"Luna jurusan apa?"
Leon tersedak. Air yang masih ditenggorokan keluar lagi saat mendengar pertanyaan Alex. Jujur saja, Alex jijik melihat Leon memuntahkannya kembali ke dalam gelas. Mengambil dua lembar tisu untuk mengelap sisa air di sekitar mulutnya. Leon menatap Alex dengan kening berkerut. Sedangkan Alex menatap datar.
"Sejak kapan lo peduli sama kehidupan Luna?" Tanya Leon menyelidik.
Alex mengangkat bahunya acuh. "Dia kuliah di kampus gue kan? Come on dude, gue cuma nanya."
"Nggak Lex," Romeo membenarkan posisi duduknya lebih serius. Menyingkirkan piring makanan di meja agar bisa melihat Alex dengan jelas.
"Kalau lo udah hapal nama seseorang. Pasti ada maksud lain. Ayolah Lex. Gue tau lo bisa dapetin cewek manapun, tapi plis lah, jangan Luna. Gue cinta sama dia-Anjing!" Umpat Leon. Alex melempar pipet ke wajahnya. Leon mendengus. Menyandarkan punggungnya ke belakang.
"Sejak gue jadian sama Luna. Berapa tahun ya? Ah gak penting. Ini untuk pertama kalinya nama cewek gue keluar dari mulut lo." Alex memutar bola matanya malas. "Meskipun waktu SMA lo sekelas sama dia, Luna sendiri yang bilang kalau lo nggak pernah tegur dia. Tapi pas statusnya udah jadi cewek gue, kenapa tiba-tiba lo tanyain dia?"
"Jawab aja, bangsat."
"Lo lagi merencanakan sesuatu kan, Lex?"
"Le, gue nggak suka bertele-tele."
"Akutansi."
"Minta kontak Luna."
Leon menggebrak meja dengan wajah tersakiti. Beberapa orang yang sedang berada di Horison menoleh. "Wah! parah lo, Lex. Lo mau nusuk gue
terang-terangan?! Sahabat macam apa lo?!"
"Gue nggak suka nusuk anus." Alex meninju kepala Leon cukup keras. Sahabatnya itu sampai terhuyung ke belakang dengan pandangannya berputar sesaat.
"Sini ponsel lo monyet."
"Penyiksaan!" Leon mengelus kepalanya yang berdenyut nyeri. Sehingga Alex dengan lancang meraba celana miliknya untuk mencari benda pipih tersebut.
"Anjing sakit banget, bangsat!"
Alex sama sekali tidak peduli dengan keluhan Leon. la tidak perlu mencari kontak Luna, baru saja ada notif masuk atas nama my heart.
"Alay."
"Suka-suka gue bajingan." Alex melempar benda pipih itu ke meja setelah berhasil mencatat nomor ponsel Luna.
"Awas lo macam-macam." Ancam Leon
membalas pesan Luna. Alex tersenyum
miring. "Gue bacok lo."
"Longgar?" Alex menaik turunkan alisnya. "Kalau masih sempit nanti gue bantu longgarin."
"Bajingan."
"Bajingan panggil bajingan." Alex mendecih pelan. la senang sekali menggoda Leon, apalagi jika itu sudah bersangkutan dengan Luna. Leon tidak menjawab, sibuk bertukar pesan.
"Letakin ponsel lo atau gue banting?"
Mendengar ancaman itu, Leon langsung meletakkan ponselnya ke meja. "Cemburu lo? Makanya punya cewek. Kemana-mana masih ngajak gue, Di kira homo gue."
"Sebelum sama Luna, lo suka yang panjang, Le,"
"Tai lo, Lex," Leon melempar kulit kacang yang isinya baru saja ia masukkan ke mulut, "Mulut lo tuh, kuliahin."
Alex menghabiskan minumannya sebelum menghidupkan tembakau yang sudah menggodanya sejak tadi. "Luna taunya lo setia kan?"
"Gue emang setia. Jaga bicara lo monyet."
Alex menaikan satu alisnya. "Oh ya? Dua hari yang lalu lo di rumah Lily ngapain?"
"Yaelah, Lex. Gue cinta sama Luna. Masa iya gue ngerusak cewek gue sendiri. Kalau gue ngerusak dia sama aja ngerusak masa depan. Meski yang gue lakuin ini salah, tapi lo cowok juga kan? Kadang butuh pelepasan sekali-kali," Alex menaikkan
satu alisnya.
"Itu yang membedakan cinta sama nafsu. Kalau dari awal lo jalin hubungan hanya karena mau ngerasaain tubuhnya doang, itu namanya nafsu. Liat yang lebih bohay ditinggalin. Beda dengan cinta, cinta menjaga kehormatan orang yang di cintai. Lo belum merasakan apa
itu cinta, gue yakin kalau lo udah ngerasain yang namanya cinta, mau pegang tangan dia aja lo mikir dua kali."
"Lo bicara seperti itu seakan-akan belum nyentuh Luna, Bangsat."
"Yah.. nggak tiap hari,"
"Bangsat."
Leon terbahak yang mendapat hadiah hujan kulit kacang oleh Alex. Suasana kembali hening. Keduanya menjadi orang autis yang kadang senyum-senyum sendiri menatap layar ponsel.
"Bimo kemana?" Tanya Alex tanpa menatap lawan bicaranya. Leon mengangkat bahunya acuh yang tentunya tidak Alex lihat.
"Leon?"
"Nggak tau sayang," Alex mengerutkan alisnya, melirik Leon. "Buat Luna, bukan lo."
Alex menendang kaki Leon membuat sahabatnya itu membungkuk kesakitan. Alex menekan ujung rokoknya ke asbak. Meninggalkan Leon yang
terguling di lantai memeluk kakinya tanpa rasa bersalah. Membiarkan Leon menjadi tontonan pengunjung Horison.
"Bangsat lo, Alex!"
"Terima kasih."
-
Setelah dosen baru saja keluar, suasana yang tadinya sangat hikmat berubah menjadi ricuh. Banyak yang mengeluh bosan dan mengantuk. Beberapa mahasiswa sudah banyak yang keluar.
Mereka menyempatkan pergi ke kantin, padahal lima belas menit lagi MK selanjutnya akan berlangsung. Masih banyak juga yang memilih menahan rasa lapar dari pada telat.
Angel masih berkutat dengan laptop dihadapannya. Sesekali membalas pesan Alex. Suasana kelas yang seperti pasar pagi tiba-tiba seperti kuburan. Angel yang menyadari perubahan mendadak itu memiringkan kepalanya karena terhalang laptop. Tepat saat matanya berkontak langsung dengan manik mata perempuan yang menjadi alasan kelasnya terdiam. Perempuan itu yang awalnya menunjukkan wajah tidak bersahabat langsung tersenyum menatap Angel.
"Angel? Angelista itu, lo?" Perempuan dengan rambut sebahu itu sudah berdiri di samping Manda. Ia menggeser laptop Manda untuknya duduk.
"Iya? Kenapa, ya?" Manda kenal siapa perempuan yang sedang berbicara padanya saat ini. Tapi kenapa? Ada hal apa membuat perempuan sekelas Aluna menemuinya?
"Gue tahu apa yang kalian lakukan sama Angel. Jangan mengusik Angel lagi kalau nggak mau berurusan sama gue. Termasuk manfaatin dia buat kerjain tugas kalian." Angel mengerutkan keningnya bingung. Luna kembali menatapnya. Jika ia menatap seluruh anggota kelas dengan tatapan tajam berbeda saat menatap Angel yang terkesan manis.
"Gue suka sama lo," Manda membulatkan matanya. Luna tertawa membuat Manda bertambah bingung.
"Karena lo, orang yang songong itu menghubungi gue untuk pertama kalinya."
"Ma-af?"
"Alex. Lo pacarnya Alex, kan?" Luna mengulurkan tangannya yang di sambut bingung oleh Angel
"Gue Luna. Mulai sekarang lo nggak perlu takut. Gue akan bantuin lo." Luna melepaskan tangannya sebelum Manda memperkenalkan diri.
"Tapi aku bukan pacarnya."
Luna melipat tangannya di dada. "Belum aja. Tapi Alex nggak suka hubungan alay semacam pacaran. Bukan style seorang Alex. Jangan khawatir, Alex nggak pernah seperti ini sebelumnya. Tandanya lo sepesial."
Angel suka sekali melihat cara Luna berbicara. Senyuman manis itu tidak pernah terlepas. Wajahnya cantik dan tubuhnya sangat proporsional. Luna sungguh bak bidadari.
"Alex udah cerita semuanya tentang lo kemarin. Well, gue suka lihat Alex mulai menjalani hubungan dengan satu orang cewek. Selama ini, gue nggak pernah say hello sama dia. Karena memang gue yang nggak suka sama orang songong."
Angel tertawa kecil. Luna membingkai wajah Manda dengan satu tangannya. "Cantik," Ujarnya menarik tangannya kembali.
Angel tersenyum kikuk. "Jangan malu minta pertolongan gue, apapun yang bersangkutan dengan cowok gue. Kita keluarga. Oke adik kecil."
"Em?" Luna mengelus kepalanya sebelum meninggalkan Angel dengan kebingungannya.
"Ly, Come on honey."
Angel memberikan senyuman pada Luna yang merangkul teman sekelasnya bernama Lily dan berlalu keluar setelah memberikan kedipan mata padanya.
-Malam harinya
Angel menggantung bajunya di lemari. Menghembuskan nafasnya dan menutup lokernya dengan pelan. Ia berjongkok, menyembunyikan wajahnya di antara paha. Hari ini sangat melelahkan. Mata kuliah yang penuh, pengunjung yang ramai, sampai membuat Angel tidak bisa duduk. Kakinya terasa sakit, sebelumnya Angel tidak pernah kelelahan seperti ini.
"Ngel? Gue duluan ya." Angel mengangkat kepalanya. Memberikan lambaian singkat pada rekan kerjanya yang pulang duluan.
Menarik nafasnya sejenak. Angel keluar melalui pintu belakang. Seperti biasa, Alex sudah menunggunya dengan bersandar di atas motornya. Angel tersenyum, menghampiri lelaki itu.
"Capek?" Angel mengangguk pelan.
"Udah makan?"
"Belum."
Migel menghembuskan nafasnya pelan. Menghidupkan motornya. "Jangan pernah telat makan," Kalimat itu seperti perintah mutlak dari Alex. Angel membiarkan Alex membawanya kemanapun, dia malas untuk bertanya.
"Seenggaknya lo harus makan, yang penting perut lo ke isi dulu. Lo pingsan, mereka nggak akan bayar rumah sakit." Tegas Alex.
Keduanya sudah berada di Horison. Dari nada yang Alex gunakan, Angel menangkap jika Alex sedang marah. Angel mengangguk pelan. Menghabiskan makanannya tanpa banyak bicara. "Kamu nggak kuliah lagi?"
"Habisin."
Angel mendengus. Menghabiskan minumannya sebagai akhir dari makan malamnya hari ini. "Kamu kenal Kak Luna?"
Alex mengerutkan keningnya. "Kak?" Angel mengangguk. "Umur lo berapa?"
"Sembilan belas tahun. Kenapa?"
"Bukannya lo udah masuk semester akhir?"
"Lulus SMA umur aku masih enam belas tahun," Angel menunjukkan senyuman bangga. "Harusnya aku panggil kamu Kakak juga, ya."
Alex terkekeh. "Jangan, panggil nama aja."
"Iya, aneh kalau aku panggil Kakak. Nggak enak dengarnya," Migel menyipitkan matanya. "Keliatan masih muda soalnya."
"Ngeles." Angel tertawa kecil. Sudut bibir Alex terangkat sedikit. "Kalau ada apa-apa, lo minta tolong aja sama dia."
"Kak Luna itu siapa?"
"Nggak perlu tau." Angel cemberut. Mengeluarkan amplop putih dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Alex.
"Apa?"
"Aku udah bilang bakal nyicil uang ganti rugi. Aku habis gajian, makanan ini aku aja yang bayar."
"Gue nggak mau."
"Ambil atau aku nggak mau ketemu lagi sama kamu."
"Udah berani ngancem?" Alex mengangkat satu alisnya ke atas. Angel mengerjap. "Ngancem, ya?"
"Nggak, ih," Angel kesal sendiri. "Aku nggak mau punya hutang sama siapa-siapa. Aku nggak mau nantinya kalau kita marahan atau terlibat konflik kamu bawa-bawa hutang. Kan orang suka gitu. Manisnya lupa, pahitnya di inget."
"Lo mau kita marahan?"
"Nggak gitu," Angel gelisah sendiri dikursinya. Bibir Alex berkedut ingin tertawa melihat Angel semakin terpojok. Ah... Lucunya.
"Terus?"
"Ambil aja."
"Kalau emang lo berniat bayar hutang. Gue nggak mau pakai duit," Angel mengerutkan keningnya. "Lo pasti tahu," Alex mengangkat bahunya. "Jadi lupain hutang yang nggak seberapa itu kecuali lo mau bayar dengan itu. Ngerti, Angelista?"
"Itu apa?" Angel menyatukan kedua alisnya.
Tangan Alex yang terlipat di meja terangkat satu. Jari telunjuknya menunjuk tubuh Angel dengan gerakan melingkar.
"Ngerti?"
"Aku masih kecil. Nggak ngerti soal begituan" Angel tersenyum. "Ya udah, uangnya aku tabung aja atas nama kamu. Nanti kalau sewaktu-waktu kamu butuh, bisa diambil." Alex terkekeh pelan.
"Tunggu sebentar, aku bayar dulu. Kamu seriusan nggak mau apa-apa? Aku traktir."
"Bayar aja sana." Angel mengangguk. Membayar tagihan makanannya. Angel dan Alex merupakan pengunjung terakhir. "Kok diam?" Tanya Angel yang baru saja keluar. Ia menatap Alex yang berdiri tanpa berkutik. Angel mengikuti arah pandangan lelaki itu.
"Loh? Motor kamu kemana?"
Alex menghembuskan nafasnya dan menarik rambut belakangnya dengan membuang pandangan ke segala arah.
"Seriusan?! Motor kamu hilang! Tadi disini kan? Beneran nggak ada!" Angel berlari di sekitar Horison. Mencari keberadaan motor harley hitam milik Alex.
"Udah, jangan kemana-mana. Nanti lo hilang. Sini."
"Kamu kok nyantai aja. Itu motornya hilang." Angel panik sendiri. "Itu mahal kan? Lapor polisi aja, pasti orangnya masih di sekitar sini. Atau- CCTV! Aku tanya ke dalam- yah, udah tutup. Gimana?!" Alex geli sendiri melihat Angel panik. Sementara ia biasa saja meski sedikit kesal.
Alex mengeluarkan ponselnya, menelpon seseorang yang akan bertanggung jawab atas hilangnya motor miliknya.
"Dimana?"
"BAR. Kenapa? Mau ke sini?"
"Motor gue hilang."
"Beli lagi."
"Cari atau lo yang ganti motor gue."
"Kok gue?!" Suara Leon meninggi satu oktaf. "Itu motor lo bukan motor gue. Aneh lo. Udah, gue tutup."
"Gue patahin kaki lo."
"Anjing! Gak bisa lihat gue senang lo bangsat!"
"Thanks. Besok pagi motor gue udah balik."
"Enyah kau Alex!"
Alex yakin Leon sedang kesal setengah mati sekarang. Alex kemudian memasukkan ponselnya ke saku celana.
"Motornya ketemu." Angel menoleh. "Ada yang pinjam, besok balik." Alex melihat Angel menghembuskan nafasnya lega. Berjalan menghampirinya.
"Aku kira hilang." Angel tersenyum. "Kita pulang gimana?"
Alex melihat jam tangannya. Pukul dua belas malam. "Mau naik taxi? Tapi gue nggak bawa dompet."
"Jalan aja, setengah jam dari sini. Sayang kalau naik taxi. Bus juga udah nggak ada," Angel menggaruk tengkuk lehernya.
"Kamu pulangnya gimana? Ya udah naik taxi aja."
"Jalan aja." Alex mendahului, meninggalkan Angel.
"Terus kamu pulangnya gimana?"
"Terbang."
Angel mendengus. Berjalan berdampingan dengan Alex di sebelahnya. Kedua tangannya menggenggam tas punggung.
"Kamu mau apa?!"
"Bawa yang berat gini tambah pendek nantinya." Alex menyampirkan tas Angel di bahu kirinya.
"Iya yang tinggi," Ujar Angel menggoda, ia menyenggol lengan Alex berharap lelaki itu terdorong. Tapi, malah dirinya yang terpental. Beruntung Alex cukup sigap menahan tangannya.
"Nyaris." Angel terkekeh pelan dengan sedikit shock.
"Jalan yang bener."
"Iya,"
Angel menarik nafasnya dalam dan membuangnya perlahan. Melakukannya beberapa kali seperti menikmati. la mengedarkan pandangannya ke segala arah yang sepi dengan bibir tersenyum hangat. Kedua tangannya bergoyang kebelakang dan ke depan, seirama dengan langkah kaki yang berloncat ria.
"Jalan yang benar, Angel." Geram Alex melihat Angel berjalan mundur sehingga saling berhadapan. Angel menggeleng dengan langkah cepat menjauhi Alex yang mengambil langkah lebar.
"Aku boleh tanya nggak?"
"Bayar."
"Pake apa?"
"Masih tanya," Angel mendengus. Alex mengulum senyum lalu berdeham. "Mau tanya apa?" Seketika wajah Manda kembali cerah.
"Nggak deh," Angel tertawa dan menjulurkan lidahnya. Ia berbalik cepat merasa Alex akan marah, tanpa ia sadari ada seseorang di belakangnya.
"Akh!"
Angel merasakan menabrak sesuatu yang membuat pantatnya mencium aspal.
"Angel!" Alex langsung berlari dan membantu Angel berdiri. "Mana yang sakit?!" Tanya Alex khawatir. Meneliti tubuh Angel dan membersihkan kotoran yang menempel di celananya.
"Jalan pake mata! Modus mau nabrak apa gimana?!"
Angel memutar tubuhnya. Ternyata ia menabrak punggung seseorang. Alex yang mendengar itu langsung menegapkan tubuhnya. Suara tawa langsung terdengar. Beberapa lelaki yang sedang nongkrong itu bertos ria.
"Maaf, ya." Angel menundukkan kepalanya dan menarik lengan Alex untuk pergi dari sana.
Mata Alex seakan menelanjangi beberapa lelaki yang tertawa itu. Ia hendak berbalik memberikan hadiah perpisahan mendengar umpatan mereka yang ditujukkan untuknya.
"Udah, ah. Aku yang salah." Angel menarik tangan Alex meski nyatanya itu tidak membuat lelaki itu bergeming.
Alex mengacungkan jari tengahnya pada sekelompok lelaki itu dan membiarkan Angel menariknya menjauh.
"Jalan yang benar."
"Iya, maaf." Hampir saja Angel akan menyaksikan kekerasan lagi. Sekarang ia memilih melangkah dalam diam sesuai perintah Alex. Manatap kakinya dan Alex yang melangkah beriringan. Ketika langkah kaki Alex berhenti, Angel mengangkat wajahnya.
"Kenapa?"
Angel mengerutkan keningnya dan mengikuti tatapan Alex. Orang-orang yang Angel temui beberapa menit yang lalu kini berdiri menghadangnya dengan menambah personil. Angel mempertipis jaraknya dengan mendekat pada Migel.
"Apa?" Tanya Alex tenang.
"Wah! Nantang nih orang!" Sahut lelaki yang Angel yakini sebagai ketuanya. Orang yang mengikutinya langsung bersorak meremehkan. Angel semakin
mempertipis jaraknya. Tanpa sadar menggenggam tangan Alex karena orang-orang itu mengelilinginya.
"Kita minta maaf aja, ya," Bisik Angel.
"Aku juga yang salah awalnya."
"Orang kayak mereka gak bisa nerima maaf." Alex mempertahankan Angel pada posisinya.
"Tapi aku nggak mau lihat kamu berantem lagi," Angel menggeleng cepat. "Kita minta maaf aja, ya, please." Alex bisa melihat sorot mata takut dan memohon di sana. Alex memejamkan matanya sejenak dan menatap Angel. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Iya, minta maaf."
Mendengar jawaban Alex, senyumAngel tercetak penuh. Ia melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Alex dan berdiri di hadapan lelaki itu, seakan Angel yang sekarang melindunginya.
"Maaf sebelumnya. Aku emang salah, jalan nggak hati-hati dan nggak sengaja nabrak kamu. Aku nggak sengaja. Sekali lagi aku minta maaf."
"Punggung gue retak karna lo tabrak." Jawabnya.
"Kamu ditabrak seorang gadis kecil bukan sebuah truk. Nggak mungkin sampai retak gitu, tadi malah aku yang jatuh bukan kamu." Alex terkekeh mendengar jawaban polos Angel.
"Nyolot ya. Duit lo mana?" Manda mengerutkan keningnya. "Keluarin duit, lo!?"
"Buat apa? Ganti rugi? Kamu kan nggak lecet. Kalau iya, ya udah kita ke rumah sakit sekarang. Biaya rumah sakit aku yang bayar."
"Gue lagi malak, keluarin duit lo!" Angel mengatur detak jantungnya yang sudah berdetak takut. Seumur hidup, ia baru sekali ini menghadapi seorang preman.
"Sini coba aku lihat punggungnya, biru apa nggak." Angel melangkah maju menyingkirkan rasa takut "Mana aku lihat."
Lelaki yang postur tubuhnya kebanyakan lemak itu menepuk kening Angel dengan telapak tangannya membuat kepala Angel terdorong ke belakang.
"Jangan main tangan, ANJING!" Alex melangkah maju, tapi dengan sigap Angel menahannya. "Anjing lo."
"Berani lo?!"
"Jangan." Angel menggeleng.
"Takut sama cewek, dia. Pake kebaya aja lo!" Suara tawa kini mengelilingi Angel.
"Gue nggak mau cari masalah. Sebaiknya lo minggir sebelum gue patahin kaki kalian satu-satu." Bukannya takut, mereka semakin tertawa kencang.
Alex menarik tangan Angel dan mendorong salah satu dari mereka untuk membuka jalan.
"Akh-Alex?!"
Angel menahan tangan yang menariknya membuat Alex menoleh dengan emosi yang tersulut melihat rambut Manda ditarik dengan kasar.
"BANGSAT!"
Dan perkelahian tak bisa terelakan malam itu.
Kedekatan Angel dan Alex sudah lebih dari sebelumnya. Apakah Alex bisa menaklukkan Angel dan mendapatkan cintanya? Tunggu kelanjutannya. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi saya kedepannya. Terima kasih.
Share this novel