Tubuh yang tadinya tertidur pulas kini bergerak kecil di kasur yang berukuran sedang. Saat gorden dibuka, ia semakin merapatkan tubuhnya ke dinding, tidak ingin terkena paparan sinar matahari. Meringkuk seperti bayi.
"Alex," Seorang perempuan berusaha membangunkannya. Menggoyangkan lengan lelaki bernama Alex yang masih enggan bangkit dari kasur. "Udah setengah sembilan, bangun, ih. Aku mau kerja,"
Lelaki itu tidak bergeming "Alex?" Panggilnya lagi. Menatap punggung polos Alex yang tidak mengenakan apapun kecuali celana pendek. Angel duduk dipinggir kasur miliknya. Kasur yang langsung bersentuhan dengan lantai, bukan kasur mewah yang memiliki sebuah tonggak seperti di apartemen lelaki itu. "Aku mau berangkat, ya," Pamitnya. Saat dirinya ingin berdiri, Alex dengan cepat berbalik, melingkarkan tangannya di pinggang Angel, mencegah perempuan itu bangkit, meletakkan kepalanya di paha mulus yang terbalut celana jins. Alex semakin menekan wajahnya ke perut Angel.
"Bentar aja," Suara serak khas bangun tidur terdengar. Berat dan begitu menggelitik ditelinga Angel. Lelaki itu semakin menekan wajahnya. Mengelus perut Angel dengan hidung mancungnya.
"Jangan ngendus, ih!" Angel memukul bahu telanjang Alex, mendorongnya sedikit.
"Masih mau tidur," Gumamnya.
"Bangun, Pengangguran," Bisik Angel. Alex mengusap telinganya geli. Angel terkekeh pelan. "Udah, ah. Nanti aku telat." Alex mengerutkan keningnya. Melonggarkan tangannya agar bisa menatap Angel tanpa merubah posisi kepala. "Telat kemana?"
"Aku mau kerja,"
"Siapa yang izinin lo kerja?" Tanyanya galak. "Nggak. Kaki lo masih sakit." Alex menggeleng. "Nggak kerja juga lo masih bisa makan selagi ada gue,"
Angel memutar bola matanya malas. "Tapi aku bosan,"
"Gue disini. Kenapa lo bisa bosen?"
"Bosan nggak bisa kemana-mana,"
"Pokoknya nggak. Leon juga nggak akan berani mecat lo," Alex kembali memeluk Angel erat. Memejamkan kedua matanya. "Kaki lo masih sakit, Angel,"
Angel mendengus kesal. Ia sudah kembali dari pulau tiga hari yang lalu. Semuanya mendadak pulang saat Bimo mendapatkan panggilan dari pengadilan. Sesampainya di kota sampai sekarang. Alex tidak pernah meninggalkan kamar kos Angel. Lelaki itu makan, tidur dan mandi disana. Angel sudah mengusir Alex untuk pulang ke apartemen. Alex memang pulang sebentar, lalu kembali lagi ke kosannya. Meskipun begitu. Ia tidak melakukan hal-hal negatif bersama Alex. Angel memang tidur bersama lelaki itu, dalam artian hanya tidur tanpa melakukan apapun. Alasan kenapa Alex tidak pernah menggunakan baju saat tidur di kosan, karena menurut Alex, kamar Angel sangat panas. Membuatnya selalu gerah, padahal sudah ada kipas angin.
"Aku udah bilang sama Kak Eon. Dia bolehin aku masuk buat jadi bartender. Jadi nggak jalan, hanya duduk di kursi terus layanin yang mau beli minuman," Alex menggeleng. "Lagi pula, lukanya kecil dan udah sembuh. Kamu berlebihan," Eluhnya kesal. Alex menghembuskan napasnya. "Bolehin ya, aku bosan. Kamu juga nggak perlu jaga aku dua puluh empat jam," Angel memohon. "Aku nggak papa," Ujarnya menyakinkan.
Alex merubah posisinya menjadi duduk. Angel yang mengerti apa yang di pikirkan Alex langsung mengambil baju lelaki itu yang ia gantung dibelakang pintu. Alex langsung mengenakannya secepat kilat. Angel tersenyum senang saat Alex bangkit, tandanya lelaki itu mengizinkan.
"Gue cuci muka dulu,"
"Iya,"
Selagi menunggu Alex di kamar mandi. Angel membereskan kamarnya. Kakinya memang masih terasa nyeri saat dirinya berdiri terlalu lama, bukan tandanya Angel suka berdiam diri. Seluruh tubuhnya sakit jika tidak bergerak, Angel orang yang tidak bisa diam. Alex mengenakan jaketnya. Mengambil kunci motor yang ia selipkan di saku jaket. Angel sedang mengunci pintu, sementara Alex sudah turun terlebih dahulu. Memanaskan motornya sebentar.
Beberapa penghuni kamar di sebelah Angel menatapnya sinis. Setiap kali Angel keluar bersama Alex untuk membeli makan, ketika berpapasan, mereka selalu mencibirnya pelan. Angel tahu mereka pasti heran jika dirinya membawa lelaki ke kamar. Mereka juga sama. Lalu apa masalahnya? Mereka menatap tidak suka dan seolah-olah dirinya pembawa penyakit menular yang harus di jauhi. Angel tidak terlalu Memikirkannya, mau ia jelaskan kalau tidak apa yang terjadi, siapa yang akan percaya. Angel juga tidak berniat mengklarifikasinya. Selama ia masih berada di jalur aman.
Hari ini Angel baru menyadarinya. Mereka tidak memberikan tatapan yang sama saat berpapasan bersama Alex. Wajah centil dan senyuman manis nan manja seperti menggoda pemuda tampan sangat terlihat. Bahkan ada yang jelas-jelas mencolek dada Alex. Boleh Angel berteriak histeris dan melompat kegirangan? Lihatlah, tidak ada satupun dari perempuan-perempuan itu yang dilirik Alex. Bahkan colekan itu dibersihkan seakan ada kotoran yang menempel. Angel mengulum senyum dengan berteriak dalam hati.
"Ngapain?" Tanya Alex membuat Angel berbalik cepat menatap lelaki itu yang sudah duduk di atas motor miliknya. Ah.. Kerennya. "Ayo naik,"
"Iya,"
"Kalau sampai lo terluka, gue ikat di kamar," Angel mendengus. "Jangan ceroboh,"
"Iya," Ujarnya merendah. Meski semua ancaman Alex itu tidak akan terjadi. Tapi Angel tetap waspada, Alex tidak pernah main-main dengan semua kalimatnya.
Membayangkannya saja sudah membuat takut. Tidak banyak hal yang Angel bicarakan selama perjalanan. Alex juga lebih banyak diam dan bicara seperlunya. Angel akan mengisi sisa liburan dengan bekerja. Masih ada satu bulan lagi dan membuatnya sangat bosan jika tidak bekerja. la bahkan sudah memikirkan bekerja di tempat lain, tapi sepertinya tidak akan bisa, Alex terus mengawasi. Begitu sampai di depan Horison. Alex langsung mematikan mesin motornya. Ia turun terlebih dahulu lalu menurunkan Angel dengan hati-hati. "Kalau pulang langsung kasih tau gue,"
"Iya," Angel merapikan rambutnya. "Kamu mau kemana?"
"Apartemen," Angel mengangguk. Alex kembali duduk dimotornya. "Gue mau tau perkembangan kasus Bimo,"
"Iya, hati-hati di jalan,"
"Em, Masuk sana,"
Memastikan Manda sudah masuk ke Horison. Alex baru memutuskan pergi. Melesat cepat di jalan raya. Tiga hari ini ia hanya pulang untuk berganti baju dan pergi lagi ke kosan Angel. Tidak terlalu memperhatikan kasus Bimo. Alasan ia pergi adalah, apartemennya sudah berubah menjadi pembuangan sampah. Begitu Alex membuka pintu, kaleng minuman langsung menggelinding lalu bertubrukan dengan kaleng kosong lainnya. Apartemennya seperti habis terkena banjir. Bukan hanya kaleng minuman saja. Kertas A4, keripik kentang yang berserakan mengundang semut. Belum lagi beberapa kotak makanan pesan antar yang menumpuk di tong sampah, menimbulkan wangi tidak sedap. Piring dan gelas yang memenuhi wastafel.
"Ada perkembangan?" Tanya Alex sembari berjalan dengan menyingkirkan semua kaleng minuman yang menghalangi jalannya. Ia membuka kulkas, mengambil air mineral dan satu buah apel untuk mengganjal perut. Lebih dari sepuluh laptop menyala dengan kabel-kabel hitam panjang di sekeliling ruangan. Grafik dan tulisan yang muncul secara bergantian. Alex mencari tempat kosong yang terbebas dari kabel. Menghempaskan pantatnya di sana. "Bimo?"
"Tidur," Jawab Leon seadanya, fokus dengan laptop dihadapannya. Dengan sebuah earphone yang menggantung di leher. Alex menganggukkan kepala. Sedikit pusing melihat semua yang dikerjakan Leon. "Udah dua hari dia nggak tidur. Waktu yang dikasih tinggal tiga hari lagi,"
"Aneh nggak? Kenapa tiba-tiba CCTV jalan mati. Terus CCTV mobil milik Bimo juga, Kayak direncanain menurut gue," Alex menggigit apel ditangannya.
"Emang lo nggak ngerasa?"
"Orang idiot juga tau kalau itu udah direncanain. Masalahnya, nggak ada bukti sedikitpun dari rencana itu." Leon meneguk minumannya hingga setengah. "Semua sidik jari, kronologi, saksi, dan bukti mengarah ke Bimo. Gue tau kalau Bimo suka bawa senjata api. Tapi dia nggak pernah bawa benda tajam," Alex mengerutkan keningnya. "Si bangke pake acara pengaruh alkohol lagi,"
"Nyambung nggak lo?"
Leon mengangguk. "Mereka sengaja buat Bimo mabuk,"
Selanjutnya Alex tidak banyak bertanya. Menghabiskan apel dengan memainkan sebuah game diponselnya. Alex tidak terlalu mengerti soal kasus yang menimpa Bimo. Menurutnya, Bimo bisa menyelesaikan kasus itu sendiri. Pemikiran Bimo yang realistis dalam menjabarkan kronologi kejadian memang masuk akal, dengan tidak ada bukti membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Entah jaksanya yang idiot atau Bimo yang terlalu jenius. Setidaknya ia mempersilahkan Apartemen miliknya untuk digunakan, Alex malas ikut campur dalam meja hijau.
Pintu apartemen terbuka. Tidak membuat kedua lelaki itu mengalihkan pandangan untuk melihat siapa yang masuk. Seolah tahu tanpa harus dipastikan. Luna mengeluarkan barang belanjaannya. Membuka satu bungkus sereal lalu ia bagi dalam tiga mangkuk. Dua mangkuk ia tuang dengan susu coklat dan satunya susu putih. Lalu ia berjalan ke ruang depan. Ia berikan pada Leon yang suka susu putih dan pada Alex yang suka susu coklat.
Diterima Alex dengan senang hati. la pause game yang dimainkan dan ia letakkan ponselnya di meja.
"Bimo?" Tanya Luna menghempaskan tubuhnya ke sofa dibelakang tubuh Leon. Leon duduk di karpet.
"Kamar," Alex menjawab. Perempuan itu mengangguk. Mengalungkan tangannya di leher Leon. Menyembunyikan wajahnya di tengkuk leher Leon. Melihatnya, Alex mendengus pelan. Ketika ia melihat Luna dan Leon. Alex baru mengerti bagaimana perasaan Bimo. Sifat manja Luna yang membuat Leon gemas sendiri. Mereka cekikikan seolah Alex hanya patung.
"Iya, nanti setelah kasus Bimo selesai, sayang," Alex bisa mendengar jelas. Leon tidak lagi berbisik. "Luna jangan gigit," Luna tertawa kecil. Leon mengusap daun telinganya yang digigit Luna.
"Awas kalau lo bohong," Luna berdiri. Menguncir rambutnya asal dan berjalan menuju dapur. "Mau makan apa?" Pertanyaan Luna menggantung begitu saja. Menyusun berbagai jenis makanan ke dalam kulkas sembari memakan satu buah mentimun. Selama tiga hari ini ia bertugas untuk hal konsumsi. Menyediakan makanan tepat waktu. Meski yang ia masak belum seenak masakan Angel. Baik Leon, Alex dan Bimo tidak banyak komplain. Suatu kemajuan untuknya atau mereka makan dalam keadaan nyawa yang melayang. Leon menyipitkan matanya. Meletakkan mangkuk sereal yang ia pegang ke meja. Matanya melirik seluruh laptop yang sedang menunjukkan titik terang.
"Jenius," Gumamnya membuat Alex menoleh dengan kening berkerut. Leon menggeleng tidak percaya. "Oh shit, gue berhasil!" Pekiknya membuat Luna yang mendengar berlari menghampiri Leon. Begitupun Alex yang langsung berpindah tempat duduk. Semua laptop menampilkan sebuah proses yang hampir selesai dalam tiga menit. Warna hijau yang terus bergerak akan segera mencapai garis finish.
"Gak sia-sia gue nggak tidur tiga hari," Leon masih tidak percaya dengan apa yang ia lakukan. Luna membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Ia beranjak dan berlari ke kamar Alex.
"BIM!! LEON MADE IT!" Pekik Luna melesat ke telinga Bimo. Lelaki itu langsung terbangun dalam satu teriakan dan tersadar dari tidurnya. Tubuhnya langsung terduduk dan merangkak turun dari ranjang. Mata Bimo langsung terlihat segar. Ia memeluk bantal dan duduk bersila di samping Leon. Sementara Alex dan Luna duduk di sofa dibelakang keduanya. Menunggu detik-detik proses akan selesai.
Ketegangan terjadi. Tidak ada yang membuka suara. Semuanya fokus pada layar laptop. Bimo yang super aktif mendadak menjadi anak yang kalem. la yang selalu santai dalam menanggapi kasusnya menjadi siaga empat. Ketiganya seperti orang idiot kecuali Alex. Alex memang penasaran, tapi ia tidak setegang Bimo, Leon dan Luna. Ia masih mengisi perutnya dengan suapan-suapan sereal. Berbeda dengan Bimo, perasaannya menggebu-gebu, antara takut bahwa kenyataan itu benar adanya kalau ia yang telah membunuh orang yang ia cintai dengan tangannya sendiri. Memikirkan itu membuat Bimo ingin gantung diri. Di mana akal sehatnya? Menghabisi nyawa Maura. Bimo akan dipenjara seumur hidup. Ia akan tua dipenjara selamanya.
"Ini kayak gue mau nembak gebetan. Deg-degaan," Gumam Bimo masih bisa menenangkan dirinya sendiri.
"Yeah!!" Teriak Bimo dan Leon bersamaan saat processing itu selesai. Leon langsung mengklik dan muncul ratusan vidio disana.
"Kode CCTV," Leon meraih tumpukan kertas di belakang laptop. Membacanya sejenak lalu mengetik kode dalam pencarian. Hingga muncul satu rekaman CCTV dengan durasi empat menit. Bimo menahan napasnya. Ia meremas bantal dipelukannya. Jantungnya memburu cepat. Bimo panik. Tubuhnya bergetar saat Leon memulai rekaman itu. Untuk menelan air liurnya sendiripun, Bimo tidak sanggup. Napasnya tercekat dengan kedua mata menajam.
Jantungnya seakan diremas. Seluruh tubuhnya mati rasa. Disana. Dilayar laptop memperlihatkan seorang perempuan berambut panjang. Meski gambar yang di tampilan hitam putih.bBimo masih mengenal lekuk tubuh saatbperempuan itu keluar dari sebuah mobil.
Itu Maura. Selanjutnya Bimo menutup kedua matanya. Lelaki yang menghampiri Maura adalah dirinya. Dipengaruhi alkohol, dengan langkah yang berantakan, tubuh Bimo memeluk perempuan itu. Beberapa kali tubuhnya hendak jatuh ke aspal, Maura selalu menahannya sekuat tenaga agar lelaki yang dicintainya tidak jatuh.
"Its, Me," Ucapnya pelan.
"Ahh," Bimo meremas rambutnya dengan kedua tangan. Menundukkan kepalanya dengan penglihatan yang tiba-tiba kabur. Dua butir air mata lolos begitu saja tanpa ada yang tahu. Meresap dikarpet dan tidak menimbulkan bekas disekitar mata. Rasa sakit dan sesak disekujur tubuhnya. Seperti tidak ada oksigen disekitarannya. Membuat Bimo kesulitan mengisi paru-parunya yang bergejolak ingin berteriak dengan lantang memaki dirinya sendiri.
Tidak ada orang lain di CCTV selain dirinya. Melihat Maura yang kesulitan menahan bobot tubuhnya untuk masuk ke mobil. "Gue tersangkanya. Gue," Gumamnya dengan napas tersengal. Bimo menggeleng kuat. Ia tidak sanggup dengan kenyataan yang sebenarnya. Alex menajamkan matanya, meletakkan mangkuk sereal di sofa sebelah tempatnya duduk. Fokus Alex bukan pada Maura yang masih berusaha membantu Bimo yang tertidur di aspal. Ada yang bergerak di sudut kanan layar. Awalnya Alex pikir itu hanya laptop Leon yang bermasalah. Setelah ia pastikan, itu bukan berasal dari laptop. Dan Alex mengerti kenapa Maura berusaha keras memaksa Bimo masuk ke mobil.
"Ada orang," Ujar Alex semakin menajamkan penglihatannya.
"Mana?!" Tanya Leon cepat. Ia menajamkan matanya. Belum lama Alex mengatakannya. Dugaannya benar. "Shit!" Alex meninju kepala Bimo yang duduk didepannya. Menyadarkan lelaki itu yang sedari tadi tertunduk. "Not you, dude!"
Bola mata Bimo bergerak. Kalimat Alex menusuk telinganya membuat Bimo mengangkat kepalanya perlahan. Kembali melihat layar laptop. Seketika napasnya menjadi berat. Luna membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Menahan napasnya, matanya terpejam kaget bersamaan dengan air mata yang lolos sendiri dari mata cantiknya.
"MATI LO BANGSAT!"
"BIM!"
Bimo melempar bantal di pelukannya dan mengambil kunci motor Alex yang tergeletak di atas meja tepat dihadapannya. Napasnya naik turun dengan cepat, kedua tangan mengepal kuat. Bimo keluar dengan emosi yang membara. Langkah lebar tanpa bisa Alex raih lengannya. Bimo sudah menghilang dibalik pintu. Leon berlari menyusul. Sedangkan Alex masih duduk di sofa bersama Luna yang masih tidak bergeming di tempatnya. Selanjutnya suara isakan terdengar dari perempuan itu.
Alex menghembuskan napasnya. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan campur aduk. Rekaman masih berjalan. Dimana aksi kejahatan dimulai.
"Fuck," Rintih Alex. Dadanya ikut sesak melihatnya. ia menarik rambutnya kasar dan gusar. Ia tidak terlalu mengenal Maura. Mereka bukan teman satu SMA dulunya. Bagaimana Bimo bisa mengenal perempuan itu, Alex mengira Luna yang mengenalkannya, tapi bukan Luna di balik kisah romansa Bimo dan Maura. Alex merasakan apa yang Bimo rasakan saat ini. Jika ia jadi Bimo, Alex akan melakukan hal yang sama bahkan lebih gila lagi. Melihat Angel terluka saja membuatnya kalang kabut, apalagi kejadian yang dialami Bimo. Alex tidak akan memberikan kesempatan untuk siapapun.
"Mau ikut?" Alex berdiri. Mengulurkan tangannya yang di sambut Luna tanpa pikir panjang. Ia menggenggam kuat tangan Alex dan langkah yang menegang sekaligus lemas. Luna masih menangis. Tersedu-sedu dengan terus meraih kepalanya. Alex tahu kemana Bimo dan Leon pergi. Hanya ada satu tujuan saat ini. Alex tetap tenang meski emosi menyelimuti. Ia sendiri harus menenangkan Luna dengan menepuk punggung perempuan itu. Mobil Bimo sudah dimodifikasi menjadi mobil balap. Maka Alex hanya perlu merealisasikan dijalanan.
Begitu sampai. Alex melihat Bimo dan Leon baru saja keluar. Pertama kalinya. Alex melihat Bimo semarah itu. Tidak ada Bimo dengan senyuman menjijikan. Tidak ada Bimo dengan kejahilan dan kalimat menggoda. Emosi sudah menyelimuti lelaki itu. Berkali-kali Leon mencoba menyentuhnya, Bimo langsung mendorong dan memberikan pukulan ditubuh Leon.
"Jangan ikut campur." Bimo menunjuk Leon murka, naik ke motor. Menghidupkan mesinnya dan melesat jauh bila Alex tidak tepat waktu mencabutnya kunci motor miliknya.
"KEMBALIIN BANGSAT!"
"Lo mau kemana? Hah," Leon membungkuk. Pukulan dahsyat diperutnya membuatnya sakit dan mual seketika. Leon berusaha menegapkan tubuhnya, rasa sakit yang ia terima tidak sebanding dengan rasa sakit yang diterima Bimo saat ini. Leon bisa mengerti. "Gue ngerti Bim! Gue bilang tunggu! Ngerti kalimat tunggu nggak lo!"
"Gue nggak ada waktu!" Bimo melangkah turun dan mencoba mengambil kunci motor ditangan Alex. Jika Leon tidak bisa melawan, berbeda dengan Alex yang diberikan pukulan ia balas dengan pukulan. Hingga Bimo tersungkur akibat adu pukul dengan Alex.
"Lo mau cari kemana?! Kota sebesar ini mau lo kelilingin? Iya?!" Tanya Leon ikut emosi. Ia mengeluarkan ponsel di saku celananya. "Gue akan lacak keberadaannya! Sabar bangsat!"
Alex tertawa sakartis. "Jadi dia udah keluar?" Leon mengangguk. "Waw. Uang selalu berkuasa," Gumamnya.
Leon tidak menanggapi kalimat Alex. Ia mencoba melancak ponsel seseorang. Membuat Bimo frustasi. "OX. Dia di OX sekarang."
"GUE YANG BAWA!" Pekik Alex saat Bimo kesetanan merebut kunci motor ditangannya. "Lo boleh emosi. Jangan lampiasin ke orang yang udah bantuin lo," Alex menunjuk wajah Bimo tidak suka. Bukan terhakimi, Bimo membalas sengit tatapan Alex.
Leon dan Luna tertinggal jauh, mereka menggunakan mobil dan jalanan cukup padat. Sedangkan Alex mengendarai motornya tidak kalah gila. Belum lagi desakan Bimo yang menyuruhnya untuk lebih cepat. Memasuki jalanan sempit menuju OX. Sampai sebuah bangunan tua itu terlihat jelas. Bimo langsung melompat turun sebelum Alex Menghentikan laju motornya. Lelaki itu langsung menendang pintu tersebut hingga terbelah menjadi dua. Suara tawa, teriakan, celotehan dan obrolan di dalam sana yang terdengar sampai ke luar mendadak langsung bungkam dengan kemunculan Bimo. Tidak sulit untuk menemukannya, orang yang di carinya sudah berdiri di atas ring.
"MONA!! BEDEBAH LO JALANG!"
Sontak orang-orang yang sedang duduk disana itu langsung berdiri. Bimo berjalan dengan langkah lebar. Langkah yang diselimuti emosi, dendam, murka, dan tidak bisa ia terima. Bimo langsung naik ke atas ring dengan mudah dan cepat. Mencekik leher perempuan itu dengan satu tangannya. Kilatan benci terlihat di kedua matanya. "Lo bunuh cewek gue." Ucap Bimo pelan. Tajam dan tidak terbantahkan. "Kenapa lo bunuh dia."
Mona memukul-mukul tangan Bimo. Ia kesulitan bernapas, Bimo mencekal lehernya dengan sangat kuat. Wajah Mona sudah memerah, menandakan darah berhenti mengalir ke otaknya. Mulutnya terbuka lebar berusaha memasukkan oksigen ke paru-paru. Mata merah Bimo tidak bisa menunjukkan sisi manusia untuk melepaskan perempuan dihadapannya. Saat rekaman CCTV kembali berputar dalam ingatannya. Bagaimana cara sadis tangan Mona ketika membunuh Maura. Tidak. Bimo tidak bisa melihatnya. "Lo." Bimo semakin mencengkaram kuat. "Lo bunuh Maura. Lo bunuh cewek gue, JALANG!" Bimo menghempaskan tubuh Mona hingga perempuan itu hampir jatuh bila tidak ada pembatas yang mengelilingi ring. Mona terbatuk, meraih lehernya dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Bimo berjalan mendekati perempuan itu, sementara orang yang berada di OX hanya bisa menyaksikan. "Gue akan buat lo sujud dan minta maaf sama cewek gue. Jadi, gue akan kasih jalan buat lo untuk ketemu sama dia."
"Bim," Alex menarik tubuh Bimo menjauh. Tidak ingin mengambil resiko jika Bimo sungguh melakukannya. Lelaki itu memberontak hebat saat Alex menariknya.
"Mati lo. Mati lo ditangan gue!"
Mona tertawa. Tawa yang mengundang segala arti. Mengejek? Puas? Menantang? ataupun geli sendiri. Seperti orang gila. Mona berdiri dengan tertatih. la menyisir rambutnya dengan jemari tangan dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia berdiri dihadapan Bimo yang menatap tajam ke arahnya. "Oh. Tau dari mana?" Tanya Mona menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Ia tersenyum dengan kedua alis terangkat ke atas. "Ahh," Mona mengangguk pelan. "Gue lupa kalau Leon seorang hacker. Seharusnya langsung gue hancurin aja CCTVnya. Salah gue, sih, lo harus tau kejadiannya."
"Kenapa?" Bimo mencoba meredamkan emosinya. Menyingkirkan tangan Alex yang menahan tubuhnya. "Kenapa lo bunuh dia?"
"Masih tanya?" Mona mengembalikan pertanyaan dengan raut wajah tidak percaya. Perempuan itu tertawa pelan dan merubah ekspresinya menjadi serius. "KARENA DIA REBUT LO DARI GUE!"
"GUE BUKAN MILIK LO!" Nafas Bimo menjadi kasar dan dadanya naik turun dengan cepat.
"Tapi gue cinta sama lo, Bim," Mona melunak. Ia seperti orang yang tidak tahu arah, menarik rambutnya frustasi. "Gue sayang sama lo. Gue nggak mau ada cewek yang dekat sama lo kecuali gue,"
"Sinting." Bimo tertawa. Lebih terlihat seperti seorang iblis yang berhasil menjebak manusia ke dalam perangkap. "Lo bukan cinta. Tapi lo terobsesi!"
"GUE CINTA!" Pekik Mona tidak terima. Ia menatap tajam Bimo dengan tangan mengepal di sisi tubuh. Mona berjalan mendekati Bimo. Pandangan lurus ke retina lelaki yang berhasil mencuri perhatiannya. Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu tergila-gila dengan seorang Bimo. Cinta. Gila. Napsu. Mine.
"Lo tau kenapa gue bunuh dia?" Mona
memiringkan kepalanya, mendekatkan
bibirnya ke telinga Bimo. "Gue akan gila
kalau menyangkut tentang lo. Kalau
gue nggak bisa jadiin lo milik gue, maka
tidak ada satu perempuan pun yang bisa
milikin lo, babe," Tangan kanannya
mengelus pipi Bimo dan terus turun
melewati dada Bimo, terus turun ke
perutnya dan berhenti dicelana Bimo.
Mona menggigit bibir bawahnya. Ia
tersenyum dengan tingkat kewarasan nol
persen.
"Lo stres."
"Ehm," Mona mengangguk, mengangkat baju Bimo sedikit agar tangannya bisa masuk ke dalam celana lelaki itu. "Karena gue nggak suka benih lo ada di dalam tubuh dia," Bisik Mona sensual. Kepalan tangan Bimo terlepas sempurna, bola matanya bergerak. "Iya, Bim. Maura hamil anak lo." Bisiknya kecil.nBagaikan Bom yang meremukkan seluruh tubuh Bimo.
"Gue ngggak akan biarin benih itu renggut lo dari gue." Mona mengerutkan keningnya, mengelus pipi Bimo. "Gue bisa ngandung anak lo. Gue bisa jadi Maura buat lo," Mona menghapus air mata di pipi Bimo dengan lembut. Bahkan Bimo sendiri tidak sadar ada bulir bening yang jatuh dari matanya. "Gue nggak salah. Gue udah kasih peringatan berulang kali sama dia. Tapi dia ngelawan gue buat kasih tau lo tentang kehamilannya malam itu. Jadi gue bisa apa?" Mona melingkarkan tangannya dileher lelaki yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. "Terpaksa gue keluarin uang ratusan juta buat kasih hasil otopsi dan kesaksian palsu. Gue nggak salah, Bim. Gue udah kasih kesempatan itu berulang kali sama dia. Tapi dia nggakjalanin perintah gue," Ujarnya dengan nada dimanjakan.
"Lo bunuh dua nyawa," Bimo membuka kedua matanya, menjauhkan tubuh Mona yang merayap seperti cicak ditubuhnya. Mona merengut manja dan hendak memeluk lelaki itu kembali jika tidak ada kalimat yang membuat sekujur tubuhnya kaku.
"Kita ketemu di pengadilan."
-
"Pesan satu pelukkan hangat, nggak pake ditunda nanti dingin. Kalau bisa yang ada kasih sayang di dalamnya," Punggung yang membelakanginya berputar. Menatapnya kaget. "Hai. Cantik," Godanya mengedipkan sebelah mata.
"Nando?!" Angel tersenyum lebar. Masih dengan keterkejutannya "Hai!" Lanjutnya melambaikan tangan, padahal jaraknya tidaklah jauh. Hanya setengah meter, meja bertender sebagai pemisah keduanya. "Kamu kok bisa disini?"
"Emm," Nando menyipitkan matanya. Mencari sesuatu disetiap sudut Horison. "Nggak ada banner yang menuliskan bahwa seorang Nando nggak boleh masuk kan?" Angel terkekeh, diikuti Nando yang tertawa renyah.
"Mau pesan apa?"
"Pesan yang jual bisa nggak?" Angel mendesis pelan. Nando tertawa. "Katanya lo pulkam? Kok cepet banget?"
"lya. Kamu nggak liburan?" Angel memberikan segelas expresso yang baru saja ia buat untuk Nando.
"Maunya liburan. Tapi nggak ada yang mau gue ajak liburan," Angel melipat tangannya di meja. Nando melakukan hal yang sama sehingga keduanya saling berhadapan. Angel meneliti wajah Nando. Sama seperti Alex, Nando punya garis rahang yang kuat, bola matanya coklat, hidung yang mancung dan senyuman yang manis. Meski menurut Angel senyuman Alex adalah yang termanis. Ia menegakkan tangan kanannya. Bertopang dagu. "Kamu punya alis yang tebal. Sama kayak Alex. Aku suka aja," Angel tersenyum. "Kayaknya udah lama banget aku nggak lihat kamu,"
"Lo kangen, ya?" Tanya Nando dengan akhiran panjang dikalimatnya. Ia mencolek hidung mungil dihadapannya. Angel cemberut dan kembali menegapkan tubuhnya. "Kamu mau makan? Nanti aku yang traktir,"
"Nggak," Nando menggeleng. "Kalau mau traktir, jangan di Horison. Banyak kafe lain. Gimana kalau besok?"
"Em?"
"Iya besok," Angel menggigit bibir bawahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Melihat gerak-gerik Angel, Nando tahu alasannya. "Nggak boleh sama Alex?"
"Apa?"
Nando tertawa kecil. Menghembuskan napasnya, ia melipat tangannya di dada. "Alex itu.. Gimana, ya, jelasinnya," Nando menunduk, menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Lo tau kalau dia suka berpindah selangkangan? Maksud gue-" Nando membasahi bibirnya salah tingkah dengan kalimat frontal yang ia keluarkan barusan. "Suka gonta-ganti cewek,"
"Emang kamu nggak?" Tuding Angel.
"Kalau lo mau lepas dari Alex. Gue nggak ngelakuin itu lagi. Sayangnya si brengsek itu yang ketemu lo duluan. Bukan gue,"
'Gak percaya. Karena Alex pernah mengatakan hal yang sama lalu mengingkarinya sendiri,' Lanjutnya dalam hati. Angel tersenyum miris.
"Boleh aku tanya kenapa kamu sama Alex berantem? Maksud aku, kenapa kalian nggak temenan aja? Kan seru," Angel memberi saran. Nando terkekeh pelan.
"Ih, aku serius tau," Ujarnya cemberut.
"Kenapa nggak lo tanya sama Alex?" Angel menghembuskan napasnya dan memutar bola matanya malas. "Bukan gue yang buat masalah, tapi dia," Nando suka reaksi Angel yang cemberut. Membuatnya gemas ingin mengunyel pipi chubby itu.
"Kamu ceritain makanya. Nanti aku bujuk dia minta maaf sama kamu," Mendengar itu Nando terbahak seketika.
Minta maaf? Tunggu dulu. Seorang Alex minta maaf? Betapa damai dunia jika itu sampai terjadi. Nando tidak pernah membayangkan dirinya bisa akur dengan makhluk species Alex. Seperti dua sudut yang tidak akan bisa bersatu. Bumi dan langit. Malam dan siang. Bulan dan matahari. Air dan minyak. Intinya tidak akan bisa.
Nando menyeka ujung matanya yang berair. Angel mendengus. "Aku lihat kamu sama Alex itu mirip. Kalian sama."
"Sama-sama suka sama lo,"
"Em?" Angel mengerutkan keningnya. Nando hanya menunjukkan seulas senyuman saat reaksi Angel biasa saja. Ia menyesap expresso hingga setengah. "Lo belum mau pulang?" Angel menggeleng.
"Udah jam sembilan,"
"Aku tunggu jemputan,"
"Alex?" Angel mengangguk pelan.
Nande menghembuskan napasnya. "Hidup lo nggak akan selalu tentang Alex, Ngel. Lo dibutakan tanpa sadar," Nando mengambil jaketnya yang menggantung di kursi sebelah. "Gue akan kasih tau betapa bejatnya cowok yang lo suka itu. Nggak sekarang, gue lihat lo lagi bahagia. Bahagia lo, bahagia gue juga,"
Angel menatap kepergian Nando. Lelaki itu melambaikan tangan sebelum masuk ke mobil. Terlihat jelas aktivitas di luar, Angel menghembuskan napasnya pelan. Membuka celemek dan ia gantung di dapur.Angel sudah mengirimkan pesan pada Alex sejak jam lima. Lelaki itu tidak membalas ataupun mengangkat telpon darinya. Perasaannya campur aduk. Was-was dan takut. Angel takut Alex akan menghilang lagi. Kepalanya menggeleng kuat, tanpa sadar ada genangan air dipelupuk matanya. Jantungnya berpacu kencang. Saat ia menghubungi Bimo, Leon ataupun Luna, tidak satupun dari meteka yang mengangkat panggilannya.
Rasanya sesak. Angel panik. Tanpa memikirkan luka dikakinya. Angel berlari keluar dengan kalut. Ingin menangis dengan kencang. Menghilang. Itu bagaikan trauma sendiri untuknya. Angel tidak ingin kejadian yang sama terulang. Dimana ia tidak bisa bertemu Alex. Tidak ada lagi lelaki yang suka mengatur dan menjaganya.
Semua pikiran Angel tidak akan terwujud. Tepat saat dirinya membuka pintu, sebuah motor berhenti di pinggir jalan. Angel mengetahui siapa itu, tanpa pikir panjang dan tidak peduli terhadap orang-orang yang menatap bingung ke arahnya. Angel berlari, Matanya tidak lepas dari pupil lelaki yang tersenyum padanya. Tubuhnya menabrak orang-orang yang menghalangi jalannya. Angel hanya tidak ingin telat sedetikpun. Angel tidak ingin Alex pergi jika ia telat memeluknya.
Angel tidak tahu jika itu sangat menyakitkan. Kepergian Alex. Menghilangnya Alex. Seakan satu anggota tubuhnya ikut di bawa lelaki itu. Sekarang Angel bisa menjangkaunya. Ia memeluknya. Masih merasakan aroma maskulin dari tubuh Alex. Isakan kecil mulai terdengar. Semakin mendekatkan tubuhnya pada Alex.
"Ngel? Hei? Kenapa nangis?" Alex menatap bingung. Meraih kedua bahu Angel untuk melepaskan pelukan perempuan itu yang tiba-tiba agar ia bisa melihat wajah cantiknya dengan jelas. Angel menggeleng kuat, semakin menekankan tubuhnya pada Alex.
"Aku pikir kamu menghilang lagi," Ujarnya terisak. Alex mengangkat satu alisnya ke atas. "Kamu nggak angkat telpon aku, nggak bales sms aku," Angel mendongak dengan wajah yang basah. la sesenggukan seperti anak kecil. "Kak Bimo, Kak Eon dan Kak Luna juga nggak bisa dihubungi,"
Wajah bingung Alex pecah menjadi sebuah tawa ringan. Ia menghapus sisa air mata Angel dengan punggung tangannya sembari merasa geli dengan tingkah Angel. "Emang gue mau pergi kemana, em? Lo tujuan gue,"
"Nggak tau. Aku takut kamu pergi. Aku nggak mau kamu pergi lagi," Angel menggeleng kuat. Dibalas anggukan Alex dan membawa tubuh mungil itu dalam dekapannya. Lengan atasnya menekuk membuat ototnya terpampang jelas menutupi kepala Angel. Angel hilang saat Alex memeluknya.
"Jangan nangis lagi," Alex mencium kepala Angel. Harum shampo yang sama dikepalanya. Mengusap bahu perempuan itu dan kepalanya secara bergantian. "Nanti orang kira lo hamil terus gue nggak mau tanggung jawab," Bisiknya membuat Angel langsung melepaskan pelukkannya dan meninju dada Alex.
Alex tertawa kecil melihat Angel merengut kesal. "Nyebelin!"
"Aku udah duga kalau Kak Bimo bukan pelakunya," Ujarnya bangga, pemikirannya tentang kasus Bimo seperti yang ia pikirkan selama ini. Jika Bimo tidak bersalah. "Terus yang bunuh siapa? Kok dia tega banget?" Angel mendongak. Menatap kelopak mata yang tertutup. Alex mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Menjadikan tubuh Angel seperti guling.
"Mona," jawab Alex.
Kedua mata cantik itu membulat. Angel menyingkirkan tangan Alex di atas perutnya dan merubah posisinya menjadi tengkurap. Alex sedikit kesal posisinya berubah. "Mona? Kak Mona yang pernah-"
"Yang pernah kurung lo di kamar mandi," Lanjut Alex mengembalikan Angel kembali ke posisi semula.
"Bukannya dia dipenjara?" Angel mengelus lengan Alex yang melingkar dipinggangnya. Angel bingung sendiri. Karena yang Angel tahu, Mona mendekam dijeruji besi karena kasus dirinya waktu itu. Kenapa dia bisa keluar padahal masa tahanan masih beberapa bulan lagi.
"Uang berkuasa,"
Angel menghembuskan napasnya, mendorong wajah Alex menjauh dari lehernya. "Jangan ngendus! Aku geli!" Ujarnya kesal membuat Alex tersenyum kecil. Alex menjauh sebentar dan kembali lagi menyembunyikan wajahnya disana. "Alasan dia membunuh, kenapa?"
"Lo tau sendiri dia terobsesi sama Bimo. Jadi dia nggak suka ada cewek yang deket sama cowok itu,"
"Oh iya. Alasan dia jahat sama aku juga karena dia kira aku suka sama Kak Bimo. Padahal nggak,"
"Jadi lo sukanya sama siapa,"
Angel mengulum senyum sebelum menjawab. "Nando," Alex melonggarkan pelukannya dan mengangkat kepalanya menatap Angel. "Nando itu baik. Dia ganteng, tadi aja dia temuin aku di Horison,"
"Kenapa lo nggak bilang sama gue?" Tanya Alex tidak suka. Angel menggerakkan bola matanya ke seluruh sudut kamarnya. Kemana saja asal tidak melihat mata Alex.
"Emang kamu bales pesan aku?" Sindirnya. "Tadi juga dia mau ajak aku pulang. Tapi gimana ya,"
"Oh. Lo mau buat gue cemburu?" Angel kelagapan, Alex tersenyum miring. "Iya? Angelista?"
"N-nggak," Ujarnya gugup. Memilin lengan baju Alex yang mengunci tubuhnya.
"Kalau nggak. Lihat gue,"
"Nggak mau," Angel memejamkan kedua matanya cepat. "Kamu minggir ih, tubuh kamu berat," Angel mendorong-dorong bahu Alex, berusaha meloloskan kedua kakinya yang dikunci oleh lelaki itu.
"Awas kesenggol. Nanti ada yang bangun," Angel berhenti bergerak. Alex mengulum senyum. "Nggak papa. Asal lo mau buat dia tidur lagi,"
Angel menyatukan kedua tangannya di dada. Meremas bajunya untuk melampiaskan rasa gugup dan gemuruh detak jantung seperti menggelegar di sekujur tubuhnya. "Open your eyes," Bisik Alex pelan. Alex menekuk tangan kirinya sehingga otot lengan atasnya tercetak jelas. Tangan kanannya masih berada di atas perut Angel. "Buka atau gue cium?" Angel membuka matanya lebar. Menatap langit-langit kamarnya tanpa bergerak sama sekali. Alex terkekeh pelan. Ia merubah posisinya menjadi duduk sehingga Angel bisa bernapas lega.
"Kalau gue pasang AC disini, nggak masalah kan?" Alex membuka bajunya. Menyisakan celana jins hitam yang bagian pinggangnya sudah turun ke bawah, memperlihatkan celana dalamnya berwarna biru. Bukan celana segitiga, tapi itu boxer. Manda yakin.
"Nggak. Aku nggak bisa dingin Alex," Ujarnya cemberut. la menggelitiki pinggang Alex dengan kakinya, lelaki itu sedang melepas dahaga. Alex mencekal kedua kaki Angel dengan satu tangannya. Angel tertawa dan berusaha melepaskan diri. Tetap saja, dua kakinya tidak bisa melawan satu tangan Alex.
Alex sudah kembali berbaring. Tangan kirinya digunakan Angel sebagai bantal. "Perempuan yang Kak Bimo cintai itu wujudnya apa?"
"Manusia,"
"Bukan itu, ih," Angel bergerak, merubah posisinya menjadi miring menghadap Alex. "Maksud aku. Wajahnya, pasti cantik."
"Masih cantikan lo,"
Angel memutar bola matanya malas. Meletakkan dagunya di dada telanjang Alex. "Dia pasti cantik banget. Udah buat Kak Bimo jatuh cinta sama dia," Alex mengangguk seadanya. "Kamu punya fotonya? Aku penasaran,"
Alex menghembuskan napasnya malas, Angel terus merengek dan menggoyangkan tubuhnya. Alex mengambil ponselnya yang tergeletak disebelah tubuh Angel. Perempuan yang berada dalam dekapannya begitu semangat dan ikut menatap layar ponsel milik Alex. Mencari nama Bimo dikolom pencarian. Menunggu loading sebentar sampai akhirnya satu foto terlihat. "Bimo udah hapus semua fotonya di instagram. Terakhir nge-post juga delapan bulan yang lalu. Sebelum kejadian pembunuhan,"
"Yah, nggak keliatan ceweknya," Angel merebut ponsel Alex. Mendekatkan wajahnya ke ponsel dengan mata menajam. "Kelihatan dari samping aja cantik. Apalagi dari depan," Angel tersenyum melihat dua manusia di dalam foto yang terlihat begitu bahagia. Caption dibawah foto tersebut sudah menggambarkan bagaimana seorang Bimo begitu mencintai Maura.
Kejadian teragis yang merenggut nyawa Maura. "Aku berharap Kak Bimobmendapatkan perempuan yang bisa menggantikan Maura dihatinya," Ujarnya mengusap air matanya yang tiba-tiba keluar. Angel terharu melihat foto itu.
"Lo nangis?" Alex terkekeh pelan. "Cengeng banget jadi orang," Angel mendegus, melemparkan ponsel yang ia pegang ke atas perut sixpack Alex. "Bimo juga biasa aja," Mencium pucuk kepala Angel singkat.
"Kak Bimo pasti sedih, kamu aja yang nggak tau kalau dia nangis,"
"Bimo nggak semenye itu,"
"Emang kamu pernah tanya sama Kak Bimo? Sedih apa nggak, marah apa nggak, gimana perasaannya, terus kalau dia mau nangis, kamu masih mau tungguin dia sampai semua bebannya hilang? Dia emang nggak pernah nangis didepan kamu sama Kak Eon. Siapa yang tau dibelakang dia terpukul dengan kematian kekasihnya," Angel merubah posisinya menjadi duduk bersila menghadap Alex.
"Dia nggak mau buat orang disekelilingnya khawatir mikirin dia, tapi kamu sama sekali nggak paham," Alex menghembuskan napasnya malas. Meletakkan tangan kirinya dipangkuan Angel. "Coba kamu dengerin. Aku yakin Kak Bimo nggak sekuat itu,"
"Yah, yah, yah.." Ujar Alex malas.
"Kamu ih, aku serius. Coba kamu yang ada
di posisi dia. Kalau aku mati-"
"Apaan sih, gue nggak suka, ya."
"Tuh lihat, baru perumpamaan aja kamu udah marah-marah. Apalagi Kak Bimo,"
"Iya Angel, iya. Nanti gue samperinnBimo, gue tanya dia terus kalau dia nangis gue peluk, gue pukpuk punggungnya," Angel terbahak. "Ck. Ya kali gue ngelakuin itu," Alex menyunggingkan senyuman kecil melihat Angel tertawa. Mengapit tubuh Angel dengan kedua kakinya. Menariknya mendekat. "Puas ketawain gue, em?"
"Nggak, nggak," Angel menggeleng masih dengan sisa-sisa tawanya. "Aku bayangin kamu yang kayak gitu beneran. Lucu tau,"
"Cowok punya cara sendiri buat hapus kesedihannya. Nggak harus curcol seperti kebanyakan cewek yang galau berkepanjangan." Alex bangkit, dengan cepat menyelipkan tangannya dibawahbketiak Angel. Mengangkat tubuh itu hingga sekarang tidur di atas tubuhnya. Angel melotot, tidak sempat menghindar. Alex memeluknya, mengunci tubuh dan kakinya. "Cerewet juga ternyata," Alex menggigit hidung mungil Angel gemas, dibalas Angel dengan menarik rambut Alex. Alex tertawa. Membuat Angel salah tingkah. Angel mengapit kedua tangannya di dada. Ada yang ia lindungi sehingga Alex tida bisa merasakannya. Jujur saja, Alex geli sendiri. "Kecil juga," Ejek Alex.
"Kecil juga ciptaan tuhan. Bukan ciptaan tangan orang," Angel menjulurkan lidahnya.
Alex menggeleng geli dengan kalimat Angel barusan. Kalimat yang bisa dibilang vulgar yang biasanya Angel tidak suka jika Alex membahasnya. "Kalau besar. Berarti itu ciptaan gue,"
"Ih mesum!" Angel memberontak ingin meloloskan diri. Mengeluarkan tangannya dan posisinya seperti ingin push up. Angel tersenyum saat usahanya berhasil. Ia hanya perlu bergerak cepat, keluar dari lengan kokoh yang menahan tubuhnya. Sebelum itu terjadi, Alex langsung memeluknya erat, tangannya belum sempat ia selipkan di dada, mata Angel membulat sempurna dengan mulut terbuka. Merasakan dadanya menempel di dada Alex.
"Kayaknya nggak terlalu kecil," Angel berusaha mengangkat tubuhnya lagi. Alex mengulum bibirnya melihat usaha Angelbyang berakhir sia-sia.
"Udah, sih. biasa aja," Angel mengerutkan keningnya dan menatap Alex cepat. Biasa untuk Alex, tidak untuknya! "Kenapa?"
Angel menggeleng pelan. Perlahan tangannya yang menopang bobot tubuhnya sendiri mengendur. Ia meletakkan kepalanya di dada Alex. Sehingga tubuhnya bersentuhan dengan tubuh lelaki itu. Hanya kaos tipis yang menjadi penghalang.
"Alex?" Panggil Angel pelan.
"Em," Alex menyahut. Menaikkan sedikit baju perempuan itu, mengusap pinggang Angel.
"Nando bilang kamu nggak akan bisa netap di satu perempuan. Lebih tepatnya-"
"Selangkangan?" Angel tidak mengangguk ataupun menjawab. "Gue bilang jangan dengerin apa kata orang,"
"Kata orang itu selalu benar," Angel bergumam, mengangkat kepalanya. Meletakkan kedua tangannya di sisi wajah Alex. Sehingga keduanya saling berhadapan. Rambut Angel jatuh di sisi bahunya, sebagian menyentuh pipi Alex. "Apa aku harus ngelakuin hal itu agar kamu nggak pergi lagi?"
"Nggak," Alex menyelipkan rambut Angel kebelakang telinga. "Tanpa kita lakuin itu. Gue nggak akan pergi, Ngel."
"Kenapa kamu nggak maksa?"
"Emang lo mau gue paksa? Kesannya bukan Making Love tapi Having Sex,"
"Apa bedanya? Keduanya sama-sama sex menurut aku,"
Alex mengerutkan keningnya."Kok, lo jadi bahas sex?"
"Aku penasaran aja dengan apa yang suka kamu lakuin,"
Alex mengusap leher Angel hingga. turun kepinggangnya. Menerobos masuk ke baju perempuan itu dan berhenti ditengkuk Angel, hingga baju yang Angel kenakan terangkat ke atas. "Having sex, dilakukan tanpa dasar cinta, melainkan hanya sekedar perasaan tertarik belaka. Sedangkan Making love atas dasar suka sama suka, dan cinta sama cinta. Sensasinya lebih luar biasa dari Having sex."
"Kamu pernah?"
"Kecuali Making love, gue belum tau sensasinya gimana,"
Angel mengangguk, menatap bola mata Alex yang bergerak pelan menelusuri wajahnya. Begitu pula dirinya dengan detak jantung yang bergemuruh cepat. Napasnya tiba-tiba menjadi berat. Mengepalkan kedua tangannya. Angel menatap lama bibir yang berhasil mencuri first kiss miliknya. Tanpa sadar ia mendekatkan wajahnya hingga hidungnya bersentuhan dengan hidung Alex. Keinginannya itu akan terwujud jika tidak ada sebuah ketukan pintu kamar. Keduanya langsung terlempar ke bumi, menatap pintu kamar yang tertutup. Wajah merah Angel ia tutup dengan bantal saat Alex menggulingkan tubuhnya di kasur, lelaki itu berjalan membuka pintu. Angel pasti sudah gila ingin mencium lelaki itu terlebih dahulu.
"Ngel? Gue ke sebelah bentar," Angel dengan sigap membuang bantal diwajahnya.
"Ngapain!?" Tanyanya cepat. Angel berdiri, melihat seorang perempuan yang hanya mengenakan tanktop dan celana pendek dihadapan Alex.
"Klosetnya mampet. Jadi gue mau minta tolong, siapa tau dia bisa benerin kamar mandi gue," Jawab perempuan itu yang Angel kenal namanya adalah Ani.
Angel berjalan mendekati Alex. "Kenapa nggak panggil tukang aja?"
"Udah malem. Takutnya gue mencret tengah malem. Soalnya suka mules gitu,"
"Masa sih? Kan baru jam sepuluh. Panggil pemadam kebakaran aja. Dua puluh empat jam bisa bantu masyarakat." Angel berbicara menggebu-gebu, ia tidak suka melihat Ani. Lagi pula selama ini Ani tidak pernah menyapanya. Tiga tahun lebih Angel tinggal bersebelahan dengannya, berusaha menjadi tetangga kamar yang baik sudah ia lakukan. Tapi, Ani tidak pernah meresponnya dan terus mengabaikan, bahkan menyebarkan gosip tentang dirinya.
"Ya kali panggil pemadam kebakaran cuma buat benerin kloset doang," Ani mengibaskan rambutnya kebelakangndengan tangan yang terlipat di dada. Angel yakin Ani sengaja memperlihatkan dadanya yang sexy itu pada Alex. Mencondongkan tubuhnya agar Alex bisa melihatnya. Menjijikan. Angel geli sendiri.
"Kalau gitu aku aja yang telpon. Tenang aja, pulsanya gratis." Angel berbalik ke dalam kamar. Mencari ponsel sementara Alex malah menyandarkan tubuhnya ke pintu. Ia melipat tangannya di dada dengan mengulum senyum.
Alex tidak tahu jika Angel bisa berperilaku seperti itu pada orang. Alex tahu alasannya. Perempuan itu sedang diselimuti rasa cemburu. Ahh.. Manisnya...
Alex menoleh saat lengan atasnya dicolek, perempuan itu mengedipkan sebelah matanya dan semakin membusungkan dada. "Sebelah, yuk," Ajaknya sensual dengan mengelus otot kekar milik Alex.
Alex menurunkan matanya melihat dua benda yang bisa dikatagorikan sangat besar. Ah tidak. Tangannya tidak cukup untuk meremasnya. Sadar Alex melihat dada miliknya, Ani semakin menarik tanktopnya ke bawah dengan gaya menggoda. Alex mengangkat alisnya dan tersenyum. Terkesan ambigu.
"Bajunya nggak perlu diturunin segala," Angel berdiri dihadapan Ani. Melipat tangannya di dada, menantang Ani. "Maaf ya mbak, kebanyakan makan kelapa ya makanya jadi gatel,"
Ani semakin membusungkan dadanya seolah mengatakan. Nih punya gue gede. Mana punya lo, telur lepek juga. Angel menghembuskan napasnya kasar, menurunkan tangannya dan kini berada dipinggang.
"Mbak mau goda pacar saya?" Angel mulai tersulut emosi, Alex hanya bisa menatap Angel terpesona. "Dia nggak akan kegoda walaupun Mbak telanjang sekalipun." Alex menahan tawanya. "Jadi percuma. Sia-sia aja. Aku tau kalau kloset rusak hanya akal-akalan doang, iya kan?" Tuduhnya.
"Jangan main tuduh ya. Pacar lo yang mau sama gue," Alex mengerutkan keningnya. Matanya yang dari tadi menatap Angel beralih menatap Ani.
"Ngapain pacar aku mau sama Mbak? Orang dia punya aku."
"Cewek gue bener," Alex mencium pipi Angel singkat. "Meskipun lo telanjang juga percuma. Jadi sebelum pacar gue berubah jadi serigala liar. Enakkan lo pergi," Alex menarik tangan Angel kebelakang. "Gue nggak suka yang terlalu besar, sukanya yang pas di tangan. Punya lo kebesaran," Ujarnya menutup pintu. Sebuah tendangan beserta umpatan kasar terdengar.
"Jealous, right?" Alex mencolek hidung Angel."Gue suka Angel yang marah-marah. Lebih sexy menurut gue,"
Angel menepis pelan tangan Alex. "Tau ah, males." Angel menggulung seluruh tubuhnya dengan selimut
"Damn it, my girl so sexy,"
Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel