25. Pesona Lain Pesta Pernikahan

Romance Completed 1105

Pergi bukan pilihan. Meninggalkan bukan sebuah akhir. Kembali pada yang sudah terlepas atau tetap berdiri di satu tahap. Yang berlalu biarkan menjadi masa lalu. Jangan lupakan, jadikan sebuah pelajaran.

Alex menuangkan susu coklat ke dalam mangkuk yang berisi sereal. Matanya masih sayup-sayup terbuka dan tertutup dengan gerakan lambat. Rambutnya berantakan menambah kesan sexy. Belum lagi Alex tidak mengenakan baju, menyisahkan sebuah boxer hitam yang celana dalam bagian atas miliknya terlihat. Karena tidak ada sendok bersih, Alex memilih satu sendok dalam wastafel yang sudah bertumpuk bersama piring kotor. Mencucinya asal lalu mengelapkan sendok yang masih basah pada boxer yang ia pakai.

Berjalan menuju ruang tengah, bersamaan dengan pintu apartemen miliknya yang terbuka. Alex menghempaskan pantatnya disana. Kedua kakinya di angkat ke sofa, mulai mengisi perut yang keroncongan. Leon masuk begitu saja, meletakkan sebuah kota di meja hadapan Alex.

"Itu apaan?" Alex menunjuk kotak yang dibawa Leon dengan dagunya. "Jangan nyampah di apartemen gue,"

Leon mendengus. Alex tidak begitu exited, ia hanya melirik sesekali sampai Leon melemparkan sebuah botol bening berukuran sedang yang ditangkap Alex dengan refleks.

"Apaan?"

"Undangan,"

Alex mengerutkan keningnya, meneliti botol ditangan kirinya. Terdapat satu gulungan kertas coklat dalam botol. Cara cepat untuk mengeluarkan isi di dalam botol adalah dengan melemparkannya ke dinding, dan Alex melakukannya. Membuat Leon terdiam di tempat duduknya, menatap tidak percaya apa yang barusan Alex lakukan. Tanpa dosa, Alex menurunkan kakinya. Mengambil gulungan kertas itu dengan jemari kakinya.

"Tai. Undangan mahal gue tetap nggak berharga di mata lo," Leon menatap datar. "Untung teman kayak lo hanya satu. Bisa makan hati gue,"

Alex membacanya sekilas lalu melemparkan kertas itu di meja. "Baru kali ini gue lihat ada undangan yang isi alamatnya 'Open website'. Sok terkenal,"

"Bukan gitu. Masalahnya, orang tua gue nggak setuju sama ide tempat dan konsep Luna. Luna maunya yang simple, yang hadir hanya sahabat terdekat dan keluarga aja. Nah, nyokap gue nggak setuju. Dia bilang gue kan anak satu-satunya, jadi pernikahan harus diadakan besar-besaran. Sumpah gue puyeng, Sampai sekarang tempatnya belum ketemu, kesel gue. Ya udah, gue tulis aja 'open website'. Yang penting undangan udah gue sebar,"

Alex mengangguk pelan tanpa serius mendengarkan curhatan sahabatnya. "Yakin lo mau nikah?"

Leon beranjak dari tempat duduknya. Melihat Alex yang makan sereal, perutnya yang belum terisi apapun dari tadi pagi meminta pertolongan. "Akhirnya gue juga akan nikah sama dia. Cepat atau lambat. Hanya beda waktu aja. Kenapa?"

"Nggak. Good luck aja,"

"Jangan bilang lo nggak mau datang," Jika Alex dan Bimo suka susu coklat, maka Leon susu putih. "Gila aja, masa iya lo nggak mau hadir ke acara pernikahan temen lo sendiri?"

Alex tidak menjawab, mengganti chanel televisi dengan menekan remot di meja menggunakan jempol kakinya. Alex mengerutkan keningnya melihat panggilan masuk di handphone milik Leon. Ia menggeser tombol hijau itu ke samping masih dengan jempol kakinya. Menekan tombol speaker.

"Rom, gue nggak bisa hadir ke pernikahan lo,"

"Yee anjing!" Leon yang mendengarnya berteriak dari dapur. Menutup susu kemasan dan meletakkannya di meja. Berjalan menuju sofa dengan semangkuk sereal di tangan kirinya.

"Gue nggak bisa izin kampret. Ngeselin,"

"Bodo. Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus ada dipernikahan gue. Kalau lo beneran absen, gue nggak akan hadir ke acara pernikahan lo, anak lo, cucu lo, dan yang bersangkutan sama lo gue nggak akan hadir." Alex tersedak. Terdengar umpatan Bimo di ujung telpon.

"Sumpah lo sok rajin, sok sibuk, sok paling banyak kerjaan padahal kerjaan lo bolos," Sembur Leon. "Kerjaan lo di rumah sakit paling tidur doang"

"Ejek gue terus. Asal lo bahagia, gue menderita."

Alex tersenyum simpul. Menghabiskan minuman kaleng miliknya. Percakapan Bimo dan Leon tidak ada habisnya. Meski terdengar saling mengejek, menghujat dan menjatuhkan, terselip rindu disana. Maklum, Bimo sudah kembali magang di rumah sakit. Padahal baru empat hari, itupun setiap hari keduanya selalu video call ataupun menelpon untuk membahas sesuatu yang Alex pikir tidak penting sama sekali. Contoh kecilnya kemarin, Leon menelpon Bimo hanya untuk memberitahu jika dirinya berada di kemacetan. Sinting. Bimo yang sedang visit dibuat kesal karena Leon yang terus mengganggunya. Padahal keduanya saling mengganggu satu sama lain.

"Le," Panggil Alex setelah Leon memutuskan sambungan telpon sepihak. Sibuk membalas pesan yang menyangkut pernikahannya. Leon menoleh sekilas.

"Apa?"

Alex menimang kembali pertanyaannya.. Akan ia tanyakan atau tidak. Setelah bergelut lama, Alex membuka suaranya. "Angel diundang?"

-

Angel melangkah turun dari bus bersama beberapa penumpang lainnya, menunggu lampu merah sebentar sebelum menyebrang jalan. Memasuki sebuah kafe, menemui seseorang yang sudah menunggunya. Senyuman Angel tercetak jelas.

"Maaf Kak, jadi lama nunggunya," Ujar Angel penuh penyesalan saat Luna memeluknya sekilas. Mempersilahkan duduk disebelahnya.

"Gue juga baru sampai," Luna memesan dua minuman untuk menemaninya dan Angel.

"Ada apa, Kak? Tiba-tiba mau ketemu,"

"Gue nggak ganggu jam kuliah lo, kan?"

Angel menggeleng. "Nggak. Kebetulan lagi penelitian."

Luna mengangguk. Mengambil sesuatu dalam tasnya lalu memberikannya pada Angel. "Gue mau kasih ini,"

"Ini apa?" Angel meraih botol lucu dihadapannya. Menarik penutup atasnya untuk mengeluarkan kertas yang tergulung dalam botol. Angel menarik kedua sudut bibirnya ke atas, Matanya berbinar cantik. "Undangan pernikahan?" Luna mengangguk. "Kak Luna mau nikah sama Kak Leon?!" Tanyanya girang.

"Iya sayang," Luna mengelus rambut Angel. "Lo dateng, ya,"

"Pasti Kak, masa iya aku nggak hadir dalam perayaan penting Kak Luna."

"Gue takut aja lo nggak hadir karena ada dia," Senyum Angel memudar. "Jadi gue sendiri yang turun tangan buat kasih undangan sama lo."

Angel sudah memberi tahu semuanya pada Luna. Apa yang dilakukan lelaki itu padanya. Angel juga sudah mendengar alasan bertengkarnya Alex dan Leon. Tepat saat Leon datang ke rumah sakit dan memintanya menemui Alex disuatu tempat. Malam itu, Angel sedang menemani Luna di rumah sakit. Leon sendiri yang mengantarkan Angel ke gedung tua. Selama perjalanan, Angel banyak tahu apa yang selama ini tidak pernah ia ketahui tentang Alex.

-Flashback.

"Kenapa Kak Eon mau aku jemput dia? Kenapa nggak Kakak aja?"

"Kalau gue bisa ngapain gue minta lo jemput dia?" Angel terdiam, mengalihkan pandangannya ke samping. Mengingat kejadian apa saja yang membuat Angel tercekik jika mendengar nama Alex.

"Dia pilih Lily ada alasannya,"

"Karena dia cinta," Ucap Angel lolos begitu saja dari bibirnya. Angel bukan orang yang suka menyimpulkan sesuatu dalam satu kejadian saja. Banyak kejadian yang membuatnya bisa berkata seperti itu.

"Alex punya trauma," Bola mata Angel bergerak. "Dia pergi satu bulan ini bukan karena Alex pergi sama Lily. Dia lagi berjuang, Ngel." Kalimat Leon berhasil menarik perhatian Angel. Jika bukan sekarang kapan lagi. Jika bukan dirinya yang memberitahu Angel, siapa lagi.

"Ferdy. Dia gay,"

Angel kaget di tempat duduknya, menatap Leon penuh tanda tanya. Apa yang menjadi pertanyaannya terjawab sudah. Apa yang membuatnya bingung selama ini Leon memecahkannya. Dengan seksama Angel mendengarkan seluruh penjelasan yang Leon sampaikan. Sampai Angel tidak sadar air mata mengalir begitu deras.

"Ketakutan gue sama Bimo akhirnya tidak terjadi. Alex sadar, meski dia menjadi lebih pendiam." Angel mengusap air matanya kasar. "Selama Alex tertidur. Gue sama Bimo mencari keberadaan Ferdy. Nihil. Ferdy udah lepas landas ke Toingkok, dan Lily mutusin pergi entah kemana." Leon menghembuskan napasnya pelan. "Gue harap lo nggak salah paham lagi sama dia. Gue tau Alex brengsek. Tapi gue mau lo tau, Ngel. Alex nggak pernah seperti ini sebelumnya hanya karena seorang perempuan kecuali nyokapnya. Dan yah.. Alex petinju ilegal. Dia suka berantem, lebih tepatnya dia suka tanding di atas ring setiap malam untuk mendapatkan uang dengan cepat."

"Mungkin lo menyadari kejanggalan. Lihat wajah dia yang biru, Alex selalu cari alasan kenapa wajahnya seperti itu. Alex nggak mau lo menjauh hanya karena dia menjadikan fight sebagai mata pencarian saat ini. Luna pasti udah menceritakan kenapa gue berantem sama Alex," Leon menoleh sekilas. "Malam saat kita liburan. Gue sama Alex harus menentukan satu pilihan. Siapa yang harus dipertahankan dan siapa yang harus dilepaskan. Alex memilih untuk melepas lo, Karena Alex berfikir sudah terlalu banyak rasa sakit yang lo rasakan. Selama beberapa hari sebelum dia benar-benar menjauh, dia sedang mencari jawaban tetang perasaannya sama lo. Gue emang nggak tau bagaimana perasaan Alex sebenarnya. Gue hanya mau yang terbaik buat kalian berdua."

Leon menepikan mobilnya. "Apapun yang lo lihat di dalam sana. Dia adalah Alex. Mau lo sebenci apa sama dia. Alex adalah Alex. Ring adalah temannya sejak SMA. Ngel," Leon menahan tangan Angel yang hendak membuka pintu.

"Sekuat apapun seorang lelaki. Ia pasti butuh seorang perempuan. Gue harap rumah Alex adalah lo, Angelista."

Sebuah pengharapan yang masih diselimuti awan. Semua rasa sakit itu lenyap mendengarkan fakta seluruh kejadian. Namun, semuanya sirna, Angel tersenyum miris. Bagaimana brengseknya seorang Alex. Angel mendengar dengan telinganya sendiri, jika dirinya dijadikan barang taruhan.

-Flashon

Jika Alex sungguh ingin pergi darinya. Tidak perlu menyerahkan Angel pada Nando seolah dirinya sebuah barang. Angel menghembuskan napasnya. Ia sudah berpisah dengan Luna lima belas menit yang lalu. Menunggu sebuah angkutan umum untuk mengantarkan dirinya pulang. Mengelus botol bening dipangkuannya. Angel terlalu senang begitu mendapat kabar jika Luna akan menikah.

"Hei! Cewek," Angel mengangkat wajahnya mencari sumber suara. "Disini!"

Angel menyipitkan matanya, melihat lambaian tangan seorang perempuan dari dalam mobil. "Vio?" Gumam Angel berdiri dari tempat duduknya. "Kamu manggil aku?" Angel membungkuk untuk melihat Vio.

"Masuk,"

"Masuk ke mana?"

Vieo membuka pintu mobil dari dalam membuat Angel mundur dua langkah. "Masuk. Ada yang mau gue bicarain," Angel mengangguk. Duduk di sebelah pengemudi, Vio mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.

Angel mengambil sebuah benda yang sama persis seperti miliknya. "Kamu di undang juga? Kamu kenal sama Kak Luna?"

"Nggak. Gue satu SMP sama Leon,"

"Oh gitu," Angel meletakkan botol undangan milik Vio ke tempatnya.

"Mau hadir?" Angel mengangguk. "Udah cari kado?"

"Belum. Aku bingung mau kasih kado apa. Kamu udah?"

"Udah," Vio mengambil kotak persegi panjang yang ia letakkan di dalam daskbor dan menyerahkannya pada Angel. "Nih," Angel membuka kotak berwarna hitam panjang dengan sebuah pita berwarna abu-abu. Kedua bola mata Angel terbuka lebar ketika melihat dua buah tiket honey moon.

"Kamu kasih kado ini?"

"Kenapa? Salah ya, gue? Gue nggak tau mau kasih apaan."

"Nggak, bukan itu maksud aku," Angel membasahi bibirnya, menyelipkan anak rambut yang terurai ke belakang telinga. "Ini tuh, mewah banget,

Vio mengedipkan matanya dua kali sebelum berkata. "Mewah ya? Padahal gue hanya kasih tiket honey moon ke Santorini." Vio menggaruk kepalanya. Masih berusaha konsentrasi membawa mobil. "Bukan gue mau sombong atau gimana, ya. Itu semua nggak mewah buat gue, apalagi Leon,"

Angel menelan ludahnya. Menutup kotak yang ia pegang dengan gemetar. Di kampungnya, isi kado pernikahan paling mewah adalah kompor gas. Itu saja sudah yang paling istimewa, kebanyakan orang disana masih menggunakan kayu bakar.

"Lo mau beli apa? Kuy, gue temenin," Angel menoleh cepat. Vieo tersenyum manis. "Balas budi karena lo udah menyisihkan waktu buat besuk gue di rumah sakit,"

"Aneh kamu," Angel terkekeh geli. Untuk Vio itu hal yang paling berkesan di hidupnya.

Ada yang baru Angel ketahui dari sosok Viola yang begitu girly. Vio yang Angel kenal cuek, sosialita, hidup di dunianya sendiri ternyata salah. Vio begitu cerewet, perhatian dan percaya diri. Begitu sampai masuk ke pusat perbelanjaan, Vio langsung melingkarkan tangannya di lengan Angel. Mengelilingi berbagai toko, menyarankan benda apa yang cocok untuk sebuah kado pernikahan.

"Nggak Vio, aku nggak punya uang sebanyak itu," Angel menggeleng, meletakkan kembali sebuah bedcover ternama berukuran king size.

"Gue beliin deh,"

"Itu namanya kado dari kamu, bukan dari aku. Udah yuk, jangan bedcover." Angel mengulurkan tangannya yang disambut Vio dengan gerakan Manja. Persis seperti Kana.

"Badcollor aja, gimana?"

Angel mengernyit. "Badcollor apaan?"

"Kolor celana dalam cowok," Bisik Vio berlari meninggalkan Angel.

"Vio mesum!" Angel mengejarnya dengan tertawa geli. Jadilah aksi kejar-kejaran dan berakhir disebuah toko peralatan bayi. Angel selalu menolak saran yang Vio berikan. Karena perempuan itu tidak melihat harga. Yang penting lucu dan warnanya cantik. Pilihan Angel jatuh pada perlengkapan bayi. "Kak Luna akan punya baby. Kasih kado pernikahan buat calon anaknya nggak masalah kan? harganya juga masih terjangkau. Nggak mahal, sih. Do'a dalam kado yang aku kasih akan membawa perlindungan bagi yang menerima." Angel tersenyum. Membuat Vio tanpa sadar ikut tersenyum. Kemana saja Vio selama ini, tidak pernah menyadari ada orang yang mau berteman dengannya tanpa memikirkan siapa Viola sebenarnya.

"Ngel," Vio menahan tangan Angel. "Lo mau jadi teman gue?"

Angel mengerutkan keningnya, menggaruk kepalanya bingung. "Emang selama ini kita bukan teman, ya?" Angel mengangguk dua kali masih dengan kebingungannya.

"Gilak ya! Gue nggak pernah sebahagia ini saat punya teman baru. Melebihi gue ditembak gebetan!" Vio mengekori Angel menuju kasir masih dengan celotehannya. "Lo kan nge-kos. Kapan-kapan tidur di rumah gue, ya. Atau lo berangkat ke acara pernikahan dari rumah gue aja? Kita ke sana sama-sama,"

"Emang kamu mau pergi sama aku?"

"Kenapa nggak mau?"

"Nggak malu?"

"Kenapa gue harus malu?" Keduanya saling melempar senyuman.

-

Sebuah hotel mewah sudah di booking. Silih berganti mobil berhenti di depan hotel. Memenuhi undangan yang diterima. Setiap orang yang datang harus membawa tanda pengenal ataupun akses untuk masuk ke acara. Tamu harus melewati alat pendeteksi untuk mencegah kemungkinan terburuk, agar acara bisa berlangsung dengan baik. Aula indor dan outdor sudah dipenuhi dengan warna biru tosca kesukaan Luna. Mulai dari karpet yang biasanya berwarna merah berubah menjadi biru tosca. Dekorasi pelaminan, telapak meja, perlengkapan makan dan sampai ke detail ujung sendok berwarna biru tosca.

Acara sakral sudah berlangsung tadi pagi. Tandanya Luna sudah resmi menyandang nama belakang Nyonya Leon.

Untuk tamu dibagi menjadi dua. Terlihat dari undangan yang diterima. Indor untuk para undangan yang diundang dari kedua orang tua, sedangkan outdor untuk para sahabat dan semua teman Leon ataupun Luna. Jika di dalam suasananya begitu hikmat, lagu yang dinyanyikan begitu lembut, berbeda dengan di outdor. Luna sendiri yang mengundang DJ ternama khusus di hari pernikahannya. Untuk para tamu undangan yang berasal dari luar daerah ataupun keluarga Leon yang datang dari Brazil disediakan kamar hotel dengan fasilitas VIP.

"Astaga!" Leon menggeram kesal melihat Alex masih menggunakan t-shirt hitam, Leon sudah meminta Alex menggantinya dari dua jam yang lalu.

"Ganti baju, woy!"

Alex menekan ujung rokoknya ke asbak. "Gue nggak suka pake jas,"

"Sekali doang, Lex. Bisa nggak buat gue seneng. Udah Bimo nggak bisa datang, terus lo yang anget-anget tai ayam."

Alex menghempaskan pantatnya di sofa. "Lo kasih undangan sama Danang?"

Leon menghembuskan napasnya pelan. Melonggarkan dasi di lehernya. "Bokap gue kenal sama bokap lo. Bokapnya Luna juga kenal sama bokap lo. Lex, bokap lo orang penting."

"Gue keluar setelah dia pergi,"

"Angel hadir," Tangan Alex yang ingin menghidupkan sebatang rokok terhenti di udara. "Luna udah pastiin Angel hadir. Lo mau dia ketemu bokap lo?" Leon mengambil alih rokok ditangan Alex.

"Keluar."

Leon sudah menyediakan baju special untuk Alex dan Bimo. Milik Bimo masih tergeletak rapi di atas ranjang, sahabatnya satu itu tidak bisa hadir. Berbagai ancaman sudah Leon katakan untuk Bimo, menyumpah jika Bimo tidak akan pernah bertemu dengan jodohnya. Dengan santai Bimo menanggapi 'jodoh gue udah di surga'.

"Kak," Leon berbalik saat merasakan tepukan di bahunya. "Bimo nitip ini," Ia sudah kembali bergabung di tengah pesta.

"Gue nggak mau terima kecuali dia kasih sendiri."

Farid menghebuskan napasnya malas. "Dia bilang kalau sampai lo nggak mau terima. Bimo akan doain gue nggak lulus ujian,"

"Anjir banget lo berdua. Tuh, letakin disana," Tunjuk Leon. Farid meletakkannya asal. "Papa sama Mama lo hadir nggak?"

"Ada. Tadi gue sama mereka, Kayaknya lagi ngobrol sama mertua lo,"

Leon mengangguk. "Ya udah. Thanks ya," Farid mengangguk, berjalan meninggalkan Leon lalu menghampiri satu-satunya orang yang Farid kenal saat ini.

"Kemarin Adrian cerita sama gue," Alex menoleh. Saat tahu siapa yang bicara padanya. Alex mendengus malas. "Cewek lo?"

"Bukan."

Farid mengedikkan bahunya. "Katanya lo berantem sama cewek itu," Farid menunjuk ke arah pintu masuk dengan dagunya. Alex menoleh dengan kening berkerut, mengikuti arah mata Farid.

"Cantik,"

Alex menurunkan gelas ditangan kirinya. Matanya tertuju pada satu perempuan yang baru saja masuk. Memastikan penglihatannya saat ini tidak rabun, buta warna ataupun buta huruf. Disana, dengan sebuah dres berwarna merah maroon dan high heels yang setinggi empat centi meter. Rambutnya dibuat bergelombang diletakkan di sisi kanan kiri. Sebuah polesan bedak di kedua pipinya, riasan di mata bulat itu menambak kesan kecantikan yang terlihat alami. Tidak terlalu tebal, simple namun berkelas.

Senyuman yang tercetak sempurna membuat seluruh mata tertuju padanya. Dia. Disana dengan berjalan yang sedikit sulit adalah, Angelista. Sukses membuat jantung Alex berdebar, bergejolak tidak karuan. Tanpa sadar tangannya meraba dada bagian kiri atas. Memastikan jantung itu tidak berhenti saat matanya beradu pandang dengan perempuan yang sukses membolak-balikkan dunia seorang Alex.

Kesadaran Alex kembali saat sebuah kalimat yang menggelitik di telinganya. "Kak, air liurnya mau gue tadahin?" Farid tersenyum miring. "Kayak orang bego lo."

"Fuck."

-Beberapa jam sebelumnya

"Lo itu cantik, Ngel. Sekarang gue tau kenapa Alex sama Nando tergila-gila sama lo," Vio mulai mempoles wajah Angel setelah memakaikan pelembab. "Nggak hanya fisik. Tapi lo itu hatinya cantik banget,"

Angel mencubit kecil perut Vio yang duduk berhadapan dengannya. Angel sudah di culik oleh perempuan itu saat jam makan siang. Pergi ke rumah mewah milik Vio yang begitu sunyi. Kamar yang semula rapi menjadi sangat berantakan, Vio yang mengacaukan kamarnya sendiri saat mencari gaun yang pas untuk Angel.

"Cerita dong, kenapa kamu putus sama Nando?"

Vio menghembuskan napasnya malas Memberi pewarna merah muda di kedua pipi Angel yang akan terlihat cantik jika Angel tersenyum. "Kenapa, ya? Lupa gue,"

"Bohong. Terus kenapa Nando besuk kamu di rumah sakit, hayoo," Angel menusuk-nusuk perut Vio untuk menggoda.

"Kalau mantan nggak harus jadi musuh kan?"

"Iya, sih. Tapi kamu sama Nando cocok loh, satu cantik, satu ganteng. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Nando, serius." Vio mendengus. "Putusnya kapan?"

"Kapan ya. Dua tahun yang lalu kayaknya," Vio mengambil alat catok rambut yang sudah ia panaskan. Mulai dengan rambut Angel bagian kanan. Menurut Vieo wajah Angel tidak perlu dipoles dengan make up tebal, kecantikan alami Angel sudah mendarah daging. Jadi Vio hanya memberi warna sedikit untuk menunjukkan kesan natural.

"Kenapa putus?" Vieo membuang pandangannya.

"Gue lihat sendiri dia tidur sama jalang," Angel melotot. "Lily," Vio tersenyum kecil. Tangan dan matanya fokus pada pengerjaan rambut Angel. "Gue kenal sama Lily awal masuk kuliah. Nggak terlalu akrab, sih. Waktu itu gue pergokin keduanya di kamar hotel, Nando bilang Lily hanya bayaran. Dari sana gue tau kalau Lily seorang bitch. Gimana, ya. Rasanya kecewa? Banget. Gue marah? Pasti. Meski Nando bilang hanya butuh pelampiasan, dikira gue apaan. Cadangan? Hello! Cowok nggak hanya satu!" Seru Vio dengan kedua tangan terangkat ke udara. Angel terkekeh pelan.

"Kamu nggak pernah tidur sama Nando?"

"Gilak aja lo!" Vio menepuk kening Angel. "Gue masih punya otak. Gue cinta sama dia, tapi gue nggak buta dengan pergaulan seorang bajingan. Mereka pergi setelah mendapatkan apa yang mereka mau." Angel tertegun. "Sering, bahkan sering banget Nando minta ke gue. Kalau hanya sekedar grepe-grepe sama cium masih gue kasih. Kalau dari pinggang sampai bawah, ya kali ah.. Jadi ikutan jalang juga," Vio tertawa pelan.

"Kenapa? Lo udah main sama Alex?" Vio mengerutkan keningnya. Angel tidak bergeming. "Ngel, cowok sejenis Alex dan Nando itu sama, mereka bajingan. Pasti awalnya bahagia bisa dapet cowok yang ganteng, jago berantem, ditakuti, terus kita akan merasa selalu terjaga. Gue juga mengalami hal yang sama kayak lo. Kalau badboy udah tunduk sama cewek, emang keren banget. Tapi pasti ada ujungnya. Sekali badboy tetap badboy. Ngga ada badboy yang nggak sentuh ceweknya, bilangnya mau di jaga, halah tai. Yang kayak gutu namanya bukan badboy tapi ustadz." Angel tertawa.

"Gue serius," Vio mendorong bahu Angel pelan. "Coba gue tanya. Alex udah cium lo?"

"Ih, apaan, sih," Wajah Angel memanas. Vio mencolek dagu perempuan itu. "Vio nggak usah tanya-tanya."

"Pasti first kiss lo," Tuduhnya. Angel mengambil bantal untuk menutupi wajahnya. Vio langsung membuang bantal itu dan meledek Angel. Aksi pukul bantal tidak terelakkan. Sekarang Angel mendapatkan seseorang yang tanpa Angel jelaskan perasaannya, orang itu sudah mengerti. Hidupnya dan Vio sama dalam hal percintaan.

"Heran gue. Kenapa badboy selalu milih cewek baik buat jadi pasangannya. Herannya lagi, kenapa kita ikut terpesona?Padahal tipe cowok idaman kita itu jauh dari kesan badboy? Bener gak?!" Angel mengangguk menyetujui. Vio melentangkan tubuhnya di ranjang bersebelahan dengan Angel .

Menatap langit kamar. "Tipe gue itu, yang ganteng, dewasa, berwibawa, bersih, rapih, kalau selesain masalah pake otak bukan otot. Tapi berbalik dengan kenyataan. Ganteng ok, dewasa? Sebatas dengkul. Berwibawa? halah tai kucing. Bersih sama rapi nggak ada daftar kunjungan. Berantem adalah makanan sehari-hari."

"Terus kenapa masih cinta?"

"Kenapa ya. Karena mereka bawa sisi kehidupan baru. Lo ngerasain nggak?"

"Iya. Eh, udah jam tujuh! Siap-siap, Ngel!"

Vieo merangkak turun dari ranjang. Diantara baju yang ditunjukkan padanya, Angel akhirnya memilih gaun berwarna merah maroon. Tidak terlalu terbuka dibanding dengan gaun yang lainnya. Belum lagi sepatu high heels yang membuat Angel sempat kehilangan keseimbangan.

"Inget, Ngel. Lo harus tunjukin sama Alex kalau lo bisa bahagia. Contohnya gue,"

"Iya, kamu udah bicarain ini berulang kali," Angel tersenyum simpul. "Ayo masuk,"

Vio menyerahkan kunci mobilnya pada salah satu penjaga di depan hotel. Berjalan bersisihan dengan Angel yang terlihat gugup. Vio terkekeh geli, menepuk pundak Angel dua kali. "Santai, Ngel,"

"Aku nggak pernah pake heels," Bisik Angel. "Kalau aku jatuh gimana?"

Sebelum pintu terbuka, Vio meminta Angel untuk menarik napasnya. "Jangan nunduk, tegapin badan lo dan jalan seperti biasa,"

Angel mengangguk, menjalankan saran Vio. la menurunkan kedua tangannya. Menarik kedua ujung bibirnya ke atas ketika pintu terbuka. Banyak tamu yang datang. Perasaannya saja atau memang semua orang menatapnya?

Bisakah Angel melarikan diri? Ia seperti sebuah daging segar yang dilempar untuk sekelompok buaya. Kepalanya menoleh ke sekeliling, mencari keberadaan Vio yang menghilang. Bukan Vio yang ia temukan melainkan sebuah sorot mata yang begitu tajam menatapnya. Di sudut meja sebelah kanan berdiri seorang lelaki dengan mengenakan jas berwarna biru tosca yang lengannya digulung sampai ke siku. Jasnya yang kekecilan atau otot lengannya yang kebesaran? Dua kancing kemeja atasnya dibiarkan terbuka memperlihatkan tato di depan dadanya. Angel ingin sekali berlari. Menghampiri lelaki yang juga menatapnya begitu dalam.

Jika ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa Angel merindukan sosok itu mungkin Angel akan berteriak mengatakannya. Tidak ingin larut, Angel memutuskan kontak terlebih dahulu. Ia berjalan mendekati Luna dan Leon, Vio sudah terlebih dahulu disana, memeluk Leon. Angel hampir saja terjatuh, ia tidak melihat ada tangga dihadapannya. Mengelus dadanya sejenak kemudian menegapkan tubuhnya kembali.

Luna langsung memeluknya. Terlihat bahagia saat tahu Angel hadir dipernikahannya. "Semoga Tuhan memberkati pernikahan Kak Luna sama Kak Eon, ya. Langgeng sampai Kakek Nenek."

"Makasih sayang," Luna memeluk Angel sekali lagi. "Jangan pulang dulu, ya. Masih ada party di outdor nanti."

"Ada Alex disana," Bisik Leon saat Angel menghampirinya untuk memberikan ucapan selamat. Angel mengulum senyum. "Lo cantik malam ini,"

"Kak Eon, bisa aja." Angel mendengus pelan. "Kak Bimo?"

"Nggak bisa hadir. Dia lagi magang, daerah pinggiran. Jadi susah."

"Oh gitu," Angel mengangguk pelan. Memutuskan untuk menjauh, tamu sudah mengantri untuk memberi ucapan selamat kepada dua pengantin yang berbahagia. Angel kehilangan Vio lagi.

Angel memilih menuju tempat outdor yang sudah didekorasi sebagus mungkin. Banyak kursi yang tersedia dan dentuman musik yang begitu keras langsung menyambutnya. Angel mengerjapkan matanya, memilih berbagai minuman yang tersedia di meja. Pilihannya jatuh pada sebuah gelas yang berisi air berwarna merah. Belum sampai gelas menyentuh bibirnya, sebuah tangan langsung mengambil alih lalu menukarnya dengan air yang berwarna putih. Angel terlonjak kaget, hampir saja jatuh jika tangan kekar itu tidak cepat menarik tangannya.

"Delapan puluh persen minuman disini beralkohol. Minuman yang aman buat lo hanya air putih," Angel menutup dan membuka matanya dengan gerakan teratur, menatap Alex dihadapannya. Keduanya saling melempar pandangan, Angel membeku. Alex menyadari keterkejutan Angel, ia tersenyum lalu berkata. "Hai,"

Angel membulatkan matanya. Jantungnya bergejolak tidak karuan lagi. Melompat kesana-kesini saat Alex menatapnya begitu intens.

"Lo masih marah sama gue?"

Angel mengerjap. Meletakkan gelas di tangannya ke meja dengan gemetar. "Apa?"

Alex bergerak maju membuat Angel melangkah mundur dengan otomatis. Angel meremas ujung meja saat Alex semakin mendekat ke tubuhnya. Angel menahan napasnya dengan mata yang terbuka lebar. Kenapa ia tidak mendorong Alex ataupun mengatakan hal yang menyakiti lelaki itu. Seharusnya Angel melakukannya, bukan menikmati aroma tubuh lelaki itu. Tubuh Angel dikunci. Bulu kuduknya berdiri saat merasakan hembusan napas Alex dilehernya. Angel menggigit bibirnya dengan memejamkan matanya. Kakinya sudah tidak berpijak pada lantai melainkan sudah terduduk di meja menghindari Alex.

Sampai sebuah kehangatan menyelimuti tubuhnya. Angel membuka matanya kembali. Jas yang tadinya dipakai Alex sudah berpindah ke tubuhnya. Angel terpaku. Membiarkan Alex melakukan apapun sesukanya.

"Jangan suka mengundang mata lelaki untuk mendekat," Angel kembali berdiri tegak saat Alex sudah mundur dua langkah. "Gue suka lihat senyuman lo. Jangan sedih lagi atau sakit,"

Angel seperti terhipnotis. Ia hanya bisa diam tanpa bisa berkata ataupun menyela kalimat Alex. Sebanyak apapun rasa sakit yang Alex berikan. Angel tetap tidak bisa mengenali rasa itu saat berhadapan langsung dengan Alex. Semuanya seperti sudah cukup melihat Alex yang berada didekatnya. Alex yang masih menatapnya terbayar sudah rasa sakit dan kecewa. Seharusnya Angel teguh pendirian. Menjauh saat di buang. Pergi saat diusir. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Angel masih mengharapkan sesuatu yang tidak bisa dijanjikan. Kenapa rentetan kalimat terdengar mudah dan sulit untuk direalisasikan. Atau hanya Angel seorang yang begitu mudah memaafkan seseorang?

"Nggak ada yang mau kamu jelasin?" Tanya Angel cepat ketika Alex berbalik meninggalkannya. Setidaknya satu kesempatan. Angel ingin mendengarkan semuanya dari bibir Alex bukan orang lain. Angel ingin tahu apakah perasaannya selama ini hanya ia sendiri yang merasakan atau Alex merasakannya juga?

Alex berbalik dengan kening berkerut, menatap Angel lama sebelum berkata. "Emang lo mau dengerin penjelasan gue?" Angel terdiam sebentar sebelum mengangguk pelan. "Apa kamu mau jawab kalau aku tanya?"

"Em, gue jawab." Alex bergerak maju. Berdiri di hadapan Angel. "Gue jawab semuanya," Ujarnya pelan. Menggenggam tangan kanan Angel lalu menarik perempuan itu pergi. Sebuah sentuhan yang menjalar menghantarkan kehangatan ditubuh Angel. Sentuhan yang tidak pernah ia rasakan sebulan ini atau ia dapatkan dari lelaki lain. Angel mengulum senyum. Mengeratkan tangannya yang digenggam Alex. Alex menoleh. Menangkap basah semburat malu di wajah Angel yang menggemaskan. Ia membawa Angel menuju kamar hotel miliknya. Sunyi dan tenang. Alex boleh serakah kali ini. Ia tidak ingin Angin menjadi pusat perhatian para lelaki. Alex tidak ingin semua orang mengetahui betapa cantiknya perempuan itu.

"Kamar siapa?" Tanya Angel duduk dipinggir ranjang. Ia melihat ada sebuah jas di samping tempat tidur, jas yang sama persis seperti milik Alex . Alex menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Angel. Mengapit kedua kaki Angel.

Angel menelan ludahnya saat suasana mendadak menjadi tegang. Ia mengalihkan pandangannya, Alex terus menatapnya tanpa bicara. "Gue nggak jadiin lo barang taruhan," Alex memecahkan keheningan. Angel yang menunduk mengangkat wajahnya. "Gue nggak serahin lo sama dia, Ngel."

"Terus apa?" Tanya Angel bergetar. Menutupi kegugupannya sendiri. Memilin jemarinya di pangkuan. "Kenapa kamu masuk rumah sakit waktu itu?"

"Gue fight," Ujarnya pelan. "Sama Nando. Lo pernah bilang sama gue sebelumnya. Kalau lo takut sama dia. Kalau gue mau pergi dari hidup lo, gue harus bawa orang-orang yang lo kenal dari gue termasuk Nando. Jadi gue fight sama dia agar Nando nggak ganggu lo lagi,"

"Itu semua hanya asalan agar kamu nggak pergi dari aku, Alex."

"Sory karena gue nggak peka." Alex membasahi bibirnya. "Soal Lily,"

"Aku udah tau semuanya. Kak Leon udah cerita." Alex mengangguk pelan.

"Kenapa kamu nggak pernah jujur sama aku? Kenapa kamu selalu bohongin aku?"

"Gue nggak berniat bohong sama lo. Hanya ada satu alasan kenapa gue bohong. Semua itu gue lakuin karena takut kehilangan lo, Ngel."

"Tapi kamu ngusir aku,"

"Karena gue bajingan. Brengsek yang nggak tau diri ini mau tarik lo kembali. Gue yang egois ini mau lo balik lagi sama gue." Alex menggenggam tangan Angel. "Gue nggak akan nuntut lo maafin gue, Gue sadar sebesar apa kesalahan gue sama lo. Selalu buat lo nangis, selalu bohongin lo, dan pergi sesuka hati gue. Lo boleh marah sama gue, maki gue ataupun patahin kaki gue agar gue nggak akan pergi lagi dari lo. Alasan gue pergi, gue mau lo bahagia. Awalnya gue pikir akan ikut bahagia lihat lo bahagia. Nyatanya munafik, Ngel. Gue mau lo bahagia sama gue bukan orang lain." Alex menunduk.

"Lo tau nggak kenapa gue bisa terbangun dari semua rasa sakit dan trauma gue?" Alex menatap teduh. "Karena gue dengar suara lo. Kalimat lo yang minta gue buka mata. Lo yang tarik gue kembali tersadar dari keterpurukan. Gue tersiksa lihat lo jauh, gue nyesal udah dorong lo menjauh. Tapi gue nggak punya pilihan,"

"Kamu keterlaluan, Alex ,"

Alex mengangguk menyetujui. "Gue nggak mau menyesal dikemudian hari. Gue nggak mau semakin terpuruk saat lo pergi dari gue, Ngel. Gue akan memperbaiki semuanya. Gue akan menjadi lelaki yang lebih baik dan nggak akan tinggalin lo lagi,"

"Bagaimana dengan Lily?"

"Gue emang punya perasaan sama dia sebelum ketemu sama lo. Gue takut, jika Lily pergi, siapa orang disamping gue saat trauma gue balik. Gue mau mati rasanya waktu itu. Percaya sama gue, nggak ada lagi kebohongan yang gue ucapkan sekarang."

"Gimana aku bisa percaya sama kamu?" Angel menyeka ujung matanya yang berair. "Aku bisa maafin kamu. Mudah untuk aku, Alex. Kamu berulang kali mengatakan hal yang begitu manis, akhirnya kamu mengingkarinya sendiri."

"Nggak akan. Gue janji,"

"Kamu udah berulang kali berjanji seperti itu. Bagaimana kalau perempuan itu kembali, kamu akan tinggalin aku lagi."

"Nggak, Ngel."

"Kamu bisa bilang nggak sekarang. Tapi kalau dia udah sentuh kamu-" Angel memejamkan kedua matanya. "Kamu bahkan nggak bisa nolak, Alex. Aku nggak sanggup jika hari itu akan datang. Kamu udah menang di hati aku. Kamu udah kuasai semua isi pikiran aku." Isaknya. "Aku nggak mau berharap apa-apa lagi sama kamu. Harapan itu menghancurkan aku sendiri nantinya."

"Jangan maafin gue," Angel menghapus air matanya. "Jangan pernah maafin gue, Ngel."

"Aku bukan orang yang suka menyimpan dendam, Alex," Angel menghembuskan napasnya dan tersenyum. "Kamu sayang sama aku?"

"Nggak,"

Senyum di bibir Angel menghilang. "Lo mau dengar hal yang paling menjijikan terucap dari bibir gue? Ini pertama kalinya, gue ucapkan untuk seorang perempuan yang menjadi pemenang. Gue cinta sama lo," Angel membeku. "Masih ada kesempatan buat gue kasih tau sama pemenang itu nggak?" Angel menunduk, terisak.

"Cowok brengsek dihadapan lo ini udah bisa kasih tau arti seorang Angelista dihidupnya. Cowok bangsat dihadapan lo ini udah bisa kasih lo jawaban tentang perasaan yang membingungkan selama ini. Dan cowok nggak tau diri dihadapan lo ini mau lo tau, Alex mau Angelnya kembali."

Angel tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Ia membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan.

"Gue nggak mau ada di posisi kedua sahabat gue. Mereka udah terlalu banyak kasih pelajaran yang berharga tanpa gue sadari. Gue takut akan lebih gila dari Leon. Gue nggak mau lo pergi seperti Luna, gue nggak bisa ketemu sama lo lagi dan lo menjauh karena gue telat sedikit aja. Dan gue nggak mau berada di posisi Bimo. Mencintai sesuatu yang nggak bisa terlihat ataupun disentuh. Mereka semua udah buka mata gue soal cinta yang jujur aja masih asing dihidup gue. Gue nggak maksa lo maafin gue. Ngel, gue hanya minta dikasih kesempatan buat memperbaiki semua kesalahan gue." Alex menurunkan tangan Angel dan menggenggamnya. Angel semakin terisak.

"Tanpa kamu minta, kesempatan itu akan selalu ada."

Alex menarik Angel ke dalam dekapannya. Mengelus punggungnya dan mencium kepala Angel. "Gue bukan cowok romantic. Gue nggak bisa jadi Bimo dengan sejuta gombalan agar lo mendekat. Gue nggak bisa jadi Leon yang selalu memberi sebuah kejuatan romantis agar lo terpesona. Tapi mereka nggak akan bisa jadi seperti gue, yang buat lo nyaman dengan perlindungan gue."

Aroma lavender membuat Alex merasa tenang. Saat sumber kebahagiaannya berada didekapan tubuhnya. Alex memeluknya, memastikan jika Angel masih menjadi prioritas seorang Alex. Menjadi alasan kenapa Alex harus bangun dipagi hari. Memastikan Angel bahagia dan itu bersama dirinya. Katakan tidak akan ada ampunan baginya. Tidak ada maaf lagi baginya. Sungguh tidak tahu malu seorang Alex yang sudah membuang lalu dipungut kembali. Kali ini, Alex berjanji pada dirinya sendiri. Jika dirinya meninggalkan Angel seperti kejadian sebelumnya, ia akan mematahkan kakinya sendiri. Alex akan mulai semuanya dari awal.

Angel merasakan ketenangan dalam dekapan Alex. Hangat dan terjaga saat bersandar di dada bidang lelaki itu. Saat Alex melepaskan pelukannya, Angel merasakan kehilangan. Alex berdiri dari tempat duduknya, melingkarkan tangannya dipinggang Angel lalu mengangkat tubuh mungil itu ke tengah ranjang. Merebahkannya tanpa bisa Angel hindari. Gerakan yang begitu cepat saat Alex menindih tubuhnya. Jantung Angel berpacu cepat. Nafasnya naik turun mengisi pasokan oksigen yang menipis. Begitu dekat, Angel bisa menyentuh wajah Alex dengan jemari tangannya. Kedua mata Alex terpejam merasakan sentuhan tangan yang meneliti wajahnya, terbuka saat tangan itu menyentuh bibirnya. Alex menggigit tangan Angel.

Angel menarik tangannya cepat. Alex terkekeh pelan kemudian mencium kening Angel sekilas, menyembunyikan wajahnya di leher Angel. Mencari ketenangan yang selama ini ia abaikan. Angel menjadi salah tingkah. Setengah tubuh Alex menimpa dirinya. Tangan kekar lelaki itu diselipkan di bawah bahunya. Angel menyilangkan tangannya di dada.

"Turun, yuk. Acaranya udah di mulai. Nanti Vio bingung cariin aku."

"Sejak kapan lo temenan sama Vio?" Alex menatap Angel. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pandangannya. Angel terdiam.

Jika sebelumnya sentuhan Alex terasa biasa saja, sekarang lebih menggelitik membuat Angel merinding. Ia menepis tangan Alex diwajahnya. Angel menelan ludahnya. Ia mengikuti kemana arah mata Alex saat ini. Bibirnya. Angel mengerjapkan matanya saat wajah Alex semakin dekat. Jantung Angel kembali berpacu layaknya langkah kaki kuda. Begitu hidungnya bersentuhan dengan Alex, lelaki itu kembali mencari keduabola mata Angel.

Alex menciumnya. Mata Angel yang terbuka lebar perlahan menyerah dengan semua perlakuan Alex. Dengan begitu ahli, Angel sama sekali tidak kehabisan oksigen, Alex selalu memberinya kesempatan untuk menarik napas dengan kepala Alex yang bergerak ke kanan-kiri sedangkan Angel tetap di tempat.

"Lo ngapain ngurung anak perawan astaga, Alex!"

Angel langsung mendorong tubuh Alex dan merangkak turun dari ranjang. Alex menggeram kesal dengan posisi terlungkap.

"Anjirr! Udah rujuk lo berdua?" Bimo membungkam mulutnya dengan wajah kaget yang dibuat-buat. "Nggak nyangka gue sama lo, Ngel."

"Nggak, Kak!" Potong Angel cepat. "Itu nggak seperti yang Kakak lihat,"

"Ck. Ck. Ck. Kecewa gue, Ngel." Bimo dengan wajah tersakiti. "Ternyata selama ini,"

"Pergi lo anjing." Alex melemparkan bantal tepat mengenai wajah Bimo.

"Ngapain lo?" Alex beringsut turun. Bimo mendengus pelan, membuka bajunya cepat membuat Angel menutup matanya. Alex berdiri dihadapan perempuan itu. "Lo ngapain buka baju di sini,"

"Ganti baju, lah. Tuh, baju gue," Tunjuknya sewot. "Gila, ya. Kalau gue nggak masuk udah jadi apa Angel?"

"Bukan urusan lo."

"Tapi gue seneng kalian udah sama-sama lagi," Bimo mengedipkan sebelah matanya pada Alex. Sembari mengganti bajunya dan menggunakan jas berwarna biru tosca. "Sebenernya gue nggak bisa hadir, tapi acara nggak akan jalan tanpa kehadiran gue,"

"Lo siapa?"

"Gue orang penting disini," Bimo merapikan rambutnya sebentar. "Udah, Ngel. Nggak perlu malu-malu, biasanya juga lihat Alex nggak pake baju, kan?"

"Pergi sana," Usir Alex.

"Lo nggak mau turun?"

"Turun!" Angel keluar dari belakang tubuh Alex. "Turun, Kak," Berjalan malu meninggalkan kamar hotel, menunduk sampai tidak sadar menabrak seseorang yang berdiri di depan pintu. Alhasil kedua orang itu jatuh dengan saling berhadapan. Alex dan Bimo berlari menolong keduanya.

"Maaf aku nggak sengaja," Ucap Angel merasa bersalah.

"Dia siapa?" Alex mengerutkan keningnya. Angel yang menunduk mengangkat wajahnya. Kedua matanya terbuka lebar begitu sadar siapa orang yang ditabraknya.

"Temen gue," Bimo terlihat kikuk, membawa perempuan dengan rambut berwarna kuning itu ke belakang tubuhnya. Menghalangi pandangan Angel dan Alex.

Alex mengulum senyum. Menyandarkan tubuhnya ditiang pintu dengan tangan terlipat di dada. "Temen? Yang Mana? Kenapa gue nggak pernah lihat?"

"Nanti lo naksir," Balas Bimo tak kalah centil. "Gue duluan."

Alex mengangkat kakinya menghalangi Bimo yang ingin melarikan diri. "Minggir, gue mau lihat dulu cewek yang udah berhasil gantiin posisi Maura."

"In you're mind," Bimo menjulurkan lidahnya, menendang kaki Alex kemudian menarik perempuan dengan gaun putih selutut.

"Bim?" Bimo menoleh. "Masih selempangan, nggak?"

''Segel, bro!" Seru Bimo girang.

Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience