"Nasi goreng spesialnya dua dan es teh dua, selamat menikmati." Angel menunduk sebentar, mempersilahkan pengunjung menikmati santapan yang dipesan. Angel bergegas kembali ke dapur,
melihat pesanan lain ataupun menghampiri tamu yang baru saja datang. Hari ini pengunjung tidak terlalu ramai.
"Mau pesan ap--Kak Bimo?" Angel menatap kaget, terdiam sebentar lalu menatap sekitarnya.
"Cari Alex? " Angel kembali menatap Brayn. "Gue datang sendiri." Ada raut kecewa yang Brayn tangkap.
Angel menggeleng, memberikan senyuman pada Bimo . "Mau pesan apa, Kak?"
"Gue mau bicara sama lo, bisa?"
"Tapi aku masih jam kerja." Sebenarnya banyak juga yang ingin Angel tanyakan pada Bimo. "Aku coba izin sama sebentar, ya."
Bimo mengangguk. Angel menemui perempuan yang menjabat sebagai manager. Setelah mendapatkan izin, Angel melepas apron hitam dan
menghampiri Bimo . Keduanya duduk di kursi pinggir jalan.
"Makasih." Ujar Angel saat Bimo memberinya minuman kaleng.
"Susah banget mau ketemu sama lo." Bimo terkekeh pelan. "Kalau nggak sekarang, kapan lagi." Angel menunduk, menatap minuman kaleng di pangkuan yang ia mainkan dengan jemari tangan.
Bimo meletakkan minumannnya, menatap ke depan. "Atas nama Mona, gue mau minta maaf sama lo." Bimo menoleh bersamaan dengan Angel mengangkat wajahnya, Keduanya saling menatap satu sama lain. "Gue udah dengar semua kejadiannya dari Luna, dan itu salah gue."
"Bukan salah Kak Bimo kok, nggak ada yang salah disini."
"Mereka udah diproses sama polisi, gue yakin Nando yang melaporkan kejadian itu. Mungkin lo akan dipanggil ke kantor polisi. Gue minta maaf, gue merasa bersalah dan nggak pantes terima maaf dari lo. Gue malu ketemu sama lo. Karena gue, lo harus merasakan hal yang menjijikan."
Angel meremas minuman di tangannya. Mengingat itu membuatnya benci sendiri dengan tubuhnya.
"Seharusnya gue jaga lo seperti yang Alex lakukan, tapi gue buat lo sengsara." Bimo menghembuskan nafasnya. "Udah lama gue mau ngobrol sama lo. Tapi sepertinya, Nando selalu ngikutin lo."
Yang membuat Angel berfikir Nando berbohong adalah hal ini. Angel ingat saat Nando mengatakan kenal baik dan berteman dengan Alex, lalu Nando
menyuruhnya menjauhi Alex. Bisa Angel simpulkan, Nando bukan teman Alex, terlebih Bimo memilih menjauh saat Nando di dekatnya.
"Lo trauma, gue tau. Gue sama Leon udah bilang sama Alex, nggak seharusnya Alex bawa lo masuk ke hidup dia. Angel, gue, Leon dan Alex itu brengsek. Lo tau itu, tapi kita nggak pernah gunain kekerasaan tanpa sebab. Kecuali Alex yang emosian, dia nggak bisa dikontrol. Nggak ada yang bisa kontrol dia, kecuali lo." Angel mendengarkan.
"Gue juga baru tau sih kalau lo bisa kontrol seorang Alex." Bimo tersenyum, manis sekali. Angel baru sadar jika Bimo adalah orang yang hangat, sangat berbeda dengan wajahnya ataupun saat pertama kali ia bertemu Bimo. Sekarang, Angel melihat sisi lain dari seorang Bimo .
"Gue kenal Alex waktu SMA, bajingannya seorang Alex gue tau. Dia belum pernah seperti ini sebelumnya. Dia nggak baik buat lo yang polos, gue jujur. Gue nggak mau baikin atau jelekin sahabat gue sendiri, gue bilang apa adanya. Nggel, Alex
kacau." Bimo menghembuskan nafasnya sebentar.
"Dia kacau banget, gue minta dia temuin lo, minta maaf atau apapun itu. Asalkan ketemu dulu lalu selesaikan masalahnya. Saran gue sama Leon
nggak didengar. Dia adalah orang yang salah disini. Alex penyebabnya, tapi dia seperti pengecut." Angel menunduk, menatap ujung sepatu miliknya.
"Gue mau dia lepasin lo. Gue nggak mau Alex membawa pergaulan buruk buat lo. Dunia Alex keras, Lo gak akan bisa bertahan disana. Gue bilang ini karena emang lo orang baik dan polos, gue nggak mau temen gue ngerusak lo."
Ada tumpukan pisau yang Bimo tancapkan di dadanya. Sakit dan perih saat Angel mendengarnya.
"Alex nggak mau nemuin lo. Dia masih terlalu egois buat lepasin lo. Gue tau Alex masih ngelindungin lo. Diam-diam merhatiin lo dari jauh, mungkin lo sadar
juga." Angel mengangguk menyentujui.
"Dia nggak mungkin lepasin lo, Nggel. Maka dari itu gue nemuin lo. Gue mau lo yang lepasin dia." Angel menoleh, menatap Brayn. "Tegasin lo akan pergi dari hidup dia. Bilang apapun agar dia memutuskan menjauh dan tidak mengeklaim lo sebagai miliknya lagi. Lo masih punya kesempatan buat pergi dari kumpulan cowok brengsek seperti kami, kembali ke kehidupan lo yang normal."
Angel terdiam. Dunia terasa asing dan hampa sekarang. Apa yang dikatakan Bimo benar. Angel punya kesempatan untuk melarikan diri dari sosok Alex. Kembali ke hidupnya yang normal dan semuanya aman terkendali. Seharunya Angel menyetujui, namun ia tidak mengangguk ataupun menggeleng.
"Kak." Angel memanggil tanpa menatap lawan bicaranya. "Aku nggak tahu harus temuin dia dan mendorongnya menjauh atau tetap menjadi miliknya. Aku butuh sesuatu untuk memutuskannya." Angel menatap Bimo. "Seperti yang Kakak bilang, Aku bisa kontrol Alex. Aku hanya bingung."
"Apa yang buat lo bingung"
"Semuanya. Hidup Alex, boleh Kakak cerita tentang Alex? Kalau aku yang tanya, Alex nggak akan cerita. Mungkin setelah mendengar, aku bisa memutuskan. Untuk mendorongnya pergi atau menariknya kembali."
"Lo serius?" Angel mengangguk mantap, Bimo terkekeh pelan. Menarik nafasnya dalam dan membuangnya perlahan sebelum memulai cerita. Angel memutar tubuhnya menghadap Bimo, siap mendengarkan.
"Seperti yang lo tahu, dia anak Wali Kota. Hubungan Alex tidak baik dengan keluarganya, terutama Papanya. Mama Alex sudah meninggal ketika Alex duduk di kelas satu SMP. Mamanya bunuh diri." Angel membulatkan matanya. "Karena Om Danang ketahuan selingkuh. Tapi yang media tau, Mamanya mengidap sebuah penyakit. Kebencian Alex bertambah saat Om Danang menikah lagi dengan selingkuhannya. Jati dirinya terbentuk karena penghianatan." Bimo menatap Angel sekilas.
"Itu alasan kenapa Alex tinggal di apartemen. Om Danang selalu ngatur dan ngekang Alex. Saat SMA, Alex tidak bisa berbuat banyak. Setelah lulus, Alex tidak beraturan, semakin liar, brutal dan tidak takut apapun bahkan mati sekalipun. Seperti itulah Alex."
Angel menelan ludahnya yang nyangkut di tenggorokkan. Angel sudah tahu jika ada alasan yang mendasari sifat Alex. Seharusnya Alex mendapatkan dukungan dan kasih sayang orang di sekitarnya. Angel yakin, Alex akan tumbuh seperti anak baik lainnya jika mendapatkan kasih sayang itu. Berbeda jika Alex tumbuh di bawah penghianatan, kekerasaan, kekecewaan dan kenyataan atas kematian Mamanya, Angel ikut terluka.
Angel menghembuskan nafasnya. Ia sudah kembali ke kafe setelah perpisahannya dengan Bimo setengah jam yang lalu. Senggolan di lengan kirinya membuat Angel tersadar.
"Ada tamu." Gumam Mawar yang melintas melewatinya.
Angel menegapkan tubuhnya. Merapikan penampilannya sejenak, menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia menghampiri pelanggang yang baru saja datang.
"Selamat datang, Mau pesan apa?" Tanya Angel sopan membagikan buku menu pada tiga orang yang baru saja datang.
"Pesan yang masih rapat dan sempit bisa nggak?"
"Makanan apa, ya?" Angel mengerutkan keningnya, masih mempertahankan senyuman di bibirnya.
Lelaki yang duduk di dekatnya berdiri bersiul kecil, menatap Angel dari bawah ke atas-atas ke bawah. "Pulang ini ada acara nggak?"
"Nggak, kenapa?"
"Lo mahasiswa kan?" Angel mengangguk. "Gue ada pekerjaan, lima belas menit bisa menghasilkan banyak uang, mau?"
"Pekerjaan apa, ya?"
"Kalau mau, nanti kita diskusi setelah lo selesai kerja, gimana?" Angel mengangguk santai. Mencatat pesanan ketiga orang itu dan langsung memberikannya pada bagian dapur.
Ternyata lelaki itu sungguh menunggunya sampai pulang bekerja. Angel mendekati lelaki tersebut yang berdiri di samping mobil sedan hitam.
"Kenalin, Gue Herman."
"Angel." Jawab Angel membalas uluran tangan tersebut. "Mau bahas yang tadi, ya?"
"Kita bahas di mobil gimana? Sekalian gue ajak langsung ke tempatnya. Kalau lo tertarik, lo bisa langsung kerja."
"Tapi ini udah malam." Angel melirik pergelangan tangannya. "Kerja apa ya, malam seperti ini?"
"Nanti juga lo tau. Lo ikut aja dulu, kalau nggak tertarik lo bisa pergi. Banyak mahasiswa kayak lo yang kerja di sana. Gue tawarin lo karena kelihatannya lo lagi butuh uang."
Benar, Angel lagi butuh uang untuk mengirim keluarganya di kampung. Kemarin, setelah menerima surat dari Ayah kalau panen gagal. Angel jadi
kasihan.
"Gimana?"
Setelah berfikir lama, akhirnya Angel
menjawab. "Ok."
Rasa cemas mendominasi. Angel merasa sudah salah menerima tawaran itu. Karena penasaran dengan pekerjaan yang ditawarkan. Angel gelisah sendiri.
"Pom bensin?" Angel menoleh, Herman menghentikan mobilnya.
"Nggak, bukan kok." Kekehnya. Herman mengambil sebuah tas di jok belakang, memberikannya pada Angel.
"Ini apa?" Angel mengintip.
"Baju, kita langsung interview. Jadi pakaiannya harus lebih pantas. Lo ganti baju dulu."
Angel mengangguk. Masuk ke kamar mandi. Lima belas menit Angel berada disana, menatap baju yang diberikan Herman. Angel mengangkat sebuah gaun tanpa lengan, sangat pendek jika ia gunakan. Angel menggeleng, memasukkan bajunya kembali, ia keluar,
mengetuk kaca mobil Heru.
"Mas, nggak salah pilihin baju buat aku? Kok ukurannya sama kayak ukuran baju adek aku, ya?"
Tanya Angel saat pintu kaca mobil diturunkan. Herman terkekeh. "Pake dulu, emang gitu modelnya."
"Nggak mau, ah. Ini terlalu terbuka." Tolaknya.
"Nggak, percaya deh. Cepetan Nggel, udah telat nih."
"Emang salah kalau penampilan aku gini?" Herman mengangguk. "Tapi aku nggak pernah pakai baju kurang bahan seperti ini."
"Yaudahlah, sekali-kali."
Setelah perdebatan lama, akhirnya Angel mengganti bajunya. Ia memilih membungkus tubuhnya dengan jaket.
"Nanti jaketnya dibuka kalau udah sampai." Angel mengangguk. Duduk saja ia tidak nyaman karena terlalu pendek. "Gugup? Nih minum dulu."
Angel tersenyum kikuk, mengambil minuman yang Herman berikan. Meminumnya sampai tuntas. "Rilex Angel, pasti keterima. Yakin deh." Setelah itu, Angel lebih banyak diam.
Mengerjapkan matanya saat Herman membukakan pintu mobil begitu sampai ditempat tujuan. Angel berdiri mematung menatap sebuah bangunan bertuliskan MJ.
"Ini tempat apa, ya." Angel menahan tangan Herman yang menariknya masuk.
"Masuk dulu, gak pa-pa. Sama gue." Sebelum itu, Heru menarik paksa jaket Angel hingga terlepas.
Angel menutup kedua telinganya begitu suara musik menyambutnya. Hampir saja ia muntah mencium bau alkohol dan rokok yang sangat menyengat. Perut dan kepalanya serasa berputar melihat belasan manusia berjoget dan saling bertautan bibir satu sama lain. Angel melepaskan tangannya dari Heru.
"Aku nggak mau." Herman menarik tangan Angel lalu Angel menghempaskannya.
"Aku mau pulang!"
Angel tahu pekerjaan apa yang Herman katakan. la berlari menghindari lelaki itu, tubuhnya terdorong kesana-kesini sehingga Herman dengan mudah menarik tangannya, membawanya ke lantai atas. Angel bukan pelari yang handal. Lelaki yang melintas selalu berhasil menyentuh tubuhnya. Angel ingin pulang. Sekarang Angel berada di ruangan kedap suara. "Aku nggak mau. Aku mau pulang!"
Angel ketakutan, terlebih tempatnya sekarang seperti kumpulan lelaki dan perempuan yang.. entahlah, Angel tidak ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan.
"Coba dulu lah, lo boleh sama gue pertamanya. Gue akan ajarin lo." Angel menepis tangan Herman yang menyentuh pipinya. Angel panik. Ia mencoba membuka pintu yang terkunci.
"Buka pintunya."
Herman menggantungkan kunci ditangannya dan kemudian memasukan kunci itu ke saku celana "Well, nanti lo yang bakal maksa gue buat melakukannya." Herman berjalan duduk di sofa, bergabung bersama kumpulan orang-orang itu.
Angel menangis. Ia berusaha menarik pintu, menendang, memukul dan berteriak. Usahanya gagal. Mereka, diluar sana sama saja. Melakukan hal menjijikan yang membuatnya mual sendiri. Dinding tempatnya berdiri terbuat dari kaca. Angel bisa melihat secara leluasa apa yang terjadi diluar.
Seharunya Angel tidak tergoda untuk pergi bersama lelaki yang baru dikenalnya. Handphone miliknyapun berada dalam mobil Herman.
Angel mulai merasakan gerah, kepalanya pusing. Ada yang aneh dalam tubuhnya. Menjalar dan membuat tubuhnya berkeringat. Angel tidak menyerah, ia berkeliling diruangan kaca tersebut, mencoba memecahkan kaca. Gagal, dinding kaca terlalu keras hingga tubuhnya terhempas ke sofa.
"Kamu mau ngapain?!" Tanya Angel panik saat Herman langsung menindih tubuhnya. Angel memberontak, mencoba mendorong Herman yang ingin menciumnya.
Angel memang memberontak, namun ada sesuatu yang Angel inginkan dan Herman melakukannya. Angel menjadi serba salah.
CTTTTTAAAAAARRRRRR!!!
"JANGAN SENTUH DIA, ANJING!"
Meja kaca melayang di udara bertabrakan dengan dinding kaca yang berdiri kokoh lalu pecah seketika. Menimbulkan bunyi yang sangat keras dan hujan serpihan kaca. Meja tersebut mendarat di lantai dan pecah berhamburan. Orang dalam ruangan berteriak kaget saling berlari tidak karuan.
Angel menggunakan kesempatan ini untuk mendorong tubuh Herman menjauh, belum sempat ia melakukannya. Herman sudah terhempas ke lantai. Teriakan heboh dan pukulan tidak bisa dihindarkan. Angel ingin melarikan diri, ia ingin lari begitu saja namun kakinya terasa terpaku setelah melihat seseorang. Orang itu. Orang yang melempar meja dan yang sedang menghajar Herman tanpa ampun adalah Alex. Angel tertegun. Ia melihat sekitarnya, semua orang hanya menonton tanpa berniat memisahkan. Air mata Angel jatuh, ia membekap mulutnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar hebat, tidak tahu apa penyebabnya.
Herman sudah tidak berdaya. Darah sudah keluar dari seluruh wajahnya. Angel menggeleng. Tanpa bisa mencegah, kakinya berlari menghampiri Alex, ia memeluk lelaki itu dari belakang, mengunci tangan Alex agar berhenti memukul Herman. Jika memang Angel pengendalinya, jika memang Angel yang bisa mengatur emosinya, Angel berhadap Alex menghentikan kegilaannya. Angel berharap Alex tidak memukul orang lagi. Angel mengeratkan pelukannya. Dan setelah beberapa saat, lelaki itu tidak bergerak, menandakan Angel berhasil menghentikan kegilaan Alex. Suasana mendadak sunyi. Angel menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bergetar.
"Alex panas." Gumam Angel menggeleng kuat. Ia
meremas baju Alex sebagai pelampiasan.
Alex menundukkan kepalanya, menatap tangan Angel yang meremas kuat baju miliknya. Melepaskan tangan Angel yang melingkar dan berbalik cepat. Membingkai wajah Angel. "Angel?" Panggilnya lembut dengan wajah khawatir.
"Alex, aku.. Aah," Angel menggeleng kuat dengan wajah memerah dan berkeringat. Angel menginginkan sesuatu yang bisa menghentikan sesuatu dalam tubuhnya.
Bangsat!
Alex menoleh. Menatap Herman yang pingsan berlumuran darah dengan murka. Berapa dosis obat perangsang yang lelaki itu masukan dalam minuman Angel. Rahangnya mengeras dan hendak menghajar Herman.
"Alex," Angel menggeleng kuat tidak tahan. Alex mengumpat kasar melihat kondisi Angel. Tangan kanannya melingkar di bahu telanjang Angel dan tangan kirinya ia selipkan di bawah lutut Angel. Membawa Angel pergi menuju tempat VIP dirinya, dimana Leon sudah menunggu.
"Dosisnya tujuh jam." Ujar Leon saat Alex meletakkan Angel di sofa. Angel seperti cacing kepanasan. Berkali-kali menarik Alex untuk mendekat. "Sanggup lo, lihat dia gitu?"
Alex menarik rambutnya kasar. Leon menepuk bahunya dan meninggalkan Alex berdua bersama Angel .
"Aaakhhh sakit!" Teriak Angel. Alex ikut berteriak kesal. Serba salah. Angel tidak sadar. Alex bisa saja membunuh rasa sakit itu dan merubah menjadi kenikmatan yang tiada tara. Ia bisa membuat Angel melupakan rasa sakitnya. Namun, Alex tidak sanggup
dengan keesokkan paginya. Alex menghampiri Angel dengan menahan kedua tangan perempuan itu yang terus meronta.
Dari mana Angel mendapatkan baju seperti ini??!!
Mungkin sebagian orang menggunakan gaun yang sangat terbuka agar terlihat cantik dan sexy. Tidak untuk Angel, Dengan kemeja dan jins sudah membuat
Angel sexy untuknya, tanpa harus berpenampilan seperti sekarang. Terkesan murahan, Alex tidak menyukainya.
"Alex,"
Alex mendekatkan wajahnya. Mendaratkan sebuah ciuman di kening Angel yang terus meronta meminta
dilepaskan.
"Alex sa-kit!" Angel menggeleng kuat. Alex melepaskan jaketnya cepat. "Maafin gue, Ngel. Setelah ini, lo bisa panggil gue bajingan."
-
Aroma nasi goreng menusuk indra penciuman. Menggugah perut yang keroncongan. Sinar matahari masuk melalui jendela kamar membuat orang di
balik selimut itu menggeliat kecil. Empuk, nyaman dan wangi. Parfum apa yang digunakan untuk pengharum ruangan ini. Sudah pasti sangat mahal, Angel tidak mungkin membelinya untuk sebuah kamar kecil--Tunggu dulu.
Angel membuka matanya perlahan. Beradaptasi dengan cahaya sebelum akhirnya, matanya terbuka lebar. Ia terduduk di kasur yang sangat luas. Angel mengedarkan pandangannya panik. Kaget saat melihat penampilannya, Angel menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Rasa pusing langsung menyerangnnya. Angel menopang kepala dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam erat selimut di tubuhnya.
Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa bangun di ranjang orang lain dan tidak terbalut sehelai benang pun.
"Udah bangun?" Angel mengangkat wajahnya. Suara yang sudah ia kenal muncul dibalik pintu. "Masih pusing?"
Angel tidak bergeming. Menatap pemilik suara yang berjalan mendekatinya, duduk di pinggir ranjang. "Kak Luna, aku di mana?" Tanya Angel dengan bibir bergetar.
"Di apartemen gue. Hei, kenapa nangis?" Luna mengusap kepala Angel khawatir. "Nggel? Bilang sama gue apa yang sakit?" Luna khawatir.
Angel menggeleng kuat. Ia meremas selimut yang melilit tubuhnya. Luna yang tadinya khawatir, terkekeh pelan. "Udah ingat?"
"Aku kenapa kak? Aku-"
"Semalam Alex dan Leon datang kesini. Gue kaget waktu Alex gendong lo dengan penampilan lo yang berantakan. Leon bilang, Lo minum obat perangsang
dosis tinggi. Dari mana lo dapat minuman kayak gitu, Nggel?" Angel menggeleng.
Luna menghembuskan nafasnya. "Gue kaget lo bisa ke MJ. Untung aja Alex lihat lo, kalau nggak. Yah.. Gue nggak bisa bilang." Luna meletakkan punggung tangannya di kening Angel. "Demam lo udah turun."
Luna mendekatkan tubuhnya pada Angel . Mengusap air matanya. "Alex nggak sentuh lo. Nggak ada yang sentuh lo Angel." Ujar Luna pelan. "Dia melawan dirinya sendiri. Tersiksa lihat lo yang kesakitan dan tersiksa dengan nafsu bejatnya. Alex serahin lo sama gue. Dia terus mengumpat dirinya sendiri bajingan karena nggak bisa mengurangi rasa sakit Lo."
Luna tersenyum. "Nggak ada cara, gue akhirnya rendam lo di bak mandi dengan air dingin selama empat jam. Setelah itu lo demam. Gue hanya mengurangi rasa sakit. Lo horny, tapi Alex nggak ngelakuin hal itu. Gue salut sama dia." Luna tersenyum.
Ia ingat bagaimana seorang Alex menahan nafsunya melihat Angel , kacau. Itu kalimat yang mendeskripsikan bagaimana naasnya seorang Miguel. Luna geli sendiri.
"Karena gue ngantuk, jadi nggak sempat buat pakein lo baju." Luna berdiri, berjalan menuju lemari besar disudut ruangan. Ia memilih baju yang pas dan
menyerahkannya pada Angel. "Lo mandi, habis itu kita makan. Gue udah buat nasi goreng."
"Kak." Angel menahan tangan Luna yang ingin meninggalkannya. Luna menoleh dan kembali ke posisinya. "Makasih, ya."
"Gue nggak ngelakuin apa-apa, sayang" Angel sudah kembali ingat kejadian semalam. Saat di pom bensin, Herman memberikan minuman yang Angel yakin sudah dicampur dengan obat. Bagaimana rasa panas, gerah dan sakit menjelajar di tubuhnya. Bagaimana seorang Alex membuat kekacauan. Angel bersyukur Alex datang secepat anak panah. Melindunginya. Dan yang membuat Angel senang adalah. Angelista masih menjadi tombol on off seorang Miguel.
"Semalam Kak Bimo temuin aku. Kak, salah nggak kalau aku memilih bertahan menjadi milik Alex? Aku nggak mau dorong dia menjauh. Aku bisa kontrol dia." Angel menatap dalam manik mata Luna. "Aku udah pikirin ini sebelumnya."
Luna menggenggam tangan Angel. Tersenyum hangat. "Angel, kadang hidup itu tidak sesuai dengan kemauan. Gue setuju dengan Bimo, lo harus pilih menjauh atau bertahan. Dunia mereka keras, keras banget. Kadang gue juga nggak bisa mengimbangi. Apalagi lo, tapi semua tergantung sama lo. Banyak kejutan yang nggak akan bisa lo bayangkan kalau
lo tetap bertahan." Luna mengelus pipi Angel. "Alex butuh lo, gue tahu itu. Lo yang bisa kontrol dia. Oke, lo bisa bahagia dan merasa bangga untuk itu. Seorang Alex yang keras, kejam, emosian dan tidak tahu aturan takluk sama lo. Nggel, lo harus tau resikonya." Manda mendengarkan. "Lo harus siap jika sewaktu-waktu masalah apa aja menghampiri lo. Termasuk hal yang pernah lo alami waktu itu. Lo akan menemukan yang lebih kejam lagi. Karena lo milik Alex."
Manda menelan air liurnya. Alarm peringatan sudah diberikan oleh Luna. Angel masih bisa mundur.
"Aku siap." Jawab Angel mantap.
"Apapun yang lo mau, honey." Luna mencium pipi Angel dan meninggalkan perempuan itu sendiri di kamar.
Angel mengulum senyum. Rasanya semua beban di pundaknya terangkat. Ada nilai tambahan yang membuat Angel memilih bertahan. Perlakuan Alex
semalam. Alex tidak menyentuhnya meski Angel mungkin memohon. Alex menghargai keputusannya yang tidak suka disentuh.
Angel menyisir rambutnya. Baju Luna sangat pas. Ia membuka pintu kamar perlahan, mengintip ke luar. Megah dan luas. Semuanya berwarna putih bersih dan terususun rapi. Angel dapat menilai jika Luna menyukai kerapian.
"Ngel? Sini, gue udah masak buat lo."
Angel yang menyembulkan kepalanya dipintu langsung membuka pintu kamar Luna lebar. Ia tersenyum kikuk karena ketahuan mengintip. Menghampiri perempuan yang tengah mempersiapkan sarapan.
"Apartemen kak Luna bagus banget." Pujinya meneliti semua perabotan Luna. "Keren, aku suka."
Luna terkekeh pelan. "Bukan apartemen gue, punya Leon." Angel membulatkan mulutnya dan ber-oh ria.
"Makan dulu."
Angel mengangguk. Menarik kursi duduk berhadapan dengan Luna. Angel bersyukur dipertemukan dengan orang baik seperti Luna yang sudah seperti kakak perempuan untuknya.
"Enak kak." Ucap Angel jujur. Luna bertepuk tangan, lucu sekali. "Baru belajar masak?"
"Iya, ini pertama kalinya. Seneng deh, responnya gitu."
"Emang kak Eon nggak pernah dimasakin?" Luna menggeleng, memasukan sesuap nasi goreng.
"Kenapa?"
"Dia selalu menghujat masakan gue, jadi males. Tapi masih habis juga, nggak sesuai kan?" Angel mengangguk seperti anak anjing. Leon beruntung bisa
mendapatkan Luna. Tapi Luna berkata, la yang lebih beruntung mendapatkan Leon. Bagi Luna, Leon adalah yang terbaik. Luna sangat mencintai lelaki itu dan sebaliknya. Pasangan yang serasi. "Lo bisa masak?"
"Bisa."
"Boleh lah nanti kita jadi partner masak."
"Boleh banget, Kak." Angel bersemangat.
"Aku suka masak, tapi nggak punya waktu."
"Atau lo tinggal disini aja sama gue. Gue sendiri."
"Ih, kak Luna ada-ada aja. Mana pantes aku tinggal di Istana seperti ini. Terlalu mewah, rumah aku di kampung hanya sebesar kamar mandinya kak Luna. Tapi masih bagus kamar mandinya kak Luna, rumah aku jelek, Kak."
Luna terkekeh pelan. "Biasa aja, Nggel. Lo berlebihan."
Angel menelan nasi goreng di mulutnya, meletakkan sendok lalu melipat tangannya di meja. "Aku seriusan loh, Kak. Kakak pernah lihat kandang kambing di kota?" Luna tersedak. "Bagusan kandang kambing disini dari pada rumah aku."
Luna meneguk habis air mineral, menepuk dadanya pelan. Kepolosan Angel membuat Luna tertawa kecil.
"Masa, sih? Kapan-kapan, boleh dong, gue main ke
rumah lo."
"Mau ngapain? Nggak ada kamar, nanti kak Luna digigit nyamuk, tidurnya juga di atas bambu, nggak empuk, seperti kasur Kak Luna."
Luna menggeleng geli. "Ya udah, habisin makanan lo."
Angel mengangguk semangat. Menceritakan soal kampung halamannya di sela sarapan pagi. Kadang Luna tertawa terbahak mendengar cerita konyol yang Angel ceritakan, membuat keduanya tidak sadar sudah menghabiskan waktu satu jam untuk sarapan.
"Kak Eon pernah selingkuh, Kak?"
"Sering."
"Hah? Terus Kak Luna gimana?" Tanya Angel penasaran.
"Biasa aja. Cowok emang gitu, Ngel. Marah udah nggak mempan. Nanti juga balik lagi ke gue."
Angel meminta Luna menceritakan soal Leon , Alex ataupun Bimo. Kejadian konyol ketiganya membuat Angel tidak berhenti tertawa. Angel semakin yakin dengan keputusannya.
"Telat nih, gue." Luna berlari panik. Mengambil tas, sepatu dan kunci mobilnya.
"Maaf kak, karena minta Kakak cerita jadi telat." Angel menggigit bibir bawahnya, melihat Luna yang terburu-buru.
"Lo nggak ada kelas kan?" Angel mengangguk cepat. "Tolong bersihin dapur gue, ya. Gue nggak suka berantakan soalnya. Kelas gue cuma dua jam, nanti gue langsung pulang." Angel mengangguk patuh.
"Gue pergi! Bye!"
Sebelum pergi, Luna berbalik. la tersenyum pada Angel yang berdiri Mematung. "Nanti kita cerita lagi, gue suka kampung halaman lo."
Selama ini tidak ada orang yang Angel ceritakan soal kehidupan keluarga ataupun kampung halamannya. Luna yang pertama, dan responnya membuat Angel senang.
Membersihkan piring di meja, mencucinya lalu meletakkan kesemula. Memastikan semuanya rapi, Angel duduk diam di sofa. Kebosanan melanda pada lima belas menit pertama. Angel mengitari apartemen Luna. Berdiri di balkon, tidak terlalu tinggi. Kemungkinan apartemen Luna terletak di lantai dua. Ada sebuah kolam renang, banyak orang yang bermain disana. Angel menutup jendela balkon. Berniat untuk berjalan-jalan di sekitar apartemen.
Tanpa bisa ia tahan, pintu apartemen tertutup saat Angel mengikat tali sepatu. Angel berusaha membukanya kembali tapi tidak bisa. Ada sebuah papan tombol di sebelah pintu, Angel yakin jika seseorang ingin membuka pintu harus mengetahui kata kuncinya terlebih dahulu. Bukan seperti kamarnya yang harus diputar dua kali baru terkunci, pintu itu tertutup dan
terkunci otomatis. Angel kagum. Luna pasti punya
kuncinya, ia hanya perlu menunggu dengan berjalan-jalan. Angel berdiri depan lift. Menekan tanda panah ke bawah. Terlihat dari atas, angka tersebut semakin mendekatinya dan berhenti dilantai dua. Benar dugaan Angel, jika apartemen Luna terletak di lantai dua.
Angel tersenyum lebar. Menunggu pintu lift terbelah menjadi dua. Ting! Pintu tersebut terbuka. Angel melompat kecil dan berkata yes! Ia melangkah masuk dan tertegun saat sadar ada seorang lelaki di dalam sana yang menatapnya tidak bergeming. Menyaksikan bagaimana Angel seperti orang gila yang kegirangan sendiri.
Jantung Angel berdetak tidak seperti biasanya. Berdegup kencang sampai tangannya meremas baju bagian dada.
Angel mengerjap, terlebih ketika Alex menarik ujung kaos miliknya saat pintu lift ingin tertutup. Mengambil satu langkah kesamping. Jantungnya semakin kencang bersebelahan dengan Alex. Kenapa suasana menjadi canggung? Kenapa Angel merasa malu pada Alex? Dan kenapa ia segugup itu berdekatan dengan Alex?
Terlihat jelas, Alex tidak melakukan kegiatan apapun kecuali bernapas. Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke belakang, melipat tangannya di dada. Terlihat santai. Oh tidak! Jantung Angel
seperti akan meledak! Angel menggeleng kuat. Atau mungkin ia mengindap claustophobia? Sesak berada di ruangan yang sempit? Kenapa rasanya lama sekali padahal hanya turun dari satu lantai bukan sepuluh lantai. Angel menjitak kepalanya sendiri. Bergumam tidak jelas.
Hembusan nafas lega saat terdengar bunyi Ting! Pitu terbuka. Angel berlari keluar terlebih dahulu. Yang terpenting harus menormalkan detak jantungnya. Angel tidak ingin mati muda. Karena terlalu fokus berjalan sambil menunduk, membuatnya tidak sadar ada pintu kaca.
Keningnya tersantuk, tidak sakit sama sekali padahal sangat keras membuat tubuhnya oleng ke belakang jika tidak ada sebuah tangan yang melingkar dipinggangnya.
Angel mengerjap. Mengunci bibirnya dan menutup kedua mata sebentar sebelum membukanya kembali, wajah Alex mendominasi penglihatannya. Angel mengalihkan pandangannya ke pintu kaca, tangan kanan Alex masih disana. Menandakan ia menubruk telapak tangan lelaki itu.
Dengan sekali tarikan, tubuh Angel berdiri dengan tegap. "Pintu nggak punya kaki, jadi dia nggak bisa minggir. Lo harus ngalah." Alex bersuara. Angel mengusap keningnya pelan. Bukan sakit, Tapi.. Entahlah. "Sakit?" Manda menggeleng.
"Ada yang mau dibicarain?" Angel menggeleng lagi. Jujur saja, sebenarnya banyak yang ingin Angel bicarakan ataupun tanyakan. Tapi setelah berhadapan dengan orangnya langsung membuatnya mati kutu. "Gue ada." Angel mendongak. Menatap Alex . "Kita duduk dulu."
Angel tidak bergeming. Ia menatap punggung Alex yang berjalan meninggalkannya sampai punggung itu berbalik. "Iya." Ujar Angel melangkah
mendekati Alex.
Keduanya duduk di lobby. Menghadap kolam renang. "Mau bicara apa?" Angel memulai pembicaraan. Sadar Alex terus menatapnya, Angel menjadi salah
tingkah, tidak baik untuk jantungnya.
Alex menarik nafasnya, menghembusnya pelan dan berkata. "Gue pengecut. Baru sekarang gue berani bicara sama lo. Disini gue yang jadi sumber masalahnya. Kalau aja gue nggak kenal sama lo, hidup lo akan aman." Angel memilin jemarinya dipangkuan. "Ngel, Gue udah janji sama diri sendiri buat menjaga lo. Gue katakan itu dalam hati setiap ketemu sama lo. Gue gagal, gue udah buat lo trauma." Alex mengalihkan pandangannya, menatap kolam renang. "Beberapa hari ini gue mikir. Gue sadar kalau lo terlalu baik buat gue. Lo nggak pantes kenal sama cowok kayak gue."
"Siapa bilang?!" Kalimat itu meluncur begitu saja membuat Alex menoleh menatapnya. Angel menggaruk ujung alisnya. Tidak ada pensil alis disana, Alex menyukainya. Terbentuk sempurna. "Maksudnya, kamu siapa bisa nentuin pantas atau nggaknya suatu perkenalan."
Alex terkekeh pelan. "Gue marah. Tapi nggak tau marah ke siapa. Diri gue sendiri udah pasti. Gue nggak bisa bayangin apa yang diceritain Luna sa-" Angel meremas ujung kaos yang Alex kenakan. Lelaki itu menunduk sejenak, melihat tangan Angel sebelum menatap wajah Angel kembali.
"Jangan kamu bahas." Angel menggeleng. "Aku nggak mau inget kejadian itu." Angel tidak ingin mengingatnya lagi. Membuatnya jijik sendiri.
Alex merasa ada pisau yang menusuk jantungnya. Merasakan tangan yang menggenggam kaosnya bergetar. Seberapa sakit dan terluka Angel saat itu karena dirinya.
"Kamu nggak salah."
"Gue salah. Gue terlalu egois karena nggak bisa lepasin lo. Gue terlalu egois buat lo masuk ke hidup gue. Gue egois." Angel menggeleng takut. "Kejadian semalam membuat gue sadar. Ngel, gue harus lepasin lo. Gue nggak mau jadi dampak buruk buat hidup lo."
Alex membasahi bibirnya sejenak. Ia tidak ingin mengatakannya, tapi ia harus melakukannya. "Gue udah pikirin ini lama. Sekarang lo bebas, anggap saja
beberapa bulan terakhir lo mimpi buruk ketemu sama gue. Tapi lo harus ingat satu hal, gue nggak pernah ada niat jahat sama lo."
"Aku nggak mau." Angel menarik kaos Alex dengan satu tangannya lagi. "Kamu pernah bilang nggak mau lepasin aku, kamu bilang mau lindungi aku. Kamu yang pertama masuk dan kasih aku cap stempel. Selama cap kamu masih ada, kamu harus tanggung jawab."
"Lo masih belum terlalu jauh. Lo balik dan dunia lama lo kembali. Kalau lo terus melangkah sama gue, neraka yang akan lo hadapi."
"Kalau aku balik, ada neraka juga di belakang aku. Aku lebih milih di neraka sama kamu dari pada sama dia," Alex mengerutkan keningnya. "Kamu nggak tau
kalau aku takut sama dia, Aku berharap kamu jemput aku malam itu. Tapi kamu gak muncul, kamu ngikutin aku dari belakang, kamu lindungin aku diam-diam. Aku tau semuanya."
Angel mengusap air matanya kasar. "Aku takut sama Nando, Aku nggak mau sama dia. Aku nggak suka cowok pembohong. Dia bilang kenal baik dan temenan sama kamu, makanya aku mau temenan sama dia. Tapi dia perintahin aku jauhin kamu." Angel sesenggukan. "Dia selalu ngikutin aku, buat orang di sekitar aku jadi benci."
Angel menangis. "Seharusnya aku yang menghindar, kenapa jadi kamu yang menghindar. Kalau emang kamu mau lepasin aku, kembaliin aku diwaktu pertama kali kita ketemu, kamu nggak perlu kasih jaket kamu dan kita seperti orang nggak kenal sebelumnya. Aku nggak akan kenal sama orang seperti Nando." Ia menghapus air matanya dengan bahu kirinya seperti anak kecil. Bukan kasihan ataupun tersentuh, Alex ingin tertawa melihatnya.
"Aku emang nggak tahu apa-apa tentang kamu. Aku udah putusin buat berjalan sama kamu lagi. Aku nggak mau lepasin kamu ataupun kamu lepasin aku. Aku tau resikonya, aku sadar situasinya," Menarik nafasnya sejenak dan melanjutkan."Jangan pergi, kalau kamu mau pergi. Aku ikut." Alex tidak bergeming. Kalimat Angel berputar di otaknya.
"Aku akan ikut kamu, Alex."
Angel mengetahui latar belakang Alex yang membuatnya semakin mantap dengan keputusan yang akan dia ambil. Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel