Jika beberapa hari yang lalu hidup Alex seperti mayat, kini lelaki itu sudah bisa tersenyum dengan
kembalinya Angel. Sebenarnya bukan Angel yang kembali, tapi dirinya. Karena Alex yang meninggalkan Angel. Alex mengerti dengan apa yang Leon katakan. la butuh seseorang yang bisa mengontrol dan membimbingnya ke jalan yang seharusnya. Jika Leon punya Luna sebagai petunjuk jalan itu, maka Alex punya Angel sebagai lampu yang menerangi jalannya.
Rencana awal tidak berjalan mulus. Alex pikir Angel tidak ingin berbicara padanya dan memutuskan menjauh. Sebelum Angel minta, Alex akan melakukannya. Tapi ternyata apa yang Angel inginkan tidak sesuai ekspektasi Alex, karena Angel mengatakan akan tetap menjadi miliknya.
"Gue bajingan." Angel mengangguk.
"Brengsek."
"Iya."
"Nggak suka lo terluka." Angel mengulum senyum. Pipinya merona,
Alex gemas sendiri. "Nggak suka ada yang sentuh lo. Gue akan jadi singa lapar."
Angel tertawa, Alex merekam setiap gerakan Angel, bagaimana cara Angel tertawa. Seperti air yang mengalir dari pegunungan. Lembut, dingin dan sejuk.
"Sekarang aku." Ujarnya setelah meredam tawa. Ia memutar tubuhnya duduk berhadapan dengan Alex. Angel berdeham. "Aku anak baik."
"Gue tau."
"Polos."
"Em."
"Nggak suka lihat kamu berantem." Alex mengedikkan bahunya, sulit. "Nggak suka orang yang bohong." Ujarnya mantap.
"Sekarang kamu kasih tahu aku sebelum kamu ketahuan bohong, aku nggak maafin kamu."
Gue suka tinju ilegal dan... Livesey, itu yang Alex pikirkan. "Nothing." Alex tersenyum, dibalas dengan senyuman hangat oleh Angel. Angel menghembuskan nafasnya, memutar tubuhnya kembali ke depan. Menatap beberapa orang yang sudah keluar dari dasar kolam, hari semakin siang. "Lo nggak kuliah?"
"Nggak ada jadwal." Angel menoleh, mengerutkan keningnya saat sadar ada tas punggung warna abu-abu di punggung Alex. "Kamu mau ke mana?"
"Ketemu dosen." Angel mengerjapkan matanya. "Minta tanda tangan ACC, gue udah daftar wisuda bulan depan." Kedua mata dan bibir Angel membulat seketika. Alex menyukainya.
"Sebenarnya gue tinggal minta tanda tangan, emang karena gue malas buat wisuda. Jadi gue menundanya, kalau gue cepat lulus, nggak ada kegiatan. Tapi sekarang gue punya alasan." Angel menelan ludahnya yang nyangkut ditenggorokan. "Lo tau itu, Angelista." Ujarnya sensual. Alex berdiri dari tempat duduknya. "Mau ikut? Gue mau minta tanda tangan, kita bisa jalan setelah itu."
Sepertinya Angel melakukan kesalahan besar karena telah memberikan tantangan itu pada Alex. Secara, lelaki itu masuk Universitas Negri tanpa tes yang menghalangi jalannya. Alex pintar, seharusnya Angel tidak mengatakan hal seintim itu pada Alex. Nasi sudah menjadi bubur. Angel mengangguk. Berjalan bersisihan dengan Alex menuju basement. Apartemen Alex dan Luna hanya beda lantai, Angel baru tahu hal
itu.
"Kita mau jalan ke mana?" Tanya Angel saat Alex memakaikan jaket di tubuhnya, menarik retsleting sampai ke atas, tidak lupa dengan helm berwarna biru yang lucu.
"Neraka."
Angel mendengus. "Kamu mau ikut aku nggak?" Tanyanya sambil melompat kecil, kedua lesung pipinya terlihat, Alex mencubit pipi chubby itu gemas. Angel mengerjap, melepaskan tangan Alex dengan cepat dan meraba dada kirinya. Jantung Alex seakan tersengat listrik saat melihat Angel menyentuhnya.
Alex terkekeh pelan. "Kemana?" Angel menggelengkan kepalanya, kembali bersikap normal.
"Surga."
"Badan lo maksudnya?" Angel meninju dada Alex yang keras, bukan Alex yang kesakitan, Tapi dirinya. Angel seakan baru saja meninju besi. Alex tertawa pelan, duduk di atas motor. "Jaga, ya. Surga gue."
"Mesum." Gumam Angel meraih pundak Alex untuk membantunya naik ke atas motor. Alex menjalankan motornya.
"Nanti kamu kabarin Kak Luna, ya. Takutnya dia khawatir aku gak ada di apartemen."
"Iya." Alex menjawab. "Gue nggak suka lo pake baju kayak semalam."
"Em?" Angel mendekatkan wajahnya.
"Jangan mau kalau diajak sama orang yang nggak dikenal. Lo bukan anak SD yang bisa dirayu dengan embel-embel dikasih permen, ngerti?" Angel mengangguk patuh. "Lo berhenti kerja aja."
"Terus aku makan apa? Nggak mau, ah."
"Kerja di Horison, mau?"
"Horison? Kafe yang sering jadi tongkrongan kamu?" Alex mengangguk.
"Emang bisa?"
"Bisa, lo tinggal ngundurin diri. Kalau di Horison gue bisa awasin lo. Seenggaknya, kalau gue nggak ada. Pelayan Horison bisa jagain lo, gue kenal mereka. Kafe tempat lo kerja pulangnya malem banget,"
"Di Horison bukannya tambah malem, ya?"
"Iya, pokoknya ngundurin diri aja. Horison punya Leon. Lo gak perlu khawatir."
Kedua mata Angel membulat. "Punya Kak Eon?"
Alex mengangguk. "Disana sistemnya beda. Hitung perjam, kalau lo mau kerja, ya kerja, nggakjuga nggak masalah. Terserah lo mau kerja berapa jam disana."
"Oh gitu. Pantes aja kayak rumah sendiri."
"Jadi gimana?"
"Emang Kak Eon mau terima pegawai kayak aku?"
"Kenapa nggak? Kalau pun dia gak mau, gue buat mau."
Angel memukul pundak Alex . "Kamu, ih," Alex terkekeh pelan. Sudah pasti Alex menggunakan kekerasan untuk mengancam Leon. "Nanti aku pikirin."
Tempat yang Angel kunjungi adalah sebuah gedung yang dulunya pernah menjadi daftar pilihan untuk ia kuliah. Jika Angel memilih disana, sudah pasti
ia satu kampus bersama Alex.
Angel menutup botol air mineral. Memilih menunggu diluar, kedatangannya saja sudah menjadi pusat perhatian, apalagi berjalan dengan lelaki itu. Angel menghembuskan nafasnya pelan. Mengetuk-ngetuk motor Alex di hadapannya dengan ujung sepatu. Lima belas menit berlalu, Alex hanya memberinya sebotol air mineral tanpa makanan.
Senyum di bibir Angel tercetak saat melihat Alex baru saja keluar. Berjalan dengan gagah membuat kaum hawa meleleh. Angel berdiri, menunggunya
mendekat. Ia mendengus, orang-orang itu menatap Alex seperti santapan lezat. Padahal tidak ada yang istimewa. Lelaki itu hanya menggunakan kaos hitam yang sangat ketat di tubuhnya. Entah bajunya
yang kekecilan atau badan Alex yang terlalu besar. Dipadukan dengan celana pendek dan sepatu putih, tidak ada yang berlebihan, itu saja sudah membuat
histeris.
"Kenapa?" Tanya Alex mengerutkan keningnya. "Ngel Nggak kesambet, kan?" Alex mendongak, menatap pohon besar, tempat Angel berteduh.
"Nggak. Udah?" Alex mengangguk.
"Cepet banget, padahal aku lihat orang-orang pada susah buat dapetin tanda tangan pembimbing."
"Dosennya malah minta tanda tangan gue. Buat anaknya. Katanya, anaknya ngefans sama gue."
Angel mengembungkan pipinya. "Emang kamu artis?" Kekehnya naik ke atas motor.
"Kita mau ke mana?"
"Lo maunya ke mana? Gue nggak pernah kencan sebelumnya, jadi gue tau."
"Kencan kamu di ranjang."
"Em, itu lo tau." Angel mendorong punggung Alex. "Lo yang bahas duluan, bukan gue."
"Aku juga nggak tau. Nggak pernah kencan dan pacaran." Sindirnya. "Terserah kamu mau kemana. Jangan ranjang"
"Gak selalu di ranjang, di sofa bisa. Motor juga kalau lo mau."
"Alex!"
"Sory, mulut gue dulunya emang konten dewasa." Alex mengendarai motor keluar dari pekarangan kampus.
"Gue nggak suka kencan yang nggak bermanfaat. Menurut gue, Kencan gue selama ini menyehatkan." Angel memutar bola matanya malas. "Sehat jasmani dan rohani." Lanjut Alex.
"Nonton? Biasanya kencan nggak jauh-jauh dari bioskop."
"Gue nggak suka nonton kecuali ada desahannya. Sorry, Mulut gue kelewatan lagi."
"Terus ngapain?"
Alex diam. Fokus mengendarai motornya. Angel tidak banyak bertanya lagi. Sampai akhirnya, Alex menghentikan motornya dikawasan danau buatan. Cukup ramai padahal bukan hari libur. Angel melompat turun, melepaskan jaket karena cuaca sangat panas. Alex menerima jaket yang Angel berikan, meletakkan di bahu kanannya.
Keduanya mulai berjalan dijalanan pavingblok. Alex mencari tempat, sementara Angel memutuskan membeli makanan sebentar. Tempat yang Alex pilih sangat strategis. Di bawah pohon rimbun yang langsung mengarah ke danau. Banyak perahu dan bebek-bebekan disana.
"Dimana?" Alex mengambil tempat duduk direrumputan, menelpon seseorang.
"Liburan."
Alex mengerutkan keningnya. "Liburan? Sama Luna?"
"Kepo." Alex mendengar Leon tertawa.
"Ada apa? Gue udah mau pergi, nih."
"Nggak, gue kira lo lagi sama Luna. Nanti gue telpon dia aja."
"Luna lagi kuliah, jangan macem-macem sama cewek gue!"
"Nggak. Cuma mau tanya, bisa dipake nggak."
"BANGSAT LO!"
Alex tertawa geli, tidak mengizinkan Leon mendengarnya. "Thanks. Kalau Luna mau, Lo bisa apa?"
"Gue jadiin sosis burung lo!"
"Coba aja." Alex menutup panggilannya.
"Nih." Alex menoleh, mengambil alih minuman yang Angel bawa, meletakkannya diatas rumput. Alex menggeleng pelan, melepaskan tasnya. Ia merebahkan tubuhnya, menjadikan tas miliknya sebagai bantal. Dari posisi tidur, Alex bisa melihat Angel. Rambutnya yang tergerai ditiup angin menjadi berantakan.
"Lapar?" Angel menoleh. "Nggak dikasih makan sama Luna?"
"Nggak, Kak Luna buatin nasi goreng tadi. Enak banget loh, Kak Luna baik banget." Angel menggeser sedikit tubuhnya kebelakang agar sejajar dengan Alex.
"Mau?" tanyanya mengarakan sesendok siomay ke mulut Alex. Alex menggeleng. Angel mendengus, kembali menyantap makanannya. Alex memilih membuka kacang. Memasukan isinya ke mulut dan kulitnya ia lempar pada Angel.
"Jangan buang sampah sembarangan, ih. Gak baca ada tulisannya, tuh." Angel menunjuk salah satu papan peringatan. Nyatanya Alex memang suka melanggar aturan. "Alex! masuk ke baju aku, ih!"
Alex terkikik geli. Ia tidak berhenti meski Angel memohon. "Kan masuk ke somay!" Ujarnya meninggi. Angel langsung membuang kulit kacang yang tercampurbdengan kuah kacang. "Udah, ah, Alex."
Angel berniat berdiri, tapi kaki Alex terangkat dan menimpa paha kirinya membuat Angel kesulitan bergerak.
"Iya nggak lagi, udah duduk situ aja. Nanti lo diculik." Alex tertawa kecil. Angel mendengus, melanjutkan makannya tanpa menyingkirkan kaki Alex dipahanya.
"Aduh silau." Alex mengangkat tangan kirinya.
"Mataharinya?"
"Elo." Angel mengulum senyum. Alex tertawa. Pipi Angel sudah berubah warna hanya karena kalimat itu.
Angel meneguk minumamnya. Sepiring siomay sudah habis. Meletakkan piring disamping kirinya lalu mengambil botol kecil yang ia beli tadi. Mengocoknya sebelum ia buka tutupnya dan ia tiup di hadapan Alex. Balon-balon air langsung berhamburan, Alex menutup matanya, antisipasi jika pecah bisa membuat matanya perih. Angel tertawa pelan. Memutar tubuhnya menghadap depan. Balon yang ia tiup langsung terbang mengikuti arah angin.
"Ngel."
"Em? Apa?" Jawab Angel menoleh sekilas.
"Thanks." Angel menghentikan kegiatannya. Ia menoleh. "Karena udah bertahan," Manda mengangguk tersenyum. "Senyum lo itu obat paling ampuh di tubuh gue."
Ada apa dengan Alex. Lelaki itu terus membuat kerja jantungnya tidak Normal. Angel menggeleng, Ia harus mengatakannya pada Alex. Alex harus tahu, Angel harus periksa ke Dokter secepatnya.
"Udah ah, Naik itu yuk." Angel menunjuk perahu. Alex mengikuti arah tangan Angel. "Kayaknya seru."
"Males, panas."
"Bebek aja, ada atapnya."
"Penuh tuh, nggak lihat pada antri?"
"Ya udah perahu aja, banyak yang kosong." Alex menggeleng. "Ya udah, aku naik sendiri aja."
Alex terkekeh pelan saat Angel pergi meninggalkannya. Dengan malas ia bangkit mengikuti Angel dari belakang.
"Ngapain?" Tanya Angel saat berbalik melihat Alex berjalan mengikutinya. Alex tidak menjawab melainkan meninggalkan Angel begitu saja. Angel mengulum senyum saat Alex menyewa sebuah perahu. Angel meraih tangan Alex yang sudah berdiri di atas perahu. Angel melompat. Membuat perahu tersebut sedikit oleng,
Alex menggeram pelan. "Jangan loncat, Angel." ujarnya mendelik. Angel tertawa kecil. Keduanya duduk berhadapan. Alex mendayung perahunya ke tengah danau.
"Coba aku."
"Nggak, besaran kayunya dari pada tubuh lo." Angel mendengus.
"Danaunya dalem nggak?"
"Nggak."
"Masa sih?" Angel menunduk, melihat air yang tenang dan jernih. Banyak rumput liar di bawah sana, sangat jernih seakan Angel bisa menyentuhnya.
"Duduk yang benar Angel. Kita nggak bawa baju ganti kalau jatuh." Geram Alex. Angel langsung duduk mantap.
Menatap Alex . "Kenapa?"
"Kamu itu hobi banget marah-marah, heran aku," Angel menggeleng. "Jalan yang benar Angel, duduk yang benar Angel." Ujarnya dengan suara yang sengaja dimainkan.
Alis Migel terangkat satu. "Udah berani ngejek? Iya?"
"Nggak." Angel menggeleng kuat. "Mana berani aku ngejek kamu. Nanti aku dilelepin disini." Alex terkekeh pelan,
Angel tertawa. "Ada ulat bulu." Kedua alis Alex menyatu. "Alis kamu maksudnya." Angel cekikikan. Ia berdiri, mengambil satu langkah ke depan berhadapan dengan Alex, saat Angel menekuk kedua kakinya, Alex dengan otomatis membuka lebar kedua kakinya, memberi ruang. Kaki Angel diapit oleh Alex. Saling bersentuhan antara paha. Alex gugup. Tangan yang tadinya menggenggam dayung dengan santai seketika menjadi kencang. Jantungnya berdetak tidak normal, Alex mengerjap. Ia berusaha menutupi kegugupan. Tidak mungkin seorang Alex merasa gugup. Rasa itu sudah mati sejak dulu. la tidak pernah merasakannya lagi sekalipun menghadapi persidangan, polisi, semua lawannya di ring, penguji skripsi dan Papa. Kenapa Alex merasa gugup dengan sosok perempuan yang dibujuk dengan sogokkan permen kaki saja masih bisa percaya? Tidak masuk akal namun kenyataan. Selain pengendali emosi, Angel juga membuatnya seperti orang bodoh.
"Mau ngapain?" Angel tersenyum. Kedua lesung pipinya terlihat. Ah, Alex suka. Jarak sedekat ini, Angel terlihat sangat cantik.
"Bulu mata kamu panjang banget. Aku penasaran, kamu pake bulu mata palsu, ya?"
Alex mendengus, membuang pandangannya sejenak. "Lo kira gue banci." Angel tertawa kecil membuat bibir Alex berkedut.
"Gue juga penasaran." Alex meletakkan dayung di belakang tubuh Angel. Menatap Angel lekat. "Lo sulam alis, ya?"
"Em?"
"Alis lo, cantik." Pipi Angel bersemu.
"Maafin gue, ya." Ujarnya pelan. Angel mengerutkan keningnya.
"Maaf untuk apa?"
"Karna gue nggak bisa hilangin rasa sakit lo semalem." Angel tertegun. "Gue hanya bisa diam aja lihat lo kesakitan. Gue maki diri gue sendiri lihat lo yang maksa gue buat ngelakuin hal itu. Lo emang nggak minta secara langsung, Tapi gue tau. Lihat
lo berontak di bak mandi, Luna yang terus menerus siram lo dengan air. Gue sakit Ngel, gue sakit lihatnya, tapi gue nggak bisa apa-apa. Lo gak sadar. Gue nggak mau ngerusak lo." Kedua mata Angel berkaca-kaca. "Lo selalu buat gue khawatir. Lo ceroboh, terlalu percaya sama orang dan gue masih bingung. Sebenernya lo itu pintar beneran atau
hanya fake?" Air mata Angel jatuh bersamaan dengan bibirnya yang tertawa kecil. Ia sudah terbawa suasana, tapi Alex menghancurkan diakhir kalimat.
"Aku udah nangis, nih. Kamu, ih." Angel menghapus air matanya malu. Alex tertawa geli.
"Lo cengeng banget."
"Aku terharu bukan cengeng"
"Sama aja." Angel mengerucutkan bibirnya. "Balik ke tempat lo."
Angel mengangguk dan kembali ke tempatnya, Alex mendayung dengan pelan. "Kamu kenal Lily?" Tangan Alex terhenti dengan otomatis. "Lily, dia temen Kak Luna juga. Aku beberapa kali lihat kamu antar dia ke kampus."
"Kapan?"
"Kapan, ya? Sebulan terakhir kayaknya."
Migel mengangguk. "Lily teman sekelas aku. Kayaknya aku bisa temenan sama dia, karna Lily temenan juga sama Kak Luna-"
"Nggak. Jangan temenan sama dia." Angel mengerutkan alisnya. "Jangan tanya kenapa, ikutin aja apa yang gue perintahkan."
Alex tidak ingin mengambil resiko. Jika Luna berteman dengan Lily, itu menjadi urusan Leon nantinya. Alex meletakkan dayung antara dirinya dan Angel. Mereka sudah berada di tengah danau. Angel menundukkan kepalanya, ia senang saat melihat beberapa ikan yang berenang secara berkelompok.
"Seharusnya kita bawa pancing, banyak ikan di sini."
Alex mengikuti. Mengulurkan tangannya menyentuh air danau. Melihat itu, Angel mengayunkan tangannya ke depan sehingga air di telapak tangan meluncur membasahi wajah Alex.
"Maaf, kelepasan." Awalnya Angel sengaja. Melihat wajah Alex yang tidak bersahabat, Angel menggigit bibir bawahnya. Alex menatapnya horor. Angel berdiri takut. "Aku nggak sengaja."
"Duduk."
"Pulang aja yuk." Angel berniat untuk duduk kembali, karena papan perahu licin membuat sepatunya berdecit dan terpeleset kebelakang. Tubuhnya oleng
bersamaan dengan perahu yang mencari keseimbangan, tanpa bisa Alex raih, Angel sudah terjatuh ke dalam air.
Air yang tenang itu langsung berhamburan ke atas saat tubuh Angel terjatuh, termasuk membasahi wajah Alex . Alex menggeram. "Gue bilang duduk yang bener, Angel." Ujarnya kesal.
Alex membuka matanya, mengelap wajah dengan lengannya. Sadar air itu menjadi sangat tenang kembali. Alex menatap danau yang jernih.
"Shit!"
Tubuh Angel semakin ditarik ke dasar danau. Awalnya Alex pikir jika danau itu hanya punya kedalaman dua meter. Alex mencoba meraih tangan Angel. Menariknya mendekat dan melingkarkan tangan kirinya di pinggang Angel. Membawa Angel dalam dekapan. Angel mengerjapkan matanya, tangan kanannya melingkar sempurna di leher Alex, tangan kirinya menutup hidung dengan kuat. Pasokan oksigennya menipis. Alex dengan cepat membawanya ke permukaan. Angel membuang napasnya dengan keras. Terbatuk dan kepalanya sedikit pusing. Ia tidak akan pernah ke danau itu lagi. Manda tidak ingin kejadian hari ini terulang kembali.
"Aku nggak bisa renang." Angel mengatur penapasannya. la mempererat tangannya di leher Alex.
"Its okey, you save." Angel mengangguk.
Perlahan ia melonggarkan tangannya, saling berhadapan dengan Alex "Lo itu ceroboh. Gue marahin lo bukan tanpa alasan, semuanya untuk kebaikan lo sendiri. Ini contohnya."
Angel menggigit bibir bawahnya. "Maaf."
"Sekarang gimana? Kita nggak bawa baju ganti. Gue nggak masalah, tapi baju lo transparan." Angel membulatkan matanya. "Pinggang lo gak terlalu kecil, pas di tangan gue."
"Alex!" Angel menendang perut Alex sehingga ia kembali tenggelam jika Alex tidak menariknya cepat.
"Naik." Ujar Alex dengan nada perintah. Tangan kanannya menahan perahu.
"Nggak mau. Semua orang lihatin aku." Angel dan Alex sudah menjadi pusat perhatian. Terlihat beberapa perahu mulai menghampiri.
"Terus? Mau sampai kapan disini?" Angel menggeleng.
"Naik dulu." Angel menatap Alex lama, tidak ada nada bercanda membuat Angel langsung naik
ke perahu, disusul Alex selanjutnya. Angel memeluk kakinya. Seharusnya ia tidak melepaskan jaket Alex.
"Kamu mau ngapain?!" Angel melotot melihat Alex yang melepaskan bajunya.
"Berdiri."
"Hah?"
Alex menarik tangan Angel hingga mereka berdiri berhadapan. Alex memakaikan kaos miliknya di tubuh
Angel .
"Terus kamu pake apa?"
"Gue cowok." Angel pasrah saat Alex memakaikan bajunya menjadi double.
Angel baru tahu jika Alex juga memiliki tato dibagian dada. Otot tubuhnya terbentuk sempurna. Angel menggeleng pelan. Baju Alex sangat kebesaran di tubuhnya. Sebenarnya Alex yang terlalu besar atau
dia yang seperti kurcaci?
"Kamu pake aja-"
"Jangan di lepas."
"Terus kamu gimana?"
"Sekali-kali buat orang histeris nggak masalah. Dari pada lo yang telanjang, jadi gue yang lebih histeris." Alex menyentil kening Angel. Angel menatap tubuh Alex.
"Kenapa? Gak bisa kedip liat tubuh gue? Mau? Peluk? Atau ena-ena disini?" Angel mendorong tubuh Alex kesal. Bukan Alex yang terdorong, ia yang terpental kembali terjatuh ke air.
"Alex!"
"Astaga."
-
"Gue sih nggak masalah, kalau kali ini lo tanggung jawab. Kalau lo kecewain Angel. Gue sendiri yang habisin lo, bukan Nando. Angel bukan mainan buat menghapus rasa bosan lo ke Lily."
Migel menggoyangkan kakinya dimeja. "Kenapa lo nggak suka sama Mona? Menurut gue, dia oke buat lo pake."
"Susah."
"Udah pernah?" Bimo mengangguk.
"Kenapa? Nggak bisa horny, lo?"
Bimo mengangguk lemah. Alex tersedak ludahnya sendiri. "Dua kali. Nggak nafsu."
"Kok bisa?" Migel cekikikan. "Badan Mona lebih bagus dari Lily. Nggak bisa buat dedek lo berdiri itu gimana ceritanya? Masih suka cewek kan, Mo?"
"Yee.. Anjing." Umpat Bimo. "Sama Lily juga gue susah." Alex mengerutkan keningnya. "Gue takut nafsu gue beralih."
"Amit-amit! Najis lo! Sampai lo nafsu sama gue. Gue bunuh lo!" Bimo terbahak. Alex mulai gelisah sendiri.
"Lo cari cewek sana, yang dengan lihatnya doang udah buat dedek lo berdiri. Jaga pandangan sama cowok! Gue takut dedek lo berdiri waktu lihat cowok!" Tawa Bimo semakin keras, berguling-guling melihat ekspresi Alex.
"Anjirr, gue masih normal."
"Nggak, Mo. Gue seperti ini bukan tanpa alasan. Lo sering banget cerita hal ini."
"BTW, dedek gue berdiri lihat Angel."
"ANJING! ."
Bimo kembali tertawa keras. "Angel ada duplikatnya nggak, ya." Migel mendengus. "Manda cantik, Alami. Sama kaya Luna."
"Terus?"
"Nggak. Gue kasihan aja sama dua cewek itu. Lo bajingan, Leon lebih bajingan lagi. Udah punya pacar, masih main sama Lily. Luna di anggurin, anjiirrr!! Luna bisa dipake, nggak?"
"Kalau gue bajingan, sebutan buat lo apa? Iblis?" Bimo mengedipkan sebelah matanya. "Stres lo!" Bimo tertawa keras.
"Menurut gue, Luna itu unik. Cewek yang bisa jadi tomboy, feminim dan sexy secara bersamaan." Alex menghembuskan nafasnya pelan. "Oh ya, Lex. Kasusnya gimana? Gue dengar Mona udah disel tahanan?"
"Angel nggak mau ketemu sama mereka, jadi gue perintahin Leon yang tanganin kasusnya. BTW, kasus lo sendiri?"
Brayn menghembuskan nafasnya. Mengganti tayangan televisi. "Yah, gue nggak salah." Alex mengangguk.
"Jadi lo bebas?"
"Sidang lagi."
"Bro, gue bawa tamu special buat kaliaan berdua." Alex dan Bimo yang sedang duduk bersantai depan televisi mendadak menoleh ke arah sumber suara. Leon berdiri dengan senyum mengembang. Mereka bingung Leon masuk lewat mana karena tidak terdengar pintu terbuka dan tertutup. "Dia balik."
Leon menyingkir ke kanan sehingga lelaki yang tadinya berdiri di belakang tubuhnya kini terpampang jelas. Alex dan Bimo terduduk tegang menatap tidak percaya pada lelaki yang mengulas
sebuah senyuman, mengangkat tangan kanannya. "Hai." sapanya singkat. Keduanya masih tidak bergeming. Lelaki jangkung itu terkekeh pelan melihat ekspresi kedua sahabatnya.
"Demi apa ini elo, Fer?" Bimo bersuara setelah seperkian detik masih diam seperti orang bodoh.
"Alay banget lo berdua." Leon melempar kulit kacang, menggulingkan tubuhnya di karpet.
"Yeah, its me."
"Ferdy!!" Pekik Bimo melompat, memeluk lelaki bernama Ferdy. "Lo kemana aja kancut, sok misterius mau belajar di luar negri. Putusin kontak katanya mau fokus, najis banget gue dengernya. Tapi gue kangen." Bimo mempererat pelukannya, meletakkan kepalanya di bahu Gleen.
"Mo, gue nggak bisa napas anjing!"
Bimo melepaskan pelukannya. "Sorry. gue kelepasan, yang," Bimo mendaratkan bibirnya di pipi kiri Ferdy yang Ferdy balas dengan ciuman di pipi kanannya, Bimo langsung berlari kencang ke kamar mandi. Membasuh wajahnya. Leon tertawa.
"Jadi lo mau terusin di Indonesia? Kapan lo wisuda, Fer? Lo nyogok pihak kampus buat cepat lulus, yakin gue."
"Tau aja lo, laknat." Ferdy memberikan cengirannya. Bimo menghadiahi tendangan di lengan Ferdy. "Terus kalian kapan lulus?"
"Gue lagi nyusun, bantuin gue ya, Fer. Itung-itung tebusan minta maaf, karena lo udah pergi tanpa pamit dan pulang tanpa diminta. Sebelas dua belas kayak jelangkung lo."
"Terus lo, Mo?"
"Doain aja secepatnya." Jawab Bimo mengedipkan sebelah matanya, Ferdy mendengus.
"Secepatnya dipanggil yang Maha Kuasa." Lanjut Leon yang mendapat dorongan kepala dari Bimo menggunakan kakinya.
"Babi." Maki Leon. "Alex bulan depan wisuda. Kalau Bimo jangan ditanya, Mahasiswa abadi."
"Tau aja lo cireng." Bimo mengelus pipi Leon dengan kakinya yang ditepis sahabatnya.
"Ah, lo, Mo. Hidup nggak bener, kelakuan nggak bener, sekolah nggak bener, nggak ada yang bener lo. Penjara lagi aja lo, setan." Ujar Leon menekan kata setan diakhir kalimatnya.
"Iya gue tau, lo yang paling benar Leon, gua cuma parasit. Puas lo bangsat."
"Mati aja lo brengsek."
"Tai."
"Makanan lo."
"Setan."
"Setan manggil setan." Leon tersenyum miring.
"BANGSAT!" Pekik Leon saat Bimo memasukkan jempol kakinya ke mulut. Bryan terbahak melihat Leon bangkit dari tempat duduknya berlari meludah ke kamar mandi.
Ferdy menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua sahabatnya. Masih sama seperti SMA. Senyuman di bibir Ferdy perlahan menghilang. Ia melirik dari ekor matanya, Alex hanya diam. Sejak kedatangannya, Alex belum buka suara.
"Bedebah lo bangsat!" Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menendang Bimo dan beberapa bogeman cinta untuk sahabatnya yang masih tertawa keras.
"Aduh gue kebelet pipis." Dengan tertatih Bimo bangkit menuju kamar mandi, masih dengan cekikikan. Merangkak seperti bayi.
Alex , orang yang dari tadi membungkam mulutnya mengeluarkan ponselnya. Ia mengirimkan sebuah pesan.
Alex : Dimana?
Tidak butuh waktu lama karena centang dua itu langsung berwarna biru.
Angel : Kampus, kenapa?
"Kemana?" Tanya Leon saat melihat Alex bangkit dari tempat duduknya, berjalan mengambil kunci motor.
"Beli makan."
"Delivery aja, atau ke Horison. Gue traktir." Bimo menaikan retseliting celananya. "Sekalian rayain kepulangan Ferdy."
"Traktir tai kucing! Emang lo pernah bayar makan di Horison? Najis banget." Bimo menunjukkan cengirannya pada Leon . "Hidup lo numpang terus."
"Gue pergi." Alex meninggalkan ketiganya.
Bimo merasakan kencanggungan antara Alex dan Ferdy. Bimo sudah berusaha mencairkan suasana bersama Leon. Tetap saja Alex tidak merespon sama
sekali. Baik Leon ataupun Bimo tidak tahu apa yang terjadi antara keduanya. Alex atau Ferdy tidak pernah mau menceritakannya.
"Gue juga mau pulang. Kita ketemuan disana aja." Leon dan Bimo mengangguk. Ferdy langsung berlari menyusul Alex .
"Lex tunggu!" Mendengar panggilan itu, Alex menghembuskan nafasnya pelan tanpa menghentikan langkahnya.
"Lex." Alex menjambak rambut belakangnya karena lift tidak segera terbuka.
"Lo jangan egois, Gel." Ferdy bersuara.
"Gue tau gue salah. Gue udah pergi sesuai dengan perintah lo buat nenangin diri. Gue lakuin semua apa yang lo bilang. Sampai ini batas gue, Lex. Gue nggak
bisa."
Alex menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika pintu lift terbuka, Alex langsung masuk dan Ferdy mengikutinya.
"Lo ngertiin gue juga. Siapa yang mau sih, Lex. Jangan salahin gue kalau semuanya berubah. Gue nggak nuntut lo apapun. Gue maunya kita kayak dulu. Salah?"
Alex kembali meremas rambutnya, ia menunduk menatap ujung sepatunya dengan perasaan campur aduk.
"Lex-"
"Jangan sentuh gue!" Alex mengangkat kedua tangannya seperti tahanan.
"Kesalahan lo fatal, lo brengsek. Gue tau lo belum berubah."
"Nggak semudah itu, Lex ."
"Fer-Astaga!" Alex berjongkok, mengusap wajahnya dan mengacak rambutnya frustasi. "Udah hampir lima tahun, Fer. Masa lo nggak bisa?" Alex berdiri lagi.
"Lo mau kita kayak dulu. Tapi lo nggak ada niatan buat memperbaiki itu. Lo yang buat semuanya berubah, bukan gue."
"Salah gue? Apa gue pernah nuntut sesuatu sama lo? Nggak, kan? Apa masalahnya. Gue hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan minta ini itu."
"Tapi lo berharap Ferdy." Geram Alex.
Ferdy mengangkat bahunya acuh. "Sedikit."
Alex memutar bola matanya malas, berjalan meninggalkan Ferdy begitu pintu lift terbuka. "Lex, gue pulang karena !"
Alex berbalik cepat. "Gue tegasin sekali lagi. Gue nggak akan pernah suka sama cowok!"
Ferdy terdiam. Membasahi bibirnya sebentar. "Pernah mikir perasaan gue nggak? Lex, please,"
Alex menggeram frustasi mengacak rambutnya. Menatap Ferdy yang memohon padanya. "Gak bisa. Gue cuma anggap lo sebagai sahabat gue, itupun udah berakhir setelah pengakuan lo yang suka sama gue. Gue kasih lo kesempatan buat dekat sama gue, hanya mau lo berubah Fer, Gue mau lo lurus lagi. Apa selama lo menghilang lima tahun nggak ada yang berubah?!"
"Ada. Gue makin cinta sama lo."
Alex menutup matanya dengan rahang yang mengeras. Jika Ferdy bukan orang yang sama-sama makan bubur bayi bersamanya, Alex sudah memberikan ancaman untuk tidak menemuinya lagi.
"Fuck." Alex meninggalkan Ferdy.
Kalimat kasar terus keluar dari bibirnya selama perjalanan. Ferdy adalah orang yang sudah Alex
anggap sebagai saudaranya sendiri. Ferdy tetangga Alex. Mereka tumbuh bersama sejak kecil. Selalu berdua. Dari SD, SMP dan SMA tidak terpisahkan. Awalnya persahabatan yang terjalin berjalan mulus dan biasa saja sama seperti remaja lainnya. Semuanya sirna saat Alex duduk dikelas tiga SMA. Ferdy mengungkapkaan perasaannya saat malam promnite. Dunia Alex hancur seketika.
-Flashback
"Gue suka sama lo."
"Iya, gue juga suka sama lo." Alex tersenyum kecil tanpa menatap Ferdy disebelahnya. Mereka sedang berada dirooftop gedung sekolah.
"Bukan suka seperti seorang sahabat." Alex mengangkat satu alisnya, menoleh. "Gue. suka. elo, Alex."
"Gue tau lo suka banget sama gue. karena dari SD lo nggak mau pisah sama gue." Migel menepuk pundak Gleen. "Gue sadar pesona, Fer."
"Lex."
"Em?" Alex kembali menatap depan. Acara sedang berlangsung di lapangan.
"Gue benar-benar suka sama lo. Suka sebagai seorang kekasih bukan sahabat." Seketika Alex terbahak mendengarnya. Dengan sabar Ferdy menunggu tawa Alex reda.
"Lo mau buat acara perpisahan kita lebih oke, Fer? Seharusnya lo ajak Bimo sama Leon juga. Mereka pasti ketawa ngakak liat muka lo sekarang." Alex
menggelengkan kepalanya, menghidupkan rokok yang sejak tadi ia pegang. Menghisap benda itu secara kasar. Pikirannya mulai kacau dengan candaan Ferdy.
"Lex, gue nggak bercanda. Gue suka sama lo sejak kelas delapan. Saat itu gue baru sadar kenapa gue nggak suka lo dekat sama cewek. Awalnya gue hanya merasa terabaikan, tapi perasaan ini semakin nggak masuk akal. Gue, suka sama lo. Gue nggak minta lo balas perasaan gue, Lex. Gue hanya mau lo tau. Gue cinta sama lo." Alex kembali tertawa hambar. Semakin menghisap rokonya dengan kasar.
"Lo yang selalu ada saat gue butuh bantuan. Lo yang selalu tenangin gue saat kedua orang tua gue bertengkar hebat. Lo yang selalu meluk gu-"
"LO GILA!" Tawa itu langsung berubah menjadi teriakan murka menatap Ferdy.
"GUE BUKAN GAY SIALAN!"
"Semua yang lo lakuin ke gue membuat sesuatu dalam diri gue bergejolak! Lo ya-"
"STOP ANJING!" Ferdy tersentak kaget menutup kedua matanya saat Alex kembali berteriak. "Otak lo dimana, Fer?! Pake otak lo, bangsat!" Alex menginjak
putung rokoknya.
"Semuanya udah gue pikirin baik-baik. Gue hampir gila saat tau perasaan ini semakin nggak masuk akal. Stres gue, Lex! Awalnya gue benci sama diri gue sendiri, gue jijik, tapi ini udah jalan yang gue
pilih." Ferdy melangkah maju membuat Alex melangkah mundur dengan. "Lex,"
"Jangan sentuh gue!" Alex mengangkat tangannya seperti tahanan. "Jangan temuin gue lagi. Lo bukan sahabat gue."
"Kasih gue kesempatan."
Alex berjalan dengan cara menyamping, menghindari Ferdy. "Gue bukan gay!"
-Flash-on
Alex mengerem mendadak. Ingatan itu membuatnya jijik sendiri. Alex berteriak kesal. Kenapa Ferdy harus kembali. Seharusya Alex mematahkan kakinya agar Ferdy tidak bisa menemuinya. Alex sudah merasakan hal aneh sebelum Ferdy mengaku soal perasaannya. Alex terus membantah apa yang ia pikirkan, ia tidak ingin membenarkan hal itu. Ketika Ferdy mengatakan semuanya, Alex stress. Setelah nafasnya kembali normal. Alex berhenti dikampus Angel. Menghubungi Angel yang tidak kunjung mendapat jawaban. Alex menurunkan standar, berlari menyeberangi jalan saat melihat ada yang mencoba menyentuh miliknya.
"Gue udah bilang, lo gak usah berurusan dengan Alex lagi. Dia bahaya, Ngel."
"Alex nggak bahaya. Dia baik sama aku. Aku kenal dia."
"Gue lebih kenal dia."
"Gue nggak kenal sama lo." Dua orang yang sedang beradu argumen itu menoleh. Angel langsung berlari menghampiri Alex dengan perasaan tidak enak melihat Nando. "Jangan pernah ganggu Angel. Jangan pernah lo sentuh Angel dengan tangan itu."
Nando mengangkat bahunya acuh. Memasukan kedua tangannya kesaku celana. "Lo siapa berani ngelarang gue? Orang kayak lo nggak pantas buat Angel."
"Kalau orang kayak gue aja nggak pantas, apalagi Lo." Alex langsung membawa Angel pergi dari sana.
Angel merasa bersalah pada Nando, ia menunduk pamit yang dibalas anggukan oleh Nando. Untuk pertama kalinya. Alex merasa menyesal tidak berkuliah di universitas milik ayahnya. Seharusnya ia memilih universitas itu agar bisa menjaga Angel. Alex tidak suka Angel berteman ataupun mengobrol
dengan Nando.
Keduanya sudah berada di kafe yang menjadi saksi perkenalan seorang Angelista dan Alexander. Kedua kaki Alex terbuka lebar sehingga kaki Angel berada
di tengahnya. Alex menguncinya, tubuh dan matanya.
"Aku baik." Ujar Angel, Alex menggeleng pelan. Rahangnya mengeras. Memejamkan kedua matanya dengan nafas yang naik turun dengan cepat.
"Alex," Panggil Angel merasakan aura Alex berubah. "Aku nggak pa-pa. Udah ya, jangan dibesar-besarin. Aku nggak suka. Aku sama Nando temenan dan kita
ngobrol biasa."
Alex menarik nafasnya lalu membuangnya perlahan. "Lo harus menghindar dari Nando, sebisa mungkin. Jangan berhadapan dengan Nando." Angel tidak mengangguk ataupun menggeleng. "Gue takut dia melukai lo dan nggak ada gue di sana. Gue nggak bisa lindungi lo."
"Aku bisa jaga diri."
"Lo nggak bisa jaga diri. Gue antar pulang."
"Aku masih mau sama kamu." Alex mengerutkan keningnya. Emosinya mencair seketika. "Masih jam lima, Aku lapar. Tadi Kak Luna telpon, dia ajak aku masak di apartemennya."
"Ya udah, kita ke tempat Luna." Angel mengangguk semangat. Alex berdiri, mengapit kaki Angel yang masih duduk di tempatnya.
"Em? Apa?" Angel mendongak.
Alex tersenyum miring. "Pas."
"Apanya?" Angel mengerutkan keningnya. Alex menepuk kepala Angel tiga kali membuat Angel menatap lurus dan berhadapan dengan sesuatu dibalik celana Alex. Angel langsung menutup matanya, Alex tertawa pelan. "Kamu mesum." Ringis Angel saat Alex sudah membebaskan kakinya.
"Namanya cowok. Gak mesum nggak jadi anak, Angel... " Angel menatap sinis.
"Besok gue baca mermaid, nggak baca hentai lagi."
"Gue suka sama lo, Lex. Bukan suka sebagai sahabat tapi suka seperti seorang kekasih" Kalimat yang kembali terngiang dalam kepala Alex ketika melihat sahabat lamanya kembali. Siapa dia? Ada apa sebenarnya? Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel