"Good morning,"
Sapaan itu muncul saat perempuan disampingnya membuka matanya sedikit lalu terpejam kembali. Angel menggeliat kecil, semakin merapatkan tubuhnya pada Alex . Aroma shampoo yang begitu segar langsung tercium. Alex mengelus pipi Angel, menyelipkan anak rambut kebelakang telinga sehingga ia dengan jelas melihat wajah cantik itu.
Merasakan pipi chubby itu bersentuhan dengan dadanya. Alex meniup mata Angel, mencoba mengganggu tidur perempuan itu. Alex tidak pernah membayangkan akan begitu bahagia saat bangun tidur. Membuka matanya dan ada Angel dihadapannya. Semuanya masih terasa begitu asing. Beberapa hari. Bersama Angel membuat tubuhnya bergejolak tidak tahu arah. Bagaimana perasaannya sekarang. Apa yang ia rasakan. Siapa Angel. Apa arti Angel. Alex masih mencari jawaban itu beberapa hari ini.
"Jam berapa?" Tanya Angel masih dengan kedua mata terpejam. Alex mengeratkan pelukkannya dengan gemas. "Alex, aku nggak bisa napas," Eluhnya mencoba meloloskan diri.
Alex mencium pipi Angel lalu melepaskan perempuan itu dari pelukannya. "Gue laper. Mandi sana, kita makan," Angel menggeleng, menggigit dagu Alex. "Kenapa gigitnya di situ?" Angel mengerutkan keningnya dan menjauhkan wajahnya.
"Emangnya dimana?"
"Disini," Alex menunjuk bibirnya dengan ibu jari. Angel mendengus pelan, mencubit dada Alex yang polos.
"Udah ah," Angel merubah posisinyanmenjadi duduk. Membenarkan bajunya yang miring sebelah lalu menguncir rambutnya asal. "Aku mandi dulu,"
Selama menunggu Angel mandi. Alex mulai sibuk dengan game diponselnya. Mendengarkan suara air yang mengalir dan orang-orang yang mengobrol di depan teras kamar. Alex mem-pause permainannya dan membuka sedikit gorden kamar. Layar ponselnya bergetar, membuat Alex mengalihkan pandangannya sejenak. Menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga. Matanya terus melihat ke arah jendela. "Kenapa? Mona?" Alex menutup gorden kamar, ia mulai fokus dengan orang yang menelponnya. "Oke, nanti gue kabarin lagi. Gue mau jalan sama Angel, iya."
"Siapa?" Tanya Angel yang baru sajankeluar dari kamar mandi. Perempuan itu sudah memakai bajunya disana, ia tidak ingin hal yang tidak di inginkan terjadi saat ia keluar hanya dengan mengenakan handuk. Alex mengambil handuk yang Angel berikan. "Leon, katanya Mona nggak dipenjara,"
"Kok bisa?!" Tanya Angel cepat.
"Uang segala-galanya," Alex berdiri. Menggigit daun telinga Angel sebelum menghilang dibalik kamar Mandi.
Sebenarnya Angel selalu geli saat Alex menggigit daun telinganya, bukan hanya itu. Lelaki itu juga sering menggigit hidung dan pipinya. Ketika Alex menggigitnya wajahnya akan memerah padam dan jantungnya akannmenggebu-gebu tidak karuan. Menormalkan pernapasannya sejenak. Angel membereskan tempat tidur. Bukan hanya Alex yang penasaran apa yang sedang terjadi diteras kamar. Angel mengintip, mencoba mendengarkan orang-orang diluar sana. Sepertinya keributan mengarah kepada dirinya. Angel memberanikan diri untuk keluar. Sontak empat perempuan yang Angel tahu sebagai tetangga kamarnya langsung bungkam. "Kenapa?" Tanya Angel mengerutkan keningnya.
"Gue kira polos beneran, eh nyimpen laki juga,"
"Kok gue rada ilfil,"
"Mana ada sekarang yang polos,"
"Nggak nyangka, aja."
Berbisik, terdengar tidak seperti bisikan. Terlalu keras membuat Angel bisa mendengarnya. Mereka hanya beralasan ingin menjemur pakaian. Angel mendengus dan kembali masuk ke kamarnya. Mengelus dadanya untuk tidak terbawa emosi. Semuanya pasti karena Ani, menyebarkan gosip yang tidak-tidak tentangnya.
"Kok mukanya ditekuk?" Alex nmengerutkan keningnya bingung, meneguk segelas air putih dannmenghampiri Angel yang duduk dipinggir kasur. "Kenapa?" Tanyanya pelan.
"Kamu nggak usah tidur disini lagi. Aku nggak mau mereka semua salah paham," Angel menurunkan tangan Alex yang mengelus pipinya. "Nanti kamu jadi jelek dimata mereka,"
"Gue nggak minta dipandang bagus sama mereka. Gue hanya liat lo, nggak ada orang lain."
Angel mendengus. Pipinya bersemu,bAlex menjadi gemas sendiri. "Makan yuk, sebelum lo gue makan." Keduanya keluar secara bersamaan. Angel menatap beberapa perempuan yang tadi sempat menghujat dirinya terdiam menatap ke arah Alex dengan begitu terpesona. Angel mendengus pelan, dengan cepat menarik tangan Alex.
Tempat yang paling nyaman, paling enak, lezat dan gratis hanya bisa didapatkan di Horison. Diiringi dengan lagu-lagu Tulus membuat pagi lebih berwarna. Duduk santai dengan sebuah senyuman dan tawa dari orang-orang terkasih.
"Helo, heli strawberry. Ini udah pagi ya, gue bukan obat nyamuk." Bimo melempar garpu ditangannya ke meja dengan helaan nafas kasar. "Gue yang pertama kali duduk disini. Lo berempat bisa pergi dari hadapan gue? Gatel tau nggak, berasa ada panu ditubuh gue."
"Karena itu gue temenin lo, Bim. Biar lo nggak kesepian." Leon menepuk pundak Bimo dengan wajah merana.
"Gue nggak pernah kesepian," Ujarnya menepis tangan Leon. "Pindah lo semua. Mood sarapan gue hilang,"
Alex menyingkirkan piring kosong dihadapannya. "Gue masih nggak ngerti gimana ceritanya Mona bisa keluar dari penjara?" Bimo tidak merespon. "Gue tau lo lagi kesal, santai dong."
"Hidup gue selalu santai," Jawabnya ketus. Mencoba fokus untuk menghabiskan makanannya sejak kedatangan dua pasangan yang menjijikan menurutnya.
"Kak, mau aku peluk?" Bimo tersedak.
"NGGAK! Apaan lo!" Alex menahan lengan Angel untuk antisipasi jika perempuan itu berlari dan memeluk Bimo. Leon dan Luna terbahak mendengarnya. Sungguh polos.
"Apa, sih. Aku mau kasih semangat aja,"
"Gue bilang, Nggak Angel." Geram Alex.
Bimo meneguk airnya hingga setengah gelas. Ia tertawa kecil. "Boleh deh, Ngel. Gue Huggable, asal lo tau aja," Alex melotot. "Kapan-kapan deh, tangan gue masih mau gerak." Sindirnya geli.
"Mau gue cariin cewek?" Tanya Leon mengedipkan sebelah matanya. "Ica ada tuh,"
"Dikira gue cupu nggak bisa cari sendiri. Udah jangan ajak gue bicara, ini makanan gue nggak habis-habis,"
"Kita pergi," Alex berdiri bertepatan dengan kedatangan Ferdy. Menarik tangan Angel untuk mengikutinya. Berpapasan dengan Ferdy yang sama sekali tidak ia lirik. Angel berlari kecil mengimbangi langkah lebar Alex yang terkesan buru-buru. Ferdy yang melihatnya hanya bisa tersenyum miris dan duduk dikursi yang sebelumnya diduduki oleh Alex.
"Kenapa Alex nggak bisa maafin lo?" Tanya Bimo tidak mengerti. Ferdy mengangkat bahunya. "Masalah apaan, sih?"
Ferdy menjawab dengan senyuman. Lelaki itu langsung memesan makanan. "Hai Lun, Kok diem aja?" Luna menggeleng. "Kekenyangan,"
Bimo menatap kepergian Alex dan Angel dari dinding kaca. Ia menghembuskan napasnya pelan. "Yang terbaik aja buat lo berdua," Gumamnya pelan.
Seperti kebanyakan orang normal lakukan. Berkencan seperti biasa. Jalan, makan, nonton. Itu yang dilakukan Alex dan Angel. Berada disebuah Mall. Sebenarnya Alex tidak mengerti apa yang orang sukai dari berkencan seperti yang ia lakukan sekarang. Menghabiskan uang? Alex akui jika kencannya selama ini juga menghabiskan uang. Ia juga mendapatkan kepuasan. Lalu dimana titik kepuasan berkencan seperti sekarang?
Alex menghembuskan napasnya. Ia tidak terlalu suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton film. Kecuali film yang pernah ia katakan sebelumnya. Saat semua orang fokus menonton dan memahami jalan cerita. Alex malah tidur dipundak Angel. Memeluk tangan Angel dan mengendus dileher mulus itu. Angel berulang kali menyingkirkan kepala Alex, sepertinya Alex lebih tertarik untuk menggoda Angel dari pada melihat layar besar didepan.
"Gue nonton lo aja, ya," Bisik Alex. "Kalau lo serius gitu keliatan sexy,"
"Alex, ih," Alex menahan tawanya, menarik tubuh Angel. "Banyak orang, Alex."
"Kok gue cuma lihat lo disini? Didepan gue,"
Angel memutar bola matanya malas. "Iya kamu jangan lihat ke aku aja. Lihat ke sekililing kamu," Ujar Angel tertahan, tidak ingin menimbulkan keributan.
"Gue nggak terlalu suka sama filmnya,"
"Jadi sukanya yang mana?
"Sama yang lagi marah-marah sekarang,"
"Aku nggak marah, ya." Angel mendengus. "Jangan berisik ah, nanti kita ganggu yang lain."
Alex menghembuskan napasnya kasar, membenarkan posisi duduknya yang terlihat sangat bosan. Selanjutnya Alex tetap diam sampai menunggu film selesai. Sebenarnya Alex tidak diam. Ia bergelut dengan pikirannya. Bertengkar dengan hatinya. Terlalu banyak yang terjadi beberapa hari ini. Mengganggunya, kadang membuatnya tidak bisa berpikir normal.
- Setelah selesai menonton
"Kamu ngambek? Alex?" Angel berlari mengekori Alex. "Kamu nggak suka filmnya? Tadi aku udah serahin ke kamu mau film yang mana."
"Nggak. Gue capek aja,"
"Kamu marah bukan capek," Angel meraih lengan Alex. Menghentikan langkah lelaki itu. Sejak keluar studio Alex tidak membuka suaranya. Berjalan mendahuluinya tanpa menunggu Angel yang kesulitan menyesuaikan langkah lelaki itu "Alex?"
Alex berbalik cepat dengan wajah kalut. "Nggak, Ngel. Gue capek seriusan. Kita pulang ya,"
Angel bungkam. Kalimat Alex terdengar biasa. Tapi nada yang digunakan lelaki itu baru pertama kalinya Angel dengar Sedikit membentak dan ada rasa kesal disana. Angel merasakan perbedaannya. Membiarkan Alex menggenggam tangannya dan menariknya pelan. Menatap wajah Alex dari samping. Ada yang sedang lelaki itu pikirkan, Angel menyadarinya saat perubahan itu terjadi.
"Alex?" Panggil Angel menatap Alex yang fokus menggunakan jaket miliknya ke tubuh Angel. Tiba-tiba hujan deras. "Kamu marah,"
"Nggak"
"Iya," Alex menarik retselitingnya sampai ke atas. Menatap bola mata Angel. "Kamu marah,"
"Nggak. Gue nggak marah," Alex mengulas sebuah senyuman tipis. Naik ke atas motor lalu mengulurkan tangannya. "Nggak mau naik?" Tanya Alex saat Angel hanya menatap tangannya lama. Dengan semua perasaan aneh. Angel meraih tangan Alex. Melompat naik ke atas motor.
Sekarang tidak ada pemisah yang dahulu Angel lakukan saat dibonceng lelaki itu. Melingkarkan tangannya dipinggang Alex dan mencari kenyamanan dipunggung kekar Alex. Air hujan langsung membasahi wajah dan rambutnya. Alex memilih menerobos hujan dari pada berteduh. Tidak peduli jika Angel tidak menggunakan helm. Biasanya Alex orang yang paling cerewet melihatnya terkena hujan. Angel semakin mengeratkan pelukannya saat kecepatan motor Alex bertambah. Memejamkan kedua matanya, tubuhnya nyaris menggigil. Hujan kali ini disertai angin kencang. Bibirnya sudah mulai bergetar dengan jemari yang sudah memucat.
Sampai akhirnya Angel bisa bernapas lega. Alex memilih menepikan motornya disebuah kedai. Keduanya langsung berlari berteduh disana. Angel menyatukan kedua telapak tangannya di dada. Mencari kehangatan, sementara Alex melingkarkan tangan dibahunya. Membawa Angel ke dalam pelukannya meski Alex yakin tidak akan memberikan kehangatan.
"Maaf. Lo jadi kedinginan." Angel tidak bergeming. Membiarkan telapak tangan Alex mengusap pipinya sementara ia memejamkan matanya. Membiarkan Alex merengkuh tubuhnya.
"Ngel?" Alex memanggil pelan. Angel membuka matanya tanpa menimbulkan gerakkan. "Ingat kita ketemu pertama kali disini?" Alex memutar ingatannya. Pertama kali ia terpesona dengan sosok yang saat ini dalam pelukannya. Wajahnya yang ketakutan. Bajunya yang basah menambah kesan sexy. "Lo takut banget sama gue waktu itu," Alex geli sendiri saat mengingatnya.
Angel mengulas sebuah senyuman tipis. Alex benar. Ia takut waktu itu. Pikirannya hanya ingin pergi dari lelaki yang kini memeluknya.
"Ngel?"
"Em?" Sahutnya.
"Kita udahan ya,"
Senyum di bibir Angel perlahan luntur. Alex melepaskan pelukannya, Angel seperti orang tolol saat ini. Terdiam tidak berkutik. Seakan kalimat barusan hanyalah halusinasi dan tidak harus dicerna oleh otaknya.
"Setelah gue habiskan waktu sama lo beberapa hari ini. Gue sadar, kita nggak cocok. Lo terlalu baik buat gue. Nggak pantas sama cowok bajingan kayak gue,"
"Kamu ngomong apaan, sih," Angel tertawa kecil. Menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Menyembunyikan perasaan panik yang tiba-tiba datang. Jantungnya bergemuruh bersamaan dengan langit yang seakan mewakili perasaan Angel.
"Kalau gue bisa ulur waktu. Kalau gue bisa menghentikan waktu. Ngel, gue nggak pernah menyesal kenal sama lo. Gue nggak pernah menyesal pernah berjuang buat mempertahankan lo. Emm.. lo itu, apa ya.. Bonus dari Tuhan buat gue. Sosok yang paling sabar hadapin gue yang seorang bajingan ini. Gue boleh anggap lo bonus, tapi gue buat lo itu.. kerugian. Lo rugi kenal sama gue." Angel meraih tangan kiri Alex, menggenggam kuat dengan kedua tangannya. "Lo berhak dapet cowok yang lebih baik dari gue. Yang emang lo impikan sebelum ketemu sama gue." Alex mengusap pipi Angel dengan tangan kanannya. Penuh kelembutan dan kehangatan. Ia menatap mata teduh Angel. Perlahan, tangan Alex turun ke bahunya, ia menarik retseliting jaket di tubuh Angel sampai ke bawah dan terlepas menjadi dua bagian.
"Lo akan baik tanpa gue," Alex tersenyum, melepaskan jaket yang menyelimuti tubuh Angel. Membuat kehangatan yang Angel rasakan langsung hilang. Dingin menusuk seluruh tubuh dan hatinya. Kepalanya tiba-tiba tidak bisa berfikir. Penglihatannya perlahan mengabur, sudah ada tumpukan air di pelupuk matanya.
"Setelah ini. Lo akan kembali ke kehidupan awal lo," Alex meletakkan ibu jarinya dibibir Angel saat perempuan itu ingin angkat bicara. "Nando nggak akan ganggu lo. Gak ada Bimo, Leon ataupun Luna. Tentang cap dibelakang leher lo. Selama lo nggak dekat sama gue, lo akan aman."
"Kamu ngomong apaan, sih," Angel menarik baju Alex saat lelaki itu ingin meninggalkannya. Air hujan mulai membasahi lengannya. Air matanya sudah menyatu dengan hujan. "Aku sama sekali nggak ngerti kamu ngomong apa dari tadi,"
"Maafin gue,"
"Nggak Alex," Angel berusaha menarik baju Alex agar tidak melangkah lebih jauh. Alhasil ia ikut terbawa dan berdiri ditengah hujan. Kemeja yang ia pakai terlihat transparan. Alex mengumpat kasar dan ingin memaki dirinya sendiri.
Angel menangis.
Damn it.
Alex menahan dirinya untuk tidak menabrakkan dirinya sendiri ke sebuah mobil besar. Ia mengalihkan pandangannya sejenak. Mengusap wajahnya sebelum menatap Angel dengan senyuman. Alex melepaskan tangan Angel dibajunya, menggenggamnya dan menciumnya dengan penuh rasa bersalah. "Gue sayang sama lo,"
Angel menggeleng, terus terisak. Air hujan yang turun semakin deras, tubuhnya semakin menggigil. Rasa dingin itu tergantikan dengan rasa sakit yang amat sangat meremukkan seluruh tubuhnya. Beku dan tidak bisa bergerak. Alex mendekatkan wajahnya. Seketika kedua mata Angel terpejam. Merasakan lembut dan hangat bersamaan dikeningnya. Menghantarkan getaran diseluruh sistem syarafnya.
"Gue pilih lepasin lo, Ngel. Karena gue nggak yakin bisa lepas dari dia."
-Flashback
"Gue akan lepasin dia," Suara itu berasal dari kedua orang di sebelah Bimo.
Bimo mengerutkan keningnya. Ia menatap Alex dan Leon bergantian. Merasa sulit, Bimo merubah posisinya menjadi duduk dengan menghadap kedua temannya. "Tunggu dulu. Dia? Dia siapa yang kalian maksud?"
Alex dan Leon saling melempar pandangan. Sebelum akhirnya Leon berkata. "Gue akan lepasin Lily,"
"Gue akan lepasin, Angel."
-Saat ini
Pernah merasakan tenggelam didasar laut? Merasakan detakan irama pusat kehidupan seolah bernyanyi untuk menghantar lagu tidur melalui seluruh cabang kehidupan dan mengalihkan ke sang pengendali gerak. Meringkuk seperti bayi dengan tubuh yang terombang-ambing tenggelam lebih dalam. Cahaya semakin menipis. Oksigen hampir habis. Kedua mata yang terpejam dengan bibir mengulas sebuah senyuman tipis dan pucat. Tidak ada tangan yang akan menyambutnya. Bayangan sama sekali tidak terlihat. Ia tidak butuh cahaya dikedalaman.
Air itu sudah mulai masuk melalui cela ditubuhnya. Gelembung udara yang keluar dari bibirnya menghilang. Menyambut air datang hingga detakan jantung melemah bahkan menghilang. Angel membuka matanya lebar dengan hentakkan napas yang kuat. Bukan sebuah tangan yang mencekiknya tapi sebuah kalimat yang sampai saat ini belum bisa Angel cerna. Kalimat yang menenggelamkan tubuhnya. Mematikan semua kinerja otaknya, melemaskan semua otot-otot tubuhnya. Nyaris membuatnya hampir jatuh ke tanah kehilangan keseimbangan. Melihat kanan-kiri dengan linglung. Menahan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat saat rasa sesak itu datang.
Keheningan terpecah. Suara gemuruh dan hujan deras masih menemaninya berdiri didepan kedai. Kulitnya yang putih semakin pucat ditambah ujung-ujung kuku semakin mengkerut. Angel berputar mencari lelaki yang sangat mustahil meninggalkannya sendirian ditengah malam dengan hujaman air dari langit yang menusuk pori-pori kulitnya. Ia kembali terisak, berjalan meninggalkan posisinya. Posisi dimana ia merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Meninggalkannya ditempat semua sejarah kehidupan dimulai. Baru saja Angel merasakan manisnya kehidupan. Saat semua kupu-kupu dan bunga-bunga berjatuhan mengelilingi tubuhnya. Menerbangkan dirinya ke atas awan sehingga lupa jika di atas langit masih ada langit.
Sekarang. Hal yang paling Angel takutkan. Hal yang tidak ingin ia dengar ataupun terucap dari bibir seorang Alex. Saat langkah kaki memilih menjauh lalu menghilang meninggalkannya. Semuanya terwujud. Keanehan Alex beberapa hari ini yang tidak ingin jauh darinya, melepaskannya dengan semua omong kosong itu hanyalah bagian dari sebuah skenario. Tubuh gemetar itu memasuki lobby. Sepatunya yang basah dan kotor memberi bercak dilantai yang licin. Menghiraukan orang-orang yang menatapnya aneh. Angel terus berjalan tanpa membalas tatapan mereka. Menarik napasnya dalam lalu membuangnya pelan. Menghapus air matanya, merapikan penampilannya yang sangat mengenaskan. Rambutnya lepek, tetesan air dari ujung kemejanya membasahi lantai selagi ia menunggu pintu lift mana yang terbuka terlebih dahulu. Berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Mencoba untuk berfikir normal. Angel menarik sudut bibirnya ke atas, salah satu pintu dihadapannya terbelah menjadi dua. Tanpa pikir panjang, Angel masuk seorang diri.
Tanpa Angel sadari. Seorang lelaki yang baru saja keluar dari lift satunya tidak sengaja melihat Angel yang menunduk saat lelaki itu melintas. Meski awalnya ia kurang yakin. Dugaannya benar, tepat saat pintu lift sedikit lagi tertutup, Angel mengangkat kepalanya. Nando terlambat menahan pintu lift untuk tetap terbuka. Angel mendongakkan wajahnya. Melihat angka yang terus berganti sampai akhirnya tujuannya sampai. Angel berlari kecil menelusuri koridor. Melewati beberapa pintu kamar sampai akhirnya ia tiba di tempat. Angel mengetuknya, menekan bel dan mencoba menerobos masuk. Nihil. Password apartemen diganti. Tidak ada jawaban saat Angel terus memanggil nama Alex.
"Alex buka pintunya! Aku mau bicara sama kamu!" Angel tidak menyerah. Menahan rasa sesak dan gejolak air mata yang mendesak ingin keluar. "Aku minta maaf," Ujarnya disela isak tangis. "Aku akan bolehin kamu tinggal dikamar aku. Aku nggak perduli lagi apa kata orang yang menghujat tentang aku sama kamu." Angel menghapus air matanya kasar. "Aku juga nggak maksa kamu lagi buat kencan normal seperti yang orang lain lakukan. Kita nggak perlu ke bioskop. Em? Aku akan ikutin semua mau kamu," Angel membungkuk. Kedua tangannya berada di dengkul. Ia tidak tahan lagi untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Angel menangis, terisak lebih keras padahal ia sudah berusaha untuk tidak terlihat lemah. Angel tidak cengeng. la bukan perempuan yang cengeng.
Angel menegapkan tubuhnya. Tangannya ia letakkan dipintu. Mengetuknya. "Aku nggak mau kamu pergi. Kamu bilang aku tujuan kamu, kamu bilang aku pemeran utamanya, kamu bilang-" Angel tidak sanggup mengatakannya. Ia menghembuskan napasnya pelan, rasa pusing tiba-tiba menyerang. "Apa aku harus tidur sama kamu?" Tanyanya getir. "Tapi-aku-aku- apa aku harus melakukannya?" Angel oleng mempertahankan tubuhnya untuk tetap berdiri. Menatap teduh pintu yang tertutup.
Apa yang Angel katakan tidak sesuai dengan hati dan pikirannya saat ini. Semuanya seakan lepas kendali. "Kalau gitu, ayo kita lakuin itu, Aku-" Kalimat Angel terputus. Bukan orang lain yang menghentikannya. Seluruh tubuhnya lemas, pandangan menjadi gelap seketika. Dirinya ambruk.
Nando yang sudah berdiri dibelakang tubuh Angel sejak tadi langsung menangkap tubuh mungil itu ke pelukkannya. Kedua mata yang tertutup dengan bibir yang terus bergumam tidak jelas. Nando terdiam. Dirinya mendengarkan semua kalimat Angel yang memohon pada lelaki bajingan seperti Alex. Nando bisa menyimpulkan jika Alex meninggalkan perempuan itu. Nando menyelipkan tangan kirinya di bawah lutut Angel dan tangan kanannya di bawah bahu perempuan itu. Membawa Angel pergi dari sana dengan rahang mengeras.
"You save, Ngel."
Segelas teh hangat baru saja dituang. Kepulan asap yang keluar dari dalam gelas menimbulkan aroma menyejukkan. Dihidangkan bersama dengan sebungkus roti dan sepiring buah-buahan. Anes membawa nampan dari dapur lalu berjalan ke ruang tengah. Ia berhenti didepan lelaki yang sedang fokus menonton tayangan televisi.
"Dek, anterin ke kamar Kakak," Farid menggerakkan bola matanya tanpa merubah posisi duduknya. Menatap nampan yang disodorkan ke depan wajahnya. "Kak Alex habis kehujanan, kasihan."
"Ya udah Mama aja," Ujarnya mengalihkan pandangannya.
"Ih, nggak boleh gitu. Cepetan, kasihan dia." Anes menendang kecil kaki putranya. "Kalo Mama yang antar nggak enak. Cepetan,"
"Males, Ma." Ujarnya tak bernada. "Panggil aja orangnya, suruh ambil sendiri. Punya kaki kan? Jangan manja. Dia nggak sakit atau kakinya di amputasi,"
"Far?" Farid memutar bola matanya malas. Jika sudah namanya di panggil rasanya menggelitik ditelinga. Anes tersenyum lebar.
Farid menghembuskan napasnya kasar. Memutar bola matanya, melempar bantal yang sejak tadi menutupi pahanya. la mengambil alih nampan dengan satu tangannya.
"Adek nanti minumnya jatoh," Peringatan itu diabaikan oleh Farid.
Tanpa mengetuk, Farid menendang pintu kamar yang tidak tertutup dengan rapat. Menghantam dinding belakang membuat dua orang di kamar itu langsung menatapnya. Tanpa dosa, ia berjalan dan meletakkan nampan di atas meja belajar Bimo.
"Santai dong. Pintu gue habis diganti," Sahut Bimo melirik adiknya. "Sampai lo hancurin pintu kamar gue lagi. Gue botakkin lo."
"Serah," Balas Farid pergi begitu saja.
"Untung ganteng. Untung adek gue. Untung juga masih gantengan gue." Bimo meninju udara seolah sedang meninju Farid sembari berjalan menutup pintunya. "Tuh anak makin hari makin misterius. Nggak ngerti gue maunya apa. Dulu aja tiap malem nemplok minta peluk, lah ini disentuh aja nyetrum minta ampun,"
"Dia marah sama gue," Alex merangkak turun dari ranjang. Menarik kursi belajar Bimo, menyesap teh hangat buatan Anes.
"Marah? Kenapa?" Tanya Bimo penasaran.
"Kapan ya, gue lupa. Dua hari atau tiga hari yang lalu. Tawuran kayak biasa, gue nggak mau bebasin dia. Nggak tau siapa yang bebasin. Leon mungkin,"
Bimo menghela napasnya. Tidak mengerti dengan adik semata wayangnya. "Oh ya, Lex. Gimana respon Angel?"
Alex menghembuskan napasnya berat. Menyandarkan punggungnya ke belakang. "Karena itu gue ke rumah lo. Gue yakin dia cariin gue ke apartemen. Bangsat banget ya?" Tanyanya lebih kepada diri sendiri.
"Masih tanya anjing," Alex tersenyum miring dengan pandangan kosong. Membayangkan apa yang sedang terjadi dengan perempuan itu. Apa yang sedang Angel lakukan sekarang. Menangis? Semua itu karnanya. "Kenapa lo nggak pilih Angel aja?"
Alex menggeleng pelan. "Gue nggak bisa lepasin Lily."
"Cinta?"
"No,"
"So?"
"I don't know," Alex beranjak. Merebahkan tubuhnya di ranjang Bimo. Menyembunyikan wajahnya di bantal.
"Terserah lo, Lex. Yang jalanin lo bukan gue," Bimo membesarkan volume televisi. "Kisah hidup gue aja nggak jelas mau urusin hidup lo,"
Alex menghembuskan napasnya. Ia merubah posisi menjadi duduk di tepi ranjang. Meraih rokok miliknya di atas nakas.
"Jangan di kamar gue. Bau setan,"
"Emang lo ngerokok dimana?"
"Dalam lemari," Alex mengangkat satu alisnya. "Ya kali, balkon sono, ah." Menghembuskan napasnya pelan, Alex berjalan menuju balkon kamar Bimo.
Hujan sudah mulai reda. Hanya sisa-sisa air yang jatuh dari dedaunan. Udara segar langsung ternodai ketika kepulan asap keluar dari mulut Alex. Lelaki itu menatap kosong. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Semuanya tentang Angel. Alex bisa saja melepaskan Lily, danbersama Angel sepenuhnya. Terlalu banyak resiko yang akan terjadi jika Angel tetap bersamanya. Katakan dirinya pengecut. Anggap saja seperti itu. Semuanya untuk kebaikan Angel.
Tidak ada yang bisa ia janjikan untuk ke depan. Menikah? Alex tidak pernah berpikir sampai ke sana. Angel pantas menikahi seseorang yang jauh lebih baik darinya.
"Apa yang buat lo cinta banget sama Maura?" Alex menyadari keberadaan Bimo yang berdiri disebelahnya.
"Apa ya," Bimo mengerutkan keningnya. Berusaha mengingat apa yang ia sukai pada perempuan yang sudah berbeda alam dengannya. "Dia itu, beda." Bimo tersenyum. "Terlalu baik di mata gue,"
"Bim,"
"Em?" Sahut Bimo.
"Misalkan ada yang suka sama lo-"
"Banyak yang suka sama gue," Potong Bimo sebelum Alex menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi dia cowok,"
"Gue suka sama lo, Lex."
"Lebih dari suka."
"Ya kali gue cinta sama lo!" Seru Bimo dengan reaksi jijik menatap Alex. "Aneh lo. Gue tau lo lagi putus cinta, nggak pindah haluan juga," Alex meninju kepala Bimo. Membuat Bimo membuka mulutnya berkata. "A." tanpa reaksi berlebihan yang sering Leon tunjukkan jika Alex meninju kepalanya. Alex membuang rokoknya yang tinggal sedikit. Menghembuskan kepulan asap terakhir ke wajah Bimo. "Setan,"
"Pohon mangga samping kamar lo," Alex menunjuk dengan dagunya. "Lo perhatiin deh, Bim. Kenapa satu rantingnya gerak-gerak. Dan lo buka telinga lebar-lebar," Ujar Alex sebelum meninggalkan Bimo yang berdiri kaku. "Kayaknya Maura. Temuin sana, siapa tau lo kangen!"
"Anjir!" Pekik Bimo sambil berlari ke dalam, menutup jendela balkon kamarnya. "AAKH SETAN! bikin gue merinding aja lo."
-
"Lo itu Aphrodite," Perempuan yang sedang tidur dilengan kokohnya bergerak. Wajahnya mendongak. "Kecantikannya akan menimbulkan perpecahan. Lo cantik hatinya,"
"Aku nggak mau jadi Aphrodite,"
"Kenapa?"
Angel melingkarkan tangannya dipinggang Alex. Memejamkan matanya mencari kenyamanan di tubuh lelaki itu.
"Aku nggak mau jadi rebutan para lelaki. Aku hanya mau sama kamu,"
Alex tersenyum kecil. Mencium pucuk kepala Angel. Ia terdiam sejenak sebelum berkata dengan lembut dan pelan. "Kalau gue pergi. Lo harus janji sama gue,"
"Kamu mau kemana?" Angel mengerutkan keningnya. Merubah posisinya menjadi duduk.
"Jangan suka keluar malem. Kalau jalan
hati-hati. Jangan terlalu baik sama orang,"
"Ih, Alex."
Alex tertawa. Menarik kembali tubuh Angel kepelukannya. "Dan jangan terlalu sedih."
"Jangan pergi, ih. Alex,"
"Alex?" Angel berdiri. Lelaki yang tadi memeluknya m tiba-tiba pergi bagaikan asap dipadang rumput yang membentang luas. Angel berlari dengan panik. Melihat sekelilingnya dengan terus memanggil nama lelaki yang dicintainya.
"Alex!"
"Alex," Gumam perempuan itu
dengan pelan. Kepalanya bergerak gelisah.
Kedua matanya terpejam, wajahnya pucat.
"Panasnya nggak turun. Ini udah seharian. Bawa ke rumah sakit aja, ya. Dia manggil nama Alex terus, Nak." Wanita yang sejak semalam dan ketemu malam lagi memperhatikan perkembangan Angel mengelus wajah cantik perempuan yang dibawa anaknya pulang. "Nggak ada asupan makanan ataupun minuman, dia bisa dehidrasi,"
Nando menghembuskan napasnya pelan. Mengumpat kasar atas nama Alex. Apa yang sudah dilakukan bajingan brengsek itu pada Angel. Nando sengaja membawa Angel pulang ke rumah bukan Apartemennya. Dirawat dengan penuh rasa tulus oleh Ibunda yang melahirkannya. Menggulung tubuh Angel dengan selimut lalu membawanya ke mobil. Bunda mengikutinya dari belakang, berlari kecil mengimbangi langkah Nando yang terlihat panik. Untuk pertama kalinya. Putranya membawa seorang perempuan ke rumah. Raut wajah khawatir dan mata berbinar cinta. Bunda bisa melihatnya. Getaran dan perasaan aneh seorang anak, ia merasakannya. Siapa perempuan itu sebenarnya? Bunda sudah sangat berterima kasih.
Selama ini Nando hanya pulang sesekali. Jika ingin bertemu dengannya saja lelaki itu meminta bertemu di luar dari pada di rumah. Sungguh perkembangan yang luar biasa hanya karena wanita.
Bagaimana paniknya ketika Nando membawa Angel masuk ke UGD, membiarkan perempuan itu tergeletak di tempat tidur dengan para dokter yang sedang memeriksanya. Nando tidak berhenti mengusap wajahnya kasar. Menarik rambutnya frustasi.
Bunda menepuk bahu putranya pelan. Memberi ketenangan. Nando tidak bisa tenang. Dari kemarin malam Angel belum sadarkan diri. Perempuan itu hanya mengucapkan nama Alex sepanjang tidurnya. Nando berdiri saat ponsel disakunya bergetar. Nama yang baru saja ingin ia hubungi terpampang jelas dilayar ponsel. Bunda yang melihatnya hanya memberi seulas senyuman dan membiarkan Nando menjauh untuk menjawab telpon.
"Dimana lo bangsat." Sapa Nando pertama kali begitu ia mengangkat telpon. Jantungnya bergemuruh dengan napas yang naik turun membayangkan apa yang sudah Alex lakukan pada Angel.
"Kita fight. Di OX sekarang."
"Gue hancurin kepala lo."
Nando menutup panggilannya kasar, melesat keluar dari rumah sakit. OX adalah bangunan gedung tua yang terdiri dari tiga lantai. Tempat berkumpulnya para petinju ilegal untuk mencari kepopuleran ataupun uang dengan cara singkat dan terlihat keren. Gedung dengan dinding warna putih dan sudah banyak mengelupas karena tidak terawat sama sekali. Tempatnya sangat jauh dari jangkauan polisi. Di sebuah pedalaman, jalan yang memang sepi. Ditutupi dengan banyaknya ruko yang tidak terpakai.
Lantai pertama gedung itu adalah tempat adu jotos. Berbeda dengan lantai satu, lantai dua ada sebuah bar yang dibuka jika ada pertandingan saja. Lantai tiga adalah rooftop, yang tidak ada dinding maupun atapnya. Menjadi tempat yang paling sering dikunjungi.
Sebenarnya malam ini tidak ada
pertandingan sama sekali. Tidak tahu dari
mulut siapa yang bocor bahwa Alex akan
fight bersama Nando. Mereka sudah
berkumpul dalam hitungan menit. Berdiri
mengelilingi ring. Pasalnya, setelah
kejadian Alex mengalami patah tangan
saat fight bersama Nando satu tahun yang
lalu. Keduanya tidak pernah bertemu di
ring lagi. Sebuah tontonan yang sayang jika
terlewatkan.
Alex melilitkan hand warp dipunggungg tangannya sampai ke pergelangan tangan. Suara sorak-sorai sudah terdengar riuh. Meneriakkan namanya ataupun Nando. Alex tidak berniat untuk memakai sarung tinju ataupun helm untuk melindungi kepalanya. Ia berdiri, otot perutnya tercetak jelas karena ia tidak menggunakan baju. Terlihat sexy, mengkilap dan alangkah bahagia jika bisa tenggelam dalam dada bidangnya. Belum lagi Brewok di wajahnya yang belum Alex cukur. Menambah kesan maco dan garang. Nando sudah berada di atas ring. Menunggunya yang baru saja keluar. Suara teriakan heboh menyambut Alex yang naik ke atas ring. Senyum manis Nando tercetak dengan kedua tangan dipinggang. Keduanya saling berhadapan. Menatap tajam satu sama lain. Penampilan Nando tidak jauh berbeda darinya. Lelaki itu tidak mengenakan helm ataupun sarung tinju. Tubuh atletis yang membuat wanita histeris. Nando mengangkat satu tangannya ke udara, lalu mengepal membuat sorakkan yang riuh diam seketika. la mengunci semua mulut yang ada disana. Ketegangan terjadi. Nando menurunkan tangannya dan mempertipis jaraknya dengan Alex. Kilatan emosi berkecamuk di wajah keduanya. Senyum di bibir Nando hilang membentuk garis lurus yang lebih menyeramkan.
"Kalau gue menang. Lo. Bajingan jangan pernah ganggu Angel," Ucap Alex pelan dan tajam. Dibalas anggukan oleh Nando.
"Kalau gue yang menang. Lo harus bunuh diri. Dihadapan Gue."
"Apa kematian jalan satu-satunya? Cetek banget otak lo,"
"Gue hanya kasih jalan ketemu nyokap lo yang tersayang itu. Dia mati juga karna bunuh diri. Lo sebagai anaknya harus mengikuti jejak orang tua," Alex mengepalkan tangannya. "Gue nggak mau nyiksa lo di dunia. Neraka yang lebih pantas buat lo. Anjing."
"Sebelum itu. Gue mau lo ke sana lebih
dulu, SETAN!" Tanpa aba-aba Alex
langsung meninju Pipi kiri Nando. Lelaki
itu terhuyung kebelakang sebelum
membalas pukulan Alex.
Suara yang sunyi itu pecah. Menjadi teriakan yang tidak terkontrol dan emosi menggelegar. Mengangkat tangan di udara dengan masing-masing nama yang terucap sebagai penyemangat. Tanpa wasit, tanpa pengaman di tubuh masing-masing. Menandakan pertandingan tidak akan berakhir. jika salah satu dari keduanya belum ada yang mati. Silih berganti saling adu kekuatan. Pukulan yang mewakili perasaan masing-masing. Terhempas dan dihempaskan. Malam semakin larut. Menambah panas suasana di dalam yang memang tidak ada AC.
Ada yang menjadikan moment ini sebagai bahan taruhan yang besar. Siapa yang akan menjadi pemenang.
Nando meludah. Darah segar keluar dari sudut bibirnya yang sobek. Napasnya naik turun dengan cepat begitu pula dengan Alex. Nando enyeka ujung bibirnya sebelum memberikan serangan kembali pada Alex. Saling tangkis, tidak menghindar seperti pengecut. Jatuh bangkit, tidak ada yang memberi jeda. Keringat keduanya sudah bercucuran. Bercampur dengan darah. Menambah kesan sexy pada tubuh masing-masing. Menggoda dan terlihat menggairahkan.
Keduanya sama-sama terhempas. Berusaha bangkit dengan sakit di tubuh masing-masing. Tertatih, penglihatan yang mulai merabun. Tidak ada yang mengalah. Sudah setengah jam. Tidak ada yang mengangkat bendera tanda menyerah meski untuk berdiri saja sudah tidak sanggup. Pertarungan terlalu sengit.
Alex mengembalikan penglihatannya. Ia mencoba mendapatkan kembali nyawa yang sempat dihempas Nando ke udara. Berdiri dengan bantuan penyangga ring. Sempat terjatuh, Alex bisa mencari titik keseimbangan. Menggelengkan kepalanya keras. Alex mengatur pernapasannya. Ia tidak pernah bertarung seperti ini kecuali bersama Ferdnando. Pertarungan antara hidup dan mati untuk memperjuangkan kebahagiaan seseorang. Alex melakukannya lagi. Ia tidak suka Nando membahas ibunya. Ia akan menjadi sangat sensitif. Termasuk Angel.
Alex mendongakkan kepalanya ke atas. Mengisi paru-parunya sebelum menatap Nando yang masih tergeletak dan mencoba berdiri. Dengan linglung seperti orang mabuk. Alex menghampiri Nando. Menindih tubuh lelaki itu dan memberikan tinju disisa-sisa energi yang ia punya. Melawan Nando sama saja bunuh diri. Anggap saja ini hukuman dari Angel untuknya. Hukuman yang pantas ia dapatkan.
"Lo- breng-sek." Ucap Nando tertatih. Mencoba mendorong Alex dari atas tubuhnya.
"Hanya segini usaha lo mau lihat gue mati?" Alex menarik rambut Nando. Menggenggamnya erat. Ia mengumpulkan suaranya sebelum berkata kembali. "Kalau gue lanjutin. Lo mati. Jangan ingkari janji. Jangan. Pernah. Temui. Angel."
Faktor tidak tidur semalam. Belum lagi tidak ada asupan makanan sejak semalam membuat Nando kalah telak. Meski awal-awal ia masih bisa melawan dan membalas tinjuan dari Alex, nyatanya Nando jatuh juga. Mempertahankan kedua matanya untuk terbuka, rasa kantuk tiba-tiba saja datang.
"Ke-na-pah, lo, sakitin dia, Anjing" Nando tertatih. Sulit rasanya untuk membuka suara.
"Bukan urusan lo," Alex menghempaskan kepala Nando. Ia berdiri dengan suara sorak kemenangan yang ia dapatkan. Berjalan meninggalkan lelaki yang masih terkapar di tengah ring.
"Dia di rumah sakit," Ujar Nando pelan sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.
Kedua kaki Alex terhenti. Suara kecil Nando hampir saja tenggelam bersama penonton, Alex masih bisa mendengarnya. Hanya suara itu membuat seluruh tubuhnya memasokkan energi tanpa diminta. Semuanya menjadi sunyi. Telinganya tidak lagi mendengar suara yang memekik namanya, hanya kalimat Nando yang memutar dikepalanya. Rasa sakit tubuhnya tidak bisa lagi Alex rasakan. Matanya yang sayup-sayup menjadi terbuka lebar. Kakinya yang berjalan linglung langsung menjadi langkah besar dan gagah dalam sekejap. Rasa khawatir, panik, langsung menyelimuti tubuhnya. Bukan lagi berjalan, Alex berlari. Menggunakan bajunya dan melesat cepat bersama motor miliknya dijalanan yang sepi. Sudah jam dua malam. Hanya ada satu nama di kepalanya saat ini. Satu nama yang membuat keyakinan Alex untuk melawan seorang Nando. Satu nama yang membuat Alex memenangkan pertandingan hanya untuk memastikan perempuan itu bahagia. Satu nama yang bisa membuatnya menjadi kalang kabut seperti singa lapar. Dia, Angelista.
Jantungnya bergemuruh tidak karuan. Napasnya menjadi lebih pendek dengan semua umpatan kasar di bibirnya. Rasa sakit dipunggung Alex akibat dihempaskan Nando, merasakan ada sesuatu yang patah di sana tidak berasa sakit sama sekali. Sakit itu lebih mengarah ke sesuatu yang tidak bisa Alex jelaskan. Memarkirkan motor miliknya. Ia berlari memasuki rumah sakit. Hanya ada satu rumah sakit terbesar dengan fasilitas kelas atas di kota tersebut. Keyakinan sendiri baginya bahwa Nando tidak mungkin membawa Angel ke rumah sakit kecil. Menelusuri lorong koridor yang sepi. Ia membaca papan nama yang menggantung di lorong koridor sebagai petunjuk. Alex kesetanan. la berhenti disebuah counter perawat. Ada dua orang yang masih berjaga ditempatnya.
Tanpa mengatur napasnya. Alex berkata. "Namanya Angelista," Kedua perawat tersebut sedikit kaget dengan kedatangan Alex yang tiba-tiba. Mereka saling melempar pandangan sebelum mengambil sebuah map merah.
"Kamar tiga kosong dua."
Alex meninggalkan kedua perawat itu. Angel tidak mungkin berada di ruang bedah, anak, ataupun kebidanan. Satu-satunya yang Alex yakin adalah ruang penyakit dalam. Dugaannya benar. Alex tidak terlalu buta dengan pembagian ruang di rumah sakit. Bimo selalu menceritakannya tanpa Alex minta.
Apa ia masih diizinkan untuk bertemu dengan perempuan itu setelah luka yang ia torehkan sendiri? Apa Alex masih diizinkan untuk mengkhawatirkan perempuan itu setelah tahu ia sendiri yang membuatnya terbaring seperti itu? Apa Alex masih bisa menemuinya dengan mengatakan semuanya akan baik-baik saja?
Ada hantaman besar dikepalanya. Alex meremas knop pintu dihadapannya. Wajahnya menunduk. Ada yang menusuk-nusuk jantungnya. Rasanya amat sakit sampai Alex meremas sendiri baju dibagian dadanya. Ia meringis dan terisak tanpa sadar. Tubuhnya bergetar dengan kedua mata terpejam.
Alex tidak ingin Angel jatuh lebih dalam lagi. Jatuh bersama keburukan dirinya. Setidaknya, sebelum ia pergi. Alex berhasil mewujudkan satu keinginan Angel yang mengajaknya berkencan seperti orang normal lakukan. Demi kebahagiaan perempuan itu, Alex akan melakukan segala cara. Termasuk menjauhkan orang-orang brengsek seperti dirinya.
Menarik napasnya dalam. Alex memutuskan untuk mendorong pintu itu ke samping. Mengusap wajahnya yang berantakan dan melangkah mendekati ranjang. Ruangan hangat dengan aroma lavender. Membuat Alex nyaman hanya dengan bernapas saja. Ruangan itu cukup luas. Ada sebuah sofa di tengah ruangan. Televisi ataupun kulkas kecil dan kamar mandi di sudut kamar. Satu ranjang kosong di sebelah Angel.
Ada tiang infus disebelah kanan Angel yang isinya tinggal setengah. Alex meraih kepalanya yang tiba-tiba sakit melihatnya. Ia berbalik badan. Mencoba untuk tetap tenang agar Angel tidak merasa terganggu karena kedatangannya.
Alex harus mendapatkan sakit lebih dari ini. la harus dihukum berat karena membuat Angel terbaring seperti itu. Alex tidak menyukainya. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan Angel yang terlihat lemas dan bibir pucat seperti mayat hidup. Kemana senyuman yang selalu ia lihat? Lesung pipi yang begitu manis dan sifatnya yang ceroboh itu pergi?
Seharusnya Angel bisa menunjukkanbpadanya jika tanpa dirinya, Angel tetap baik-baik saja. Tersenyum dan tertawa seperti biasa. Itu yang Alex harapkan. Alex bertekuk lutut. Membasahi bibirnya dan memberikan seulas senyuman tipis. Menggenggam tangan kiri Angel.
Menciumnya lama dan mengusap pipi kanan Angel. "Maafin gue," Gumamnya. Tangan kirinya menyentuh kening perempuan itu. Menghilangkan jejak keringat yang membasahi wajah Angel. "Kalau lo sama gue lebih lama lagi. Lo akan merasakan sakit lebih dari ini, Ngel. Gue nggak mau. Gue mau lo bahagia, dengan ataupun tanpa gue didekat lo." Alex mencium tangan Angel. "Dulu lo bisa. Sebelum ketemu sama gue, Lo bisa Ngel. Jadi gue yakin lo bisa."
"Jangan sakit. Kalau lo sakit, gue lebih sakit. Kebahagiaan lo yang paling penting dihidup gue. Maafin gue, ngelepasin lo dengan cara yang salah."
Alex menatap wajah Angel dari samping. Diletakkannya kembali dengan lembut tangan Angel. Alex berdiri. Duduk di tepi ranjang dengan tatapan amat sangat bersalah pada perempuan itu. Menyingkirkan anak rambut yang basah karena keringat kebelakang telinga agar Alex bisa merekam wajah cantik Angel. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir dirinya bisa menatapnya lama.
"Gue sayang sama lo," Ujarnya lirih. Alex meneliti sekali lagi. Rambutnya yang hitam, alisnya yang begitu ia sukai. Mata yang selalu menatapnya membuat sesuatu dalam diri Alex bergejolak. Hidungnya yang mungil dan bibirnya yang pucat. Alex menyentuhnya. Mengingat kembali bagaimana ia mencuri ciuman pertama perempuan itu. Pipi merona dan malu-malu. Sangat menggemaskan dan juga menggelitik.
Alex mendekatkan wajahnya. Kedua matanya terpejam saat bibirnya menyentuh rasa hangat dari kening Angel. Mengecupnya lama. Bukan hanya dikening, Alex mengecup singkat ke pipi sebelum berakhir di bibir pucat yang dingin.
"Bukan sayang, Ngel. Tapi kayaknya gue udah cinta sama lo. Sebelum rasa itu tumbuh lebih besar, Gue harus menghentikannya." Alex menjauhkan wajahnya, merasa dirinya akan ambruk. Penglihatannya sudah semakin buruk.
Alex menggeleng cepat untuk menormalkan kembali penglihatannya. "Cukup gue yang tau rasa itu udah berubah. Gue nggak mau dia tau dan buat lo bernasib sama seperti sebelumnya," Alex tersenyum samar. "Dulu, perasaan itu belum ada. Tapi sekarang beda. Perasaan itu akan menghancurkan gue sendiri ataupun lo. Contoh kecil dia lukain tangan lo dengan jepitan panas. Itu bukan ketidaksengajaan, Ngel. Kedua, Serpihan kaca di sepatu lo." Alex menghembuskan napasnya pelan. "Dia udah kasih gue kode. Sebelum kejadian ketiga yang mungkin akan lebih parah dari sebelumnya."
"Gue emang pengecut. Pecundang. Gue nggak bisa lindungin lo. Untuk bongkar kasus kematian cewek yang dulu gue suka aja gue nggak sanggup, Ngel. Bokap gue lebih sayang sama dia dari pada anaknya sendiri. Karena apa? Karena nyokap gue yang selalu mengistimewakannya." Sesak di dada Alex sudah melewati batas kemampuannya.
Dirinya tidak pernah menceritakan soal kematian seorang perempuan yang ia sukai sewaktu dirinya duduk di bangku menengah pertama. Alex yang mengajaknya kencan berakhir di rumah sakit. Menyaksikan perempuan itu tewas mengenaskan. Awalnya tidak ada kejanggalan. Sampai Alex duduk di bangku menengah atas dan semua pengakuan yang membuatnya ingin terjun bebas.
Alex berdiri. Ia menggenggam tangan Angel sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan perempuan itu. Setiap langkah yang Alex ambil. Bayangan Angel selalu mengawasinya. Senyuman, sentuhan, aroma lavender yang akan selalu Alex rindukan setiap harinya. Setiap menit dan detik. Setiap ia menarik nafas dan mengedipkan mata.
Usaha untuk tetap baik-baik saja keluar dari ruangan itu sirna. Begitu menghilang dari pandangan Angel dan memastikan pintu tertutup rapat. Tubuhnya jatuh, rasa sakit yang ia tahan sejak tadi tidak bisa Alex sembunyikan lagi. Sebelum akhirnya pandangannya menjadi gelap seketika.
"Gilak! Ya kali ngajak nikah kayak main petak umpet," Bimo mengotak-atik tombol dihadapannya. Handphone miliknya ia letakkan disebuah tempat khusus disamping stir mobil. Mencari lagu yang pas untuk menemaninya melaju di kemacetan pagi. "Jangan ngaco, masih pagi. Nggak ngigo kan?" Bimo menatap perempuan yang terlihat di layar penuh ponsel miliknya. "Udah ya Anes. Kakak mau pergi dulu," Ujarnya dengan nada manis
"Kak! Mama serius!"
Bimo memutar bola matanya malas. la baru saja mendapatkan sebuah panggilan telpon yang membuat spot jantung. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba ibunya melakukan panggilan vidio call padahal mereka baru saja bertemu di meja makan. Dan bahasan Anea ke topik pernikahan. Aneh kan?
"Ya tuhan," Bimo gemas sendiri. Meninju-ninju udara dihadapannya dengan duduk yang tidak bisa diam seperti cacing kepanasan. "Kita bisa bahas nanti. Bimo lagi nyetir ASTAGA MAMA!" Pekik Bimo tidak tahan lagi. "Mama mau pasien mama bertambah?'"
"Jawab dulu. Iya apa nggak!"
"Nggak. Oke enggak! Fix NO! BIG NO ANES!" Bimo langsung mengambil ponselnya, mematikan dan melemparkannya ke kursi sebelah dengan kesal tanpa menunggu jawaban Anes.
Bimo menghembuskan napasnya lega. Menaikkan volume music dan bernyanyi seperti orang gila. Sepanjang perjalanan Bimo berusaha menghilangkan kalimat-kalimat Anes yang tidak masuk akal. Memasuki basement dan mencari parkiran kosong. Bimo mengambil kembali ponselnya dan mencoba mengaktifkan kembali. Banyak panggilan masuk dari Anes dan beberapa perempuan yang dikenalnya. Bimo mendorong pintu mobilnya dan kakinya berpijak pada lantai yang licin. Matanya langsung menangkap sosok perempuan yang keluar dengan terburu-buru. Membawa sebuah koper. Tanpa pikir panjang Bimo langsung menghadang. "Mau kemana, Lun?" Bimo mengedipkan matanya. Mengetahui jika ekspresi Luna tidak berubah. Bimo berdeham dan tersenyum simpul. "Biasa aja bu, lihatnya. Gue emang ganteng,"
Luna mengatupkan rahangnya. Ia menatap tajam Bimo yang membuat lelaki itu mengerutkan keningnya bingung. "Kalian bertiga. Ba-ji-ngan. Fuck, you fuck, really fucking fuck. Loser." Luna mendekatkan wajahnya dengan raut murka. "Dasar anjing."
Bimo menghembuskan napasnya lega saat Luna sudah berjalan menjauh. Ada aura aneh disekelilingnya tadi, yang Bimo baru rasakan pertama kali. Melihat seorang yang begitu dewasa, disegani dan selalu Bimo acungkan jempol untuk semua sifat Luna yang mendadak tidak bisa dimengerti. Ia mengelus dadanya dan memutar tubuhnya.
"Btw. Gue kucing bukan anjing," Luna menahan tangannya yang ingin membukanpintu mobil. Ia menatap Brayn tajam sebelum akhirnya melesat jauh dengan sedan merah. "Dasar bumil, kerjaannya marah terus,"
Bimo menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke parkiran dimana mobil Luna terparkir sebelum hilang. Mengerutkan keningnya, memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Tapi, kok dia bawa koperbsegala?" Tanyanya ke diri sendiri. Tidak ingin ambil pusing. Bimo langsung masuk ke lift. Mengantarkannya ke apartemen Alex.
Suasana apartemen tidak pernah berubah. Berantakan dan sangat tidak enak dipandang. "Lex?" Bimo mulai menelusuri tempat yang tidak ada dinding pemisah itu. Hanya ada dinding kamar yang tempatnya lebih privasi. "Lex? Eh, dia nggak mati di atas ring kan?" Bimo baru teringat sesuatu. Kepanikan langsung menghampirinya. Mencoba menghubungi Alex yang berakhir dengan suara wanita yang menjawab.
"Siapa lo?!" Segaknya.
"Oh, maaf mas. Ini ponsel atas nama pasien Alexander. Pemiliknya sedang di rumah sakit sekarang. Semalam dia pingsan. Apa anda wali--"
"Bukan mbak!" Potong Bimo cepat mengangkat tangannya ke depan dan menggerakkannya ke kanan-kiri.
"Kayaknya salah sambung. Tadi gue pencet nomornya asal,"
"Tapi nama Mas-nya Bimo kan? Ini nomornya di save kok,"
"Kalau mau tagih administrasinya. Cari aja di kontak namanya Leon. Dia walinya. Gue hanya wali kedua." Bimo tersenyum meski orang di dalam telpon tidak bisa melihatnya. "Eh, tapi pasiennya nggak papa kan? Maksud gue, dia nggak akan dipindahkan ke ruangan ICU kan?"
"SAYA PINDAHKAN KE RUANG JENAZAH! TERIMA KASIH!"
Bimo menatap layar ponselnya kaget. Ia mengerjap dan mengelus dadanya saat teriakan itu seperti ingin memecahkan gendang telinganya. "Dikira gue budeg," Bimo kembali dibuat jantungan saat Leon masuk dan menutup pintu dengan cara membanting. "Bisa santai nggak? Kenapa dari tadi gue ketemu orang yang marah-marah terus sih?! Anes, Luna, petugas rumah sakit dan sekarang lo!" Bimo menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Ini bukan hari marah sedunia kan?"
"Luna udah tau,"
Bimo mengerutkan keningnya. Memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. "Tau apa?"
"Tentang gue sama Alex. Dan juga Lily. Dia kabur sekarang, Luna kabur. Lemari bajunya kosong." Ujar Leon dengan napas tersengal.
Mata Bimo membulat. "Gue tadi lihat dia. Di basement, bawa koper." Leon menarik rambutnya kasar. Berbalik, meninggalkan Bimo. "Migel fight semalam," Leon terhenti, ia menatap Bimo kaget dengan tatapan kenapa nggak kasih tahu gue. Bimo mengangkat bahunya. "Gue juga nggak lihat. Dia fight sama Nando. Sekarang Alex di rumah sakit."
-
Rasa sakit di tubuhnya sedikit berkurang. Merasakan sebuah tangan menyentuh keningnya. Sangat lembut dan menghantarkan rasa nyaman di sekujur tubuhnya. Membuat mata enggan untuk terbuka. Rintihan dari bibirnya menghilang menjadi lebih tenang. Alex merasakan tangan itu begitu nyata. Mata yang awalnya diam mulai bergerak. Bulu mata yang menyatu perlahan terbelah menjadi dua. Tidak ada orang yang bisa ia lihat dihadapannya. Hanya langit-langit yang baru ia lihat pertama kali. Alex sadar ini bukan kamarnya, kamar Bimo ataupun kamar Leon. Ia kembali menutup matanya dengan hembusan napas pelan.
"Mau tidur lagi?"
Alex tersentak, menoleh ke samping dan terduduk kaget. Jantungnya yang tenang menjadi kalang kabut dengan napas yang tersengal. Alex langsung menyentuh bahunya, ia meringis, kedua mata terpejam menahan sakit. Pergerakkan tiba-tiba membuat tubuhnya nyeri seketika. "Mana yang sakit? Aku panggil dokter. Kamu tunggu disini."
Alex menahan lengan Angel. Perempuan itu menoleh dengan panik menatapnya. Sedangkan Alex masih bingung apa yang sedang terjadi. la melihat ada satu tempat tidur disebelahnya, dan Alex yakin itu tempat tidur Angel. Wajahnya menunduk, menatap tangan kirinya yang sudah terpasang infus. Alex memejamkan matanya. Kenapa ia memakai acara pingsan segala. Memalukan.
"Mana yang sakit? Tangan kamu? Kepalanya pusing? Mual? Kamu mau muntah?" Alex membuka matanya. Menatap Angel teduh.
Dalam lubuk hatinya ia senang melihat Angel sudah kembali menjadi cerewet. Bisa berjalan dan tidak tidur seperti mayat. Wajahnya sudah kembali seperti semula. Bukan seperti mumi. Alex menggeleng, menarik selang infus di tangannya membuat Angel memekik. "Kenapa dilepas?!"
Bukannya menjawab. Alex berangsur turun melewati sisi lain, kalah cepat saat Angel menghalangi. Perempuan itu memutari tempat tidur dan berdiri di depan Alex. Mengapit kaki Alex dengan kakinya saat lelaki itu hendak berpijak dilantai.
"Kamu mau ke mana? Wajah kamu udah biru semua. Kenapa infusnya dilepas?!" Mudah saja untuknya meloloskan diri, tapi Alex tidak ingin melakukannya. Karena jika ia melakukannya, Angel bisa jatuh ke belakang. "Kamu berantem?"
Alex menepis pelan saat jemari lentik itu ingin menyentuh wajahnya. Wajahnya yang sejajar dengan Angel membuat Alex salah fokus. "Gue nggak papa,"
"Kalau nggak papa kenapa bisa di rumah sakit? Terus wajahnya jadi biru-biru. Pundak kamu juga sakit kan?"
"Nggak-akh!" Alex meringis saat Angel memukul pundaknya.
"Kamu sakit. Sekarang baring,"
Rasanya nano-nano. Sakit, manis dan memalukan. Alex meraih lengan Angel, menariknya menjauh dari hadapannya.
"Nggak!"
Angel semakin mengencangkan kaki Alex yang diapitnya. "Kalau aku lepas, kamu pergi," Ucapnya bergetar. Angel melingkarkan tangannya di leher Alex. Menyembunyikan wajahnya di tengkuk lelaki itu. Alex memejamkan kedua matanya. Seharusnya ia tidak satu kamar dengan perempuan itu. "Aku cariin kamu ke apartemen. Kamu nggak ada,"
"Jangan cari gue lagi." Angel menggeleng, semakin mempererat pelukannya. "Lo bisa tanpa gue. Lo akan lebih bahagia tanpa gue,"
"Nggak mau,"
Sejenak. Alex memberi keleluasaan pada Angel untuk memeluknya. Kesempatan yang tidak Alex sia-siakan untuk menghirup aroma dari tubuh perempuan dihadapannya. Merasakan hembusan napas dan lembab di lehernya. kedua tangan Alex terangkat, ingin meraih tubuh itu agar lebih dekat. Mengusap punggung dan kepalanya untuk memberi ketenangan. Yang terjadi hanya menggantung di udara. Alex tidak bisa melakukannya, hanya sekedar mengelusnya dan mengatakan semuanya baik-baik saja sekarang.
Yang terjadi malah di luar kendali otaknya. Alex menarik tubuh Angel menjauh. Membuat perempuan itu kaget. Alex menyesal. Tidak ada cara lain. Alex berdiri. Membasahi bibirnya. Mencoba kuat untuk tidak menarik Angel kedalam pelukkan, perempuan itu menatapnya sambil terisak. Alex sedang berdiskusi dengan diri sendiri agar tidak memeluknya erat dan tidak ingin melepaskan.
"Gue pergi."
"Kembali ke perempuan itu?" Tanya Angel saat Alex berjalan melewatinya. Bahunya bersentuhan dengan lengan Alex.
Alex memejamkan kedua matanya. Mengepalkan kedua tangannya sebelum berkata dengan sangat pelan. "Karena dia rumah gue,"
Angel menggigit bibir bawahnya. Berusaha untuk tidak menangis. la menarik napasnya dan kembali berkata. "Lalu aku?"
"Lo, persinggahan sementara."
Lelaki itu membawanya pergi meski hujan sedang turun hingga membuat dirinya kedinginan, berhenti di tempat yang menjadi awal kisah mereka. Dan kata yang tidak ingin di dengar pun terlontar dari mulut lelaki itu. Apa yang akan terjadi? Seperti apa kelanjutannya? Langsung aja ke jalan ceritanya Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel