Suara alarm membuat Angel yang tertidur lelap terduduk kaget dengan mata yang sedikit terbuka. Kepalanya masih linglung karena setengah nyawanya masih di alam mimpi. Ia mengikat rambutnya asal dan beranjak ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya dan aktifitasnya kembali seperti biasa.
Baju kaos lengan panjang dan jins hitam membalut tubuhnya. Mengikatkan handuk pada rambut untuk mengeringkannya sejenak.
Duduk di depan cermin. Angel meraba tengkuknya dan berusaha melihat cap apa yang ditempelkan lelaki itu semalam. Angel menghela nafas karena tidak bisa melihat cap seperti apa yang ada dilehernya.
Tidak ada make up khusus seperti lipstik, maskara, pensil alis dan sejenis itu di hadapannya. Hanya ada baby oil dan bedak untuk memoles wajahnya.
Alisnya sudah tebal dan tersusun rapi sejak ia masih kecil. Bulu matanya yang lentik kadang membuat orang yang melihatnya salah paham karena menganggap dia menggunakan bulu mata palsu. Angel adalah anak rantauan. Ia meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu. Jika biaya kuliah harus dibayar sendiri, tentu keluarganya tidak akan sanggup membiayai biaya kuliahnya. Semua itu ditanggung oleh pemerintah kota. Ia mendapat beasiswa setelah menjadi juara satu Ujian Nasional tingkat Provinsi. Ia juga diberi kebebasan untuk memilih Universitas yang ingin dia masuki.
Sebenarnya ia mendapat uang saku tiap bulan. Karena biaya hidup di kota yang sangat mahal, uang itu tidak cukup. Dan akhirnya Angel harus mencari tambahannya sendiri.
Angel sudah berkeliling mencari tempat kos yang murah. Ia menemukannya meski lumayan jauh dari kampusnya. Membutuhkan waktu setengah jam jika ia berjalan kaki ke kampus dan sepuluh menit jika naik bus. Semakin dekat kampus biaya kos semakin mahal, jadi Angel tidak keberatan untuk sedikit jalan kaki ke kampus.
Kosan Angel berukuran empat kali lima meter persegi. Cukup untuk dia dan barang-barangnya karena memang ia tidak punya banyak barang. Tidak ada kemewahan di sana. Laptopnya saja ia dapatkan dari doorprise waktu seminar. Angel senang bukan main ketika mendapatkannya, karena laptop itu Angel tidak perlu repot-repot pergi ke warnet dan duduk berjam-jam di sana. Laptop adalah satu-satunya barang berharga miliknya. Kemanapun dia pergi pasti membawa laptop. Angel tidak perlu khawatir kalau ada maling ke kosannya, toh tidak ada apa-apa di kamarnya.
Angel mengerucutkan bibirnya. Ia kesal karena tidak bisa mengikat rambutnya seperti biasa. Angel tidak menyukai rambutnya tergerai. Alasannya sederhana, karena ia merasa panas dan bisa mengganggunya ketika sedang belajar.
Mendekati akhir bulan, Angel harus berjalan kaki untuk ke kampus karena isi dompet yang mulai menipis. Hari ini ada presentasi kelompoknya. Angel membagikan materi kelompoknya pada kelompok lain. Untuk urusan pembelajaran, semua orang memperebutkan manda agar jadi satu kelompok dengannya.
Alasannya hanya satu, karena Angel yang akan mengerjakannya sendiri dan mereka hanya tinggal menunggu hasil.
"Jadi, siapa yang tidak ikut mengerjakan?" Sialnya hari ini. Anggota kelompok manda saat ini kurang begitu menguasai materi hingga membuat Dosen curiga kalau manda yang mengerjakannya sendiri.
"Angel, apa kamu tidak mengajak teman satu kelompokmu untuk mengerjakannya?"
Angel baru saja akan membuka mulut tetapi perempuan di sampingnya sudah berbicara. "Nggak, Bu. Kami saja nggak tau, tiba-tiba langsung menerima ini." Ujar perempuan itu berbohong. Angel sudah menghubunginya berkali-kali, tetapi mereka selalu punya alasan untuk menolak. Jika Angel tidak mengerjakannya juga, tugas itu pasti terbengkalai.
Angel menundukan kepalanya. Sudah lima belas menin lebih ia menghadap dosen.
"Saya tahu kamu itu pintar, tapi ini kerja kelompok. Apa gunanya anggota kelompok kalau kamu mengerjakannya sendiri. Saya kasih nilai kelompok kamu D."
"Tapi, Bu,"
"Maaf, saya tidak bisa mentoleransi."
Nilai D? Ini pertama kalinya Angel mendapat nilai D. Apapun masalahnya jangan sampai mendapat nilai D, karena beasiswanya bisa dicabut. Angel sudah berusaha membujuk dan memohon pada dosennya. Angel masih punya dua semester lagi, ia tidak bisa berhenti di tengah jalan begitu saja.
Teman sekelompoknya tidak masalah mendapat nilai D. Mereka berjalan melewati Angel tanpa merasa bersalah. Karena mereka yang lalai pada tugasnya, bisa membuat Angel berhenti kuliah. Angel memeluk kedua kakinya sambil membenamkan wajahnya disana. Ia tidak bisa marah dan berbuat banyak karena mereka anak pejabat.
Apa yang akan ibunya katakan kalau Angel dikeluarkan? Ibu yang selalu membanggakan dirinya pada orang-orang di kampung.
Angel menghebuskan nafasnya setelah puas meratapi nasibnya nanti. Ia terlonjak kebelakang dengan ekspresi terkejut. Pandangan pertama ketika Angel mengangkat wajahnya adalah seorang lelaki. Beruntung Angel terduduk di atas rerumputan, kalau bukan mungkin pantatnya sudah sakit sekarang.
Senyum tipis Alex berubah lurus ketika melihat Angel. Tatapannya menjadi tajam dengan alis berkerut. Alex menahan tangan Angel saat ia ingin menghapus air mata di pipinya. Tidak kencang, karena Alex takut cengkramannya melukai Angel. Meski begitu m, Angel sama sekali tida bisa meloloskan diri.
"Kenapa lo nangis?" Angel berhenti bergerak, membalas tatapan Alex. "Inget kalimat gue baik-baik. Pertama, gue nggak suka seorang pembohong. Kedua, gue nggak suka mengulang pertanyaan. Ketiga, gue lebih gak suka ada orang yang nyentuh apalagi menyakiti apa yang gue punya." Angel mengerutkan keningnya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan aoa yang dikatakan Alex sejak tadi malam.
"Aku, nggak apa-apa," Ujar Angel berusaha melepaskan pergelangan tangannya. Sekuat tenaga dia memberontak sampai membuat lengannya sakit. "Lepasin," Ringisnya. "Tangan aku sakit."
"Gue nggak menekan atau menggenggam dengan kuat," Angel mengusap sisa air mata dengan lengan bajunya seperti anak kecil. "Kasih tau gue atau gue nggak akan lepasin."
Angel menatap Alex lama. Alex juga tidak berniat melepas lengan atau mengulang pertanyaannya. Kenapa Alex bisa berada di kampusnya dan selalu ada di hadapannya? Melihat Alex yang enggan melepaskannya, Angel pun menyerah. "Aku, dapet nilai D," Ujarnya pelan.
"Nilai D?" Alex memastikan jika pendengarannya tidak salah. Angel mengangguk dan menghembuskan nafas lega saat Alex melepaskan lengannya. Tawa kecil terdengar dari mulut Alex. "Karena itu lo nangis?"
"bukan itunya," sangkal Angel. Ia tidak secengeng itu yang bisa menangis hanya karena mendapat nilai D.
"Terus?"
"Ini tugas kelompok. Waktu awal pembagian, mereka maksa aku buat gabung. Aku udah berusaha bertanya dan mengajak mereka untuk berdiskusi, tapi mereka selalu menghindar. Ada aja alasan kalau aku udah nentuin waktu dan tempatnya. Aku udah nggak bisa nunggu lagi, takut lupa atau tugas bertambah. Jadi aku kerjain sendiri seperti biasa."
"Seperti biasa?" Potong Alex dengan alis berkerut. Angel mengangguk.
"Tadi itu presentasi. Mereka nggak memahami materi. Jadi, kelompok aku dapet D. Beasiswa aku bisa dicabut kalau ada nilai D."
Alex mengatupkan rahangnya. "Mana tugasnya?"
"Eh?! Buat apa?"
"Mau liat aja," Angel membuka tasnya. Memberikan makalah kelompoknya dan menyerahkannya pada Alex. Lelaki itu melihat nama anggota kelompok Angel yang ada di halaman pertama. Alex menggulung makalah tersebut dan berdiri. Sontak Manda mendongak menatapnya.
"Mau kamu apain?" Alex tidak menjawab pertanyaan Angel. Ia menahan salah satu mahasiswa sambil menunjukkan halaman pertama makalah yang dia pegang. "Mau kemana?" Angel menahan lengan Alex yang hendak pergi meninggalkannya.
"Kembaliin nilai lo."
"Hah?!" Angel mengerutkan alisnya bingung menatap kepergian Alex. Awalnya Angel ingin meninggalkan lelaki itu, tapi makalahnya. "Eh! Makalah Aku!"
Angel kebingungan mencari keberadaan Alex yang sudah menghilang. Dalam makalah itu ada coretan revisi untuk ia perbaiki.
Angel berlari dengan panik. Ia mengintip ke setiap kelas yang dilewatinya. Angel bernafas lega saat melihat punggung Alex berdiri di ujung koridor. Namun, kebingungan menyergap kepalanya karena teman sekelompoknya juga berada di sana. Satu persatu orang-orang mulai berkumpul. Angel juga bergegas menghampiri Alex.
"Lo minta gue bilang sama dosen? Nggak salah? Bukannya emang salah dia yang kerja sendiri?" Angel tidak menghampiri Alex langsung, ia hanya berdiri di antara kerumunan. "Ini kerja kelompok, bukan individu."
Alex meremas makalah yang dia pegang. Orang di depannya mulai berbisik membicarakan Alex. "Oh, lo Alex anak Walikota kan? Kenalin, gue Bima anak wakil Walikota." Alex melihat uluran tangan itu tanpa berniat membalasnya. Merasa diabaikan, Bima menarik tangannya tanpa ada rasa sakit hati dan melanjutkan kalimatnya. "Gue pernah denger beberapa kali soal lo dari bokap gue. Kayaknya kita bisa berteman."
Alex tersenyum tipis membuat para perempuan membisikan sesuatu ke Bima. "Udahlah, kita lupain masalah ini, lo ikut kita nongkrong aja, gimana?" Ajakan Bima ini langsung di setujui oleh teman-temannya. "Ngapain lo ngurusin Angel. Kuliah itu emang harus bayar, enak banget dia mau gratis terus."
"Emang bokap lo nggak marah?" Tanya Alex sambil menahan tangannya agar tidak melayang dan memukul sembarang orang.
Bima tertawa, "Santai aja bro, nilai gue A. Semua itu bisa dibeli dengan uang. Cewek seperti dia nggak pantas dapat perlakuan khusus dari lo. Dia udah biasa,"
"Biasa?"
"Iya, biasa. Seharusnya dia mikir buat masuk Universitas ini. Bokap lo sebagai Walikota dan Rektor kampus ini tercemar nama baiknya karena menerima mahasiswa gratis kaya Angel," ujarnya sambil menggelengkan kepala. Bima melangkah dan mendekatkan bibirnya ke telinga Alex. "Angel itu polos, kita bisa gunain dia buat muas-" Belum selesai berbicara tiba-tiba Alex melayangkan tinjunya menghantam Bima. Emosinya yang melonjak sudah tidak bisa ia tahan. Bima langsung tersungkur ke lantai dan memekik kesakitan.
Alex langsung menindih Bima dan mencengkram kerah bajunya." Apa lo bilang?" Wajah marah dan murka sangat terlihat, tatapannya yang tajam seakan membuat orang yang di tatapnya tertusuk ratusan jarum. "Bilang sekali lagi bangsat," Ucapnya pelan.
Bima menyeka darah di sudut bibirnya, rahangnya seperti bergeser karena pukulan Alex. "Yang mana? Soal rencana buat nelanjangin-"
"Jangan!" Untuk yang kesekian kalinya Angel menahan Alex akan meninju wajah Bima dengan memeluknya sekuat tenaga. Tangan Alex bergetar menahan emosi.
Bima sangat shock melihat Alex akan memukulnya kembali. Pukulannya Alex tidak bisa dikatakan ringan. Bima merasa lega karena tidak merasakan pukulan itu lagi. Alex menatap Bima dengan sorot mata yang menakutkan. "Lo ceritain semuanya ke dosen bersangkutan. Kalau nilai Angel sampe nggak berubah, gue patahin leher lo." Ucap Alex sambil melepas tangannya yang mencengkram baju Bima. Ia berdiri dan kakinya menekan bagian perut Bima
"Jangan!" Angel berusaha mengangkat kaki Alex dari tubuh Bima. "Jauhin kaki kamu," Angel memohon.
Bima kesakitan akibat dari tekanan kaki Alex.
"Dengerin gue baik-baik. Jangan sakiti dia, fisik ataupun mental. Kalau lo berani bikin dia nangis lagi, gue akan gali tanah depan rumah lo lengkap dengan batu nisannya untuk tempat tidur lo." Alex mengangkat kakinya yang membuat Bima bernafas lega.
Bima berangsur berdiri dengan sisa tenaganya. "Angel, siapa? Cewek lo?"
"Gue gak suka milik gue disentuh. Ingat itu." Setelah mengatakan ancaman yang berbentuk pernyataan, Alex menarik Angel pergi dari sana. Jika biasanya orang yang di pegang oleh Alex akan meringis kesakitan karena kuatnya cengkraman lelaki itu. Tapi saat ia memegang tangan Angel, seakan otaknya telah diatur untuk bersikap lembut terhadapnya.
Angel setengah berlari mengimbangi langkah Alex. Ia ingin melepaskan diri, tapi Alex sama sekali tidak memberi kesempatan.
"Pake,"
"Mau kemana? Aku nggak mau," Angel mengembalikan jaket Alex. "Aku bisa pulang sendiri."
"Percuma lo nolak, gue akan berdiri di depan pintu rumah lo nantinya," Angel membuatkan matanya, "Naik."
"Nggak mau," Tolaknya lagi. "Kamu tahu dimana aku tinggal? Dari mana? Ngikutin aku?" Tanya Angel menyelidik. Ia masih belum nyaman dengan Alex.
"Gue bisa cari tahu apapun jika itu bersangkutan dengan lo," Alex menarik lengan Angel mendekat dan memakaikan jaket di tubuh Angel.
"Kamu itu siapa? Kenapa? Dan ngelakuin ini itu buat apa?" Angel bertanya frustrasi.
"Lo belum ngerti juga?" Alex mengerutkan keningnya. Angel sedikit mundur setelah menyadari jaraknya terlalu dekat dengan Alex. "Lo, milik gue. Ngerti?"
"Milik? Miliki itu punya pribadi, jadi maksud kamu, aku milik pribadi kamu, gitu?" Angel meluruskan telunjuknya menunjuk Alex.
Alex mengangguk. Menyandarkan tubuhnya ke motor sambil memperhatikan wajah Angel yang kesulitan mencerna maksud dari kalimatnya.
"Kenapa? Aku nggak mau jadi milik pribadi kamu." Ujarnya dengan polos, Alex hanya tersenyum miring. "Aku nggak mau." Ulangnya.
"Gue gak minta persetujuan dari lo."
Angel menggaruk kepalanya, sebenarnya dia sangat pintar. Apa karena otaknya disodorkan materi pembelajaran yang membuat otaknya jadi lamban menerima kalimat asing. "Tapi, itu kan aku. Kenapa harus aku? Cari yang lain aja, aku nggak mau jadi milik siapa-siapa."
"Nggak bisa, cap stempel gue ada di badan lo." Angel meraba tengkuknya.
"Kalau gitu hilangin,"
"Permanen," Angel perlahan menggerakkan kakinya mundur. Tapi pergerakan itu diketahui oleh Alex. "Mau kabur?"
"Nggak," Angel berdiri tegap. Sungguh Angel takup dengan lelaki dihadapannya.
"Stop!" Angel mengangkat kedua tangannya saat Alex melangkah maju. "Aku nggak mau terlibat dalam organisasi apapun, aku nggak kenal kamu dan kita nggak saling kenal. Jadi, jangan temuin aku lagi." Ujar Angel sebelum berlari kencang meninggalkan Alex.
Alex hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku Angel yang lucu. Angel lari sampai hampir terjatuh karena tersandung. Angel mungkin butuh waktu, jadi Alex tidak ingin memaksanya. Dia akan membuat Angel menerimanya dengan perlahan hingga ia tidak bisa pergi jauh walau hanya satu senti.
Silahkan beri kritik dan sarannya untuk bahan evaluasi saya kedepannya. Terima kasih.
Share this novel