16. Liburan

Romance Completed 1120

"Kenapa Bimo?" Lily menoleh. "Kenapa harus di antara kita bertiga? Jangan Bimo, Ly. Jangan sama dia."

"Kenapa? Cinta nggak bisa memaksa dan memilih siapa yang harus kita cintai, Lex. Apa lo pernah minta cinta sama Angel? Nggak kan? Semua datang begitu saja tanpa kita mau." Alex tidak bergeming. "Lo
cinta sama Angel, Lex. Kenapa lo nggak sadar? Dari awal lo udah cinta sama dia."

"Gue nggak tau apa ini bisa disebut dengan cinta. Gue udah lama nggak merasakan sensasi kalimat itu."

Lily menghembuskan nafasnya. Ia meluruskan tangan Alex, menjadikannya bantal nggak cinta sama gue, lo cuma butuh. Lex, lo harus bisa bedain yang mana kebutuhan dan yang mana cinta. Cinta adalah kalimat tersadis di dunia menurut gue. Dia bisa membuat seluruh yang normal menjadi tidak normal. Sifat kita yang berubah tanpa kita sadari." Lily mendongak. "Gue hanya kebutuhan lo. Jujur, gue pernah suka sama lo, Lex. Lebih dari suka. Tapi gue nggak akan bisa bertahan disana. Lo bukan buat gue."

"Kenapa lo nggak pergi? Kenapa lo milih menjadi kebutuhan gue?"

"Kalau bukan gue, lo mau lapiasin ke siapa? Siapa yang akan kembaliin kepercayaan diri lo selain gue? Angel?"

Alex melingkarkan tangan kanannya dipinggang Lily. Menyembunyikan wajahnya di leher perempuan itu. "Gue nggak mau rusak dia. Gue nggak mau Angel jadi kebutuhan nafsu gue,"

"Setidaknya lo kasih tau dia, Lex. Semua masalah lo. Pelan-pelan, gue yakin Angel ngerti." Alex menggeleng. "Lo harus belajar terbuka. Ke semua sahabat lo tentang Ferdy, dan juga bokap lo,"

"Udah Ly, Berulang kali gue berusaha cerita ke mereka. Tapi nggak bisa, saat ingatan itu kembali. Pikiran gue kosong. Otak gue mau pecah rasanya. Gue cerita semuanya ke lo, karena setelah gue cerita. Lo bisa kembaliin kepercayaan diri gue."

"Lo bisa, Lex. Lo harus coba."

Alex menggeleng. "Lebih baik gue dihadapankan dengan seorang iblis dari pada dia. Angel terlalu baik buat gue yang brengsek." Alex merubah posisinya menjadi duduk. "Kita pergi Ly. Sejauh mungkin ke tempat dimana tidak ada orang yang kenal gue sama lo. Kita menjauh dari mereka."

Lily ikut duduk berhadapan. "Kalau lo membicarakan hal ini tiga bulan yang lalu. Dengan senang hati gue jawab, iya. Semuanya udah berubah, Lex. Gue, lo, perasaan gue dan perasaan lo. Jangan menghilang hanya karena lo merasa nggak pantes buat dia." Lily berdiri, membuka pintu kamarnya. "Pergi, Lex. Gue nggak mau Bimo semakin cap gue buruk karena menyembunyikan lo,"

"Bimo jauh lebih bajingan dari gue,"

"Gue juga bukan orang baik seperti Angel," Alex terkekeh pelan dan mengambil kunci motornya. "Happy graduation,"

Alex tersenyum. Mengelus pipi Lily sebelum pergi dari sana. Mengendarai motornya menuju Apartemen. Semua itu pernah Alex pikirkan. Memberi tahu pada Bimo atau Leon tentang Ferdy. Alex memikirkan dampak setelah ia membuka mulut. Menceritakan siapa Ferdy sebenarnya. Akan menjadi apa seorang Ferdy. Dibunuh oleh Danang? Bunuh diri? Atau mati di tangan Bimo. Alex tidak ingin munafik. Jika di tanya benci, tingkat kebenciannya pada Ferdy sudah mencapai titik paling atas. Berulang kali Alex ingin memukul lelaki itu, mematahkan semua tulang rusuknya, sudah Alex rencanakan namun tidak terealisasi. Suara Mama terus terngiang dalam kepalanya, bayangan Ferdy saat menemuinya dengan tubuh memar dan darah di wajahnya membuat Alex muak, kenapa ada rasa kasihan pada lelaki itu.

"Mas, Mas Alex, Mas," Alex berbalik. Melihat seorang lelaki tua berlari menghampirinya. "Ini Mas, ada kiriman Internasional."

Alex mengerutkan keningnya. "Dari Siapa?"

"Nggak tau, Mas. Nggak ada nama pengirimnya," Alex mengambil kotak berukuran sedang itu.

"Makasih, Pak,"

"Sama-sama, Mas."

Sepanjang menuju koridor Apartemen. Alex menatap kotak dengan pita hitam dibatasnya. Paket Internasional.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Alex saat melihat Bimo sudah duduk bersila di atas karpet. Sudah banyak makanan di meja, berserakan. Alex meletakkan kotak itu di sofa.

"Apaan?"

"Bom," Jawab Alex asal. Ia masuk ke kamarnya, mengunci dirinya di kamar mandi.

"Gue buka, ya!" Tanpa mendengar jawaban Alex, Bimo menyingkirkan cup mie yang sedang ia makan dan membawa kotak besar itu ke hadapannya. "Njiirr, kiriman Internasional. Punya simpenan kali tuh orang," Gumam Bimo menarik pita hitam itu. Membukanya. "Ah, malesin. Gue kira apaan," Bimo mendorong kotak itu menjauh, menghabiskan mie miliknya dan beberapa gorengan yang ia beli selagi menunggu Alex mandi.

"Apa isinya?" Tanya Alex duduk di sofa. Membiarkan handuk yang masih dipundaknya. Menarik kotak mendekat. Ada secarik kertas dengan tulisan happy
graduation di atas setelan jas lengkap. Ada sebuah sepatu keluaran terbaru dibawah jas tersebut.

"Anjirr, gue nggak tau ada sepatunya," Bimo heboh sendiri. "Dari Ferdy mungkin. Kemarin dia pamit mau pergi, katanya mau urusin berkas pindah,"

'Dia pergi setelah puas sama gue.' batin Alex

Alex melemparkan sepatu yang ia pegang kembali ke kotak. "Buat lo aja kalau gitu,"

"Lo kenapa sih. Ferdy udah-"

"Stop Bim, gue nggak mau berantem lagi."

Bimo mendengus pelan. "Besok gue bisa jadi wali lo waktu wisuda,"

Alex mengambil pisang goreng, "Kata siapa gue mau dateng ke acara wisuda?" Bimo tersedak. "Gue nggak butuh acara begituan,"

"Anjir, Semua orang semangat nyusun skripsi, ya buat menghadiri wisuda, lo gila."

"Gue wisuda bukan buat itu,"

"Kalau gitu kenapa nggak kerjain skripsi gue aja, kampret?!"

"Boleh," Bimo bersemu. "Seratus juta ke rekening gue,

"Fuck,"

Alex terkekeh pelan. "Besok lo tetap datang. Bilang gue berhalangan." Bimo menggeleng tidak mengerti. "Ada alasan kenapa gue harus wisuda,"

"Terserah, Lex." Ujar Bimo malas.

"Malam itu, lo bilang Angel ketemu bokap gue. Gimana ceritanya?"

"Seperti yang udah gue ceritain. Hari itu gue berburu kuliner sama Angel sampai malam. Gue antar dia pulang. Nggak ada masalah. Entah kenapa gue bukan pulang malah berhenti di kafe yang biasa tempat lo nongkrong. Penjual yang kenal sama lo langsung kasih tau gue kalau dia lihat bokap lo lewat dengan sebuah mobil. Pikiran gue langsung ke Angel. Gue telat, kayaknya bokap lo bicara sesuatu sama Angel, setelah itu gue lihat orang itu mukul Angel. Gue nggak bisa diam, bokap lo langsung pergi waktu lihat gue," Bimo berfikir sebentar. "Kayaknya dia takut sama gue,"

"Bukan lo, tapi bokap lo."

"Bodo amat, gue ganteng."

"Najis."

-

Setelah menerima hasil transkip nilai. Angel langsung bersemangat kembali ke kosan. Ia akan pulang sore ini. Senyuman merekah sepanjang perjalanan tidak pernah lepas. Angel semangat empat lima. Sudah dua tahun ia tidak pulang karena terhalang biaya. Membayangkan bertemu keluarga sudah membuat Angel bahagia. Tubuhnya memang masih disini namun pikirannya sudah di rumah. Tidak ada hal yang mewah di rumahnya, tapi makan bersama keluarga tidak terbeli dengan uang. Ah, Angel ingin cepat-cepat pulang.

Dua hari yang lalu Angel sudah berkemas. Tidak terlalu banyak. Hanya satu tas sedang dan tas punggung sehari-hari yang akan ia bawa. Tidak ada oleh-oleh. Angel yakin, keluarganya bukan menginginkan hal itu, hanya berharap Angel pulang dengan selamat. Masih ada waktu dua jam. Angel berniat untuk menunggu di stasiun takut terlambat. Memastikan semuanya lengkap, Angel keluar dari kamarnya.

"I got it," Tubuh Angel yang sepenuhnya belum keluar terpaku di tempat. Tangannya yang menenteng tas terlepas. "You remember, Angelista?"

Di balkon depan kamarnya, sudah berdiri seorang lelaki yang menyandarkan tubuhnya ke tembok. Menggoyangkan sebuah topi dengan sebuah tali dibagian atasnya. Alex memakainya asal ke atas kepala. Kedua tangannya terlipat di dada, Kepalanya miring ke kiri, menunjukkan sesuatu di sebelahnya. Angel menggerakkan bola matanya. Membaca sebuah tulisan di sebuah kertas tebal di sana. Jantungnya seperti lepas kontrol. Angel tidak bergeming membuat Alex tersenyum kecil dan mendekati Angel. Alex memasang sebuah selempang yang ia lipat dan pegang dari tadi ke tubuh Angel. Angel menunduk, Alex kembali ke posisinya.

"Cumlaude?" Tanya Angel takjub.

"Lo kasih tantangan yang salah ke gue," Angel menelan ludahnya. la mengerjap. "So?"

Angel melepaskan selempang itu dari tubuhnya. "Aku mau pergi," Alex mengangkat satu alisnya. "Aku mau
pulang kampung liburan semester ini."

Alex menegapkan tubuhnya. "Kenapa nggak bilang sama gue?"

"Emang kamu pernah bilang sama aku kalau mau pergi?" Sindirnya. "Yaudah, kita sama. Aku nggak pernah marah sama protes loh, jadi kamu juga nggak boleh." Angel mengembalikan selempang pada Alex. Mengeluarkan tasnya dan mengunci pintu kamarnya. "Keretanya dua jam lagi, jadi aku mau tunggu di stasiun,"

"Lo nggak boleh pergi, Angel," Angel mengerutkan keningnya. "Kalau nggak sama gue," Lanjut Alex. "Gue ikut lo,"

"Ih nggak bisa!"

"Kenapa nggak bisa?"

Angel mengaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Mencari alasan. "Ya, karena kamu nggak ada tiket. Kalaupun beli di stasiun pasti udah habis."

"Lo aja yang undur keberangkatannya. Kita pake kelas bisnis, jam tujuh malam."

"Nggak mau, ah. Sayang, aku udah beli tiket. Udah, kamu nggak usah ikut,"

"Kenapa gue nggak boleh ikut? Gue nggak minta persetujuan lo." Angel menatap kesal. "Gue ganti tiketnya, Ke apartemen dulu, ambil tas."

"Alex, ih, gak usah." Angel menahan tangan Alex. "Nggak ada wisata di sana, nggak ada listrik, sinyal, mall, atau apapun yang kamu bayangin hal mewah,"

"Gue nggak bayangin semua itu. Semua hal menurut gue mewah kalau sama lo."

Angel menghentakkan kakinya, menarik tangannya kembali. "Kamu, ih. Jangan main-main, aku lagi serius,"

"Gue serius dari tadi." Alex mengambil alih tas jinjing dan menarik tangan Angel menuruni tangga. "Lepas, gue aja yang bawa,"

Angel tidak bergeming. Ia masih kesal karena Alex kembali mengaturnya. "Naik, Manda,"

Angel mengerucutkan bibirnya. Meraih bahu Alex dan melangkah naik ke atas motor. Alex langsung memberikan tas jinjing pada Angel. Di letakkan sebagai pemisah antara dirinya dan Angel. Sedangkan tas punggung, Alex gunakan dengan cara terbalik, di depan dadanya. Selama perjalanan, tidak ada yang Angel bicarakan. Ia bingung memikirkan bagaimana ekspresi keluarganya melihat Alex nantinya. Bukan Angel tidak ingin Alex berkunjung. Orang kampung masih awam dengan pengertian tato itu apa, termasuk keluarganya. Preman di kampungnya punya tato, tapi itu hanya sebuah tempelan biasa, berbeda dengan Alex yang terlihat permanen. Meski Angel yakin, preman dikampungnya tidak punya wajah setampan Alex.

"Mau ikut apa tunggu di sini?"

"Kamu nggak usah ikut, ya," Angel masih berusaha membujuk Alex. "Belum telat kalau aku pergi sekarang."

"Gue nggak pernah tarik ucapan," Alex menarik tangan Angel yang terlihat ogah-ogahan. Duduk di sofa selagi Alex mengemasi barangnya. Alex membawa satu koper besar meletakkannya di meja dengan kondisi terbuka. "Barangnya jadiin satu,"

Angel mendongak lalu menunduk. Ia melihat setengah bagian koper yang kosong. "Ih, nggak mau." Angel memeluk tas jinjingnya. "Ada barang pribadi aku, ya."

"Barang pribadi gue juga ada. Emang kenapa?" Angel mendengus. Memeluk erat tasnya. "Biar nggak banyak bawaan Angel,"

"Kamu pake tas punggung aja udah. Pake
koper terlalu mewah, nanti di rampok
waktu sampai di kampung aku,"

"Gue juga preman, asal lo tau. Gue udah begal hati lo." Angel menghentakkan kakinya. Kenapa Alex selalu bercanda soal kalimat gombal. Angel merasa wajahnya akan meledak. "Cepetan Angel,"

"Aku nggak mau, jangan maksa,

"Sama tasnya aja, masukin semuanya." Angel mengulum bibirnya. Alex merebut tas di pelukkan Angel dan memasukkannya. "Gini aja kok ribet,"
Alex menguncinya dan meletakkan kopernya berdiri di lantai. "Isi tas lo apaan?"

"Laptop, dokumen penting, sama makanan,"

"Laptop sama dokumennya tinggalin di apartemen gue."

"Ih nggak mau,"

"Katanya nggak ada listrik, ngapain bawa laptop." Angel menggaruk telinganya. "Keluarin cepetan, nggak usah bawa apa-apa." Angel melepaskan tas punggungnya malas-malasan. Alex langsung membongkarnya. "Bawa dompet sama handphone lo aja," Alex menyerahkan.

"Terus kita ngapain? Jam tujuh masih lima jam lagi."

"Keluar. Lo mau disini?" Tanya Alex sensual. Angel berdiri tegap.

"Ya udah, kita keluar." Ujarnya berlari meninggalkan Alex. Melihat itu Alex tertawa pelan. Alex mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.
Mengobrol ringan selama perjalanan. Alex menepikan motornya di sebuah pusat perbelanjaan.

"Adek lo suka coklat?"

"Aku suka,"

"Gue tanya adek lo, bukan lo," Angel mendengus. Alex terkekeh pelan dan menepuk kepala manda dua kali.
"Bercanda, Kita beli coklat buat lo."

Angel memilih berbagai macam coklat yang unik-unik. Menyicipi coklat yang disediakan. Angel merasa sangat bahagia saat coklat tersebut melumer di mulutnya. Ia gemas sendiri, dan Alex gemas melihatnya. "Gue kayak pedopil jadinya," Gumamnya tersenyum kecil. Usai memilih, tiga kotak coklat berukuran sedang sudah berada di tangan Angel. Menentengnya.

"Sini dulu," Alex menarik ujung kaos Angel. Memasuki tokoh tas.

"Mau beli tas?"

Alex memilih tas dengan Angel yang mengekor di belakang. Mata Alex melihat sebuah tas cantik berukuran sedang berwarna pink muda dengan gantungan bulu-bulu sebagai pemanis. Simple namun berkelas. "Cocok, buat lo yang polos,"

"Buat aku? Nggak ah, aku masih punya tas,"

"Ransel bukan tas,"

"Sama aja intinya."

"Beda menurut gue."

Angel mendengus saat Alex sungguh membeli tas itu. "Aku ngggak mau pake, ya."

"Ya udah gue buang aja," Kebetulan saat berjalan ada kotak sampah di sebelah, Alex langsung membuangnya. Angel melotot.

"Alex, kamu, ih!" Angel memungut tas itu dengan malu karena orang-orang menatapnya. Ia berlari menyusul Alex.

Angel memukul pundak Alex kesal. "Kenapa dibeli kalau mau di buang,"

"Siapa tau ada yang mungut, eh iya, kan?"

"Rese, ih." Angel menghentakkan kakinya kesal. Mengembalikan tas tersebut pada Alex. Alex tertawa pelan dan menjinjing kantung plastik tersebut.

"Angel hati-hati kalau jalan,"

"Aku punya mata, nggak per- Alex!" Angel terpeleset dan hampir jatuh jika tangan Alex tidak cepat menahan lengannya. Ada pemberitahuan jika lantai licin. Angel tidak melihatnya.

"Gue bilang apa, Angel," Geram Alex. Angel mengerucutkan bibirnya dan berdiri tegak. "Jalan yang benar,"

"Iya maaf."

Karena Alex tidak mungkin membawa motor ke stasiun. la menelpon taxi untuk mengantarnya. Keberangkatan lima belas menit lagi. Keduanya sudah duduk di kursi. Ini untuk pertama kalinya Angel naik kereta bisnis, biasanya ia selalu menggunakan kelas ekonomi. Tempat duduk sekaligus merangkap sebagai tempat tidur, ada televisi dihadapannya dan pelayanan first class. Angel tidak berhenti terkagum.

"Ke tempat lo berapa jam?"

"Dua belas jam di kereta, satu jam dari stasiun ke rumah. Nanti, adek aku jemput di stasiun," Alex mengangguk. Memposisikan dirinya menghadap Angel yang duduk di jendela. "Jangan lihatin aku, ih,"

"Gue lihat jendela,"

"Bohong, pasti kamu mikir macem-macem," Tuduhnya. Alex tersenyum miring. "Bisa masuk flasdisk nggak?"

"Bisa, kenapa? Ada film di flasdisk lo?" Alex menurunkan sandaran kakinya hingga berbentuk kursi biasa. Angel mengeluarkan dompetnya dan memberikan benda kecil itu pada Alex.

"Film apa?"

"Nggak ada desahannya, ya," Alex tertawa kecil. Mencolokkan flashdisk di samping televisi. Seketika
layar tersebut menampilkan banyak folder. "Yang mana?"

"Itu, folder yang namanya Train To Busan," Tunjuk Angel. Alex menggeser layar sentuh tersebut dan menekan folder dengan nama yang Angel sebutkan.

"Permisi, Makan malamnya," Angel menoleh cepat, entah apa yang Alex tekan, kini ada meja di hadapan Angel. Prami tersebut meletakkan dua nampan besar dihadapannya dan Alex. "Silahkan, selamat menikmati,"

Angel mengerjap. Matanya berbinar melihat makanan di hadapannya. Alex tertawa kecil. Duduk bersandar dengan kaki di luruskan.

"Makan pake mulut, bukan mata,"

Angel mendengus. Menyicipi sup hangat. "Enak," Menikmati makan malam dengan sebuah film yang berputar di hadapannya.

"Ini film hantu?"

"Bukan, zombi," Alex manggut-manggut.

"Udah pernah nonton?"

"Gue nggak ter-"

"Jangan diperjelas lagi." Angel memotong. "Punya kamu ayam bakar atau ayam panggang,"

Alex menoleh. "Bakar, kenapa?"

"Kayaknya punya aku panggang, aku gak-"

Alex menukar makanannya. "Bilang aja. Alex tukeran." Angel tersenyum polos.

"Ada film lain nggak? Situasinya nggak pas banget, kita lagi di kereta."

"Kamu takut ya.." Goda Angel, Alex mendengus. "Ih, cowok kekar masa takut."

"Siapa yang takut, gue ngantuk nontonnya."

Angel menggeleng pelan. Fokus pada daging ayam di tangannya. "Kak Leon sama Kak Luna lagi ke luar negri."

"Siapa?"

"Kak Romeo,"

"Yang tanya?" Angel melirik sinis, sedangkan Alex sama sekali tidak menatapnya.

Keduanya tidak membuka suara. Menikmati makan malam di atas kereta. Sebagai penutup, ada sebuah puding dan coklat panas. Angel terlelap dengan
posisi menghadap Alex. Dengkuran halus dan nafas teratur menandakan Angel sudah tertidur pulas. Alex
meregangkan otot tangan dan pinggangnya. Film yang awalnya terlihat tidak menarik berhasil membuat Alex penasaran. Ia mencabut flasdisk Angel. Mencari folder music. Alex menggunakan earphone, sebagai penghantar tidurnya. la melipat tangannya di dada. Tersenyum tipis. Mengelus pipi Angel sejenak sebelum menutup matanya.

Sinar matahari masuk melalui jendela kecil, membuat Alex silau menghadap jendela. Ia memutar kepalanya menghadap sisi lain, mengeratkan selimutnya, cuaca sangat dingin. Angel terkikik geli. la bertopang dagu melihat Alex sebentar dan membuang wajahnya ke jendela. Senyum Angel merekah. Pegunungan yang sejuk terlihat disekitarnya. Setengah jam lagi ia akan sampai. Angel sudah tidak sabar.

"Angel tutup jendelanya," Angel menoleh. "Silau, tutup." Ujar Alex sama sekali tidak bergeming di posisinya. Angel mengalah. Ia menutup jendelanya dan menyisahkan sedikit untuk mengintip. Alex kembali memutar kepala menghadap jendela. "Berapa lama lagi?"

"Dua puluh menit." Alex membuka selimutnya. Menurunkan sandaran kursi dikakinya. Ia berdiri. "Mau kemana?"

"Tidur,"

"Mau tidur dimana?"

"Tidurin dedek,"

"Ha?"

"Dedek gue bangun denger suara lo."

"Kamu ngomong apaan sih? Ngigo ya?"

"Nih, ini dedeknya." Alex menunjuk sesuatu yang menonjol di celananya. Angel melotot. "Ngerti?"

"Nggak!" Jawab Angel cepat. Alex tertawa pelan dan berjalan menuju kamar mandi.

Kereta sudah berhenti lima menit yang lalu. Alex duduk dikopernya dengan tangan terlipat di depan dada. Memperhatikan Angel yang sedang mencari seseorang. Alex menghembuskan nafasnya. Meneliti sekitar. Sungguh tidak ada sinyal sama sekali diponselnya. Stasiun ini adalah rute terakhir. Alex melihat Angel berpelukan dengan dua orang perempuan. Mereka menangis dan saling berpelukan lagi. Alex terkekeh geli. Ketiga perempuan itu berjalan ke arahnya. Alex berdiri.

"Siapa Kak?" Alex yakin perempuan yang bertanya itu adalah adik Angel yang pertama karena yang satunya jauh lebih muda.

"Temen Kakak," Alex mengulurkan tangannya yang disambut baik.

"Migel,"

"Kana," Alex memberikan seulas senyuman. "Kakak bawa preman dari sana?" Bisik Kana. Alex bisa mendengar itu.

"Hush, kamu tuh. Nggak boleh,"

"Premannya ganteng," Lanjut Kana mencubit pinggang Angel. "Ganteng ih, kak,"

Angel tertawa pelan. Menarik adiknya yang terakhir, dari tadi bersembunyi dibelakang kakinya. "Lani kenapa? Ih, malu-malu," Goda Angel. Lani semakin menekan wajahnya ke kaki Angel. Alex berjongkok, menyetarakan tingginya dengan Lani. Angel mengangkat satu kakinya, membuat kepala Leona menyembul diantara kedua kakinya. Manda tertawa dan detik berikutnya Lani menangis.

"Bukan gue," Alex berdiri.

Alex menarik kopernya keluar dari stasiun. Mengiringi tiga perempuan didepannya. Kana terus menempel pada Angel dan Lani yang di gendong oleh Angel. Alex tersenyum kecil. Udaranya sungguh berbeda dengan di kota. Jika biasanya keluar stasiun sudah banyak taxi ataupun mobil pribadi yang menunggu. Disini berbeda, hanya ada becak dan gerobak.

"Angel!" Panggilan itu membuat Alex mengerutkan keningnya. Alex salah, ada sebuah mobil di stasiun itu, dan sepertinya satu-satunya mobil di sana. Lelaki yang berdiri di samping mobil tersebut berlari ke arahnya lebih tepatnya ke arah Angel karena Alex berdiri dibelakang perempuan itu.

Angel memejamkan kedua matanya, memeluk erat Lani, kakinya mundur dan tubuhnya bersandar di dada Alex yang berada di belakang tubuhnya. Setengah detik, merasa ada yang aneh, Angel membuka matanya perlahan dan membuang nafasnya lega. Lelaki yang tadinya berdiri jauh sudah berada dihadapannya. Kedua tangannya terbuka lebar hendak memeluk Angel, tidak berhasil karena tangan Alex menahan kepalanya. Alex mendorong kepalanya hingga lelaki itu mundur beberapa langkah.

"Nggak pake peluk," Ujar Alex , ia berdiri dihadapan Angel. Membuat Kana terpesona, padahal Alex bukan melakukan hal itu untuknya tapi untuk kakaknya. Kana memukul kecil Angel gemas.

Lelaki itu merapikan penampilannya. Kemeja panjang yang dimasukkan dalam celana bahan. Membenarkan dasi kupu-kupu dan rambutnya yang disisir rapi. "Kamu siapa?" Tanya lelaki itu tidak suka melihat Alex.

"Apa hak lo suruh gue jawab?"

"Pake gu-eh, e-loh, nih? Oke!" Ujarnya mendongakkan kepala, perbedaan tinggi yang cukup jauh. Mungkin berbeda lima cm dengan Angel. "E-loh siapa?! Angel calon istri gu-eh!"

Alex mengerutkan keningnya. Jangan berfikir Alex cemburu. Ia terlalu malas melayani orang seperti itu. Lagi pula, dari segi apapun Alex lebih unggul.
"Kenalin. Gu-eh Edo. Anak orang kaya di kampung ini. Gue anak juragan bebek! dan satu-satunya orang yang punya mobil!" Angel mengulum senyumnya. Ia menarik kaos Alex, menggelengkan kepala pada Alex untuk tidak melayani ucapan Edo.

Alex menepis tangan Edo. "Yah, terserah lo bebek." Kana terbahak. Alex menarik tali tas Angel dan pergi dari sana.

"Heh apa-apan?! Main tarik-tarik calon istri gu-eh!" Edo menepis tangan Alex. Karena logat Edo Jawa mateng, rada terdengar aneh waktu menggunakan bahasa Indonesia, terlebih pakai gue, elo.

"Ayo cah ayu, naik ke mobil saya," Edo merentangkan tangannya, mengiringi Angel menuju mobil. Alex duduk disamping kemudi. Sedangkan Angel dan adiknya di kursi tengah.

"Tolong tutup kacanya, mobil gu-eh ada AC. Jangan kampungan." Alex menoleh. "Apa lihat-lihat," Edo mengerjapkan matanya takut.

"Lo yang kampungan. Cuaca udah dingin dan nggak ada polusi disini."

"E-loh yang kampungan. Baru lihat kampung kan?" Angel cekikikan. "Pake acara ngatain, jangan sentuh apa-apa. Nanti mobil mahal gu-eh lecet." Alex menendang daskbor mobil membuat Edo memekik, menghentikan mobil dan mengelusnya. Selanjutnya Alex lebih banyak diam. Ia menikmati pegunungan. Membiarkan Angel bercerita bersama Edo. Malas untuk bergabung.

"Lo bisa bawa mobil nggak?" Alex sedikit kesal, kecepatan yang Edo gunakan dibawah dua puluh kilometer. Padahal jalan mulus dan tidak ada lawan seperti di kota.

Alex menoleh ke belakang. "Lo bilang satu jam dari stasiun, kenapa dua jam lebih belum sampai?"

"Kita berangkat jam empat Kak, sampai stasiun jam tujuh. Empat jam." Kana menjawab.

"Turun, gue aja bawa mobil." Edo mendecih pelan.

"Emang E-loh bisa?" Ejeknya.

Alex membuka pintu mobil dan keluar begitu saja karena kecepatan mobil yang sangat pelan. Edo berteriak panik. Bahkan saat Alex berjalan, masih cepat dirinya. Edo menghentikan mobilnya saat Alex membuka pintu kemudi.

"Turun,"

"Ini mobil gu-eh!" Alex mendorong tubuh cungkirng Edo ke sebelah dengan mudah dan ia mengambil alih kemudi.

Melesat jauh.

Tidak butuh waktu lama, lima belas menit mereka tiba. Alex turun paling terakhir. Ia menutup pintu mobil kasar. "Mobil paling jelek yang pernah gue bawa," Gumamnya menatap mobil yang pernah di
berikan Danang untuk pembantunya. Bahkan lebih bagus mobil pembantunya.

Angel menangis memeluk ibunya. Terlihat keluarga yang sangat harmonis. Alex menghembuskan nafasnya pelan dan memberikan waktu sejenak pada Angel dan keluarganya. Ia berjalan disekitar sana.

"Apa kabar kamu, Nak?" Ibu mengelus wajah Angel. Menciumnya tanpa henti. "Ibu kangen,"

"Angel juga kangen,"

"Kurusan kamu, nggak makan, ya?"

"Makan, kok. Ibu yang kurusan. Ayah masih di sawah?"

"Ibu segini aja dari dulu. Iya, Ayahmu masih di sawah, bentar lagi pulang. Ayo masuk, makan dulu. Ibu udah siapin makan siang. Edo, kamu juga,"

Angel mengangguk. Menoleh ke belakang ingin mengajak Alex. "Cari siapa, Nak?"

"Angel pulang bawa teman, Bu. Tapi kok dia nggak ada, ya."

"Temen siapa? Cewek apa cowok?"

"Cowok Bu, Ganteng banget," Kana menjawab dengan mata berbinar.

"Oalah, iya udah. Cari dulu, ajak makan."

"Nggak usah dicari, Bu. Paling juga disekitar sini," Ibu menepuk pundak Edo pelan.

"Angel cari dulu yah, Bu. Nanti dia kesasar"

"Eh, Saya temenin, Ngel,"

Kana menahannya. "Udah, Mas Edo sini aja." Edo menatap kepergian Angel dengan wajah melas.

Setelah mendapatkan izin, Angel langsung mencari keberadaan Alex disekitar rumahnya. Memikirkan
kemungkinan kemana Alex pergi. Dugaannya benar. Lelaki itu duduk disebuah batu besar, yang jika duduk disana semua sawah di kaki gunung akan terlihat.

"Alex?!" Alex menoleh. "Turun dulu, makan. Udah jam makan siang." Alex mengangguk. Menekan ujung rokoknya ke batu. Meneguk air mineral sebelum menghampiri Angel.

Ibu menyambut Alex dengan sambutan baik. Meski awalnya kaget, itu hanya sementara. Ibu sangat bersahabat. Keakraban semakin terasa di sela-sela makan, dimana Edo selalu berusaha mencari perhatian pada Angel. Semuanya mendadak hening saat Ayah muncul.

"Ayah!" Angel memeluk ayahnya yang dibalas ayahnya dengan pelukan hangat, mata ayahnya tidak lepas menatap sosok asing di rumah. Jika berharap Alex merasa terhakimi atau disudutkan, itu semua tidak terjadi. Ia tidak takut untuk membalas tatapan Ayah sampai akhirnya Ayah yang mematahkan tatapan itu.

"Pulang kamu, sayang," Angel mengangguk. Memeluk ayah sekali lagi dengan mata berkaca-kaca. Alex memilih keluar. Sekali lagi tidak ingin mengganggu kebersamaan Ayah dan Anak. Sungguh belum tersentuh. Rumah sederhana yang terbuat dari papan beratapkan seng. Lantai yang masih tanah dan sama sekali tidak ada benda elektronik. Masak saja menggunakan kayu bakar. Jika selama ini Alex hanya melihat itu melalui tayangan televisi, maka sekarang ia percaya ada kampung yang seperti itu.

Jalanan memang mulus, saat memasuki desa, jalanan masih bebatuan. Entahlah kenapa Alex memutuskan untuk mengikuti perempuan itu. Kalimatnya keluar begitu saja, biarkan ia rehat dari semua masalah terutama Ferdy. Alex butuh ketenangan dan sepertinya kampung Angel adalah tempatnya.

Hembusan angin menerpa wajahnya. Sangat sejuk dan segar. Ibu Angel sangat welcome padanya. Alex melihat tatapan tidak suka dari sorot mata ayahnya. Mungkin jika semua orang berperilaku baik ketika berkunjung ke rumah perempuan agar di cap baik oleh kedua orang tuanya. Alex tidak. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Angel sudah memberi saran agar Alex menggunakan baju panjang agar lengannya tertutup. Alex memang menggunakannya, ia tarik hingga ke atas siku, sama saja bohong, namun terlihat lebih laki.

"Kamu kesini lagi?!" Alex menoleh cepat. la melihat Angel mengganti bajunya. Dengan kaos putih dan celana di bawah lutut. Tangannya membawa sebuah ember hitam.

"Mau ke mana?" Migel turun.

"Ke sawah, cari belut buat nanti malam, Mau ikut?" Alex mengangguk. Berjalan bersisihan dengan Angel. Melewati beberapa kebun milik orang. "Kalau disini mau makan nggak beli, semua orang punya ternak dan kebun sayur pribadi. Mau bayam ada dibelakang rumah, kubis ada, pokoknya banyak. Nanti aku kasih tau." Angel menoleh ke belakang sesekali, jalan hanya bisa di lalui satu orang. Alex dibelakangnya. "Mau ikan disawah banyak, mau ayam? Edo seringbkasih,"

"Jalan yang bener, jangan ngomong terus," Angel mendengus, Cara penyampaian Alex memang terdengar tidak bersahabat, Angel tidak melihat dari penyampaiannya, tapi dibalik dari kalimat itu terselip sesuatu yang sangat perhatian.

Keduanya sudah tiba dibentangan sawah yang luas. Ini yang Alex lihat dari atas batu tempatnya duduk tadi. "Kita duduk di saung itu." Dengan sangat ramah Angel menyapa ibu-ibu yang sedang menggemburkan tanah, petani baru saja panen. Mereka semua sangat bersahabat sebelum melihat Alex. Ibu-ibu memilih
diam. Alex mendengus.

"Kamu suka apa? Ikan apa belut?" Tanya Angel melepaskan sandal. Bersiap turun, bergabung di tanah becek. Alex hanya duduk di saung menikmati pemandangan dengan kedua tangan ke belakang menahan tubuhnya.

"Gue suka lo,"

Angel mendengus, "Aku bukan makanan." Angel tidak menghiraukan Alex. Ia langsung turun ke sawah dengan ember diletakkan di perbatasan. Alex melihat Angel yang cukup telaten, terganggu dengan rambutnya yang tergerai.

"Ngel?! Sini dulu," Angel menegapkan punggungnya, ia menoleh dan berjalan menghampiri Alex.

"Kenapa?" Alex melepaskan salah satu gelang di tangannya, tidak banyak hanya ada dua yang melingkar bersama jam miliknya. Angel terdiam saat Alex mengumpulkan semua rambutnya menjadi satu, menguncirnya dengan tangan kekar itu di sisi wajahnya. Jantung Angel berdetak tidak karuan lagi.

"Udah," Angel masih tidak bergeming. Menatap Alex lama membuat Alex mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

Angel menggeleng. Kedua telapak tangannya sudah dipenuhi lumpur. "Bisa nggak tingginya sepantarin sama aku?"

"Kenapa?"

"Aku susah lihatnya, leher aku sakit lihat ke atas terus," Ujarnya polos. Alex terkekeh pelan. Ia berjongkok, sekarang tingginya sama rata, meski tinggian Angel sedikit. Angel tidak sulit melihat lelaki itu.

"Kenapa?" Tanya Alex dengan kaki berjinjit. Kedua tangannya di atas paha, seakan bertanya pada anak kecil mau dibelikan mainan apa. Angel menelan ludahnya. Kedua tangannya mengepal dengan debaran jantung yang terus menjadi-jadi. Tiba-tiba sedikit sesak. Ia menatap Migel lama.

"Kenapa?" Tanya Alex lagi. "Kaki gue ca-"

Kalimat Migel terpotong dengan sesuatu yang mendarat di pipinya. Bibirnya yang terbuka sedikit, tertutup penuh saat merasakan sebuah sentuhan lembut di pipi kirinya. Jantungnya mendadak berdetak tidak karuan. Meninggalkan bekas yang luar biasa di seluruh sarafnya. Alex menggerakkan matanya menatap Angel yang terlihat gugup. Sudut bibirnya terangkat ke atas, Angel semakin gugup.

"Janji yang pernah aku bilang sama kamu," Ujarnya pelan, Angel nmengalihkan pandangannya, semakin tidak karuan saat matanya bertemu dengan Alex.

"Gue nggak minta di pipi,"

Angel memberanikan diri menatap Alex . "Kita nggak pernah bahas ciumannya dimana. Hutang aku lunas,"
Angel menjulurkan lidahnya, berlari menjauh dari Alex . "Happy Graduation, Alex!" Teriak Angel, "Aku bangga sama kamu!" Angel tersenyum sambil melambaikan tangannya. Alex terkekeh pelan. Matanya tidak lepas menatap sosok tubuh kecil itu di tengah sawah. Alex menyentuh pipinya, tertawa pelan. Membuang nafasnya, seakan terbebas dari sebuah beban yang ada di pundaknya.

Cahaya berubah menjadi kuning. Matahari sudah ingin bersembunyi, ibu-ibu yang berada di sawah sudah beranjak pulang. Alex melepaskan sepatunya. Menjejakkan kakinya di lumpur. Beruntung Alex selalu menggunakan celana pendek. Ia tidak terlalu suka menggunakan jins, sama seperti Bimo. Menurutnya celana pendek lebih membuatnya nyaman dalam melakukan segala macam aktivitas. Ia berjalan ke tengah sawah menghampiri Angel yang berusaha mengumpulkan belut.

"Ngel?" Angel tersentak. Punggungnya yang menunduk mendadak berdiri tegap dan kaget saat Migel sudah berada dibelakangnya.

"Kamu?" Angel melihat ke arah saung, memastikan dihadapannya saat ini sungguh Alex. Hanya ada sepasang sepatu dan sandal di saung tersebut. "Kamu nggak takut kotor?"

"Berani kotor itu baik," Angel tertawa pelan. Benar atau tidak Angel tidak tahu, semua teman sekelasnya yang dipenuhi anak kota sangat membenci hujan dan
kotor. Mereka tidak suka sesuatu yang lembek dan menjijikan seperti lumpur. Mereka anak-anak orang kaya, tapi sepertinya tidak berlaku pada Alex. "Gue mau bilang sesuatu sama lo,"

"Apa?" Angel menyingkirkan anak rambut di wajahnya dengan bahu.

Alex tidak bergeming. Menatap Angel lama, membuat matahari semakin meredup. "Kalaupun sesuatu yang besar lo ketahui dari gue. Apapun itu karena gue udah bohong sama lo. Nggak masalah lo marah-marah, mukul gue, patahin tangan atau kaki gue, lo boleh lakuin apa aja asalkan satu hal. Jangan lari dalam diam." Angel mendengarkan. "Lo harus tau, Ngel. Kalau sampai detik ini gue udah berusaha jujur sama lo. Gue pasti bilang semuanya, gue tau lo nunggu tanpa gue minta. Dan gue mau lo nunggu lagi. Gue nggak bisa nentuin waktunya kapan, jangan dengerin apa kata orang tentang gue. Gue sendiri akan kasih tau siapa gue sebenernya. Termasuk bokap gue yang nemuin lo." Alex mengelus pipi Angel. "Gue tau dia ngancem lo, gue tau dia mau buat lo menjauh dari gue. Thanks, Ngel. Karena lo udah berani melawan untuk bertahan meski mereka sakitin lo."

Bola mata Angel berbinar. Entah karena pantulan sinar matahari atau memang bercahaya dari sananya. Bergerak dengan kedua tangan kekar mengelus sebelah pipinya. Angel tidak tahu kapan ia menjadi kecanduan saat Alex melakukannya. Yang pasti Angel sangat nyaman. Sangat hangat dan seakan memberitahu jika Alex adalah pagar rumahnya. "Apa cap stempel itu sangat berharga?"

"Em, itu sesuatu yang penting buat gue. Dan lo termasuk dalam hal penting dihidup gue."

"Kalaupun aku pergi dalam diam. Kamu akan menemukan dimana aku pergi. Aku bukan orang yang bisa mengapresiasikan kekesalan ataupun kemarahan dengan menyakiti orang." Angel memberi jeda. "Termasuk yang terjadi sama kamu dan Lily,?" Alex menunduk, ia mengangguk pelan. Dari awal Alex sudah yakin jika Angel curiga, dan sekarang terbukti. "Aku tunggu kamu," Ujar Angel sangat pelan.

Alex tersenyum. Angel suka cara Alex tersenyum, meski bibir itu selalubmembentuk garis lurus. Ketika tersenyum ataupun tertawa akan membuat duniamu runtuh seketika. Dihipnotis secara tidak sadar. Awalnya Angel risih dengan sesuatu yang menempel di hidung Alex. Sekarang Angel menyukainya. Tindik dihidungnya menambah nilai tambah. Mungkin bagi orang lain yang menggunakan itu kurang cocok, tapi saat benda putih kecil itu berada di hidung mancung Alex, terlihat sangat pas.

"Kayaknya aku suka sama kamu,"

"Em?"

"Aku suka. Aku nggak tau apa yang aku suka, aku nggak tau apa definisi suka waktu lihat kamu." Angel mengulum bibirnya, mengepalkan tangannya. Ia menatap lurus dada Alex. "Aku nggak pernah rasain perasaan kayak gini sebelumnya. Waktu kamu pergi, aku suka nangis nggak jelas, suka ngintip lewat jendela berharap kamu merhatiin aku. Aku bingung sama diri aku sendiri, semuanya berubah terlalu cepat." Angel kembali mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bibirnya bergetar.

"Aku bohong waktu kamu tanya nggak kangen sama kamu. Aku kangen," Angel terisak, "Aku kangen sampai aku sesak sendiri, aku nggak tau kenapa aku secengeng itu." Alex menyentuh pipi Angel dengan kedua tangannya. Menghapus air mata perempuan itu. "Jangan pergi, jangan pergi lagi tanpa seizin aku," Angel menggeleng. "Aku bisa mengimbangi dunia kamu. Aku bisa menghadapi Papa kamu. Aku bisa me-"

Tubuh Manda mendadak kehilangan keseimbangan, ia hampir saja oleng kebelakang jika tidak ada sebuah tangan melingkar dipinggangnya. Kedua matanya terbuka kaget, jantungnya berdetak secara brutal. Tangannya mengepal sempurna saat sesuatu yang lembut mendarat tepat di bibirnya. Dingin dan terasa aneh. Hembusan nafas yang begitu dekat diwajah. Hidung mancung yang menekan wajahnya. Angel menggerakkan matanya, ia melihat kedua mata Alex terpejam sempurna, bulu matanya menyatu dan terlihat sangat panjang dan cantik. Tanpa Angel sadari, kedua matanya menutup perlahan bersama dengan matahari yang menghilang sepenuhnya. Tangan yang tadinya melingkar di pingganya terlepas dan menahan tengkuk lehernya.

Selembut salju. Begitulah saat Alex menyentuhnya. Dingin dan menghangatkan secara bersamaan. Oke, ini diluar pikirannya. Tidak ada rencana sama sekali untuk mencium perempuan itu. Semua diluar kendali. Bagaimana pengakuan Angel yang begitu polos dan mendebarkan. Memperhatikan bibir itu berbicara tanpa henti. Alex sudah menahannya, ia sudah memberi alarm untuk tidak terbawa suasana. Alex melakukannya, mencicipi bibir yang sudah membuatnya penasaran saat pertama bertemu Angel. Sensasi yang begitu menakjubkan. Ciuman paling biasa yang pernah Alex lakukan. Menyapu bibir atas dan bawah secara bergantian. Meski tidak ada balasan sama sekali, Alex terbuai.

Tadinya ia berharap Angel akan mendorongnya menjauh. Angel akan marah karena Alex menciumnya. Semua praduga itu salah besar. Saat Alex membuka matanya sedikit, kedua mata Angel terpejam, Alex tersenyum dalam ciumannya. Melepaskan tangannya di pinggang Angel dan menahan tengkuk leher perempuan itu untuk memperdalam ciumannya. Kepalanya bergantian ke kiri dan kanan sementara Angel tetap di tempat, memberikan Angel ruang untuk mengambil oksigen disela ciuman. Jika tidak dihentikan sekarang, Angel akan berada di dalam situasi sangat berbahaya. Alex tidak akan menjadikan saung sebagai tempatnya. Ia menghentikan ciumannya dengan memberi jarak beberapa cm. Melihat mata itu terbuka seperti matahari yang perlahan naik ke permukaan, bersinar terang dan sangat cerah.

Alex membiangkai wajah Angel. Pipinya merona. Angel mengulum bibirnya, Alex yakin Angel malu. Ah, lucunya. Tidak ada perempuan yang Alex cium wajahnya langsung merona, wajah mereka memang merah, bukan karna malu tapi terangsang. Berbeda dengan Angel. Alex menarik wajah Angel mendekat. Mendaratkan sebuah kecupan di dahi Angel, turun ke pipinya. Alex menggigitnya gemas.

"Im first right?" Alex mengulum senyuman saat Angel menutup matanya dengan lengan yang terbebas dari lumpur. "So cute, Angel," Alex membawa Angel dalam pelukan.

"Aku malu," Ringis Angel semakin menekan wajahnya di dada Alex. Lelaki itu tertawa kecil. "Kamu, ih,"

"Ahh.. Nyamannya," Alex menghembuskan nafasnya pelan. Meletakkan dagunya di atas kepala Angel. Tangan kanannya mengelus rambut perempuan itu.

Setelah adegan yang bisa di bilang sukses romantis di bawah sunset. Hari semakin gelap. Angel mencuci kakinya digenangan air yang mengalir. Sementara Alex sudah duduk disaung, mengambil beberapa gambar melalui ponsel. Belut yang Angel dapatkan lumayan, Ia menghampiri Alex, sifat ceroboh membuat kakinya terpeleset di batu saat ia melangkah, Angel mencoba mempertahankan keseimbangan, gagal. Pantatnya mendarat di tanah.

"Gue bilang jalan yang bener, udah tau batunya lumutan. Pasti licin, Angel. Jatuh, kan?" Alex memasukkan ponsel ke saku celana, ia menyentuh lengan Angel untuk membantunya berdiri. Angel cemberut.

"Batunya nggak bilang kalau lumutan, mana aku tau," Alex mengerutkan keningnya. "Iya aku salah," Lanjutnya.

"Mana yang sakit?"

"Nggak sakit," Angel menggeleng.

"Yakin?" Angel mengangguk percaya diri.

"Coba jalan," Alex melepaskan tangannya, menantang Angel.

Perempuan itu dengan percaya diri mengangkat kaki kirinya, berakhir dengan ringisan yang membuat wajahnya menjadi masam seketika. Alex menghembuskan nafasnya pelan. "Gue bilang apa," Alex membantu Angel untuk duduk disaung. Ia berjongkok sementara Angel duduk disana. Memijat dan memutar pergelangan kaki Angel.

"Keseleo biasa," Gumamnya pelan.

"Kalau batu itu manusia, udah gue patahin kakinya," Angel kembali merona, kalimat receh selalu berhasil membuat perempuan itu bersemu. Alex tertawa pelan.

"Kamu, ih. Udah jangan diledekin aku terus"

Alex menggeleng geli. Ia memutar tubuhnya. "Naik," Angel mengerutkan keningnya, Alex memutar kepalanya kebelakang. "Naik, gue gendong,"

"Ih, nggak mau! Aku berat,"

"Cepetan naik, nanti kemaleman," Angel mendengus.

"Nggak, aku bisa jalan," Angel menampakkan kakinya di tanah. "Aku bisa jalan sendiri."

"Lama, keburu malem." Tanpa aba-aba, Alex langsung melingkarkan tangannya dilutut Angel, Ia berdiri tegap membuat Angel langsung melingkarkan tangannya dileher Alex karena takut jatuh terjerembab kebelakang. Angel membuka mulutnya kaget. "Rata juga," Ujarnya geli. Angel mengendurkan tangannya. Ia mendengus pelan. Alex mengambil ember yang berisikan belut kecil, menentengnya dibelakang tangannya yang menahan bobot tubuh Angel.

"Berat lo berapa?"

"Kenapa?"

"Gue kayak gendong kapas," Spontan, Angel menjitak kepala Alex. Alex hanya terkekeh pelan.

"Maaf, nggak sengaja."

Alex melepaskan satu tangannya, memberikan tumpuan tubuh Angel dan ember pada tangan kirinya, mengambilbponsel lalu menyerahkan pada Angel.b"Senterin jalan," Angel mengangguk,tangan kirinya melingkar di leher Alex,tangan kanannya menggenggam ponsel sebagai penerang, hari semakin gelap. Angel memilih diam. Menempelkan pipinya dibelakang pundak Alex. Menatap anting putih yang menempel di telinga Alex.

"Alex?" Panggilnya pelan.

"Em?"

"Kamu suka sama aku?" Alex mengangguk. "Suka sama cinta sama nggak?"

"Beda,"

"Apa bedanya?"

"Suka itu bisa timbul dimanapun. Contohnya lo lihat Bimo, lo pasti suka kan? Tapi bukan sebuah rasa ingin memiliki. Rasa itu bisa berubah, cinta berawal dari suka. Mereka cepat datang dan cepat pergi. Suka belum tentu cinta. Tapi kalau cinta udah pasti suka. Karena cinta merangkup semuanya."

"Apa cinta juga datang dan cepat pergi?"

"Emmm," Alex berfikir sejenak. "Semua tergantung sama orangnya masing-masing."

"Kamu termasuk yang mana? Cepat datang dan cepat pergi atau lambat datang dan lambat pergi?"

"Nggak keduanya."

Angel menegapkan kepalanya. "Kenapa?"

"Kenapa harus ada pergi?" Angel terdiam. "Lebih baik jangan datang kalau harus pergi akhirnya. Kalaupun gue harus pergi, itu adalah kepergian untuk selamanya."

Alex selalu punya kalimat yang membuat Angel terdiam. "Kamu bilang tadi suka sama aku, apa itu termasuk dalam rangkuman kalimat cinta?" Alex bungkam. Ia tidak menjawab dan terus melangkah. "Tandanya kamu cuma suka. Kak Luna sering bilang kalau kamu nggak bisa menjalin hubungan hanya dengan satu wanita."

"Udah gue bilang jangan dengerin apa kata orang,"

"Karena kamu nggak pernah kasih tau aku kebenaran ataupun kesalahan dari ucapan mereka," Alex menghembuskan nafasnya. "Apa hubungan yang kamu jalani dengan semua wanita sama seperti aku sama kamu?"

"Nggak Ngel, lo nggak sama kayak mereka." Angel mengeratkan tangannya, menyembunyikan wajahnya di pundak Alex. "Waktu SMP, Gue pernah pacaran. Pertama kalinya," Angel mengangkat wajahnya. "Setelah itu, gue nggak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Dia mengalami sebuah kecelakaan dan meninggal. Bisa dibilang, gue trauma dalam menjalin sebuah hubungan, gue takut orang itu pergi jauh dari gue," Angel tertegun. "Gue tau itu hanya sekedar cinta monyet. Seperti yang gue bilang, kalau gue datang. Gue nggak akan pergi tanpa panggilan Tuhan. Sekarang gue datang ke tempat lo," Alex tersenyum. "Apa status itu penting? Lo milik gue, Lo sendiri yang bilang kalau milik adalah kepunyaan pribadi. Apa kurang jelas?" Angel menggeleng. "Gue bukan orang yang suka bilang gue cinta sama lo, gue sayang sama lo. Tapi tindakan gue udah menggambarkan semua itu."

"Aku cerewet, ya?" Alex terkekeh pelan. "Banyak tanya sama kamu,"

"Its oke, Gue suka."

Angel mendengus. Menghembuskan nafasnya dan mendongakkan kepalanya. "Kamu pernah lihat kunang-kunang?"

"Pernah,"

"Dimana?"

"Buku gambar." Angel mengetuk kepala Alex dengan ujung ponsel yang dipegangnya. Alex tertawa pelan. "Di kota nggak ada kunang-kunang."

"Mau lihat nggak. Biasanya mereka sembunyi,"

Angel mematikan senter di ponsel Alex. Meminta Alex untuk diam sebentar. Gelap gulita, hanya pantulan rembulan yang menerangi malam. Keduanya menunggu, tidak kurang dari dua menit, makhluk kecil bercahanya itu muncul. Kedua sudut bibir Angel terangkat ke atas. "Cantik kan?" Bisiknya.

Alex mengangguk. "Iya, lo cantik,"

"Bukan Aku, Alex. Kunang-kunangnya," Geramnya Angel.

Alex tertawa pelan. "Lo tau kesamaan lo sama kunang-kunang?"

"Apa?"

"Sama-sama bercahaya di tempat gelap. Lo membawa cahaya dikehidupan gue, lo penerang jalan gue, Angelista," Dalam kegelapan, Alex yakin pipi Angel merona.

"Aku nggak mau jadi lampu, aku mau jadi tiangnya. Karena kalau tidak ada tiang, lampu tidak akan bisa menerangi,"

"Lo gak boleh jadi tiangnya," Angel mengerutkan keningnya.

"Kenapa?"

"Lo cukup jadi tongkat gue. Orang buta tidak butuh lampu untuk petunjuk jalan. Ia hanya butuh tongkat. Dan gue orang buta itu sekarang. Gue butuh lo buat bantu gue jalan."

Jantung Angel kembali berdetak tidak karuan. Ia mengerucutkan bibirnya. "Udah, ah. Kamu mah, gombal terus,"

Angel menghidupkan senter ponsel. Membuat kunang-kunang pergi dan Alex melanjutkan perjalanan dengan tertawa geli. "Kamu yakin nggak capek? Aku bisa Jalan,"

"Nggak, nanti lo jatoh lagi," Angel mendengus. "Lo nggak dingin?"

"Dingin, tapi punggung kamu anget,"

"Apalagi dada gue, lebih anget. Kalau perlu bukti, sini gue peluk." Angel mengerucutkan bibirnya. "Seriusan, Ngel."

"Nggak, kamu mesum,"

"Laki nggak mesum malah aneh,"

"Tapi kamu terlalu frontal dan ucapannya terlalu vulgar." Angel kembali teringat pertemuan pertama kali bersama Alex.

"Nggak baik, Alex,"

"Gue frontal sama vulgar ke lo doang yang hanya sekedar ucapan,"

"Prakteknya sama orang lain,"

"Ya," Angel menjitak kepala Alex yang tertawa pelan. "Nggak, gue bercanda,"

Tiba di rumah. Belut hasil tangkapan Angel langsung digoreng untuk makan malam. Rumah tersebut hanya memiliki dua kamar tidur, saat Alex ingin mengganti baju, Kana mempersilahkan Alex menggunakan ruangan pribadi miliknya dan Angel. Ruangan berukuran dua kali tiga yang remang-remang. Ranjangnya terbuat dari bambu, Hanya ada satu lemari yang pintunya sudah lepas. Meski terlihat kecil dan sempit, kamar sangat rapi. Tidak ada baju bergantungan, ataupun debu meski lantai tanah. Kana mungkin membersihkannya setiap hari. Alex tersenyum kecil, mendekati sebuah meja satu-satunya di sebelah lemari. Ada puluhan buku di sana. la mengambil salah satunya. Buku tebal dengan sampul bertuliskan, basics of qualitative research and evaluation methods. Jika Angel lebih menjurus dalam bidang bisnis, Alex yakin Kana menjurus dalam bidang ilmuwan. Banyak buku dengan sampul penelitian. Semua metode. Kana pasti tidak kalah pintar dari Angel.

Semua buku tersebut adalah kiriman Angel, terlihat setiap buku selalu ada kalimat yang memberi semangat dilembar pertama. Alex meletakkan buku ke tempatnya, ia berdiri di tengah. Meneliti kamar pribadi Angel. Tidak ada yang menarik, kebanyakan semua barang milik Kana. Usai membasuh tubuhnya sehabis pulang dari sawah. la mengganti bajunya dengan kaos tangan panjang di lapisi jaket, cuaca sangat dingin.

"Kana?"

Yang dipanggil menoleh. "Iya Kak, kenapa? Ada yang bisa Kana bantu?"

Alex terkekeh pelan. Menghampiri Kana. "Kayak operator lo," Kana tertawa. Alex menyerahkan sebuah bingkisan. "Bagi dua sama Lani,"

"Ini apa, Kak?" Kana membukanya dengan penasaran. Alex tersenyum kecil. Usia Kana berbeda tiga tahun dari Angel, dan Kana masih duduk di bangku SMA. Wajahnya tidak jauh berbeda dari Angel, Kana memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi dari Angel, seperti Copy Paste Angel. Bedanya, pipi Kana tidak chubby. Kana lebih bisa mengurus tubuhnya, berbeda dengan Angel yang selalu tampil apa adanya.

"Wah coklat!" Seru Kana membuat Ibu yang baru saja masuk menyiapkan makan malam menoleh. "Ibu, Kak Alex beliin coklat,"

Ibu menggeleng pelan melihat Kana dan tersenyum hangat pada Alex. "Makasih, Nak,"

"Bukan apa-apa," Ujar Alex pelan. Ia hanya memberikan sebuah coklat bukan mobil. Alex rasa tidak perlu sampai berterima kasih.

Bola mata Alex bergerak. Menatap pintu yang tertutup gorden coklat sebagai pemisah dapur dan ruang tamu, dari sana muncul Angel membawa dua piring makanan. Ia menggunakan daster, tidak. Jangan samakan dengan daster yang sering dipakai ibu-ibu. Daster yang dipakai Angel bermotif shaun the sheep. Panjangnya di atas lutut, Angel tetap membuat dirinya nyaman dengan celana training. Lihatlah, seperti itu saja berhasil membuat Alex terpesona.

"Angel jaketnya dipake, nanti kamu sakit. Cuaca dingin," Ibu membuka suaranya, ternyata sejalan sama yang Alex pikirkan. Angel meletakkan piring ketangkringan yang terbuat dari bambu, bisa di duduki lima atau enam orang lebih, tidak ada meja dan kursi. Angel masuk ke kamarnya, mengambil jaketnya.

"Nak Alex, sini kita makan," Ajak Ibu menggendong Lani. Sekarang Alex tahu dari mana Angel dan Kana mendapatkan kecantikan itu, semuanya didapat dari Ibunya.

"Ayo Kak sini, nggak mewah sih, tapi masakkan ibu nggak kalah enak sama masakkan kota,"

Migel tersenyum. Menghampiri Ibu dan Anak tersebut, bersamaan dengan Angel yang baru saja keluar dari kamar.

"Ayah ke mana?"

"Ayahmu sudah makan tadi, ada perlu. Jadi nggak bisa makan sama-sama,"

"Perlu apa?" Angel duduk disebelah Alex. Ibu dan Kana saling melempar pandangan.

"Biasa, kumpulan bapak-bapak,"

"Oh gitu," Angel mengangguk. Mengambilkan piring nasi untuk Alex.

"Makan pake mulut bukan mata," Alex mengangkat satu alisnya. Angel menjulurkan lidahnya. "Makanya jangan suka marah-marah," Bisik Angel terkikik geli.

Suasana hikmat sangat terasa. Sambal belut goreng, sayur kangkung, perkedel tahu dan kerupuk. Ini makan malam yang tidak akan pernah Alex lupakan. Dihibur dengan cerita Kana yang menceritakan hal-hal lucu. Ini namanya keluarga, dan Alex tidak punya itu.

"Gak bisa tidur, ya?" Alex menoleh. "Kasurnya nggak empuk,"

Alex menggeleng pelan. la sudah duduk didepan rumah satu jam lebih. Melihat cahaya rembulan dan bunyi binatang yang pastinya tidak bisa Alex dengarkan di kota. Alex membuka kedua kakinya lebar.

"Sini," la menepuk tempat kosong di antara kedua kakinya. Angel menggeleng pelan. Mengulum bibirnya malu. Alex tersenyum kecil lalu menarik tangan Angel pelan. "Alex, ih, nggak mau,"

Angel bergerak gelisah dipelukkan Alex. "Gue angetin," Alex memeluk Angel dari belakang. Mengunci kaki perempuan itu dengan kakinya. Alex membuka selimut, menutupi tubuhnya dan Angel sekaligus. Angel tidak bergeming. Terlalu gugup untuk bergerak.

Keduanya terdiam. Menikmati angin malam dan suara jangkrik sebagai musik. Angel bergerak, mencari posisi ternyaman, menyandarkan kepalanya di dada Alex. "Nggak ada bintang, kayaknya mau hujan,"

"Ada."

"Mana?" Angel menggerakkan kepalanya. "Nggak ada,"

"Ada, Angel,"

"Iya mana?" Angel mendongak, tatapannya langsung dikunci oleh Alex.

Angel berdeham dan kembali ke posisinya. "Ih, aku lagi serius dicandain terus,"

Alex meletakkan dagunya di kepala Angel, menggoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri seperti menimang. "Lo bintang gue," Angel mendengus. "Ngel?"

"Apa?"

"Lo mau kehidupan seperti apa?"

"Maksudnya?"

"Lo mau kayak gimana ke depannya?"

"Emm," Angel berfikir sejenak. "Aku mau cepet-cepet lulus. Kerja, kumpulin uang buat bangun rumah, beli sawah buat Ayah. Ketemu lelaki, menikah dan punya anak,"

"Kenapa harus nikah?" Angel mengerutkan keningnya. "Banyak orang lebih bahagia tanpa ikatan pernikahan,"

"Kamu nggak mau nikah?"

"Gue nggak pernah berfikir buat nikah." Kalimat Alex sangat melukai hatinya. Angel tersenyum kecil. "Pernikahan hanya sekedar ikatan yang nggak berarti apa-apa."

"Tapi pernikahan adalah ikatan suci."

"Pernikahan bukan ikatan suci. Lo tau berapa banyak orang yang mendaftar dipengadilan Agama setiap tahunnya untuk bercerai?" Angel tidak bergeming. "Yang menentukan suci atau tidaknya suatu hubungan bukan suatu pernikahan. Lo harus tau itu,"

"Kamu yang nggak tau," Angel menggeleng. "Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan untuk kedua pasangan. Dalam pernikahan ada sebuah janji, diucapkan satu kali seumur hidup dihadapan tuhan."

"Pernikahan bukan satu kali seumur hidup,"

"Seperti yang kamu bilang, semua tergantung sama orangnya masing-masing. Aku hanya mau menikah satu kali seumur hidup. Orang tua kamu boleh gagal membangun rumah tangga, kamu jangan menjadikan pernikahan sebuah kalimat haram." Alex menghembuskan nafasnya pelan. "Alex?"

"Kenapa?"

"Nggak." Alex mencubit pelan hidung Angel yang langsung ditepis oleh Angel. "Ih, aku nggak bisa nafas,"

"Mau dikasih nafas buatan?" Angel mendengus pelan. "Kecil banget sih, lo,"

"Apanya?" Alex menggeleng geli.

"Banyak makan, biar gemukan dikit."

"Aku makan banyak baliknya ke pipi," Ujar Angel menyentuh kedua pipinya.

"Nggak enak lihatnya,"

"Cantik,"

"Angel?" Keduanya langsung menoleh ke sumber suara, Angel langsung berdiri kikuk. Ayah sudah berdiri tidak jauh darinya. Baru saja pulang.

"Ayah? udah pulang?"

"Masuk. Udah malam," Perintahnya tanpa ekspresi. Angel mengangguk pelan, Ayah menatap Alex sebentar sebelum masuk ke rumah. Angel menghembuskan nafasnya pelan sambil mengelus dada.

"Tatapan Ayah lo, seolah gue mau culik anaknya," Alex berdiri di sebelah Angel. "Tau aja orang tua kalau gue mau bawa kabur anaknya."

Angel menyikut pinggang Alex. "Kamu ih, masuk, udah malem." Alex tertawa pelan.

Liburan semester kali ini Angel memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Tapi tak disangka Alex akan ikut bersamanya. Seperti apa liburan Angel dan Alex di kampung halaman Angel? Di sini kita akan mengetahuinya. Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience