5. Penyelamat

Romance Completed 1105

Usai mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan rok hitam selutut, Angel memulai pekerjaannya. Ia bersyukur ada pita hitam yang menutupi lehernya, sehingga membuat orang tidak bisa melihat sesuatu di sana. Rambutnya digulung ke atas menjadi satu. Penampilannya sudah seperti seorang pramugari.

Angel melayani para tamu dengan senyuman dan sikap ramah membuat para pelanggan senang dengan kepribadianya.

"Expresso di balkon, meja nomor tujuh."

"Baiklah," Angel mengambil alih nampan dengan secangkir kopi. Sejak tadi senyuman Angel terukir di wajahnya. Menundukan kepala saat berpapasan dengan tamu. "Expresso satu, silakan dinikmati." Ucap Angel sambil membungkukan badan. Sebelum ia pergi, seseorang menariknya untuk duduk.

"Duduk dulu,"

Angel berdiri lagi dan merapikan bajunya. "Maaf tuan, saya sedang bekerja. Permisi."

"Tapi gue mau lo duduk di sini," Orang itu menahan lengan Angel, ya dia adalah Alex. "Duduk."

"Aku lagi kerja," Ujar Angel sedikit kesal.
"Lepasin," Angel memohon. "Aku nggak mau bikin keributan,"

Alex menarik tangannya, melepaskan Angel. "Oke, gue tunggu sampai lo selesai kerja."

Angel tidak mengerti, kenapa lelaki itu terus muncul di hadapannya. Padahal dia sudah menyuruh dia untuk menjauh.

"Lo, kenal sama cowok itu, Gel?" Angel menoleh. Menggantungkan bajunya di loker, dia baru saja selesai bekerja.

"Em, yang mana?"

"Itu, cowok yang duduk di balkon."

Angel menggaruk kepalanya. Ia tersenyum. "Enggak." Jawabannya singkat.

Angel pamit pulang terlebih dahulu. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, berharap Alex tidak menunggunya. Senyuman Angel terukir indah saat melihat motor Alex tidak ada di parkiran. Ia bernafas lega, berjalan dengan santai. Sesekali bersenandung ria, sambil melompat kecil atau menendang kerikil di pinggir jalan. Tidak peduli jam menunjukkan pukul berapa, ia tidak merasa ketakutan sama sekali.

Alex menggelengkan kepalanya, tersenyum ringan. Ia diam-diam mengikuti Angel dari belakang dan sengaja tidak menghidupkan lampu motornya agar tidak ketahuan.

"Nggak takut jam sebelas jalan kaki sendirian." Fokus Alex teralihkan, melihat Angel akan di ganggu orang. Jalanan yang Angel lewati memang sangat rawan. Mengetahui Angel akan di ganggu orang yang ia kenal, Alex segera menyalahkan lampu motornya. Cahaya lampu motor menyorot tepat ke arah tiga orang yang ingin menghadang Angel. Mereka melihat ke arah datangnya cahaya, dan setelah melihat Alex, mereka langsung berbalik untuk pergu karena tidak ingin berurusan denganya.

Angel yang sempat terkejut karena tiga orang tadi, sekarang merasa lega dan mengelus dadanya untuk mematikan lampu kamarnya. Mengintip dari balik gorden. Tidak lam kemudian, Alex menghidupkan mesin motornya dan pergi dari sana.

"Jadi, lo bebas bersyarat?" Bimo mengangguk. "Kok bisa?" Tanya Alex lagi sambil menyingkirkan kulit kacang di sofa dengan kakinya.

"Lo kayak nggak suka gitu gue keluar dari penjara?" Tanya Bimo sambil menatap Alex dengan kening berkerut.

"Emang," Alex menjawab dengan santai. Bimo sudah biasa mendengar kalimat kasar yang keluar dari mulut sahabatnya. "Kenapa bukan lima tahun penjara? Kenapa cuma lima bulan, terus sekarang lo bisa bebas bersyarat gitu aja?"

Bimo meluruskan kakinya di sofa. "Yaelah Lex, duit berkuasa,"

"Kalo gini keliatan lo pelakunya," Alex mengaduk mie instan, memasukan semua bumbu. Kemudian lanjut berbicara. "Bukannya, korban lo anak orang penting juga?"

"Iya, tapi bokap gue lebih berkuasa," Alex mengangguk. "Gue masih bebas bersyarat. Gue harus menghapus semua bukti biar gue bebas sepenuhnya."

"Bukti apaan?" Bimo mengangkat bahu tanda tidak tahu.
"Lo masih main di ring?" Tanya Bimo.

Alex hanya mengangguk. "Gila, lo beneran bisa hidup tanpa duit bokap lo? Kalau gue sih mana bisa, jadi gembel iya."

"Leon kemana? Kuliah?" Tanya Alex yang dijawab dengan anggukan oleh Bimo. "Lo, mau coba peruntungan di atas ring lagi?"

"Nggak, udah kapok gue, tangan gue bisa patah lagi ntar."

Alex meletakkan Cup Mie Instan yang sudah habis ke atas meja. "Lo, ada kerjaan gak?"

"Ada. Sibuk banget gue," Jawabnya cepat.

"Lo kan numpang, harusnya lo tau diri buat rapihin apartemen gue."

"Gue tamu."

"Nggak ada istilah tamu di sini. Leon udah buang sampah kemarin, sekarang giliran lo yang beresin, sapu, terus pel apartemen gue sampe bersih."

"Ogah," Ucap Bimo sambil menendang Cup Mie di atas meja. "Panggil pembersihan aja, beres."

"Asal lo yang bayar, gue nggak keberatan."

"Astaga, Lex. Lo keluarin duit lima ratus ribu aja gak akan buat lo jatuh miskin. Lo kan bisa dapetin duit puluhan juta dengan waktu singkat."

"Kalo gitu apa gunanya lo di sini? Sampah. Harus dibuang sebelum lo busuk di apartemen gue. Pergi aja lo bangsat!" Alex melemparkan sandalnya ke arah Bimo.

"Bangke." Alex tersenyum miring mendengar ucapan Bimo, kemudian pergi ke kamar mandi sementara Bimo memunguti sampah di apartemennya. "Astaga, Alex! Bungkus nasi lo belatungan. Udah berapa hari lo biarin?!"

Alex tidak menanggapi. Ia membasuh tubuhnya di bawah keran air. Tiba-tiba bayangan wajah Angel melintas di pikirannya dan membuat Alex mengumpat dengan kasar. "Tangan gue pegel, Anjing."

Keadaan apartemen Alex lumayan bersih dari sebelumnya. Alex dan Bimo sekarang sedang fokus menonton pertandingan tinju bebas. Saat sedang menonton dengan fokus, tiba-tiba saja pintu apartemen terbuka.

"Wah gila, siapa yang bersihin!" Leon yang membuka pintu itu. Dia baru saja sampai dan melepas sepatutnya sambil terkikik geli.

"Lo liat lah sendiri, siapa orang yang terlihat sangat bersemangat di sini." Ujar Bimo dengan posisi tidur di sofa sambil memeluk bantal.

Leon menggelengkan kepala sambil tertawa. Mendengar ucapan Bimo, Leon menyimpulkan bahwa Alex memaksa Bimo untuk membersihkan apartemennya. Leon mengambil segelas air dan duduk di karpet sebelah Alex dan bertanya. "Udah pada makan, belum? Delivery, boleh nih,"

"Pizza!" Seru Bimo bersemangat.

"Lo, Lex?"

"Ikut aja,"

Leon segera menghubungi rumah makan terdekat. Selagi menunggu pesanan sampai, ketiganya mengobrol santai, sesekali berteriak menonton pertandingan tinju bebas, membicarakan teknik tinju dan sebagainya.

"Bego banget. Bagusan teknik lo, Lex." Ucap Leon sambil menepuk pundak Alex. "Kenapa lo nggak coba pertandingan yang legal aja Lex? Gue yakin lo pasti bisa."

"Kalau mulut lo nggak bisa diam, biar gue yang bikin diam." Mendengar ancaman Alex, Leon pun segera mengunci mulutnya. Alex berdiri. Mengambil minuman kaleng di kulkas. Niatnya untuk kembali ke tempat asal gagal karena mendengar suara ketukan pintu.

"Sekalian Lex, lo kan yang lagi berdiri," Ucap Leon, menunjukkan cengirannya.

Alex hanya mendesah pelan, ia membuka pintu untuk mengambil pesanan. "Dua pizza large. Jadi, dua ratus lima puluh lima ribu. Eh? Kamu?" Alex menoleh ke belakang memastikan dua temannya tidak melihatnya dan menutup pintu.

"Sejak kapan lo jadi pengantar beginian?"

"Udah lama, kenapa? Kamu tinggal di sini?" Alex tidak menjawab. "Yaudah, nih pesanan pizza kamu." Angel menyerahkan dua kotak pizza pada Alex. "Boleh aku minta bayarannya sekarang? Aku harus antar pesanan yang lain,"

"Tunggu sebentar," Angel mengangguk. Memberikan senyuman yang membuat Alex ingin mengarungi perempuan itu sekarang juga.

Alex membiarkan Angel menunggu di luar. Meletakkan dua kotak pizza di atas meja,kemudian pergi ke kamar mengambil kunci motornya. "Mau kemana, Lex?" Tanya Leon melihat Alex mengenakan jaketnya.

"Beli minum. Duit pizza mana?" Leon memberikan dua lembar uang seratus ribu. "Kurang,"

"Tambahin, Lex. Pelit banget sih," Alex menendang tubuh Leon yang memekik kesakitan setelahnya.

Alex membuka pintu. Angel yang sedari tadi menunggu sambil duduk, seketika langsung berdiri. "Ayo,"

"Tunggu dulu," Angel menahan lengan Alex yang terus berjalan meninggalkannya. "Uangnya mana? Kamu nggak boleh melarikan diri gitu aja,"

"Siapa yang mau lari?"

"Terus kamu mau kemana? Aku minta uangnya sekarang karena masih banyak pesanan yang belum aku antar,"

"Berapa banyak?"

Mendengar pertanyaan Alex, Angel hanya menggaruk telinganya. "Cuma satu sih. Cepetan mana uangnya?"

"Yaudah ayo," Alex berjalan meninggalkan Angel. Terdengar perempuan itu menghentakkan kaki kesal yang mengekor di belakangnya.

"Mana uangnya?" Tanya Angel setelah sampai di parkiran. "Kamu, ih, serius. Aku nggak ada uang buat gantinya."

Alex tidak terlalu menanggapi ucapan Angel, malah memberi pertanyaan balik. "Lo mau naik motor gue atau tetep naik motor lo?"

"Kamu mau ngapain lagi? Aku cuma mau nganter pesanan. Nanti keburu pizzanya dingin."

"Yaudah jalan aja, gue ikutin lo dari belakang,"

"Nggak mau, aku cuma mau uangnya,"

"Jalan atau nggak gue kasih uangnya?"

Angel menatap Alex dengan sebal dan menghentakkan kaki, berjalan menuju motornya. Mengenakkan helm dan sarung tangan. Angel melihat kaca spion, memperhatikan Alex yang benar-benar mengikutinya. Apa yang lelaki itu inginkan sebenarnya. Angel sama sekali tidak mengerti. Setelah mengantarkan pesanan terakhir, Angel segera kembali ke rumah makan. Berpamitan kepada beberapa orang yang bekerja sama seperti dirinya. Setiap hari minggu, Angel akan bekerja di sebuah rumah makan pesan antar. Setelah berpamitan, Angel menghampiri Alex yang sedang menunggunya di luar.

"Aku mau pulang, kamu pulang aja sana,"

"Ngusir?"

"Bukan gitu," Angel jadi serba salah, dia tidak bermaksud untuk mengusir Alex. Matanya menyipit terkena sinar matahari. Memutar kepalanya ke arah rumah makan tempatnya bekerja. Rasa tidak nyaman menghampirinya. "Aku pulang, ya,"

Melihat Angel akan pergi, Alex langsung menggenggam tangannya. "Gue udah nunggu di sini, dan lo mau ninggalin gue gitu aja?" Angel berusaha melepaskan tangan Alex yang mencengkram pergelangan tangannya. "Lo, kenapa keliatan jijik gitu sama gue?"

"Hah!? Enggak, bukan gitu," Angel menggeleng. "Aku cuma nggak biasa dipegang gini,"

Alex mengerjapkan matanya sejenak dan melepaskan tangan Angel. "Yaudah, gue antar lo pulang,"

"Enggak usah, aku bisa pulang sendiri kok, makasih yah."

"Gue nggak nerima penolakan," Ucap Alex sambil menghalangi jalan Angel. Mengikuti ke kanan dan ke kiri mengikuti Angel melangkah. "Gue bukan pembunuh, narapidana atau orang yang membahayakan. Gue berbahaya kalau ada orang lain yang menyentuh milik gue," Angel mendongakkan kepalanya menatap Alex. "Gue nggak akan membahayakan milik gue sendiri,"

Angel tidak menemukan nada bercanda pada kalimat lelaki itu. Meskipun dia belum pernah mendengar intonasi lain yang di gunakan Alex untuk berbicara. Angel mulai percaya jika Alex tidak akan melukai dirinya. Kejadian beberapa hari terakhir, membuat Angel berpikir kalau Alex melindunginya. Tetapi, menjadi pusat perhatian karena berada di dekat Alex membuat dia merasa tidak nyaman.

"Jadi lo nggak perlu berpikir kalau gue punya maksud lain buat deketin lo,"

"Iya," Jawab Angel akhirnya. "Tapi aku nggak nyaman deket sama kamu. Aku nggak biasa dilihat banyak orang kayak gini,"

Alex mengerutkan keningnya. Melihat kondisi sekitar dan benar saja, mereka berdua sudah jadi pusat perhatian. "Lo mau gue hajar mereka satu-satu, agar-"

"Enggak!" potong Angel lantang. Bukan itu maksud Angel. Dia tidak ingin ada korban selanjutnya. "Jangan." Ujarnya membayangkan Alex memukul dua orang yang langsung tergeletak tak berdaya di lantai.

"Yaudah, naik. Atau gue akan nyolok mata orang yang liatin lo," Angel menelan ludah dan tubuhnya menegang mendengar ucapan Alex. Ekspresinya sungguh menggemaskan.

Alex menghidupkan mesin motornya. Angel menggigit bibir bawahnya, berpikir bagaimana cara dia menaiki motor yang tinggi itu.

"Caranya gimana?" Tanya Angel polos. Alex hanya terkekeh pelan. "Aku nggak pernah naik motor kayak gini," jelasnya.

Alex mengulurkan tangannya, akan tetapi Angel hanya menatap tangan itu tanpa ada niatan untuk menyambutnya. Alex menghembuskan nafas pelan. Bagaimana mungkin dirinya mengenal perempuan yang bahkan tidak ingin disentuh tangannya. Pergaulan Alex lebih dari berpegangan tangan, dan itu pasti akan membuat Angel terkejut setengah mati jika mengetahuinya.

"Pegang pundak gue. Kaki kiri lo letakin di sini," Alex mengintruksi.

Angel menuruti intruksi Alex. Meletakkan kaki kirinya di pijakan dan tangannya memegang bahu Alex, kemudian melompat naik. Saat Alex akan menjalankan motornya, Angel mengintrupsi. "Bentar," Dari kaca spion, Alex melihat Angel melepas tas punggung dan meletakkannya di tengah. Sebagai pembatas antara mereka berdua.

Biasanya banyak perempuan yang berlomba, ingin dibonceng olehnya, kali ini Alex yang memaksa perempuan untuk naik ke motornya. Jika perempuan lain mengambil kesempatan untuk memeluknya, Angel membiarkan Alex merasakan tas dari pada tubuhnya. Ide yang bagus. Alex juga tidak tahu bagaimana reaksinya jika bersentuhan lama dengan perempuan itu. Mungkin niatnya mengantar pulang bisa berakhir panas di atas ranjang.

Alex memacu motornya dengan kecepatan sedang. Ia tahu kalau Angel tidak akan mau pegangan padanya. Jadi, dia hanya bisa memacu motornya perlahan agar perempuan itu tidak terjatuh.

"Mau kemana? Ini bukan jalan ke kosan," Alex tidak menjawab. Angel memukul pundak Alex. "HEI!"

Dari jarak sedekat ini, Angel bisa melihat wajah Alex dengan jelas. Jika biasanya dia tidak memiliki kesempatan untuk menatapnya lebih lama, sekarang terekam jelas di otaknya. Alex. Wajahnya sangat tampan, pantas saja kalau Angel selalu jadi pusat perhatian ketika dekat dengannya. Alisnya tebal, bola matanya hitam pekat, bulu mata yang panjang dan lentik padahal Alex seorang lelaki. Angel menyukai hidung Alex. Mancung, hidungnya tidak semancung milik Alex. Bibirnya yang selalu membentuk garis lurus, membuat Angel yakin kalau Alex tersenyum, dia akan terlihat sempurna.

Ada tindik di sebelah kanan hidungnya. Tato yang terlukis pada lengan kanannya menjadi awal dari rasa takut Angel. Tetapi sekarang rasa takut itu sirna setelah melihat sikap Alex. Otot lengannya terbentuk sempurna ketika ia menekuk siku nya.

"Udah direkam?" Tanya Alex saat tahu Angel sedang memperhatikan dirinya, sontak membuat Angel terkejut dan menjadi salah tingkah. "Kalau belum, lanjutin aja,"

Angel tertawa kikuk dan menggaruk tengkuk lehernya. Ternyata, Alex mengajak dirinya untuk makan di sebuah Kafe yang Angel yakin harganya pasti mahal. Awalnya Angel tidak mau, tapi Alex memaksa. Ketika sudah selesai makan mereka tidak buru-buru untuk pulang karena di luar turun hujan. Angel mengalihkan pandangannya ke arah kaca. Bertopang dagu.

"Kamu inget nggak, pertama kali kita bertemu saat hujan?" Tanya Angel tiba-tiba. Tentu saja Alex mengingatnya.

Alex meletakkan ponselnya setelah membalas chat Lily. Tangannya memegang sandaran kursi Angel dan ikut menatap kaca jendela. "Waktu baju lo transparan, kan?" Angel melirik tajam, Alex tertawa kecil. Melihat Alex tertawa, dugaan Angel ternyata benar. Lelaki itu semakin tampan ketika dia tersenyum. "Keapa? Gue ganteng?"

Angel mendengus mendengarnya. Ia kembali menatap kaca dan menghembuskan nafasnya. Lalu ia gunakan telunjuknya untuk mengukir tanda tanya yang ditujukan kepada Alex.

"Apa yang mau lo tahu?" tanya Alex.

Angel kembali menghembuskan nafasnya ke kaca, kali ini lebih banyak. "Kamu ngikutin aku semalam?"

"Eum, kenapa? Kalo gue antar, lo pasti nggak mau." Angel menghapus tulisan di jendela menggunakan telapak tangannya dan menulis kalimat baru. "Sama-sama." Jawab Alex melihat ada kata 'terima kasih' yang ditulis perempuan itu.

Angel membuka tas punggungnya yang ia peluk sejak tadi. Mengeluarkan laptopnya dan bertanya. "Kamu nggak keberatan kan kalau aku ngerjain tugas?"

Alex meletakkan tangannya di atas meja. Mengangguk dengan enggan yang membuat Angel tersenyum dan menampilkan lesung pipinya. Tanpa sadar Alex menusuk lesung pipi itu dengan telunjuk, Angel menoleh. "Lo pakai apa buat lubangin pipi lo?"

"Em?" Angel langsung berhenti tersenyum membuat lesung pipinya menghilang. "Boleh tanya sesuatu nggak?"

"Boleh sebelum bayar," Alex menjawab sambil bersandar kebelakang dan melipat tangannya di dada.

"Kamu, anak Walikota sekaligus Rektor di kampus aku?" Angel bertanya dengan hati-hati. Yang ditanya menunjukkan ekspresi tak senang mendengar pertanyaannya yang membuat Angel buru-buru berbicara lagi. "Enggak perlu dijawab," Angel takut kalau pertanyaannya melukai Alex.

Alex tersenyum tipis. "Eh, kenapa?"

Angel menatap layar laptopnya. Bingung ingin menanggapi dengan apa. "Kamu kuliah?" Angel memutar kepalanya menatap Alex. Alex hanya mengangguk. "Aku nggak pernah lihat kamu di kampus?"

"Kita beda kampus," Angel mengangguk sambil ber-O ria. "Lo nggak bisa cari tempat kos yang lebih dekat dengan kampus?"

"Kenapa?"

"Lo pasti udah denger tentang kejahatan uang terjadi di jalanan itu," Angel mengangguk. "Kenapa masih belum pindah? Malah lompat-lompat kaya anak kecil waktu lo lewat sana,"

Angel cemberut. "Tanggung kalau mau pindah, dari dulu juga aku selalu lewat jalan itu." Ujarnya tersenyum ringan. "Nggak pa-pa. Nanti kalau kamu diganggu mereka kasih tau aja, mereka udah kenal kok sama aku." Ucap Angel sambil menepuk dadanya.

"Lo bisa lakuin apa dengan tubuh lo yang kecil? Jangan jalan sendirian lagi, denger nggak?"

"Kenapa?"

"Bahaya, kalau lo diaapa-apain sama mereka, gimana?"

Angel menggelengkan kepalanya dan kembali menatap layar laptop. "Kamu tenang aja. Oh iya,"
Angel baru mengingat sesuatu yang ingin ia tanyakan dari dulu. Ia memutar badan menghadap Alex sepenuhnya.

"Cap yang kamu tempelin di belakang leher aku gambar apa, doraemon?" Alex menarik tangan Angel yang mengumpulkan rambutnya menjadi satu. Membenarkan rambut Angel agar cap itu tidak terlihat oleh siapapun. "Aku penasaran, nggak kelihatan dari kaca,"

"Jangan sampai terlihat orang lain selain gue, ngerti?"

"Aku gerah, gimana kalau aku mau ikat rambutnya?"

"Itu lebih berbahaya. Jangan pernah ikat rambut lo, ngerti? Gue nggak bercanda," Berbahaya bagi Alex sebenarnya. Ia tidak tahu sampai kapan ia bisa berduaan dengan Angel kalau dia menguncir rambutnya. Kejadian yang seharusnya tidak terjadi akan terjadi nanti.

Angel tidah bertanya lagi karena mulai sibuk membalas E-Mail sari teman-temannya. Alex mengerutkan alisnya.

"Lo memberikan pengumuman pengumpulan tugas lewat E-Mail?"

"Iya, kenapa?"

"Lo, nggak punya ponsel?" Alex bertanya yang dijawab dengan anggukan oleh Angel membuat Alex terpaku sejenak.

"Dulu pernah punya. Tapi rusak gara-gara nggak sengaja jatuh," Ujar Angel seakan mengatakan kalau tidak memiliki ponsel bukan masalah baginya. Tapi itu melukai hati Alex.

Hujan sudah reda. Hanya ada rintikan kecil yang segera menghilang. Angel mengenakan tas punggungnya dan berjalan di belakang Alex.

Alex mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Kemudian berhenti di salah satu toko handphone terbesar di area sana. "Mau ngapain?" Tanya Angel melihat Alex menurunkan standar motornya.

"Turun," Perintah Alex. Angel hanya menurut dan melompat turun.

Alex menarik Angel dengan memegang tali tas punggung yang Angel kenakan dan memasuki toko.

"Cari apa, Mas?" Seorang pelayan langsung menyambutnya dengan sopan.

"Hape," Jawab Alex singkat.

"Kamu mau beli hape?" Angel bertanya, yang tidak mendapat jawaban. Alex menarik sebuah kursi dan menyuruh Angel untuk duduk.

Angel duduk dan menunggu Alex yang sedang bernegosiasi, rasa bosan menghampirinya. Angel mengangkat wajahnya ketika mendengar kata 'Deal' dari Alex dengan harga yang begitu fantastis baginya. Harga handphone itu sama dengan biaya hidupnya selama lebih dari sepuluh bulan.

"Makasih, Mas," Ucap Angel mewakili Alex yang pergi begitu saja.

Setibanya di halaman kamar kosan, Angel melompat turun dari motor. Ia harus segera bersiap untuk pergi ke Kafe. "Nih. Ambil."

Alex menyodorkan sebuah bingkisan, tetapi sepertinya Angel tidak berniat untuk mengambilnya. "Apa? Itu kan hape yang baru kamu beli,"

"Iya buat lo,"

"Nggak mau, ah," Angel menggeleng pelan dan meninggalkan Alex pergi. Sayangnya Alex merespon dengan cepat dan segera menahan lengan Angel. "Aku nggak mau, lepasin."

"Ambil. Zaman sekarang nggak punya hape itu aneh menurut gue." Angel sedikit tidak setuju dengan ucapan Alex. "Gue nggak mau lo susah, dengan ini lo bisa komunikasi tanpa harus repot buka laptop."

Angel menggeleng kuat. "Lepasin, sakit. Kamu nyakitin aku," mendengarnya Alex segera melepaskan tangan Angel. "Aku tahu maksud kamu baik. Makasih ya, tapi aku nggak bisa menerimanya. Itu terlalu mewah buat orang seperti aku," ucap Angel tersenyum. "Hutang aku aja belum aku bayar, jadi jangan nambahin jumlah uang kamu lebih banyak lagi."

"Jadi, lo nggak mau?" Alex bertanya memastikan.

"Nggak."

"Yaudah," Alex kemudian berjalan menuju kotak sampah yang ada di ujung tembok. Membuangnya. Angel yang melihatnya sampai membulatkan mata sampai membuka mulut. "Gue juga nggak butuh,"
Setelah mengatakannya, Alex langsung menaiki motornya.

"Kamu?" Angel sampai kehabisan kata-kata melihat kelakuan Alex. "Heii!" panggil Angel melihat Alex pergi begitu saja.

Alex berhenti, menaikan kaca helmnya dan berkata. "Dari awal gue udah punya nama, dan nama gue bukan 'Heii'," Ucap Alex sambil tersenyum miring. "Sampai ketemu lagi nanti malam." Alex langaung pergi begitu saja.

"Tapi, itu, hape-nya kan sayang. Aduh, gimana ini," Angel cemas sendiri.

Setelah hampir lima belas menit berada di luar sambil menatap tong sampah, ia akhirnya mengambil bingkisan itu. Ia berpikir akan mengembalikannya pada Alex saat bertemu lagi nanti.

Alex belum pergi sebelum Angel masuk ke kamar. Ia sedang mengawasi Angel dari jauh dan melihat perempuan itu kebingungan sampai akhirnya mengambil bingkisan yang barusan ia buang. Ia merasa geli melihat ekspresinya, "Dasar aneh," gumamnya.

Angel mengganti pakaiannya. Segera pergi ke Kafe sebelum jam tujuh. Rambutnya ia kuncir setengah. Melenggang di jalanan yang masih ramai. Sejujurnya, Angel takut setiap pulang bekerja, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain karena itu adalah jalan satu-satunya. Sudah dua tahun ia tinggal di sana, baru semalam ada yang ingin mengganggunya, mungkin karena sudah terlalu larut malam.

Angel tiba di Kafe setelah berjalan sekitar lima belas menit. Keningnya berkerut merasakan ada getaran di dalam tasnya. Ia segera berjongkok dan membongkar tas punggungnya. Ada panggilan masuk dari ponsel yang diberikan Alex. Angel menatapnya lama sebelum ia menekan tombol hijau di layar dan menempelkannya ke telinga.

"Hallo?" Jawab Angel pelan.

"Kirain nggak akan diambil," Alex terkekeh. Angel mengerucutkan bibirnya yang tidak bisa Alex lihat.

"Aku ambil buat aku kembaliin sama kamu. Kamu beli ini pake uang. Kalau kamu buang gitu aja, sama aja kamu buang-buang uang,"

"Udah gue buang, itu artinya bukan hak gue lagi,"

"Kamu tuh nggak boleh seenakny- eummmmpphh!!" Ponselnya terjatuh ketika, tiba-tiba ada sebuah tangan kekar yang membekap mulutnya. Memasukkan tubuhnya ke dalam mobil dan meninggalkan tas dan ponselnya yang masih tersambung tergeletak begitu saja.

"Angel? Hallo? Angel, lo masih di sana? Ohh shit!"

Alex langsung mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Ia sudah mencoba untuk menghubungi Angel beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Hatinya mulai berkecamuk. Entak bera kali ada orang yang berteriak pada Alex yang membawa motornya kesetanan. Yang ada dipikirannya saat ini hanya Angel. Semoga dia baik-baik saja.

Sampai di Kafe, Alex langsung masuk ke dalam Kafe yang belum buka. Ia mendengar suara percakapan di balik pintu dan langsung membukanya dengan kasar. "Angel dimana?" Orang yang ada di sana terkejut menatap Alex yang menanyakan Angel. Perempuan yang paling dekat dengan Alex akhirnya bicara.

"Ada yang nyulik Angel," Pertemuan itu tidak tahu jika perkataannya membangunkan sesuatu dalam diri Alex yang selama ini belum pernah disentuh siapapun. Alex meremas gagang pintu yang ia pegang. "Tadi, gue lihat ada orang yang bekap Angel dari belakang dan memasukkannya ke mobil. Gue udah gak sempet buat nolongin dia," Perempuan itu segera mengklarifikasi, ia tida ingin Alex mengira kalau dia diam saja saat melihat temannya diculik. "Waktu gue teriak minta tolong, mobil yang bawa Angel udah jauh. Gue cuma bisa ambil tas dia dan hapenya yang ditinggal, kami juga lagi bingung." Ujar perempuan yang ber-tag name Mila itu. "Tapi gue dapet foto plat mobilnya!!"

Alex kembali memacu motornya dengan gila-gilaan. "Leon cepetan, bangsat,"

"Sabar, goblok. Lo pikir tangan gue ada enam!!" Alex bisa mendengar suara keyboard dengan cepat. "Lo yakin orang itu yang bawa cewe lo?"

"Gue patahin leher lo!" Alex berkata dengan kesal.

"Dari plat nya, mobil itu milik salah satu anggota dewan. Mereka ada di rumah sakit -"

Mengetahui lokasi mobil itu, Alex memutuskan sambungan telepon dan menambah kecepatannya. Mengumpat dengan kasar, bersumpah tidak akan memaafkan mereka jika Angel terluka.

Di Rumah Sakit.

"Bangunin dia," perintah seorang lelaki yang sedang berbaring diatas ranjang rumah sakit. Ada sekitar sembilan orang berjas hitam yang ada di dalam sana yang menjabat sebagai bodyguard. "Siram pake air."

Seorang bodyguard mengambil seember air dan menyiramkannya pada perempuan yang tertidur di sofa. Angel terbangun kaget. Wajah dan baju depannya basah.

Angel mengelap wajahnya dengan telapak tangan. Mengedarkan pendangannya bingung.

"Udah sadar?" Angel menoleh. Melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk di ranjang. Angel tersentak kaget mengingat siapa lelaki itu. "Udah ingat? Lo pernah tumpahin air ke baju gue,"

"Maaf, tapi ada apa ya?" Angel bertanya dengan polos.

"Ada apa? Lo nggak liat udah berapa lama gue terbaring di sini karena cowok lo? Gue harus menjalani dua kali operasi. Tulang pipi gue retak dan dua gigi geraham gue patah," Angel terkejut mendengarnya. "Baru dua hari ini gue bisa bicara. Gue nggak bisa balas cowok lo karena dia anak dari teman bokap gue. Gue nggak habis pikir kenapa dia bisa pacaran sama cewek kayak lo. Sekarang, lo harus rasakan apa yang gue rasakan."

"Aku minta maaf," Ucap Angel ketakutan.

"Apa dengan lo minta maaf bisa kembaliin harga diri gue? Semua temen gue meremehkan gue sejak kejadian itu."

"Terus, aku harus gimana? Aku akan lakuin apapun." Ujar Angel dengan tulus.

"Seperti yang gue bilang, lo harus merasakan apa yang gue rasakan saat ini." Bima memberi isyarat. Orang yang berdiri paling dekat dengan Angel mengangkat tangannya dan mendaratkannya ke pipi Angel yang berbunyi dengan keras.

Angel terhempas ke lantai dan terdapat bekas tamparan di wajahnya. Bima yang melihatnya tersenyum dengan puas. Bodyguardnya segera menarik rambut Angel membuatnya mendongakkan kepala.

"LO APAIN DIA BANGSAT!!!"

Selamat membaca! Ikuti terus ceritanya jangan lupa berikan kritik dan saran untuk bahan evaluasi saya kedepannya. Terima kasih. Enjoy

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience