15. Rute Perjalanan

Romance Completed 1105

Angel baru saja keluar dari ruang dosen. Ia berhasil mendapatkan Beasiswa lagi, Liburan semester telah tiba. Senyuman lebar tercetak di bibirnya. Sudah lama Angel menunggu liburan kali ini, Angel akan pulang kampung. Dengan semangat, Angel memberi kabar kepada kedua orang tuanya melalui surat yang akan ia kirimkan sore ini. Karena kedua orang tuanya tidak punya alat komunikasi seperti handphone.

Kakinya dengan semangat berjalan keluar ruangan. Senyum yang merekah mendadak menghilang. Kaki Angel terhenti begitu saja melihat Lily. Keduanya saling menatap satu sama lain di tengah pintu masuk. Dunia mengelilingi keduanya, mendadak hening.

Angel mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Dibalas Lily dengan senyuman kecil sebelum meninggalkannya. Angel terdiam sejenak sebelum berbalik lalu berkata. "Kamu tau dimana Alex?" Pertanyaan itu keluar begitu saja. Meski Lily teman sekelasnya, Angel tidak pernah berbicara dengan Lily. Lily tertutup sama seperti dirinya. Yang membedakan, Lily terkenal dengan sifatnya yang dingin. Ini untuk pertama kalinya Angel melihat Lily setelah ia pikir menghilang.

Lily berbalik. Angel masih mempertahankan senyumannya. "Aku pikir mungkin kamu tau dimana Alex." Lily menatap Angel lama, membuat Angel salah tingkah. la menggaruk tengkuk lehernya pelan. "Nggak perlu di jawab, maaf udah ganggu." Angel tersenyum kikuk, berpamitan. Ia memutar tubuhnya.

"Gue nggak tau." Angel berbalik cepat. Ia mengerjap saat sadar itu suara Lily. "Dia kemana?"

"Aku nggak tau, makanya aku tanya kamu." Lily menggeleng pelan, Angel melihat Lily sedang mengingat sesuatu. Angel menunggunya sampai akhirnya Lily meninggalkannya begitu saja.

Angel menghembuskan nafasnya.bMengangkat wajahnya, melihat lorong koridor yang panjang di hadapannya. Dimana Alex.

"Ngel?" Panggilan itu menyadarkan Angel yang sudah berdiri terlalu lama. Angel mengerjap dan menatap sekitarnya, mencari dimana sumber suara berasal. "Disini, hello," Angel menunduk, melihat Bimo duduk di kursi koridor melambaikan tangannya.

"Aku kira siapa," Angel tersenyum kecil. "Kenapa Kak? Lagi perlu sama seseorang?"

Bimo berdiri. "Sama lo, gue baru dapet duit nih. Makan yuk. gue traktir." Angel terkekeh pelan dan mengangguk. "Lets go, Angel!"

Bimo selalu berhasil membuat Angel melupakan Alex. Seharian berburu kuliner. Hanya makan, tertawa dan makan lagi sampai perutnya tidak sanggup untuk tertawa ataupun makan. Sampai malam tiba. Kuliner terakhir yang keduanya kunjungi adalah jagung bakar. Angel sangat menikmati waktunya bersama Bimo .

"Aku yakin, siapapun cewek yang pacaran sama Kakak, mereka akan sehat sentosa,"

"Kenapa?"

"Karena makan terus kerjaannya, dibuat gendut." Bimo terkekeh pelan. "Siapa pacar Kakak sekarang?"

"Nggak ada yang mau,"

"Ngerendah, nih," Angel mengambil dua lembar tissue, mengelap ujung bibirnya. "Makasih Kak, udah diajak jalan sama makan."

Bimo menepikan mobilnya. "Gue yang makasih, yaudah lo masuk sana, udah malam." Angel mengangguk. Setelah Angel turun, Bimo langsung berpamitan. Meski Bimo terkadang terlihat tidak peduli, ia masih memikirkan keadaan Alex . Bimo juga khawatir dimana Alex berada.

Ada sebuah tempat yang menjadi favorit Alex. Sebuah kafe tidak jauh dari kosan Angel. Bimo turun dari mobil, menghampiri pemilik kedai. Bimo memesan segelas teh hangat dan duduk sendiri karena hanya ia yang berada disana.

"Cari Alex?" Tanya pemilik Kedai meletakkan pesanan Bimo. Seolah tau alasan kenapa Bimo ada disana. Lelaki itu menggelang untuk menjawab kedatangan Bimo.

Ketika Bimo memutuskan pergi, sesuatu yang menarik mencuri perhatiannya. Meninggalkan Mobilnya dan berlari dengan perasaan panik. "OM!" Pekik Bimo dengan nafas tersengal, mendekati sekelompok lelaki. Orang yang Bimo panggil 'Om' terlihat kaget dengan kedatangannya. Bimo mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya untuk mendekati perempuan yang sudah tergeletak tidak sadarkan diri di tanah. Bimo mengeraskan rahangnya, jika saja lelaki itu tidak ada hubungannya dengan Alex, mungkin Bimo sudah menghancurkan wajahnya.

"Bimo? Kamu, kenapa bisa disini?"

Bimo mengepalkan tangannya. "Anggap saja aku tidak melihatnya, Om bisa pergi sekarang." Kalimat dingin Bimo berhasil mengusir Danang. Tatapan tajam Bimo tidak lepas sampai mobil sedan itu menghilang dari pandangannya. "Ngel? Angel? Shit!" Bimo membawa Angel pergi.

-

Suara desahan kecil keluar dari bibirnya. Gerakan yang perlahan lambat semakin cepat. Matanya yang terpejam berusaha untuk terbuka. Kedua tangannya
mengepal kuat saat titik yang ia inginkan akan segera datang. Tubuhnya semakin menggeliat tidak tertahan. Rasa panas dan tangan lincah itu menggelitik seluruh tubuhnya yang bertelanjang dada. Dinginnya AC begitu terasa di kulitnya Bergetar saat ada tangan menyentuh seluruh tubuhnya.

Merasakan apa yang di alaminya begitu nyata. Alex membuka kedua matanya lebar dengan nafas terengah. Keringat sudah membanjiri tubuhnya. Penglihatannya memutar dan sedikit kabur karena cahaya lampu yang menembus pupilnya.

"Hey, baby?"

Suara itu bagaikan bom di telinganya. Alex membuka kedua matanya lebar dengan jantung yang berdetak cepat. Dadanya naik turun. Kepalanya semakin berat dan pusing. Alex menghentakkan kepalanya ke bantal berulang kali. Ia menggeleng kuat saat tangan itu masuk ke celananya dan menyentuh miliknya. Tangan yang sejak tadi menyentuh tubuhnya dan bermain di bawah sana.

"You like it? Gue bisa lakuin itu buat lo."

"Jangan Fer," Suara Alex parau dan lemah. "Jangan lagi." Alex berusaha menarik kedua tangannya yang terikat ditiang tempat tidur.

"Kenapa? Gue manjain lo, Lex. Kenapa lo nggak mau?"

"FUCK YOU GLEEN!" Teriak Alex murka. Ferdy tersenyum miring, menarik tangannya yang dari tadi berada dalam celana Alex. "JANGAN SENTUH GUE, ANJING!"

Ferdy terdiam, melihat pergelangan tangan Alex yang kebiruan karena terlalu lama terikat. Jujur, Ferdy ingin melepaskan tali itu sejak ia tahu kalau Danang mengurung Alex. Niatnya itu sudah Ferdy pikirkan. Membebaskan Alex dari Danang.

Karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Ferdy lebih memikirkan egonya. Ia ingin Alex menjadi miliknya.

"Om Danang hanya percaya sama gue. Makanya gue diizinkan masuk nemuin lo." Migel memberontak. "Kalau aja lo bisa berperilaku adil sama gue. Jangan lihat gue dengan tatapan jijik seolah gue adalah sesuatu yang harus dimusnahkan. Gue juga bisa terluka, Alex."

"Lo gila, Ferdy!"

"Sebut aja gue itu. Karena orang gila nggak mikir buat ngelakuin sesuatu." Ferdy merangkak mendekati Alex. Menyentuh wajah lelaki itu. Alex membuang pandangannya untuk menyingkirkan tangan Ferdy. Ia meludahi lelaki itu.

"Jangan. Sentuh. Gue."

Ferdy mengelap wajahnya dengan gerakan anggun menggunakan tisu. Ia tidak marah atau kesal meski Alex melakukannya berulang kali.

"Lo nggak bisa apa-apa Lex. Gue menang," Ferdy tersenyum. "Gue bisa ngelakuin hal yang pernah kita lakuin dulu."

"Anjing! Sialan! Pergi lo brengsek!" Teriak Alex menggebu-gebu. "Jangan. Sentuh. Gue."

"Why? Dia berdiri waktu gue sentuh." Ferdy memasukkan kembali tangannya.

"Jangan lagi, Fer. Gue mohon." Alex menggeleng.

"Malam ini, Om Danang berencana menemui Angel," Alex membuka matanya dengan dada naik turun dengan cepat. "You know that, apa yang bakal dilakuin bokap kesayangan lo itu. Mukul anak kandungnya hingga lima hari nggak sadarkan diri aja dia berani, apalagi dengan seorang cewek lemah seperti Angel. Berdoa aja, setelah lo bebas, Semoga Angel masih bisa berdiri di hadapan lo."

"Jangan, jangan sentuh dia." Alex menggeleng kuat. Pikirannya sudah membayangkan yang tidak-tidak.

"Lo cinta sama dia?" Alex menghentikan gerakkan kepalanya. "Kalau iya, gue dukung Om Danang kali ini." Alex kembali berteriak kesal. "Gue bisa bebasin lo malam ini buat lindungi Angel,"

Alex menggeleng. "Nggak, Fer. Gue nggak mau. Jangan kasih gue pilihan itu lagi." Ferdy menarik tangannya, melipatnya di depan dada. "FUCK YOU FERDY! GUE BERSUMPAH GAK AKAN MAAFIN LO ANJING!"

"Gue selalu punya kesempatan itu agar lo berkata yes akhirnya." Ferdy berdiri. "Kalau gitu, gue pergi. Gue nggak mau ketinggalan tontonan menarik."

"FINE!"

Kaki Ferdy terhenti di depan pintu. Ia berbalik menatap Alex dengan senyuman kemenangan. "Lo selalu berada di tangan gue, Alex."

'Gue benci Mama'

Rasa jijik menyelimuti Alex. Untuk kedua kalinya ia merasakan pelecehan yang dilakukan Ferdy. Dua kali Alex nyaris bunuh diri setelah itu. Bersetubuh dengan seorang lelaki. Alex benci tubuhnya. Ia jijik dengan tubuhnya sendiri. Perasaan hambar. Campur aduk dan tangan handal Ferdy membuat Alex tidak bisa berkutik. Ia seperti mayat hidup. Untuk membuka mata saja Alex tidak sanggup. Desahan yang seharusnya menjadi lagu penghantar tidur menjadi suara lonceng neraka.

"Sentuh gue. Lo orang yang konsisten, setelah ini lo bisa pergi." Bisik Ferdy sensual.

Dalam bayangan Alex sekarang adalah Angel yang tergeletak berlumuran darah berhasil menggerakkan tangan Alex. Jangan Angel. Jangan sentuh miliknya! Air mata itu jatuh dengan sendirinya. Tidak berbekas karena terlalu cepat. Memuaskan seorang gay. Alex menjadi budak nafsu dari seorang Ferdy. Bersentuhan kulit, saling bertaut bibir dan mengeratkan pelukan satu sama lain.

Di otaknya, hanya ada malam ini. Karena Alex akan bunuh diri setelahnya. Ia seperti di penjara oleh seorang Ferdy. Seharusnya ia membunuh lelaki itu agar hidupnya tenang. Alex tidak bisa melakukannya, bahkan untuk memelintir tangan Fedry.

Semua karena Mamanya. Membuat Alex tidak bisa melukai seorang Ferdy. Mama tidak pernah berpikir jika Alex akan jauh lebih terluka hanya karena kalimat yang selalu terdengar di telinganya.

Ferdy memakai baju dan celananya kembali. Seperti di cas, ia terlihat berseri. Berbeda dengan Alex yang terbaring dengan pandangan kosong.

"Good nite, honey." Ferdy mencium kening Alex dan pergi dari sana.

Air mata Alex jatuh. Dengan sisa tenaganya, Alex mencari bajunya. Memakainya dengan asal. la berjalan keluar dengan tertatih. Penampilaannya begitu naas. Seperti orang tidak tahu tujuan, berjalan
lalu terjatuh, berdiri lagi lalu terjatuh lagi. Kakinya begitu lemas, membuat Alex merangkak dengan tubuh bergetar. Bulir bening membashai lantai keramik.

'Lily.. Gue butuh Lily.' Batin Alex.

Bola mata Alex berputar. Ia menghadang sebuah taxi dengan memeluk tubuhnya sendiri. Berusaha berfikir normal untuk tidak meloncat dari dalam taxi. Jangan. Alex tidak boleh bunuh diri. Ia harus melindungi Angel dan Alex butuh Lily agar bisa melakukannya.

Mengetuk kamar Lily. Alex menarik rambutnya kasar karna Lily tidak kunjung membuka pintu. Alex meringis, pikirannya kosong.

"Alex," Panggilan itu membuat Alex berbalik cepat, ia langsung memeluk Lily erat. Jika saja Lily tidak menahan tangannya di pintu, ia akan jatuh terjerembab ke belakang karena pelukan yang datang tiba-tiba.

Alex meremas bagian belakang baju Lily. Perempuan itu bisa merasakan tubuh Alex bergetar. Air mata Lily
jatuh, paham dengan kondisi yang sedang Alex alami. "Are you okey?" Nada suara Lily bergetar, menahan kepedihan. Alex menggeleng cepat. "Its okey, its okey. Lo sama gue," Lily mengusap pundak Alex. "Gue hilangin sentuhan dia, Lex. Its okey, lo baik."

Suara tangis Alex akhirnya pecah. Lily melepaskan pelukannya. "Lex? Sadar please, Gue hilangin sekarang." Membuka baju Alex cepat dengan perasaan panik. "Lo nggak boleh kehilangan kepercayaan diri, Lex. Lo bisa melalui ini sebelumnya. Lo bisa datang kapanpun lo mau." Air mata Lily jatuh. "Lo nggak papa Alex. Lo okey," Ujar Lily menyakinkan.

Tubuh Alex merosot dan terduduk lemas di lantai. Lily ikut berjongkok. Ia membingkai wajah Alex. "Lex? balik ke diri lo! Alex!? Alex sadar?!" Lily memeluk erat Alex dengan panik. "Dia sentuh dimana? Bilang sama gue? Cium lo?" Lily mencium bibir Alex sekilas. "Lex?" Lily tersisak. "Please sadar, Alex ?! Lo bisa lewatin ini bertahun-tahun. Lo pasti bisa kali ini. Lo bisa, Lex."

Lily berdiri, hendak mengambil ponselnya menghubungi taxi. Alex langsung menahan tangannya. "Lex?" Panggil Lily menghapus air matanya.

Bola mata Alex bergerak. Membuat jatuh air mata yang sudah bertumpuk. "Sentuh gue Ly. Sentuh gue." Ujarnya parau.

Lily mengangguk cepat.

-Lelaki berusia dua belas tahun itu tidak henti-hentinya tersenyum melihat perempuan yang sedang bernyanyi untuknya. Elusan lembut dirambutnya selalu membuatnya tenang sebelum tidur. Diringi dengan suara merdu sampai terlelap. Kadang di gantikan dengan cerita dongeng.

Elusan tangannya terhenti. Mencium hangat kening putranya. "Kenapa belum tidur, sayang," Alex menggeleng tersenyum memeluk Mama erat.

"Ma? Kenapa Alex harus jaga Ferdy? Mama bilang lelaki harus melindungi, bukan di lindungi," Alex
menjauhkan kepalanya dengan tangan yang masih melingkar di pinggang Mama. ia mendongak.

Mama mengelus pipi Alex, menyentuh alis dan hidung anaknya. "Nak, Alex harus inget pesan Mama, ya," Alex mengangguk. "Alex udah besar, Mama harap Alex bisa mengerti setelah Mama kasih tau. Keluarga Ferdy bukan seperti keluarga kita yang lengkap. Alex punya Mama, punya Papa yang bisa dengerin apapun mau Alex. Kamu beruntung, beda sama Ferdy. Dia anak yang tidak diharapkan. Mama sering dengar kalau Tante Jiah mau aborsi. Tapi Mama selalu tenangin dia, anak nggak salah apa-apa. Karena kondisinya sama seperti Mama yang lagi mengandung Kamu. Mama ngerti perasaan seorang ibu, ia hanya kesal pada suaminya yang sering pergi sama perempuan."

Mama memberi jeda sebentar. "Sejak Ferdy lahir, Tante Jiah lepas tangan. Mama yang selalu bolak-balik urusin kamu dan Ferdy. Suami istri itu tidak perduli sama Ferdy. Mereka sibuk masing-masing, Ferdy sering menyaksikan pertengkaran hebat dari kecil, dipukuli sama orang tuanya. Mama selalu nangis kalau Ferdy malam-malam ketuk pintu dengan kondisi tubuh memar. Mama bayangin kamu, Jadi nggak tega
kalau lihat Ferdy. Makanya kamu jangan kasar ya, sama dia. Jangan lakuin kekerasan apapun kalau Ferdy salah. Nak, dia yang paling terluka di sini. Alex harus jaga dia, ya."

Alex mengangguk. Memeluk Mama kembali. "Alex sayang Mama,"

"Mama lebih sayang sama Alex,"-

Elusan itu kembali membuat Alex menghentikan gerakan mulutnya. Kembali tertidur pulas. Tubuhnya kembali tenang dengan nafas teratur. Lily mencoba
mengembalikan pandangannya yang kabur sesaat. Menarik tangan kirinya yang dari tadi mengelus rambut Alex. Lily memejamkan matanya sejenak.

Tidak mudah untuk mengembalikan penglihatannya. Lily selalu takut jika trauma Alex kembali. Lelaki itu akan bermain sampai merasa kepercayaan dirinya kembali, tidak tahu berapa lama. Semalaman? Iya. Lily harus menyentuh setiap bagian tubuh Alex, untuk membersihkan sentuhan seorang gay.

Lily terduduk. Memakai bajunya, mengambil air dingin dan sebuah handuk kencil untuk mengompres Alex. Lelaki itu pasti langsung demam setelah ingatannya kembali. Rasa kantuk karena tidak tidur semalaman membuat kedua matanya kadang terpejam sebentar yang dengan cepat terbuka karena Lily harus memastikan Alex kembali ke jati dirinya.

Seorang Alex yang semua orang tahu sosok yang sangat kejam, keras kepala dan suka mematahkan tangan orang di ring. Bisa sangat rapuh saat ingatannya kembali. Lily selalu menangis melihatnya. Kenapa Ferdy yang sudah Alex anggap sebagai saudara melakukan hal yang keji pada Alex. Alex menjadi pribadi yang sok kuat untuk mempertahankan dirinya.

Lily menyerah, rasa kantuk itu menguasai dirinya. la tertidur dengan posisi kepala di kasur dan tubuhnya masih di lantai. Tangan kirinya menggenggam tangan Alex. Berharap perjuangan Lily semalam tidak sia-sia untuk mengembalikan Alex seperti semula. Lily melakukannya karena ia kasihan pada Alex. Mengimbangi permainan kasar Alex saat ingatannya kembali sedang disetubuhi seorang gay. Lily tersentak. la mengerjapkan matanya sejenak sebelum menegapkan tubuhnya. Menatap Alex yang masih tertidur lalu beralih menatap pintu. Lily menguncir rambutnya asal dan berjalan membuka pintu.

Jam dua siang ditariknya pintu ke belakang. Memperlihatkan sosok lelaki yang langsung menatap tajam ke arahnya. Lily meremas tangannya yang masih berada di knop pintu. Jantungnya berdetak tidak karuan.

"Jadi lo sembunyiin dia?"

Lily menghalangi Bimo yang ingin masuk ke kamarnya. "Nggak, Bim. Biarin Alex istirahat dulu."

"Istirahat?" Bimo berkacak pinggang. Tersenyum miring dengan kening berkerut. "Bangunin dia atau gue yang bangunin," Lily tidak bergeming.

Bimo menghembuskan nafasnya pelan. Membuang pandangannya sejanak sebelum menatap Lily lama. "Lepasin dia, Ly." Bimo melunak. "Lepasin Alex, harus ada salah satu yang mengalah. Kalau Alex nggak bisa lepasin lo, lo yang harus lepasin dia,"

Lily menggeleng pelan. Ia bisa saja melepaskan Alex. Pergi jauh dari lelaki itu, Lily pernah memikirkannya. Tapi pada akhirnya Alex yang akan tersiksa, bukan dirinya. "Bukan gue yang butuh dia, tapi dia yang butuh gue. Lo nggak tau apa-apa, Bim"

"Gue tahu dia!" Bimo mengatupkan rahangnya. Mendorong kasar tubuh Lily lalu menerobos masuk. Menarik kerah baju Alex sampai lelaki itu terbangun dengan posisi duduk. "Ikut gue," paksanya.

"Bim jangan!" Lily menghalangi saat Bimo menarik Alex dengan kasar. Tidak ada perlawanan yang Alex lakukan, menandakan Alex belum kembali ke jati
dirinya. "Bimo, dia sakit!" Pekik Lily panik.

"Sakit?" Bimo menatap Alex. "Kalau gitu gue sembuhin,"

Lily memekik saat Bimo langsung memberikan pukulan bertubi-tubi pada Alex tanpa kenal ampun, sudut bibir Alex langsung mengeluarkan darah segar.

Alex tidak melawan, ia hanya terlentang saat Bimo memberikan pukulan yang tidak bisa membangunkan stimulus syarafnya untuk merasakan rasa sakit.

"BIMO CUKUP! LO BUAT DIA MATI!"

"Dia pantas mati," Bimo berdiri dengan kedua tangan masih mengepal. Ia menginjak leher Alex dengan kakinya. Alex tersedak. "Gue bilang jangan main-main kali ini. Lo sembunyi sama Lily dan tinggalin Angel gitu aja. Lo nggak gentle, Lex. Lo bajingan!"

"Bimo cukup!"

"Stop JALANG!" Lily membungkam seketika. Bimo menunjuk dengan murkatepat di depan wajahnya. Seperti sebuah tembakan yang tepat bersarang di jantungnya. Sebutan itu sudah sering ia dengar sebelumnya. Namun sangat perih dan sakit saat Bimo yang mengatakannya.

Lily mengepalkan tangannya. Ia menatap Bimo dengan tatapan yang sulit diartikan, ada kebencian di sorot mata lelaki itu. "Lo emang cocok sama Alex. Brengsek," Air mata Lily jatuh tanpa di minta. "Jangan coba halangin gue." Ancam Bimo dengan nafas naik turun dengan cepat. Semua urat leher dan tangannya terlihat.

Lily mengulum bibirnya. Matanya berkaca-kaca. "Gue emang jalang, Bim. Gue tau diri." Lily menghapus air matanya kasar. "Lo boleh anggap gue apapun yang lo mau. Gue bukan orang yang cepat putus asa hanya karna ucapan menyakitkan. Itu biasa buat gue. Lo boleh sakitin gue, tapi jangan Alex," Lily menatap Alex yang tatapannya kosong.

"Bagus. Sebutan cinta menjijikan yang pernah gue dengar," Bimo menunduk, ia menekan kakinya. Membuat Lily mengalihkan pandangannya tidak tega melihat Alex . "Puas? Lo bilang mau lindungin Angel, Anjing! Lo dimana waktu bokap lo datang nemuin dia, hah?!!" Bola mata yang tadinya diam, perlahan bergerak. Menutup dan terbuka. "Main sama jalang?! LO BUAT MANDA TERLUKA! DIA MASUK RUMAH SAKIT KARENA LO, BANGSAT!"

Bola mata Alex bergerak cepat. Kanan-kiri, atas-bawah. "Kalau aja semalam Angel nggak lagi sama gue, mungkin dia akan terlelap selamanya. Lo bajingan, Alex." Bimo mendorong leher Alex dengan kakinya sebelum membebaskan lelaki itu. "Kali ini lo harus lepasin Angel. Jangan pernah temuin dia. Dan, teruslah bersembunyi diselangkangan seorang jalang," Lily menggigit punggung tangannya. Menangis dalam diam.

Bimo keluar dengan langkah lebar bercampur emosi. Awalnya ia berpikir Alex pergi untuk menenangkan diri. Ternyata salah, seorang Alex tidak pernah berubah secepat itu. "Dimana Angel?" Langkah Bimo terhenti. Lily menoleh cepat, Alex bangkit berdiri
dengan tertatih, matanya merah. Meski bibirnya sedikit pucat. Terlihat aura Alex sudah kembali.

Bimo berbalik. Ia tersenyum sinis. "Apa? Jangan harap gue kasih tahu di mana dia sekarang,"

"DIMANA MANDA, ANJING!"

-

"Makasih," Ujar perempuan itu sambil menunduk, berpamitan pada perawat yang baru saja melepaskan infus di tangannya. Angel menapakkan kakinya dilantai. Berjalan keluar kamar. Sebenarnya ia masih belum diperbolehkan pulang. Angel yakin ia tidak apa-apa, rumah sakit bukan tempat yang cocok untuknya. Baru semalam berada disana, Angel sudah bosan.

Memberikan senyuman pada beberapa orang yang sedang menunggu di lorong koridor. Senyuman manisnya seakan menyihir seluruh orang yang melihatnya, mereka membalas senyuman Angel tidak kalah ramah. Menghembuskan nafasnya. Jika lorong koridor tadi ramai orang yang sedang menunggu, sekarang sangat sepi. Langkah kaki Angel terdengar meski sangat pelan. Kedua tangannya saling bertautan. Sepatunya berdecit pelan. Angel mengangkat wajahnya, terdengar suara langkah besar yang berjalan mendekat.

Jantungnya berdetak kuat. Perlahan, kakinya mundur sendiri. Matanya tetap fokus pada koridor yang sepi, suara langkah semakin mendekat. Hingga sesosok tubuh muncul dari balik tembok. Seperti menonton film. Adegan dipause sejenak. Angel terdiam, sama seperti orang yang berdiri sepuluh meter darinya. Kaki Angel rasanya sangat lemas. Memastikan sekali lagi jika di hadapannya saat ini adalah sosok yang dia cari.

Bukan halusinasi, ia sudah hampir gila karena merindukannya. Rasa takut berubah menjadi rasa nyaman. Angel tidak takut jika orang-orang kejam itu
kembali menemuinya, memukul kepalanya ataupun mendorong tubuhnya ke aspal. Angel yakin, orang jahat tersebut tidak akan bisa menyentuh sehelai rambutnya sedikitpun kali ini. Kenapa? Karena pelindungnya kembali. Alex kembali dan Alex akan berdiri di depannya.

Air mata jatuh begitu saja saat lelaki itu melangkah mendekat dengan gagahnya. Angel mendongak. Ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu milik Alex. Tangan kekar itu perlahan terangkat. Membuat Angel terpejam dengan sendirinya. Sentuhan lembut dikeningnya. Menikmati sensasi nyaman dalam perlindungan Alex. "Maafin gue, Ngel," Suaranya yang sudah sangat lama tidak Angel dengar. Sangat pelan
berhasil menghangatkan. "Gue nggak berhasil jaga lo lagi. Maafin gue,"

Angel membuka matanya perlahan. Memastikan bahwa di hadapannya sungguh Alex. Tangan kiri lelaki itu menghapus air mata Angel. Mengelus pipinya. "Apa yang mereka lakuin? Mereka sentuh yang mana lagi?" Angel tidak bergeming. Sudut bibir Alex berdarah. Tangan Angel mengepal. "Gue pastiin ini nggak akan terjadi lagi, gue nggak akan biarin mereka sentuh lo lagi."

Angel menatap lurus, berhadapan dengan dada Alex yang bidang. Menarik nafasnya dan membuangnya perlahan. Angel mengambil satu langkah ke samping dan berjalan meninggalkan Alex.

Lelaki itu terdiam ditempatnya berdiri dengan ekspresi sulit di jelaskan. Alex menunduk, sakit namun tidak bisa Alex katakan dimana bagian tubuhnya yang merasakan rasa itu. Angel berhak marah. Angel berhak membayangkan yang tidak-tidak karena ia menghilang. Tapi, ada yang harus Angel ketahui.

Malam itu, saat pertengkaran dirinya bersama Bimo. Untuk pertama kalinya Alex membutuhkan Angel bukan Lily. Alex menyebut nama Angel bukan
Lily. Otaknya memikirkan Angel bukan Lily. Langkah kakinya bergerak cepat menuju Angel. Tapi semuanya menjadi gelap saat sebuah pukulan maha dahsyat di tengkuk lehernya malam itu.

"Kamu mau antar aku pulang apa mau berdiri di situ terus?" Jantung Alex berdetak. Ia berbalik cepat, Angel berdiri lima meter dari tempatnya. "Kamu mau
jemput aku kan?" Alex langsung tersenyum kecil yang dibalas Angel dengan senyuman hangat. Alex tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan perempuan kecil itu. Menghancurkan seluruh saraf otaknya. "Yaudah, ayo," Alex mengangguk. Berjalan bersisihan menuju parkiran.

"Motor kamu mana? Kenapa pake mobil Kak Bimo?" Tanya Angel setelah keduanya sudah berada dalam mobil.

"Apartemen,"

Angel mengangguk pelan. Menyandarkan kepalanya kebelakang dengan wajahnya menatap jendela. Ia bingung harus membicarakan apa, rasa canggung hanya untuk sekedar bertanya 'kamu kemana' tidak bisa terucap dibibirnya. Angel memilih diam, Alex juga tidak banyak bertanya.

"Stop di apotik bentar,"

Alex menoleh. "Kenapa? Obatnya ada yang kurang?" Angel mengangguk. Alex menepikan mobilnya. Membiarkan Angel keluar membeli sesuatu, tidak menunggu waktu lama Angel sudah kembali.

"Nanti, jangan jalan dulu," Angel mengeluarkan isi dari kantung plastik ke pangkuannya. Alex menoleh. "Deket sini,"

"Kenapa?" Angel mengeluarkan sebuah kapas alkohol, "Gue nggak papa,"

"Sudut alis kamu berdarah, bibir juga. Sini deketan," Alex tersenyum kecil. Mendekatkan wajahnya pada Angel. Aroma Lavender seperti pertama kali ia bertemu dengan perempuan itu masih sangat terasa. Alex menatap perempuan itu dengan jarak yang sangat dekat, meneliti wajah Angel sekali lagi. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, Untuk ukuran cantik, masih sederhana. Angel manis.

Angel memfokuskan matanya pada luka Alex, sambil menormalkan detak jantungnya karena terlalu dekat dengan lelaki itu. "Wajah kamu kenapa? Berantem lagi?" Alex tidak menjawab, ia mengunci tatapan Angel. "Pasti iya," Alex tersenyum kecil membuat Angel menatap bibir Alex sebentar sebelum akhirnya saling bertatapan dengan Alex.

"Nggak," Alex menggeleng. "Gue pantas mendapatkannya,"

"Kenapa?"

"Balasan karena gue nggak bisa jaga lo," Ucap Alex pelan. "Sakit?" Ia beralih menatap kening Angel.

Angel menggeleng, meraba perban di keningnya. "Dua jahitan. Tapi nggak papa," Ucapnya tersenyum. Membuka plester dan menempelkannya di sudut alis Alex. Angel terpesona. Jujur, alis Alex sangat tebal membuat tangannya tanpa sadar mengelusnya. "Aku suka alis kamu,"

"Orangnya suka nggak?" Tangan Angel menjauh. Bibirnya membentuk garis lurus. "Kalau suka bilang, ya."

"Kamu, ih," Angel mendorong bahu Alex . "Udah, jalan sana," Ujarnya dengan kedua pipi memerah, Angel memasukkan kapas dan alkohol ke kantung plastik.

Alex terkekeh pelan dan mengemudikan
mobilnya pelan. "Ngel?"

"Em?"

"Lo nggak mau tanya gue kemana?"

"Emang kamu mau jawab kalau aku tanya?" Alex menggeleng pelan. Angel tidak harus tahu dan tidak boleh tahu. "Yaudah. kamu emang selalu gitu."

"Intinya gue disini sekarang,"

"Iya, besok pergi lagi. Terus, dateng lagi. Rute perjalanan kamu emang gitu kan?"

"Em, lo rute terakhir perjalanan gue." Angel mendengus. "Kangen sama gue, nggak?"

"Nggak"

"Tapi gue kangen lo," Angel menutupp wajahnya malu. Alex tertawa kecil.

"Kadang hati sama pemikiran nggak sejalan sama omongan, apalagi tindakan."

Alex menarik tangan Angel. "Jangan ditutupin, gue masih kangen lihat muka lo."

"Alex ih, aku malu," ringisnya.

"Kenapa malu? Lo pake baju,"

"Tau ah, males." Angel menyerongkan tubuhnya menghadap jendela.

"Sadis banget gue di suruh liatin punggung lo." Angel tidak bergeming. "Ya udah iya, nggak buat malu lagi. Duduk yang bener." Manda memutar tubuhnya, kembali ke posisi semula.

"Udah makan?"

"Kenyang lihat lo,"

-

Diiringi kebencian, murka dan emosi menjadi satu. Langkah lebar dengan sorot mata tajam. Dada naik turun dengan cepat dan seirama. Sepatunya berdecit pelan menyentuh lantai keramik. Dua orang yang menjaga dipintu sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Coba menghalangi, maka akan bernasib sama. Sekarang ia berdiri di sebuah pintu kokoh, pengawal
yang menjaga pintu tersebut sudah tidak bisa menghalanginya.

Alex menendang sebuah pintu hingga terbuka lebar. Orang yang sedang duduk di kursi kerajaan langsung menatap ke arahnya. Tanpa rasa takut, Alex mendekati dan menggebrak meja dengan kedua tangan. Urat lehernya terlihat, rahangnya mengeras dan matanya menatap tajam orang itu.

"Gak punya sopan santun, kamu?"

"Seharusnya saya tanyakan itu pada anda." Alex mencondongkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangan masih berada di meja. "Orang berpendidikan seperti anda bahkan tidak bisa menggunakan otak
untuk berfikir dan mulut untuk berbicara," Danang menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Jangan coba untuk mengendalikan saya. Anda tidak berarti sama sekali dalam sejarah hidup saya. Coba
hancurkan hidup saya, maka saya akan menghancurkan hidup anda."

"Papa berhak mengatur kamu!"

"Anda bukan Papa saya! Tidak ada orang tua yang memukul anaknya sendiri selama lima hari hingga tidak sadarkan diri! Mengikat kaki dan tangan seperti
binatang!" Alex mengepal kan tangannya. "Dengar baik-baik Pak Wali Kota yang terhormat, Jangan ganggu hidup saya lagi. Jangan ikut campur dan jangan temui saya." Alex menegapkan tubuhnya. "Sekali lagi anda sentuh dia. Saya akan bongkar ke media tentang kematian istri anda."

"Kamu mengancam Papa?"

"Tidak. Itu sebuah peringatan."

"Kamu anak durhaka!" Danang berdiri. "Saya yang sudah membesarkan kamu, memberi kamu uang, menyekolahkan kamu, saya sudah kasih yang terbaik, tapi seperti ini balasan kamu?!"

"Seorang anak yang baik dibesarkan dengan cara yang baik oleh kedua orang tuanya. Anak cerminan orang tua. Sebaiknya anda mengaca, apa anda sudah menjadi orang tua yang baik? Atau perlu saya belikan kaca yang besar? Jangan sebut saya anak durhaka, karena saya tidak punya orang tua sekarang,"

"Saya menyesal membesarkan kamu."

"Saya jauh lebih menyesal lahir dari sumbangan sperma anda." Danang mengepalkan tangannya. "Jangan sentuh dia."

Alex menghidupkan mesin motornya dan keluar dari rumah mewah miliknya. Rumah yang dulu menjadi tempat ternyaman sudah berubah menjadi sebuah neraka. Dengan harapan, ini terakhir kalinya Alex menginjakkan kakinya disana.

Alex melesat cepat di jalan raya. la butuh uang. Alex butuh banyak uang sekarang. OX adalah jalan satu-satunya mendapatkan uang tanpa bersusah payah. Alex sudah lama absen dari ring, sudah saatnya ia kembali keperuntungannya. Suara sorak saat ia kembali ke atas ring di sambut antusias. Tampaknya mereka sudah lama merindukan penampilan Alex. Terdengar nama Alex terus di sebut sepanjang pertandingan. Cepat, mudah dan menang. Alex tidak akan membiarkan wajahnya kembali terluka. Ia tidak ingin Angel berpikir aneh lagi tentang dirinya.

Rekening Alex terisi. Ia tergeletak dengan posisi terlentang saat di umumkan siapa pemenang di pertandingan terakhir. Tidak ada ekspresi berlebih. Alex melepaskan sarung tinju lalu melemparnya asal. Perlahan suara sorak pendukungnya menghilang. Alex mengatur nafasnya sejenak dengan kedua mata terpejam.

"Waw, waw, waw." Alex membuka matanya, ia merubah posisinya menjadi duduk. "Akhirnya seorang Alex kembali, why? Jatuh miskin lo? Padahal bokap lo kaya, iya nggak?" Alex melepaskan bajunya dan berdiri.

"Gue nggak punya urusan sama lo,"

"Gue ada." Nando menjadi serius, berjalan mendekati Alex dan langsung melemparkan pukulan dipipi Alex.
Alex terhuyung ke belakang. Ia melempar bajunya dan berniat membalas pukulan Nando, tangannya terhenti di udara saat Nando berteriak. "CAP STEMPEL!" Alex terpaku. "Lo gila!"

"Tau dari mana lo?" Nando tersenyum sinis, mendorong tubuh Alex. "Lo coba sentuh dia?" Alex menatap tajam.

"Apa itu penting? Tutup mulut lo. Angel akan tetap aman selama ada gue. Jangan ikut campur." Alex melompat turun dari ring. Menuju ruang ganti, memakai bajunya dan melesat keluar dari OX. Tidak ada yang menjamin sampai kapan Nando akan tutup mulut, Alex yakin, Nando tidak akan menempatkan Angel dalam bahaya. Karena Alex bisa melihat, lelaki itu menyukai Angel.

Alex dikurung dan diikat dalam kamar dengan luka disekujur tubuhnya. Alex tersiksa karena perbuatan ayah dan sahabat lamanya hinggap kehilangan jati dirinya. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang dilakukan ayah dan sahabatnya itu? Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience