. Lily menatap serba salah. Ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada jaminan Lily bisa memisahkan keduanya. Sedangkan Ferdy hanya bersandar di pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Tidak berniat memisahkan. Ucapan Luna benar. Tidak ada yang berhenti. Keduanya semakin emosi dengan seluruh sudut wajah keluar darah segar. "Alex," Gumam Angel menatap Alex dan Bimo yang kesetanan. Angel tidak sanggup lagi untuk melihat lebih lama. Kakinya maju dengan sendirinya, berusaha melerai keduanya. Tubuhnya sempat terhempas berkali-kali. Angel tidak menyerah, sampai akhirnya ia merasakan ada yang menghantam kepalanya begitu keras dan membuat tubuhnya jatuh dengan pandangan berputar.
"FUCK BIMO!" Pekik Alex murka.
Sentuhan lembut di pipi berhasil membangunkannya. Terasa hangat ketika telapak tangan itu mengelus pipi kirinya. Mata yang sudah terpejam dua jam lamanya akhirnya bergerak. Perlahan, kelopak mata itu terbuka. Tertutup kembali untuk menyesuaikan cahaya. Angel melakukannya berkali-kali sampai akhirnya penglihatannya menjadi sangat jelas.
"Mana yang sakit?" Satu pertanyaan itu menyadarkan Angel yang pingsan akibat pukulan keras dikepalanya. Angel mengalihkan pandangannya dari Alex. Melihat sekelilingnya. "Kita udah di pulau," Ujar Alex seperti menjawab kebingungan Angel.
Sebuah ruangan yang sangat luas dan mewah, didominasi warna peach. Angel tidur disebuah king size, ada sebuah sofa di tengah ruangan. Sama seperti hotel semalam. Hanya saja bukan bawah laut. Rasa dingin yang masuk ke tubuhnya berasal dari jendela kaca yang terbuka. Angel kembali menatap Alex setelah puas melihat isi kamar. Lelaki itu duduk di tepi ranjang. Angel meneliti wajah Alex yang kebiruan. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Berhadapan dengan Alex.
Kedua matanya terpejam saat sebuah tangan terangkat ke atas dan mengelus kepala bagian kanannya. "Sakit?"
Pertanyaan itu mengalun lembut ditelinga. Menekan tombol sehingga Angel membuka matanya. Berhadapan sedekat ini dengan Alex. Membuat Angel kembali teringat semua hal yang terjadi sebelum dirinya terbaring tidak sadarkan diri. Rasa sakit dikepalanya tidak sebanding dengan semua hal yang ia dengar dari Alex.
"Maaf," Gumam Angel pelan, Alex bisa mendengarnya. Lelaki itu menurunkan tangannya dan melipat satu kakinya sehingga berhadapan penuh dengan Angel. "Karena kamu harus kasih tau semuanya di waktu yang tidak tepat. Aku yang terlalu memaksa dan aku yang ter-" Angel merasakan sentuhan lembut di bibirnya dan senggolan hidung Alex di hidungnya. Sentuhan dingin yang sangat terasa di bibir. Angel pikir sentuhan itu berasal dari bibir Alex, dugaannya salah. Alex memang menciumnya, tapi mencium telunjuknya sendiri yang diletakkan di bibir Angel.
"Gue yang salah. Kenapa lo yang minta maaf?"
Angel tidak bergeming. Alex mengelus pipi kiri Angel, tangan kanannya berada di sisi tubuh perempuan itu, hingga Angel di dalam jangkauannya saat ini.
"Gue udah merencanakan buat kasih tau lo. Ngel, lo salah kalau anggap gue nggak memperbaiki semua itu. Seperti apa kata orang, menunggu itu nggak enak. Gue tau, buat jelasin semuanya, banyak yang gue pertimbangkan. Bukan hanya takut lo terluka. Apa yang akan terjadi setelah gue katakan semuanya? Lo pergi? Nangis? Terbukti, Lo nangis dan milih pergi dari gue. Itu yang paling gue takutkan,"
"Karena aku orang ketiga,"
"Lo bukan orang ketiga. Gue sama dia hanya sebatas partner. Gue nggak mau rusak lo," Angel terdiam. Tanpa ia sadari, tangannya terangkat. Menyentuh kebiruan di wajah Alex. "Karena gue gak mungkin tidur sama lo," Ucapnya pelan.
"Kamu selalu bilang kalau aku milik kamu. Tapi rasanya sulit untuk mengatakan kalau kamu milik aku," Alex menggenggam tangan Angel di pipinya. "Aku nggak tau kamu itu gimana. Sampai sekarang, aku masih nggak ngerti apa yang kamu inginkan,"
"Gue akan cerita, semuanya. Itu nggak seperti apa yang lo pikirkan,"
"Kamu cinta sama dia,"
"Nggak,"
"Iya," Alex memejamkan kedua matanya. "Kamu cinta, Alex. Rasa yang kamu kasih ke aku berbeda dengan rasa yang kamu kasih ke dia. Coba kamu pikirin sekali lagi, kamu ngobrol sama hati kamu tanpa diselimuti emosi." Angel tersenyum. "Rasa kamu ke aku hanya sebatas rasa penasaran. Setelah kamu menemukan apa yang menjadi rasa penasaran itu di dalam diri aku, semuanya akan menjadi datar dan tidak akan sama lagi," Alex tidak bergeming. "Kita bukan sepasang kekasih. Jadi aku nggak berhak marah,"
Angel mengulas sebuah senyuman. Menarik tangannya digenggaman Alex dan merangkak turun dari ranjang. Meninggalkan Alex yang masih duduk di tempat semula. Ia menarik napasnya dan menghembuskannya pelan. Menatap punggung Alex sekali lagi sebelum akhirnya menutup pintu. Menuruni tangga dengan pemandangan pantai yang sangat jelas. Angel mengulas sebuah senyuman. Menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Hanya ada dua atau tiga orang dengan berseragam hotel. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Luna dan lainnya. Angel berkeliling hotel. Dengan langkah tenang dan sunyi.
Pulau pribadi milik Leon sangat mewah. Angel sadar saat dirinya sudah berada di luar. Ada dua hotel, yang dipisahkan dengan sebuah kolam renang yang sangat besar. Pepohonan rimbun dan sama sekali tidak ada sampah. Ada beberapa quotes romantis di sebuah papan yang berdiri tegak. Angel mengacungi jempol untuk ide Leon yang mendesainnya dengan sangat bagus.
Angel melepaskan sepatunya, meletakkan di bangku yang terletak di bawah pohon kelapa. la mulai mendekati pantai, berjalan menelusuri pinggiran pantai. Begitu air mendekat, dengan cepat ia akan berlari ke daratan. Air di sana sangat jernih. Ada beberapa wahana air yang tersedia, tidak ada orang yang menjaganya. Padahal Angel sudah sangatbtergiur untuk naik salah satunya. Angel menghembuskan napasnya dan menendang jet ski.
"Dia nggak salah, ngapain ditendang?" Angel menoleh kaget dengan mulut terbuka. "Sakit nggak kakinya?"
Angel mendengus dan membuang pandangannya. Berniat untuk melanjutkan perjalanannya jika sebuah tangan tidak menahannya. "Jangan ngikutin aku,"
"Disini masih ada beberapa hewan buas, Leon nggak ngusir mereka." Angel mendengus dan melepaskan tangan Alex di lengannya. "Gue serius,"
"Apa? Kamu hewan buasnya," Angel melengos pergi, berlari cepat seakan Alex akan mengejarnya. Padahal lelaki itu masih berdiri di tempatnya. Angel sesekali menoleh ke belakang, memastikan Alex tidak mengikutinya. la terus lari menjauh sampai akhirnya Angel langsung berbalik badan dan lari menghampiri Alex sekencang mungkin.
"Migel!" Panggilnya berlomba pada monyet yang ikut mengejarnya dibelakang.
Jantung Angel berdetak tidak karuan. Ia tidak tahu jika ucapan Alex itu benar. Angel pikir Alex hanya menakutinya, Angel salah besar saat ia melihat sekelompok monyet yang sedang berkumpul.
Alex mengambil beberapa batu lalu melemparkan kepada monyet tersebut.nAngel bersembunyi dibelakang tubuh Alex dengan napas naik turun dengan cepat. Monyet tersebut sepertinya tidak ingin pergi, mereka bertambah banyak.
"Kita lari,"
"Hah!?"
"Lari Angel, hitungan ke tiga."
"Kamu boleh perintahin aku kerjain soal kimia, fisika, matematika, atau apapun itu. Tapi jangan lari," Alex menoleh dengan kening berkerut, tangannya terus melempar batu ke monyet tersebut. "Akubnggak pernah lulus dalam bidang pelajaran olahraga,"
Alex tertawa geli melihat Angel yang terlihat gelisah. "Ya udah lari duluan,"
"Iya!" Jawabnya semangat.
"Bukan ke sana Angel," Geram Migel. "Lo mau tenggelam di laut?"
Angel tersenyum polos. "Sengaja aku, mainin kamu," Ujarnya menjulurkan lidah dan berlari sekuat tenaga meninggalkan Alex yang masih berusaha mengusir sekumpulan monyet.
Angel merentangkan kedua tangannya. Menembus angin, Lari adalah kelemahan paling fatal. Senyuman Angel menghilang saat Alex berlari mendahuluinya. Angel membulatkan matanya dan menoleh ke belakang. Nyatanya ia masih berada di lima meter dari tempat pertama ia berdiri.
Sekumpulan monyet tersebut berlari mengikutinya. Seketika Angel menjadi panik. "Alex?!"
"Awas monyetnya di belakang!"
"Alex!" Pekik Angel panik.
Dan Alex tertawa.
Mendengar itu langkah kaki Angel menjadi sangat pelan. Rasanya dunia berhenti seketika. Tidak ada suara ombak yang terdengar, angin yang menerpa tubuhnya dan monyet-monyet yang mengejar dirinya hilang begitu saja. Nyawanya seakan dibawa angin dan melayang entah kemana. Mungkin bagi semua orang itu biasa. Untuk Angel tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Membuat Alex tertawa seperti sekarang, sangat sulit. Saat deretan gigi putih terlihat dan tersusun rapi. Matanya yang menyipit dan suara berat itu bagai alunan musik yang tidak bisa ditemukan oleh pengamat musik dunia. Tidak ada beban yang Angel rasakan dalam suaranya. Angel terpesona. Semuanya seakan menjadi sangat lambat. Kedipan Matanya, cara Alex melangkahkan kakinya, rambutnya yang naik turun karena berlari. Menghilangkan sejenak semua masalah. Pertengkaran, kecewa, rasa sakit dan pergi. Angel akan memikirkannya setelah liburan berakhir. Biarkan semuanya mengalir seperti semula. Siapa pemain dan penonton sebenarnya. Siapa Alex, siapa dia. Apa hubungannya, Angel tidak mau memikirkannya.
Ia tidak ingin kejadian adu jotos terulang kembali. Membuat Alex semakin dijauhi oleh temannya. Angel bersalah. Jika ia tidak memaksa, Alex dan Bimo akan baik-baik saja. Itu hanya sebuah perasaan egois karena kecemburuan yang tidaknjelas. Bolehkah Angel katakan cemburu? Yah. Angel cemburu. Satu kata yang bisa menghancurkan sebuah hubungan jika mengikuti emosi dan satu pikiran saja. Lagi pula, cemburu hanya untuk hubungan seorang kekasih. Sedangkan ia dan Alex? Tidak ada hubungan seperti itu. Sulit bukan tidak bisa. Rasa itu akan hilang dengan sendirinya atau bertambah besar dengan sendirinya. Alex tidak bersalah. Angel yang memilih bertahan meski Alex sudah mengatakan bahwa ia adalah orang yang brengsek. Dari awal Alex sudah memberi tahu itu.
Perlahan, kedua sudut bibir Angel terangkat ke atas. Membentuk sebuah senyuman memperlihatkan lesung pipi di kedua pipinya. Ia meraih tangan Alex yang terulur padanya. Menggenggamnya erat. Keputusan yang paling bodoh karena Angel meraih tangan tersebut. Sebuah tangan yang mungkin akan melepaskan sebuah anak panah bertubi-tubi ke kepalanya, dan Angel masih memilih berlari bersama Alex?
Ruangan yang hangat dengan aroma bunga lavender, putih dan sejuk. Ada beberapa kelopak bunga yang berserakan di lantai, lilin yang menyala membuat sesuatu lebih terlihat mewah. Alex membuka bajunya hingga bertelanjang dada. la menghidupkan air untuk mengisi bak mandi, sengaja ia kecilkan kerannya. Air itu mengisi bak mandi dengan perlahan. Alex melangkah masuk dan duduk nyaman di sana. Ia mengulurkan tangan yang langsung diterima Angel. Perempuan itu duduk di pangkuannya, saling berhadapan.
"Kamu berniat tambah tato lagi?" Angel bisa dengan jelas melihat tubuh lelaki itu, menyentuh tato Alex dibagian dada.
"Iya, disini," Alex mengelus leher Angel.
"Nama lo," Angel menggerakkan matanya. Membalas tatapan Alex. Lelaki itu tersenyum tipis membuat jantung Angel mulai tidak karuan. Sebisa mungkin Angel akan mempertahankan nyawanya, jangan hilang karena kalimat ataupun sentuhan Alex. Angel menghembuskan napasnya, Membuka plester lalu ia tempelkan di sudut kanan alis Alex. Dilanjutkan dengan mengolesi cream di bagian pipi bawah kanan dan kiri wajah Alex.
Air sudah naik dengan perlahan, sampai di mata kaki Angel. "Kalau dari segi fisik, lo sama sekali bukan tipe gue," Alex menarik pinggang Angel mendekat. Ia menguncir rambut Angel menjadi satu gumpalan di atas. "Lo juga bego," Lanjutnya.
Angel menghentikan aktivitasnya. "Kamu juga bukan tipe aku," Balasnya sengit, Alex menaikkan satu alisnya. "Kamu juga bego," Angel merasa tidak terima. Oke, Angel akui, ia memang lamban dalam hal di luar mata pelajaran. Bukan tandanya ia bego.
Setelah berhasil menguncir rambut perempuan di hadapannya. Alex melingkarkan tangannya dipinggang Angel. "Gue masih penasaran, kenapa gue bisa suka sama lo. Rasa buat lo bukan sekedar rasa penasaran. Gue nggak pernah sepenasaran ini sama orang. Lo beda, Ngel. Lo sentuh sesuatu yang nggak bisa orang lain sentuh dalam diri gue," Angel semakin hilang konsentrasi. "Jangan nangis lagi,"
"Kamu yang buat aku nangis, jangan salahin aku," Ujar Angel tanpa membalas tatapan Alex.
"Iya, gue egois." Alex meneliti wajah Angel yang begitu dekat dengan jangkauannya. Pipi chubby yang begitu menggemaskan. Alex selalu ingin menggigitnya. Putih dan mulus tanpa noda. Tidak ada make up diwajahnya, semuanya terlihat natural. Saat tangan lembut itu menyentuh wajahnya. Bersandar di dadanya yang telanjang. Alex mencari bola mata Angel, perempuan itu sangat sederhana, mencukur jenggot tipisnya, sampai akhirnya Alex berkata. "Tidur sama gue," Gerakan tangan Angel terhenti. "Gue akan cerita seluruh permasalahannya. Making Love with me,"
Angel meremas pisau cukur ditangannya. Menegapkan tubuhnya dan membalas tatapan Alex. Angel tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir Alex. Melesat bagai anak panah sampai ke jantungnya. Angel tercekat, aliran darahnya terhenti seketika, ada sedikit sumbatan di otaknya.
"Lo salah kalau tuduh gue memanfaatkan itu buat tidur sama lo. Nggak sama sekali,"
"Terus apa? Kamu mau aku jual tubuh aku dan ditukar sama semua rahasia kamu, iya? Apa kamu juga kasih pilihan ini sama dia? Sehingga dia tau semua masalah kamu karena kamu minta hal itu?" Alex memejamkan kedua matanya. "Aku bukan dia, Alex. Aku nggak akan jual tubuh aku buat sesuatu yang nggak penting," Ujarnya emosi.
"Lo salah," Alex membuka matanya. Angel berniat bangkit, Alex mengunci tubuhnya. Air sudah mulai naik, busa-busa sudah mengelilingi. "Gue nggak tukar tubuh lo dengan semua rahasia gue. Nggak seperti yang lo pikir, Angelista,"
"Apalagi yang salah? Kalimat kamu sangat jelas," Angel menghapus air matanya kasar. "Setelah kamu dapetin apa yang kamu mau di tubuh aku, kamu akan lakuin hal itu ke perempuan lain. Aku akan di posisi dia saat kamu lakuin itu. Aku tau aku bego. Tapi aku tau saat orang manfaatin aku,"
"Nggak, Angel,"
"Kalau gitu, aku akan milih nggak akan mau tau rahasia kamu dari pada tidur sama kamu," Tegasnya.
"Gue juga setuju," Angel terdiam.
"Jangan pernah. Lo harus tetap pada pendirian lo. Jangan serahain tubuh lo sama gue,"
Angel terisak kecil. Ia menunduk. "Kamu maunya apa? Kenapa selalu buat aku seperti orang jahat disini," Angel meringis, memukul kecil dada Alex. "Kamu yang salah bukan aku, kamu yang jahat bukan aku. Kenapa selalu aku jadi tersangka?" Angel menangis.
Alex mengulas sebuah senyuman. Ia menghapus air mata Angel. Melingkarkan tangan kanannya di pinggang Angel untuk menahan tubuh kecil itu agar tidak jatuh ke belakang saat tangan kirinya mematikan keran di belakang tubuh Angel, air sudah memenuhi bak mandi.
"Cengeng, gue becanda," Alex menyentil kening Angel. "Udah jangan nangis. Tambah jelek kalau mata lo bengkak,"
"Candaannya nggak lucu," Angel mendorong bahu Alex.
"Berarti gagal," Angel mendecih pelan, melepaskan tangan Alex dari pinggangnya dan memilih mundur untuk bersandar di sisi lain. Saling berhadapan dengan Alex. Angel memeluk kakinya. Ia merasakan Alex mengelus punggung tangannya yang tenggelam menggunakan kaki. Bercanda atau tidak kalimat itu sama sekali tidak lucu. Katakan ia anak kampung yang tidak mau masuk dalam gaya pertemanan Amerika. Biarkan orang berkata sok suci karena masih perawan di umurnya yang menginjak dua puluh tahun. Katakan ia idot, tolol, atau apapun. Angel sudah dibekali ceramah oleh Ayah tiga hari dua malam sebelum memutuskan pergi ke kota. Angel selalu ingat nasihat Ayah, hal yang harus Angel hindari di kota. Salah satunya lelaki seperti Alex.
"Ngel?"
Angel tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya keluar jendela kaca. Alex terdiam sejenak. Menatap Angel lama sebelum berkata. "How about one kiss?"
Mendengar pertanyaan itu. Bola mata Angel bergerak. Keduanya saling menatap satu sama lain tanpa adanya gerakkan. Suasana yang sunyi, hangatnya air di bak mandi dan lilin yang tiba-tiba mati. Angel yang pertama memutuskan kontak mata. Perempuan itu merangkak mendekati Alex kembali dan duduk di pangkuan lelaki itu. Kedua tangannya membingkai wajah Alex, Angel memiringkan sedikit kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada Alex.
Kedua mata Alex yang tadinya terpejam, perlahan terbuka. Pupil hitam pekat menjadi hal pertama yang Alex lihat. Begitu dekat dan ia bisa melihat dirinya di bola mata Angel. Mata tersebut menyipit sedikit, Angel tersenyum. Alex mendegus dan tertawa kecil.
Angel menjauhkan wajahnya. Telunjuknya masih ia letakkan di bibir Alex. "You will not get a lip kiss," Alex tidak bergeming. Angel menatap Alex berbinar, merasakan lelaki itu memeluk pinggangnya. "But here,"
Alex memejamkan kedua matanya. Senyuman yang sangat indah tercetak dibibirnya saat Angel mendaratkan sebuah ciuman dikeningnya. Hangat dan lembut menggetarkan hatinya. Dampaknya sangat luar biasa bagi seluruh saraf kerja otaknya.
Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel