17. Salam Kebencian Dari Ayah

Romance Completed 1105

"Ayah nggak suka sama dia," Angel menoleh. "Dia nggak cocok sama kamu," Lanjut ayah tanpa menatap anaknya. Tangan dan kakinya dengan lincah memegang sebuah alat untuk menggemburkan tanah, sedangkan Angel membersihkan tanaman liar disekitar. "Kamu harus jauh-jauh dari dia,"

Angel menyeka keringatnya dengan punggung tangan. Menaikkan sedikit topi yang dipakainya. "Kenapa Ayah nggak suka?"

"Dia nggak baik buat kamu,"

"Bagaimana Ayah tau baik atau tidaknya seseorang? Tampilan seseorang bukan terlihat dari sampul luarnya. Semua penjahat saat ini menggunakan pakaian jas lengkap dan rapi," Ayah menghentikan aktivitasnya. "Migel nggak sama dengan tampilan luarnya, dia beda."

"Kamu suka?" Angel bungkam. "Ayah tau pandangan lelaki. Cara dia menatap kamu, ayah tau apa yang ada dalam pikirannya. Dia nggak baik,"

"Ayah bahkan belum berbicara sama dia," Angel tersenyum. "Alex nggak seperti apa yang Ayah pikirkan."

"Kamu nggak boleh suka, Ayah tau yang baik dan nggak baik buat kamu. Setelah kamu selesai kuliah, Ayah minta kamu pulang,"

"Angel harus cari kerja, Yah. Kalau Angel pulang, buat apa Angel kuliah? Ilmu Angel nggak ke pake jadinya. Angel akan cari kerja di kota untuk memperbaiki ekonomi kita,"

"Angel nggak usah kerja," Angel mengerutkan keningnya. "Edo mau lamar kamu setelah kamu lulus," Bagaikan bom waktu. Angel terdiam di tempatnya. Tiba-tiba semuanya kosong, pikirannya, sekelilingnya dan hatinya. "Edo lelaki yang pas buat kamu. Dia baik dan suka sama kamu,"

Angel membasahi bibirnya. Berjalan mendekati Ayah. "Dulu Ayah nggak suka sama Edo, kenapa-maksud Angel-kenapa Ayah-" Angel kehabisan kata-kata.

"Dia baik sama keluarga kita," Angel menatap sendu. "Dia lelaki yang pas buat kamu,"

"Tapi Angel nggak suka sama Edo," Lirihnya.

"Cinta akan datang sendirinya saat kamu bersama orang itu. Apa yang kamu harapkan pada lelaki yang tidak bisa konsisten seperti dia?"

"Ayah.." Panggilnya pelan.

Jika Ayah sudah memutuskan suatu kalimat mutlak jangan harap Angel bisa menyela ataupun membantah. Ayah yang membesarkannya, menjaganya dan memberikan apa yang Angel butuhkan. Ayah tidak pernah absen dalam memastikan kebahagiaan anaknya. Tapi kali ini, Angel tidak yakin dengan kebahagiaannya. Angel memang ingin menikah dengan lelaki yang baik, tapi bukan Edo orangnya. Angel hanya menganggap Edo sebagai temannya, tidak lebih.

"Sudah, jangan dibahas lagi. Kamu harus jauh-jauh dari dia sebelum dia sakitin kamu-"

"Namanya Alex, Ayah,"

"Ayah gak perduli. Kamu sebaiknya pulang, Cuaca akan semakin terik."

Angel menghembuskan nafasnya pelan. Tersenyum kecil lalu keluar dari sawah, mencuci kakinya di bebatuan. Angel menatap Ayah sekali lagi sebelum pergi.

Angel sengaja ikut Ayah ke sawah sejak pagi, ia rindu suasana kebersamaannya sewaktu kecil. Di lepasnya topi bulat yang terbuat dari rotan. Menentengnya. Rambutnya yang tergerai diterpa angin. Berkibar seperti bendera. Tangannya terbuka, menyentuh rerumputan yang tingginya sepinggang. Bersenandung kecil membuat orang yang memperhatikannya dari tadi tersenyum kecil. Angel melompat. Ada sebuah genangan besar sebagai perbatasan antara jalan dan sawah. Senyum di bibir Angel tercetak sempurna saat matanya melihat Alex di ujung jalan.

Angel menghampiri lelaki itu dengan semangat. "Loh? Kana kesekolah nggak bawa sepeda?"

"Tadi gue yang antar dia. Katanya mau pamer sama temen-temen," Angel menggelengkan kepalanya mendengar cerita Alex tentang adiknya. Alex menekan bel sepeda, "Mau jalan?" Angel mengangguk semangat. Meletakkan kakinya di kedua sisi ban belakang, meletakkan tangannya dileher Alex.

"Kamu mau lihat air terjun?"

"Boleh," Angel mengangguk, meletakkan topi miliknya di kepala Alex.

Sepeda itu melaju dijalanan mulus tanpa ada lawan seperti mobil atau motor. Memberi sapaan pada ibu-ibu yang berpapasan menggunakan sepeda dengan membawa sayur-sayuran. Memang tidak ada mobil dan motor, Alex sedikit kesal karena harus terhenti saat sapi, kambing banteng, ayam dan bebek secara bergantian memenuhi jalan. Alex tidak takut, hanya saja bau dari binatang tersebut membuatnya mual. Angel tertawa.

Keduanya menikamti pemandangan yang disuguhkan. Meski terik, dinginnya pegunungan membuat hawa seperti masih pagi. Kedua kaki Alex turun menyentuh aspal. Bibirnya membentuk garis lurus dengan kening berkerut. Sepeda berhenti.

"Mau apa dia?" Angel menggeleng. Turun dari sepeda.

Lelaki yang berdiri disamping mobil tersebut berkaca sebentar, melihat kaca spion untuk merapikan penampilannya dan berjalan menghampiri Angel. "Selamat pagi menjelang siang cah ayu, duileh ayu tenan yah, calon istrikuh,"

Alex melipat tangannya di dada. "Lo mau nikah sama dia?" Angel menggeleng pelan. "Lihat nggak lo?" Alex beralih menatap Edo. Kali ini penampilannya tidak jauh nyentrik dari sebelumnya. Kemeja dengan motif bunga-bunga yang dikancing sampai ke atas. Celana gebor dan rambut yang dibelah miring lalu disisir sangat rapi.

"Nggak usah ikut-ikut ka- e-loh!" Ralatnya dengan nada sewot.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Angel dan Edo langsung berbinar kembali saat bertatapan dengan Angel. "Kok rapi banget,"

"Mau ketemu sama kamu cah ayu. Sekalian berkunjung, kita membahas pernikahan,"

Alex mendesah pelan. Melipat tangannya di dada, ia menatap Edo risih, kenapa ada makhluk yang lebih menyebalkan dari Leon?

"Iya, boleh kalau kamu mau main,"

"Beneran cah ayu?!" Edo berbinar. Angel mengangguk. "Yo, wes. Mari naik mobil saya,"

"Tapi aku mau pergi,"

"Kemana toh? Mari saya antar,"

"Dia mau pergi sama gue, minggir lo. Ganggu jalan tau nggak!?" Alex menyentuh lengan Angel, menyuruh perempuan itu naik kesepeda. "Heh, bebek. Ini tahun dua dua ribu dua puluh satu bukan tahun tujuh puluhan!"

"Loh, loh, loh, cah ayu! Mau kemana?! Saya ikut!" Alex langsung mengayuh sepedanya, saat melintasi mobil Edo, ia meninju kaca spion hingga kaca itu terlepas dari tempatnya. Edo memekik dengan umpatan bahasa Jawa yang tidak bisa Alex mengerti. "- Dasar kampungan! Gak punya mobil ngerusak mobil orang!!"

Alex hanya melambaikan tangannya. Angel melihat Edo dengan tatapan nanar. Lelaki itu uring-uringan di jalanan meratapi kaca sepionnya. "Kamu ih, nggak boleh gitu," Angel memukul pundak Alex. "Kalau dia minta ganti gimana?"

"Gue ganti mobil buka bungkus sekalian," Angel mendengus pelan. "Dia siapa? Temen lo?"

"Iya, teman SMA,"

Alex tidak banyak bertanya. Menghentikan kayuhan sepeda karena jalanan menurun. Satu tangannya terlepas dan diletakkan di atas paha. Angel tidak berhenti menjelaskan soal apapun yang di lihatnya. Hamparan kebun teh yang sangat hijau. Sesekali keduanya tertawa, di sela obrolan ringan. Sampai akhirnya suara aliran air yang sangat deras terdengar. Alex menitipkan sepedanya di salah satu Warung disana, ia membeli beberapa makanan ringan untuk menemaninya sepanjang perjalanan.

"Aliran airnya langsung kesawah, jernih kan?" Angel begitu bersemangat. Sudah lama ia tidak mengunjungi air terjun, ini pertama kalinya sejak tamat sekolah.

"Jangan jauh-jauh, gue nggak bawa baju ganti, Angel," Angel menatap sinis, Meraih tangan Alex yang terulur padanya. Alex tidak melepaskan tangan Angel selama perjalanan. "Dari sini kerumah cuma sepuluh menit naik sepeda, kan?"

Angel mengangguk. "Kenapa?"

"Mandi kayaknya enak."

"Ih jangan, kita nggak bawa baju ganti."

"Deketan rumah lo,"

"Nggak usah Alex," Bujuknya menggoyangkan tangannya yang digenggam Alex. "Kalau kamu mandi aku jadi mau ikutan, Nanti baju aku transparan,"

"Derita lo,"

"Rese ih," Angel menghentikan langkahnya dengan cemberut. Alex menoleh. "Nggak usah, ya,"

"Kapan lagi gue ke sini, Angel,"

"Ya, tapi kan," Angel menggaruk kepalanya, tubuhnya kembali ditarik Alex melewati jalan setapak. Banyak pohon-pohon besar yang mereka lewati. Suara gemuruh air semakin terdengar, menandakan mereka sudah hampir sampai. Alex dengan hati-hati menuntun Angel turun dari jalanan yang licin. Memastikan tidak ada yang lecet sedikitpun. Cipratan air dari atas membasahi wajah mereka. Alex berdiri di atas batu besar. Meletakkan kedua tangannya dipinggang dan melayangkan matanya kesegala arah.

Bukan hanya satu, tapi tiga air terjun yang saling bersisihan. Cantik, sama sekali belum tersentuh. Alex mengangguk, mengagumi keindahan air yang turun dari ketinggian tujuh meter. Sementara Angel duduk disebuah pondok kecil dengan wajah di tekuk.

"Jangan cemberut ah, Tambah jelek," Alex menghampiri. Membuka sepatunya sambil menggoda Angel yang tergiur untuk berendam di air yang jernih.

"Ikutan?" Tanya Alex melepaskan bajunya. Angel mendengus pelan. Alex tertawa.

"Gak pake lama, ya!" Teriak Angel saat Alex meninggalkannya. Mengawasi lelaki itu yang mendekati titik jatuhnya air. Angel membuka bungkusan yang tadi dibeli Alex. Lumayan untuk mengisi perutnya.

Angel menarik sudut bibirnya ke atas. Burung-burung berterbangan, dedaunan hijau dan semilir angin. Embun-embun dari jatuhnya air membuat rambutnya dipenuhi kristal kecil. Di sana, tepat di jatuhnya air dari ketinggian. Alex, mungkin tidak pernah Angel pikirkan sebelumnya. Bagaimana dulu ia menghindar. Memintanya menjauh dan sesuatu yang asing dalam kehidupannya. Hidup Angel mungkin akan selamanya datar, mulus dan tenang seperti danau. Air yang tenang tidak selalu indah untuk dilihat, yang berbatu dan bergejolak jauh lebih menantang.

la tidak pernah jatuh cinta. Jujur saja, ini perasaan baru. Angel sudahnmenceritakan perasaannya pada Kana,ndan adiknya bilang jika ia mencintai Alex. Entahlah, Angel masih belum yakin apa itu bisa disebut dengan cinta.

Tubuh itu kadang muncul kepermukaan dan kadang tenggelam. Mengapung dan berenang. Alex seperti tidak ingin menyia-nyiakan kedatangannya jauh-jauh dari kota. Angel memperhatikan, setiap gerakkan Alex dengan kepala bersandar di kayu pondok. Tidak ada orang selain mereka berdua.

-

"Kamu yang namanya Angel?" Angel mengerutkan keningnya. Kakinya yang sudah sampai didepan pintu kamar turun lagi menghampiri orang yang memanggil namanya. Lelaki dengan jas rapi dan beberapa orang berbadan besar.

Angel meremas tali tas punggung miliknya. Memperlihatkan senyuman sopan. "Iya, saya sendiri. Bapak siapa?" Lelaki itu menatap Angel dari atas ke bawah-bawah ke atas. Angel bingung sendiri di perhatikan seperti itu.

"Saya minta kamu jangan temui anak saya,"

"Maaf?"

"Jangan temui putra saya, Alex, dia sudah punya tunangan," Relung hati Angel seperti ditusuk pedang. Ia terdiam. "Jangan mencoba menggoda anak saya dengan tubuh kamu, atau memeras uangnya. Saya tau apa yang di pikirkan perempuan yang dekat dengannya. Semuanya perempuan malam yang tidak jelas," Meski rasanya sangat sakit entah di bagian mana. Angel masih tersenyum.

"Maaf, Bapak tidak kenal sama saya, bagaimana Bapak bisa menyimpulkan saya seperti itu?" Keberanian dari mana Angel bisa membuka mulutnya. Ada yang harus ia pertahankan. Atau mungkin harus ia lepaskan.

"Saya sudah mencari tau latar belakang kamu. Kamu kuliah di kampus saya,"

"Iya, saya kuliah disana,"

"Alex sedang berada di rumah. Pertunangannya akan di laksanakan secepatnya. Jangan temui putra saya, atau saya akan cabut beasiswa kamu," Angel tertegun. "Hubungan saya dan Alex memang buruk, tapi saya tidak mau masa depan anak saya buruk dengan bersamankamu,"

"Jangan cabut beasiswa saya," Angelnmenahan tangan lelaki berusia empat puluh tahunan itu. "Tolong,"

"Kalau begitu jauhi anak saya,"

Angel bungkam. Perlahan tangannya turun dan terlepas dari lengan lelaki dihadapannya. Angel menggeleng. "Saya memang tidak terlalu mengenal putra Bapak. Anak Bapak yang datang ke kehidupan saya, saya tidak berhak menyuruhnya menjauh, semua orang punya hak dan usaha sendiri-sendiri. Alex bukan orang yang saya usir lalu akan pergi menjauh, meski mungkin saat ini ia pergi, saya yakin Alex akan menemui saya dan menjelaskan semuanya."

"Kamu melawan saya?"

"Tidak sama sekali, Saya berdiri di samping Alex. Dia butuh seseorang untuk mengontrol dirinya, Alex butuh or-" Hantaman keras di kepalanya membuat Angel tergeletak di aspal. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangannya rabun. Mencoba menormalkan penglihatannya. Angel meremas kepalanya, apa yang mereka gunakan sehingga darah segar mengalir dari atas kepalanya dan turun ke wajah.

"Saya bisa buat kamu buta,"

"ANGEL!?" Mendengar teriakan itu, Angel mengangkat kepalanya yang pusing. Sesosok lelaki yang berlari ke arahnya. Tidak jelas siapa itu, sebelum bisa ia pastikan, semuanya lenyap begitu saja.

-

"Ngel? Hei? Ngelamun lo?" Angel tersentak. Alex sudah berdiri di hadapannya. "Mikirin apaan?" Tanya Alex menggunakan bajunya. Angel menggeleng.

"Udahan?"

"Em, dari pada gue demam besok. Kita pulang?" Alex mengulurkan tangannya, ditatap Angel lama. Jika dulu ia menolak saat Alex menyentuh tangannya, saat ini Angel tidak akan melepaskan tangan itu. Angel akan menggenggamnya dan berdiri disamping Alex.

"Kita pulang," Ujarnya menyambut tangan Alex. Keduanya saling melempar senyuman lalu pergi dari sana.

Angel melompat turun saat jalan yang mereka lewati berbatuan bukan aspal. Alex juga memilih menuntun sepedanya. Mobil yang kaca spionnya Alex patahkan sudah berada di depan rumah Angel. Edo tidak sendiri, mengajak dua orang yang berbadan besar untuk menemaninya. Alex mengangkat satu alisnya saat Edo menatapnya menantang.

"Ibu," Angel menghampiri Ibunya yang sudah berdiri didepan pintu dengan pucat. "Ibu kenapa?" Tanya Angel panik. Ibu menatap Angel lama. Memutuskan untuk membicarakannya didalam. Alex menyandarkan sepeda di dinding kayu, dua orang berbadan besar itu terus menatap Alex.

"-Hutang?" itu kalimat yang pertama Alex dengar setelah keluar dari kamar mengganti bajunya, ia berdiri dibelakang kursi Angel. "Kenapa nggak bilang sama Angel, Bu?" Angel meraih kedua tangan Ibu dipangkuan.

"Ayahmu mengira panennya akan lancar, nggak tau kalau gagal, Nak," Ibu mengelus wajah Angel. "Kamu tenang aja, Ayahmu lagi mencari pinjaman,"

Air mata Angel meluncur seketika, menggenggam tangan Ibunya. Tidak tahu siapa orang yang tidak suka pada keluarganya, membuat sawah Ayah gagal panen. Ekonomi yang buruk membuat Ayah meminjam uang pada keluarga Edo, untuk membeli bibit padi dan semua rangkaiannya. Dalam perjanjian itu, Ayah harus merelakan salah satu anak perempuannya untuk menikah jika tidak sanggup membayar pada jangka waktu yang ditentukan. Karena hanya keluarga Edo yang bisa Ayah harapkan. Ayah sudah memikirkan hal itu dengan baik sebelum menandatanganinya di atas materai. Sejak itu, Ayah bersemangat menjaga agar panen lancar. Saat hari itu tiba, semua padi hancur. Tidak ada yang bisa dipanen sama sekali. Ayah berusaha mencari pinjaman, kemarin malam dan malam-malam sebelumnya. Angel teriris mendengarnya.

"Bagaimana cah ayu, apa kamu rela adik kamu yang menikah dengan saya?" Alex mengangkat satu alisnya, tangannya terulur kedepan, menepis tangan Edo yang ingin menyentuh tangan Angel. "Diam kam- e-loh!"

Alex mengambil selembar kertas dimeja yang sepertinya menjadi sumber masalah. Membacanya sekilas.

"Kembaliin kertasnya!" Edo berdiri dan mengambil kertas itu secara paksa. "Jangan ikut campur,"

Alex menggaruk kepalanya. Membasahi bibirnya sejenak dan menatap Edo. "Lo sentuh dia," Alex menepuk kepala Angel yang duduk di hadapannya, menatap tajam Edo. "Gue patahin leher lo," Lanjutnya dengan nada pelan namun tajam.

"Kam- "Edo menggeleng, ia tidak terbiasa menggunakan panggilan gue-elo. "E-loh nggak bisa ngatur gu-eh! Perjanjiannya tertulis seperti itu. Dibawa ke pengadilan juga ini bukti yang sah!" Ucapnya menggebu-gebu.

"Apa peduli gue?" Angel mendongak, "Pergi sebelum gue patahin kaki lo,"

"G-gu-eh nggak takut!" Balas Edo berbeda dengan kakinya yang mundur secara perlahan, berlindung pada lelaki yang datang bersamanya. "Akhir perjanjiannya besok jam sembilan pagi."

"Jangan khawatur nak, Ayahmu pasti dapatkan pinjaman itu." Ibu menyakinkan. Angel mengangguk.

"Mau ke mana?" Alex menahan tangan Angel. "Jangan gila, lo mau nikah sama dia?"

"Nggak. Ayah pasti jemput aku secepatnya. Kamu di sini aja,"

"Menurut lo?" Alex mengatupkan rahangnya. Angel meraih tangan Alex dipergelangan tangannya. "Jangan pergi sama dia. Atau gue patahin kaki orang-orang itu,"

"Ini urusan aku, Alex. Meskipun aku menolak, kertas itu punya bukti hukum yang kuat." Angel meremas baju Alex. "Hidup aku emang gini, Ayah sudah melakukan semua yang terbaik untuk keluarga,"

"Nggak dengan menikah sama dia, Angel," Geramnya.

"Siapa yang mau nikah sama dia, Alex. Aku percaya sama Ayah, dia akan jemput aku," Angel tersenyum. "Aku pasti pulang, Edo nggak akan sakitin aku,"

"Nggak,"

"Alex." Manda berusaha mencari tatapan Alex. "Alex?"

"Nggak bisa, Angel." Ujarnya frustasi. "Gimana gue bisa tenang sementara lo nggak ada di sebelah gue, hah?"

"Aku emang nggak ada di sebelah kamu, tapi aku selalu ada disini," Angel meletakkan telapak tangannya di dada kiri Alex. "Aku ada disana," Alex tidak bergeming. Angel tersenyum hangat. "Lepasin aku Alex," Alex menggeleng.

"Heh! Lepasin calon istri gu-eh!" Alex mengangkat kepalanya menatap Edo.

"Jangan, aku nggak mau kamu buat keributan," Angel berdiri menghalangi. "Aku baik, percaya sama aku,"

Kenapa Alex menjadi sangat lemah hanya karena kalimat ancaman Angel. Kenapa Alex menjadi penurut dengan perintah perempuan itu. Tidak, Alex tidak bisa duduk diam menyaksikan Angel dibawa oleh kedua orang itu masuk kesebuah mobil. Kedua tangannya mengepal, emosinya tiba-tiba naik melihat Angel yang begitu pasrah. Langkah Alex menjadi sangat besar terhenti di tempat saat Angel menatapnya dengan menggeleng pelan. Alex menarik rambutnya gusar, kenapa kakinya berhenti. Ia bisa menyelamatkan Angel dan Angel tetap berdiri disampingnya. Kenapa hanya dengan gelengan pelan membuatnya tidak bisa berkutik?

"Maaf, Nak,"

Alex hanya memberikan senyuman kecil dan duduk didepan rumah. Jika kedua orang itu bukanlah orang yang berharga bagi Angel. Alex sudah memberikan pelajaran karena sudah melibatkan Angel dalam masalah.

"Ibu! Bu! Ibu!" Ayah datang tidak lama setelah Angel pergi, berlarian dengan baju yang dibasahi keringat. Kepanikan dari wajahnya bisa Alex lihat. Ibu langsung berdiri dan menghampiri Ayah. "Maafin Ayah, Bu,"

Alex menunduk. Kedua tangannya berpangku pada paha dengan meremas rambutnya. la mendengarkan percakapan suami istri itu yang mengatakan belum mendapatkan pinjaman. Jika uang belum bisa dikembalikan sampai besok pagi, maka Angel akan menikah dengan Edo. Alex berdiri. Bertepatan dengan Kana yang pulang sekolah bersama temannya.

"Ibu!" Kana sudah mendengar cerita orang-orang, ia memeluk ibunya. Kana meminta maaf karena seharusnya ia yang menikah dengan Edo, bukan Angel.

"Ayah coba keliling kampung, kalian disini saja,"

Ibu dan Kana mengangguk. Berdoa agar Ayah mendapatkan pinjaman uang. Kana menghapus air matanya, menghampiri Alex. "Kak?"

"Sinyal,"

"Em?"

"Dimana gue bisa mendapatkan sinyal disini? Gue nggak punya uang cash lima belas juta,"

Uang yang dianggap sangat besar bagi keluarga Angel. Lima belas juta yang tidak berarti bagi Alex. Lima belas juta yang bisa Alex dapatkan dalam sekali naik ring. Alex tidak punya uang cash. Ia bahkan bisa memberikan dua kali lipat pada Edo.

"Sinyal?" Alex mengangguk cepat. Kana berpikir sebentar. "Sinyal handphone?"

"Iya,"

"Ada Kak! Sedikit jauh dari sini." Kana menggeser bola matanya. Teman lelakinya yang mengantar pulang belum pergi. Kana menghampirinya. "Bisa minta tolong, Rif?"

"Apa?" Lelaki yang ber-tag nama Rifky menatap Kana dan Alex bergantian.

"Pinjam motor kamu bentar, boleh?"

Jangan bayangkan motor yang dibawa Alex sama seperti miliknya di kota. Itu adalah jenis motor scooter dengan kecepatan paling tinggi empat puluh kilo meter. Kana yang diboncengnya menunjukkan jalan pada Alex . Lima belas menit. Keduanya tiba di sebuah bukit yang sepertinya memang tempat untuk memberi kabar lewat alat komunikasi berupa telpon. Semua orang harus bayar, tergantung berapa lama telpon tersambung. Alex mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencari sinyal selama beberapa menit. Hanya ada satu batang. Alex menyipitkan matanya untuk menghalau sinar matahari. la langsung menghubungi seseorang.

"Hallo?"

"Oit, dimana lo?"

Alex memijat pelipisnya. "Lo ada uang cash?"

"Berapa? Buat apa? Kenapa? Alasan gue harus kasih ke lo?"Tanyanya beruntun.

"Bawa lima belas juta," Tidak ada suara di ujung sana. Alex menjauhkan ponselnya sejenak untuk melihat masih tersambung atau tidak. Ia menutup matanya geram. "Nanti gue ganti duit lo, anjing,"

Selanjutnya Alex mendengar suara tawa. "Bim gue nggak bercanda."

"Lo sembunyi dimana? Apartemen kosong dua hari ini,"

Alex bungkam, menatap Kana yang berdiri dihadapannya dengan wajah panik. Alex membasahi bibirnya sejenak.

"Track me," Ucap Alex pelan.

Bimo terdiam sejenak. "Shit! Lo di peras, Lex?!"

"Besok pagi jam sembilan, Lacak ponsel gue,"

"Oke, Tunggu gue,"

Sambungan terputus.

"Kak, mau lewat mana?" Kana menahan tangan Alex. Melihat sekelilingnya dan menarik Alex menjauh, bersembunyi di sudut pagar. "Jangan lewat depan Kak, kita lewat belakang aja. Banyak penjagaan didepan,"

"Gue nggak biasa main belakang," Kana menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tidak mengerti bagaimana Kakaknya bisa disukai oleh lelaki semacam Alex. Menurut Kana, Angel bukan orang yang suka tebar pesona. Lalu bisa memikat orang seganteng Alex itu bagaimana caranya?! Kana harus mengetahui resepnya dari Angel.

"Lo tunggu disini aja," Kana terdiam.nMenatap punggung kekar dengan gagahnya memasuki rumah paling mewah di kampung.

Setelah makan malam. Alex memaksa Kana untuk menunjukkan dimana rumah Edo. Sebenarnya Kana tidak ingin memberitahunya, tapi melihat Alex yang tidak bisa duduk diam membuat Kana kasihan. Alex bahkan tidak makan sedikitpun saat makan malam. Kekuatan cinta memang luat biasa, itulah pikir Kana. Kana suka keberanian Alex, Sungguh Laki banget!! Menggelengkan kepalanya. Pikirannya semakin ngelantur membayangkan Alex. Ia memilih menunggu di sudut pagar, tidak ingin mengambil resiko.

Sampai didepan pintu, Alex dihadang dua lelaki. Tubuhnya memang kekar, namun masih kalah tinggi dengannya. "Gue mau ketemu sama yang punya rumah,"

Kedua lelaki di hadapan Alex saling beradu pandang. Salah satu di antara mereka akhirnya masuk ke dalam. Tidak menunggu waktu lama lelaki itu keluar dengan Edo dibelakangnya. Edo terkejut melihat Alex.

"N-ngapain, e-loh di rumah gu-eh?!" Tanya Edo gugup.

Alex membasahi bibirnya sebentar. Ia maju satu langkah, meletakkan tangan kanannya dibahu pengawal Edo. Edo mengerjapkan matanya takut. "Dalam perjanjiannya, tertulis lo bisa nikah sama dia kalau orang tuanya nggak bisa membayar hutang dalam waktu yang ditentukan?"

"I-iya!"

"Di kertas tersebut tidak ada tulisan lo boleh bawa dia sebelum jam sembilan pagi," Edo menelan ludahnya.

Sebenarnya Alex tidak membaca seluruh point yang tertulis di kertas, melihat ekspresi Edo yang mati kutu, apa yang dikatakan Alex benar adanya.

"Gu-eh hanya mencegah kemungkinan terburuk kalau Angel akan kabur. Lagi pula, orang tuanya nggak akan sanggup membayar uang sebesar itu,"

Alex menghembuskan nafasnya. Ia benci orang cupu. "Orang tuanya emang nggak sanggup, tapi gue yang akan bayar," Edo mulai panik. "Sekarang gue tanya dimana Angel,"

"N-ngak B-bisa!" Halangnya. "Angel nggak boleh kemana-mana. Kalau e-loh mau bayar, Mana uangnya?" Alex mengerutkan keningnya. "Gu-eh minta sekarang!"

"Dengan senang hati gue kasih," Tanpa aba-aba. Alex mengapit leher kedua lelaki disamping kiri dan kanannya. Memberikan pukulan ringan yang sama sekali tidak memerlukan tenaga. Hanya gerakan tangan, kedua orang itu terlempar ke rerumputan. Edo menelan ludahnya. la berjalan mundur dengan gemetar. "Sini, gue kasih,"

"S-saya bisa laporin kam-mu!"

Alex menarik kerah baju Edo. Kesabarannya habis. "Bawa Angel kehadapan gue sekarang atau gue patahin leher lo,"

Edo mengangguk cepat dengan tubuh gemetar. Alex menghempaskan tubuh cungkring itu. Edo langsung berjalan keruangan dimana ia mengurung Angel, Alex mengikuti dari belakang.

"Buka," Ucap Alex saat keduanya sudah berdiri didepan pintu. Edo mendesah pelan, membuka pintunya jika Alex tidak menendangnya duluan. Edo melotot, tubuhnya terdiam kaku dengan tangan ingin membuka pintu. Ia menatap pintu kamarnya dirusak oleh Alex. Takut bercampur kesal. Pintu tersebut terhempas ke dinding dengan keras. Perempuan yang terkunci di kamar itu berdiri kaget.

"Alex?"

"Kita pulang," Alex mengulurkan tangannya, Angel menatap Edo dengan kaki yang berjalan pelan menghampiri Alex di ambang pintu. Angel sudah menduga jika Alex akan datang cepat atau lambat. Meraih tangan Alex yang langsung digenggam lelaki itu. la menatap Edo prihatin.

"Fuck," Ucap Migel sebelum meninggalkan Edo yang masih terpaku ditempatnya. Angel meringis pelan melihat dua lelaki yang tergeletak dirumput, Alex pasti menghajar mereka. Angel berlari kecil, mengimbangi langkah Alex.

"Kak?!" Angel menoleh, berlari memeluk Kana. "Maaf ya, Kak,"

"Kamu nggak salah apa-apa," Angel melepaskan pelukannya. "Kakak hanya melakukan apa yang seharusnya seorang kakak lakukan untuk menjaga adiknya,"

Kana terharu. Ia memeluk Angel sekali lagi sebelum berjalan meninggalkan rumah Edo. Alex mengiringi kedua perempuan itu dari belakang menghembuskan nafasnya pelan dengan wajah mendongak ke atas, ada banyak bintang yang bertaburan.

"Kak Alex nekat banget Kak, dia bilang besok akan lunasi hutang kita. Ih, keren banget deh waktu Kak Alex menghajar lelaki itu," Cerita Kana pelan, Alex masih bisa mendengarnya.

Angel memutar kepalanya kebelakang, Alex sedang menikmati cahaya rembulan. Mungkin jika Angel menceritakan hal nekat apa saja yang pernah Alex lakukan untuknya, Kana akan lebih kaget. Angel mengulas sebuah senyuman, Ia tahu jika lima belas juta bukan uang yang besar bagi Alex, sebelumnya juga Alex pernah memberikan uang sepuluh juta pada seorang lelaki saat Angel tidak sengaja menumpahkan minuman ke bajunya.

"Kak, anak Kota emang keren semua, ya?" Angel kembali menghadap depan. "Nanti aku mau cari ah, yang kayak Kak Alex,"

"Jangan kayak gue," Kedua perempuan itu menoleh kebelakang. "Cari lelaki yang baik, jangan kayak gue," Kana terdiam, ia tersenyum kikuk dan memutar tubuh Angel kedepan.

Mengalungkan tangan kirinya dilengan Angel. "Tuh, kan, Cara dia bicara aja keren, Kak," Ujar Kana gemas sendiri, Angel tertawa pelan.

Ada yang membuat Alex suka bangun pagi. la tidak pernah bangun dibawah pukul sembilan. Tapi tiga hari ini, pagi yang selalu ditunggu-tunggu. Saat Alex membuka jendela rumah, Hamparan sawah yang luas terbentang. Hijau dan berembun, dingin dan menghangatkan sekaligus saat matahari muncul. Kedamaian yang bisa Alex rasakan. Udara segar, suara binatang ternak yang tidak bisa Alex temukan di kota. Alex menatap pergelangan tangannya. Jam delapan tiga puluh. Ia berbalik, melihat Angel yang sedang menyuapi Lani. Ia tersenyum tipis dan menghampiri kedua saudara itu.

Kaki Alex terhenti ditengah ruangan saat suara ketukan terdengar. Angel dan Alex dengan kompak menatap pintu tertutup itu. Meletakkan piring di tangannya dan menggendong Lani. Angel berdiri dibelakang Alex yang membuka pintu. Jantung Angel berdetak kencang. Ibu, Ayah dan Kana mendekat, Ikut menunggu pintu itu terbuka.

"Hai?" Itulah kata pertama yang didengar saat pintu terbuka. Seorang perempuan dengan tangan kanan terangkat satu. Ia tersenyum, mengedipkan matanya berkali-kali.

"Kak Luna?" Angel berjalan keluar dengan wajah kaget. "Kak Luna kok bisa-" Angel kehabisan kata-kata. "Gimana caranya?"

Luna tertawa kecil, mengedipkan sebelah matanya pada Angel. Angel terharu, ia menutup mulutnya tidak percaya. Luna menundukkan kepalanya pada Ibu dan Ayah.

"Uangnya?" Luna memberikan tas hitam berukuran sedang, Alex yakin itu milik Leon. "Mana Bimo?"

"Ada di depan. Mereka nggak sanggup lagi, jadi berhenti dipersimpangan. Tidur,"

Yang dimaksud dengan kalimat mereka pasti bukan hanya Bimo. Alex menghembuskan nafasnya pelan. Luna langsung menyalami Ibu dan Ayah sopan.

Alex menenteng tas tersebut dan berjalan
dijalan bebatuan. Ia menemukan sebuah
mobil Jeep dengan perpaduan warna hitam dan hijau berhenti dipersimpangan. Niat awal Alex untuk membangunkan Bimo. Keningnya berkerut saat mendengar tabuhan yang biasa Alex dengar sering dimainkan oleh ibu-ibu pengajian. Rentetan warga berbaris berjalan ke arahnya. Membawa bingkisan, sayuran, buah dan berbagai macam hasil panen. Memakai baju kebaya dan yang menarik perhatian adalah lelaki yang memimpin para warga tersebut. Edo dengan pakaian adat setempat. Berdandan habis-habisan dengan senyuman yang mengembang. Bukan terlihat tampan, menurut Alex lebih mirip dengan ondel-ondel.

"Sumpah, itu suara apaan?!" Alex bergeser ke samping, kaca mobil terbuka. Bimo menyembulkan wajahnya yang diselimuti rasa kantuk. "Anjir, ondel-ondel dari mana?"

"Bim, tutup kaca mobilnya! Dingin woy!"

Itu suara Leon, sedang tertidur dengan selimut yang menggulung tubuhnya. Bibir Edo terkunci saat tatapannya bertemu dengan Alex. la mendongakkan kepalanya dengan sombong, mendecih pelan melihat Alex bersandar pada sebuah mobil.

"Songong banget, siapa tuh cungkring?!" Bimo mengenakan jaket miliknya, ia keluar saat suara itu semakin mendekat. "Acara apaan, sih?!" Alex tidak menjawab. "Lo di peras sama siapa?"

Alex menegapkan tubuhnya, Menghadang rombongam Edo saat ingin masuk ke persimpangan rumah Angel. Kini, ia berhadapan dengan lelaki itu. "Minggir," Usir Edo percaya diri.

"Gue nggak suka basa-basi. Gunain waktu gue yang penting hanya untuk berhadapan sama lo." Alex melempar tas yang langsung ditangkap Edo. "Lunas. Sekarang lo pergi,"

Edo mengerjapkan matanya. Menegapkan tubuhnya, membuka tas yang diberikan Alex, seketika matanya membuka lebar. "Gue kasih bunga sepuluh persen," Edo menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa kering.

"Kak Angel nggak jadi nikah?!" Suara Kana membuat semua mata menatapnya. Satu keluarga itu sudah berdiri disana sejak tadi. Kana berteriak senang, memeluk Angel.

Dengan rasa malu dan kesal, akhirnya Edo pergi. Tidak lupa dengan berbagai ancaman untuk Alex, diucapkan setelah memastikan Alex tidak bisa menjangkaunya. Alex tidak suka keributan yang memusingkan. Jika inginnribut dengannya cukup satu lawan satu.nTidak perlu semua orang tahu betapa hebatnya dirimu, di atas langit masih ada langit . Itulah yang Alex pikirkan.

"Sumpah, ya. Ini untuk pertama kalinya gue ada ditengah-tengah sawah. Dengan angin dan pemandangan yang keren," Luna tidak berhenti memuja. Kini, Angel dan Luna sedang berada di saung, Luna memaksa Manda untuk kesana. "Keren banget!"

Angel terkekeh pelan. Menggoyangkan kakinya yang menggantung. "Makasih ya, Kak," Luna menoleh. "Selalu bantu aku,"

"Bukan apa-apa, Ngel. Lagi pula gue mau Leon sama Alex damai lagi,"

"Kakak tau kenapa mereka berantem?" Luna menggeleng. "Kak Eon juga nggak mau cerita, ya?"

"Iya," Luna berjalan mendekat dan duduk disebelah Angel. "Meskipun mereka bertengkar hebat kemarin. Gue percaya mereka nggak akan bisa saling menjauh satu sama lain. Waktu Alex telpon Bimo untuk melacak ponselnya, Menurut lo siapa yang disuruh oleh Alex?" Angel menggeleng. "Meski Alex meminta tolong pada Bimo, sesungguhnya permintaan tolong itu ditunjukkan ke Leon. Hanya Leon yang bisa melacaknya, bukan Bimo. Setelah Bimo cerita kalau Alex diperas, Leon orang yang paling khawatir, gue bisa melihatnya. Malam itu kita langsung ke tempat lo," Angel manggut-manggut mendengarkan. "Mereka akan damai Angel, lo jangan khawatir. Alex dan Leon bukan orangnyang baru,"

Angel juga percaya. Alex dan Leon hanya butuh waktu untuk menenangkan diri masing-masing. Apapun masalahnya, Angel berharap semuanya cepat selesai.

Sepertinya kepergian Angel dan Luna membuat rumah menjadi sepi. Ibu menyusul bersama Kana, Lani, Leon dan juga Bimo. Membawa bekal makan siang. Menjadikan saung sebagai lesehan. Ibu masak besar hari ini.

"Kana kelas berapa?" Leon tersedak, memukul dadanya saat pertanyaan itu keluar dari bibir Bimo. Leon meneguk habis minuman yang diberikan Luna.

"Kelas tiga SMA, Kak," Jawab Kana malu-malu.

"Beda tujuh tahun nggak masalah kali, ya." Ujar Bimo membuat Kana tiba-tiba merona. Leon langsung memukul kepala Bimo. "Apaan? Sewot aja lo," Leon memberikan seulas senyuman pada Ibu, meminta maaf atas nama Brayn.

"Kansa lulus SMA, nyusul Angel aja. Nanti ketemu sama gue, btw udah punya cowok belum?"

"Pepet terus," Gumam Luna geli dengan tingkah Bimo yang sepertinya tertarik pada Kana sejak melihatnya pertama kali.

"Belum tau, Kak," Ucap Kana pelan, membuat Bimo gemas. Tanpa Bimo sadari Leon meletakkan sesendok cabai disendok Bimo yang akan dimakan oleh lelaki itu, karena mata sahabatnya itu tidak lepas dari sosok Kana.

"Anjir pedas!" Pekik Bimo meneguk habis air mineral untuk meredam tenggorokannya yang seperti terbakar. Yang melihatnya cekikikan, menggelengkan kepala dengan tingkah Bimo dan Leon.

Angel tersenyum hambar, saat semua lelucon Leon dan Bimo seperti penghibur. Ada yang kurang, tidak ada Alex di antara mereka. Apa yang Angel pikirkan sehingga lelaki yang sejak tadi Angel tanyakan keberadaannya muncul dan berjalan mendekat. Senyuman Angel hilang melihat ada yang aneh dengan ekspresi Alex.

"Dari mana lo?" Bimo mewakili pertanyaan yang akan di ajukan Angel. Lelaki itu duduk dengan kaki yang menyentuh tanah.

"Udahan makannya?" Tanya Alex. Bimo mengangguk.

"Nak, Alex makan dulu, sini,"

Alex menolak sopan. "Langsung, ya."

Leon dan Bimo langsung melempar pandangan sejenak sebelum akhirnya Bimo menajawab. "Oh, O-oke," Bimo mengangguk kikuk lalu memutar tubuhnya. Memakai sepatunya.

"Oh ya, makasih Bu makan siangnya. Kita nggak bisa lama-lama, sebenernya sih, mau." Sindir Bimo. "Tapi waktunya mepet, jadi kita harus pulang."

"Kok cepet banget," Ibu membereskan bekal makanan yang sudah habis. "Nggak mau jalan-jalan dulu? Nggak capek apa?"

Kali ini Leon yang menjawab. Angel tidak terlalu mendengarkan. Ia menatap Alex sejak lelaki itu datang, sama sekali tidak meliriknya. Sampai akhirnya semuanya pergi kecuali Angel, ia memandangi tubuh Alex yang berjalan paling akhir, ada rasa sesak yang menyelimuti Angel menatap tubuh itu seolah tidak menyadari keberadaannya. Angel membuang nafasnya saat kaki Alex terhenti. Lelaki itu berbalik dan menatapnya dari kejauhan. Angel memang tidak bergeming dari saung, ia tetap duduk di sana sampai akhirnya Alex kembali lagi dan berdiri di hadapannya. Angel menatap sendu, Alex tersenyum tipis.

"Gue pulang sama mereka," Angel mendongak. "Nikmati liburan lo dan berkumpul sama keluarga,"

"Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang bisa Angel tanyakan, meraih tangan Alex yang mengelus pipinya. "Kamu nggak bisa lebih lama lagi?"

"Kita bisa menghabiskan waktu berdua lebih banyak nantinya. Bukan disini, tapindi kota. Sekarang lo nikmati liburannya," Alex menggenggam telapak tangan Angel.

"Kak Eon sama Bimo pasti capek bawa mobil," Itu hanya alasan Angel untuk mempertahankan Alex tetap tinggal.

"Ada bandara kecil di kantor pedesaan. Pesawat pribadi Leon udah nunggu disana," Angel menunduk, menatap punggung tangan Alex. "Its oke, Angel. Kita akan ketemu satu atau dua minggu lagi, kecuali lo mau ikut gue pulang sekarang,"

Angel mengulum bibirnya. la berdiri, membiarkan Alex menuntunnya. Tiga hari bersama keluarganya mungkin tidak cukup, jika Angel harus memilih, ia pasti menghabiskan waktunya bersama keluarga. Itu yang Angel harapkan, tidak sesuai dengan hatinya yang mengatakan sebaliknya. Ia ingin pulang bersama Alex. Angel ingin kembali ke kota bersama Alex. Tapi tidak mungkin, Ayah tidak akan mengizinkannya.

"Makasih Bu, saya pamit," Pamit Alex, Ibu memberikan pelukan singkat yang membuat tubuh Alex menegang. Ia tidak menyangka kehadirannya begitu disambut baik oleh Ibu. Alex tersenyum hangat lalu mengelus rambut Lani. Sampai sekarang adik Angel yang paling kecil itu masih malu-malu padanya. Alex menatap Angel sekali lagi, mengelus kepala Angel sebelum masuk ke mobil.

Angel menahan air matanya saat mobil itu berjalan menjauh meninggalkan rumahnya. Manda mendongak, takut jika air matanya semakin deras.

"Yuk, masuk," Ajak Ibu. Angel mengangguk tersenyum. Masuk kekamarnya dan berdiam diri diranjang bambu.

Seharusnya Angel tidak secengeng itu. Alex tidak akan meninggalkannya. la akan bertemu lagi dua minggu kedepan. Bukankah terlalu lama? kenapa jarum jam sangat lambat untuk bergerak. Angel merasakan sudah lama duduk dikamar, tapi saat Kana menegurnya. Ternyata Angel hanya duduk di sana selama lima menit.

"Dipanggil Ayah,"

"Ayah udah pulang?" Kana mengangguk. Angel mengusap wajahnya, menarik nafasnya sejenak dan merapikan penampilannya sebelum bertemu Ayah. Ayah yang menghilang setelah Alex melunasi semua hutang keluarganya.

Lelaki tua itu terlihat sangat penat. Angel berjalan mendekat dan duduk di samping Ayahnya. Keduanya terdiam lama. Angel memilin jemari dipangkuannya. Menunduk, ia mempersilahkan Ayah untuk berbicara terlebih dahulu.

"Ayah tetap nggak suka sama dia," Angel menoleh. "Dia bukan lelaki yang Ayah harapkan. Ayah terlihat sangat lemah saat tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan kamu. Dia pasti anak orang kaya," Angel menunduk. "Uang segitu bukan apa-apa baginya. Ayah mengenal bagaimana pergaulan anak Kota. Dan Ayah nggak suka kamu berteman dengan mereka. Dia hanya lelaki yang akan pergi setelah dia menemukan hal yang membuatnya penasaran selama ini sudah ia pecahkan. Ayah tidak ingin kamu terbawa kebahagiaan palsu olehnya." Ayah menghembuskan nafasnya pelan. "Tapi percuma saja jika Ayah menentangnya. Ayah hanya bisa berbicara tanpa bisa menjaga kamu disana. Meski Ayah meminta kamu menjauh, Kamu tidak akan melakukannya. Karena Ayah tidak tau apa yang terjadi sama kamu saat jauh."

"Angel bisa jaga diri," Ucapnya pelan. "Angel akan hati-hati, yah,"

"Em, kamu bisa saja berbicara seperti itu saat ini. Menolaknya mentah-mentah. Tapi dengan sentuhan tangan saja kamu sudah terbuai. Apa yang bisa kamu jaga? Jangan main-main sama nafsu Angel, mereka datang tidak kenal waktu, kondisi dan tempat," Angel bungkam. "Sudah ayah katakan, Ayah tidak suka dia, tapi percuma jika kamu sangat menyukainya. Ayah bisa berbuat apa? Dia bisa membebaskan kamu, dia bisa melindungi kamu, tidak seperti Ayah,"

"Ayah.." Panggil Angel berkaca-kaca. Hati Ayah pasti sangat terluka. Ayah menoleh, ia tersenyum, membuat kerutan disekitar matanya terlihat. Menggenggam tangan Angel.

"Kamu boleh pergi. Ayah tau kamu mau pulang sama mereka. Ayah izinin kamu pergi. Dan sampaikan salam kebencian Ayah untuk dia,"

Alex membuka kaca mobilnya. Meletakkan tangan kanannya disana saat kaca mobil turun sepenuhnya. Ia menyetir menggunakan satu tangan. membiarkan semilir angin masuk melalui jendela.

"Btw, kenapa lo mau ikut kita pulang? Padahal gue mau bermalam, Gagal PDKT sama Kana deh gue, ngerusak aja lo," Alex mendengus pelan. Bimo masih terlihat kesal. "Nggak betah lo?" Alex tidak menjawab, menatap Bimo malas. Wajahnya yang ditekuk tiba-tiba berubah menjadi sangat mengerikan. "Anjir! Jangan gila lo! Alex anak orang mati!" Pekik Bimo mencoba menyadarkan Alex.

"Mobil gue baru buka bungkus! Anjing!-" Leon memasang sabuk pengaman dengan cepat. Luna menendang bahu Alex dari belakang. Menyadarkan lelaki itu. Terlambat, hantaman keras membuat Bimo, Leon dan Luna terpental kedepan jika tidak memakai sabuk pengaman. Leon meringis, lehernya sakit. "Bangsat! Mobil gue,"

"MOBIL SAYA KENAPA DITABRAK!!"

Alex tersenyum miring. Memastikan mobil yang ia tabrak hancur dibagian belakang. Alex mengendarai mobilnya mundur. Suara penyok dari mobil yang ia tabrak terdengar. Bimo menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

"Pinjam lima juta," Alex memutar tubuhnya kebelakang, mengadahkan tangan didepan wajah Leon. Leon mendengus dan membuka tasnya. Memberikan uang tunai pada Alex.

"Gue nggak suka sama orang yang suka pamer dan cupu," Alex melemparkan uang yang diberikan Leon kehadapan Edo. "Buat ganti kerusakan mobil lo!"

"SETAN KAMU!" Edo berdiri dengan murka. Untung saja ia cepat keluar dari mobil. Alex menggigit bibir bawahnya dan tersenyum miring. la menarik stir ke kanan dan meninggalkan Edo dengan salam jari tengah. Edo kembali mengumpat dengan bahasa Jawa.

"Kalau gue jadi lo. Udah gue lindas sampai Gepeng kayak pizza." Ujar bimo setelah Alex menceritakan dibalik ia menghancurkan mobil Edo. "Ada ya, orang ngeselin kayak dia. Heran gue,"

"Lex, Ada wisata apa disini? Lo udah kemana aja?" Tanya Luna.

"Air terjun. Udah lewat," Alex melirik kaca spion. "Landas kemana?"

"Pulau pribadi. Leon baru beli. Kayak beli permen kan? Gilak, tajir asli temen gue," Bimo mengedipkan matanya pada Leon. Leon mendecih pelan. "Btw, udah dong. Damai cuy, nggak capek musuhan? iya nggak, Lun?" Luna mengangguk.

"Kita nggak musuhan." Leon menjawab. "Hanya nggak saling bicara sampai waktu ditentukan,"

"Halah kalimat lo. Mules," Bimo melempar sepatunya ke Leon. Sayang, Leon menangkapnya dan langsung melempar sepatu Bimo ke luar dari jendela. "BANGSAT LEON!"

Dukung terus penulis agar lebih bersemangat untuk mengupdate kelanjutan ceritanya. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!! Selamat Membaca

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience