20. Cerita Api Unggun

Romance Completed 1120

Suara ketukan sebanyak tiga kali mengalihkan pandangan seorang perempuan dari layar televisi. Gerakan tangan yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil ikut terhenti. Angel menoleh. Ia bangkit dan berjalan mendekati pintu. Membiarkan handuk itu melingkar dilehernya. Sebenarnya Angel tidak mau mandi lagi, tapi tubuhnya lengket karena busa-busa menempel diseluruh tubuhnya. Angel memutuskan untuk mandi. Ia menyuruh Alex keluar dengan seluruh busa ditubuhnya.

Mengingatnya membuat Angel tertawa geli. Wajah Alex yang terlihat pasrah saat dirinya mendorong keluar dari kamar mandi. Lengket dan licin rasanya, selama ia mandi, Alex menunggunya di depan pintu dengan terus memberikan kalimat-kalimat ancaman yang begitu lucu karena Angel sangat lama.

Faktanya Angel tidak membutuhkan waktu lama untuk mandi, ia gemas sendiri dan memilih tetap di kamar mandi padahal ia sudah selesai. Ia dengan sengaja menghidupkan shower, agar pembohongan publik tidak terlalu terlihat. Duduk di atas kloset dan membalas ancaman Alex. Saat ancaman tersebut berubah menjadi rengekkan dan bujukan dengan nada memohon membuat Angel kasihan. Akhirnya Angel mengalah dan memutuskan mengakhiri permainannya.

"Kak Luna?" Angel yang tadinya hanya membuka pintunya sedikit kini menarik kebelakang hingga pintu terbuka sepenuhnya, memberikan senyuman manis pada perempuan cantik dihadapannya.

"Kenapa Kak?"

"Leon buat api unggun. Nanti lo bujuk Alex buat ikutan, ya," Angel mengangguk. "Kalau gue yang bilang dia nggak akan mau,"

"Iya, aku usahain,"

"Oke, kita tunggu dibawah,"

Tepat setelah Angel menutup pintu, Alex keluar dari kamar mandi. Angel membulatkan matanya dan berbalik badan menghadap pintu dengan cepat. Jantungnya berpacu kencang sampai Angel meremas kaosnya di bagian dada kiri.

Menormalkan pernapasannya yang mendadak menjadi kacau melihat Alex yang keluar hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Sebenarnya Angel sudah mulai terbiasa dengan Alex yang bertelanjang dada. Buktinya, tadi ia baik-baik saja dikamar mandi. Meski sempat kaget saat Alex membuka bajunya. Lelaki itu masih menyisakan celana pendek, bukan seperti sekarang hanya sebuah handuk.

Apa perbedaannya, Angel melihatnya sangat berbeda. Saat tubuh kekar itu memeluk pinggangnya di bak mandi, Angel berusaha agar tidak terbawa suasana. Apa semua tubuh lelaki begitu terlihat menggoda seperti Alex?

Angel hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah. Bersikap biasa saja padahal ia ingin berteriak malu saat matanya diberi kebebasan untuk menatap kotak-kotak diperut lelaki itu yang begitu panas. Angel merasa panas. Atau mungkin suhu airnya yang panas? Mungkin iya. Rasanya seperti terbakar. Dihembuskan nafasnya pelan. Angel menggerakkan kepalanya untuk memastikan Alex sudah menghilang dari pandangannya. Keningnya berkerut saat Alex tidak ada diruangan itu.

"Cariin gue?" Angel tersentak kaget dan menoleh ke sumber suara. "Bagus. Tadi lo kerjain gue, Angelista?" Angel memasang kuda-kuda. Alex melangkah maju, sesuai dengan Angel yang bergerak mundur ke belakang. Jantung Angel berpacu kencang. Wajah datar Alex terlihat lebih seram, belum lagi saat seringai tipis itu terlihat, Angel seperti tersayat. Sumpah ia menyesal mengerjai Alex. Angel tidak akan mengerjai lelaki itu lagi. Alex menatapnya seakan Angel seonggok daging yang lezat. Begitu mengerikan.

"N-nggakk," Angel menggeleng takut. Suaranya bergetar.

"Badan gue jadi gatel-gatel," Angel
menelan ludahnya. "Jadi, lo pilih ancaman gue yang mana?" Tanya Alex memberi Angel kelonggaran.

Angel menggeleng. Ia terus bergerak mundur, sampai kakinya menghantam sesuatu dibelakang dengan bunyi cukup keras hingga tubuhnya oleng kebelakang. "Alex!" Pekiknya reflek meraih tangan Alex, sebelum itu tangan tersebut sudah lebih dulu melingkar dipinggangnya agar tidak jatuh kebelakang. Meski Angel yakin kalaupun terjatuh tidak akan sakit karena dibelakangnya itu sofa.

Handuk yang melingkar di lehernya jatuh ke sofa. Angel melepaskan tangannya, berharap Alex membebaskan tubuhnya. Lelaki itu malah mempertipis jarak. Angel menahan nafasnya saat Alex mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di atas sandaran sofa. Kaki Angel menggantung.

"Kamu mau apa?" Perlahan tangan yang melingkar di lengannya mengendur. Membuat Angel bernapas lega. Alex meletakkan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri Angel. Hingga Angel terkurung di dalamnya. Alex sedikit membungkuk untuk menyetarakan tingginya dengan Angel.

Angel kembali salah tingkah saat di tatap Alex begitu intens. Memundurkan wajahnya saat hidung mancung Alex hampir menyentuh hidungnya. Angel meremas sofa untuk memberinya kekuatan agar tidak hilang konsentrasi. Perlahan. Sudut bibir Alex terangkat ke atas. Meski hanya sebuah senyuman tipis. Tubuh Angel menegang seketika. "Lo cantik kalau habis mandi. Apalagi mandinya sama gue," Reflek Angel menepuk pipi Alex saat mendengar ucapan lelaki itu. Membuat kedua mata cantik itu membulat kaget.

"Maaf." Ujar Angel menggigit bibir bawahnya.

Alex terkekeh pelan. "Selama ini, gue bermain dengan adil. Pukulan dibalas pukulan. Ciuman dibalas dengan ciuman," Angel menahan napasnya.

"Karena lo udah menampar pipi gue. Jadi lo tau kan apa maksud gue?" Kedua mata Angel terpajam saat tangan kanan Alex mengayun ke udara. Jantungnya berpacu cepat, remasan tangannya semakin kuat dengan tubuh menegang.

Angel memang merasakan sesuatu menyentuh tubuhnya. Lembut dan sedikit basah. Bukan dipipinya, tapi dilehernya! Angel membuka matanya lebar. Tidak menyingkirkan kepala Alex dilehernya. Sarafnya masih berjalan menuju otak agar otak memberikan perintah untuk menjauhkan kepala Alex.

"I like the smell of your body," Bisik Alex sekaligus menyadarkan Angel atas apa yang Alex lakukan. "Beautiful punishment, right?" Lanjutnya menggigit daun telinga Angel gemas, menghentikan menggoda perempuan itu yang hanya mematung. Alex tertawa renyah, meninggalkan Angel menuju koper yang diletakkan di atas ranjang.

Angel meraba lehernya dengan jantung yang masih berdebar kencang. Ia menggerakkan bola matanya, melihat Alex yang sudah menggunakan kaos berwarna abu-abu dan celana pendek. Rambutnya yang basah dibiarkan, menambah kesempurnaan saat Alex menyisirnya dengan jemari tangan. Tenggorokkan Angel kering mendadak. Tidak ingin otaknya semakin berpikir hal yang menjuruk ke negatif. Angel menggeleng cepat untuk menormalkan semua sistem tubuhnya yang mendadak konslet. Seakan ada petir yang menyambar dan membuat semua lampu padam.

"Kak Luna tadi ke sini," Alex mengangkat satu alisnya, menurunkan koper dari atas ranjang. "Ada acara api unggun,"

"Terus?"

Angel menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Kita disuruh gabung. Kayaknya seru, kamu mau kan?"

"Nggak," Jawab Alex mengambil sisir di atas nakas dan menyisir rambut Angel yang sudah sedikit mengering.

"Ayolah, Alex ? Em?" Angel memainkan kedua matanya seperti orang kelilipan. Bertingkah manja yang berhasil menarik perhatian Alex.

"Ngapain mata lo kedip-kedip gitu? Kelilipan?" Alex berkecak pinggang. Angel mendengus, menendang kaki Alex dengan berakhir ia meringis kesakitan sendiri. "Kan, bego,"

"Badan kamu itu besi semua tau, gak," Ujar Angel mengangkat satu kakinya. Mengelusnya sebentar berharap yang berdenyut nyeri segera hilang.

Alex tertawa pelan, hendak melihat kaki Angel, perempuan itu menahan tubuhnya agar tetap berdiri. "Nggak usah, aku nggak papa," Tolaknya mengerakkan tangan di dada. "Sebagai permintaan maaf kamu ikut aku aja,"

"Gue ngerasa nggak salah dan nggak minta maaf," Angel mulai dongkol. Alex mengerutkan keningnya bingung.

"Kamu nggak bisa ya, bilang iya aja, gitu?"

"Nggak,"

Angel menarik napasnya dalam dan membuangnya perlahan. Ia tersenyum, menutupi rasa emosi untuk tidak menarik rambut Alex sekarangjuga. "Jadi nggak mau?"

"Em," Balas Alex seolah menantang

"Jadi kamu mau aku pergi sendiri?"

"Gue nggak suruh, ya. Lo yang mau pergi sendiri," Alex berjalan menuju sofa. Angel mengekor dibelakang.

"Aku beneran pergi, nih,"

"Hati-hati,"

"Aku serius," Alex menghempaskan pantatnya di sofa. "Gimana kalau aku kepleset waktu jalan di pinggir kolam? Terus tiba-tiba monyet samperin aku lagi? Atau nggak aku ke sasar malah jalan ke hutan? Di makan hewan buas, kamu mau?" Tanya Angel mendramatisir keadaan, Alex menggaruk kepalanya menggunakan remot. "Atau yang paling parah, aku diculik-"

"Siapa yang mau culik lo? Orangnya mikir dua kali kalau mau culik lo,"

"Kok kamu nyebelin?!" Angel menghentakkan kakinya, menatap Alex tidak suka. "Ya udah kalau nggak mau. Jangan nyesel aja kalau kamu nggak bisa ketemu lagi sama aku." Ujarnya meninggalkan Alex begitu saja. Angel mengambil kardigan berbahan sutra dan langsung mengenakannya secara asal-asalan. Tanpa menoleh lagi, ia menghempaskan pintu kamar membuat Alex tertawa geli.

"Oh, bisa marah juga," Gumam Alex bangkit dari tempat duduknya. Ia menenteng sebuah benda ditangannya dan berjalan menyusul Angel. Melihat perempuan itu yang berjalan asal-asalan dengan langkah pendek namun cepat. Tiga kali langkah perempuan itu, sama dengan satu langkah yang Alex ambil. Sehingga dengan cepat ia berada di belakang tubuh Angel.

"Jadi?"

"Zeus!" Angel terduduk lemas dengan tangan menutup kedua teling, suara beratnyang begitu pelan sangat dekat di telinganya. la mendongak dengan jantungnberpacu seperti langkah kuda. Angel mengelus dadanya saat mengetahui orang itu Alex.

Alex tertawa kecil, berjongkok dihadapan perempuan itu. la sedikit mencondongkan tubuhnya untuk memasang sebuah syal di leher Angel. Angel mematung. "Lo pernah bilang kalau tubuh lo bermasalah saat dingin." Sebenarnya bukan itu alasan sesungguhnya, ada bekas kecupan merah yang ia buat di leher Angel. Perempuan itu tidak menyadarinya. "Nanti lo bersin,"

Angel mendengus pelan. Membiarkan Alex membantunya berdiri. "Kamu ikut, kan?" Alex membuang nafasnya pasrah. Angel melompat kecil dengan senyum yang mengembang. la menarik tangan Alex, yang nyatanya itu tidak akan pernah bisa Angel lakukan jika Alex tidak menggerakkan tubuhnya. Keduanya berjalan bersisihan. Sekarang statusnya berbalik. Alex yang menggenggam tangan perempuan itu untuk mengikutinya. Melewati jalan setapak hingga akhirnya sebuah api yang menyala terlihat.

Terdengar suara lagu nan lembut menemani malam yang begitu indah. Cuaca sangat bagus. Banyak bintang yang bertebaran dan memancarkan cahaya ke lautan. Kelap-kelip lampu yang mengelilingi pohon disekitaran hotel, seperti sebuah pertunjukkan. Ada pemanggangan. Meja yang lumayan besar dan banyak makanan yang tersaji disana. Kedua mata Angel berbinar. Selama ini liburan yang ia habiskan untuk membantu ayah di sawah. Tidak ada liburan yang memang dilakukan orang-orang seperti Leon. Menganggap liburan memang harus berlibur dan have fun.

"Hai, Kak," Sapa Angel mengangkat satu tangannya. Luna membalas dengan senyuman hangat dan menyerahkan piring kosong pada Angel.

"Pilih yang lo mau, babe," Ujar Luna mengedipkan matanya. Angel mengangguk.

"Makasih, Kak,"

Angel mulai memilih makanan yang menurutnya bisa dimakan. Karna jujur saja, kebanyakan dari makanan yang tersaji, Angel tidak mengenalnya bahkan baru ia lihat pertama kali. "Kamu mau makan apa?" Angel menyikut pinggang Alex. Alibi karena sebenarnya Angel bingung harus makan apa.

"Dibaca Angel, tuh. Ada tulisannya kalau lo nggak tau," Angel cengengesan. Ia tidak tahu ada tulisan kecil yang tertera di sana.

Mengambil beberapa makanan yang akan mengganjal perutnya sampai pagi. Alex juga memilih dan meletakkannya satu piring bersama Angel. Merasa piring yang ia pegang sudah seperti gunung. Angel mencari sebuah tempat duduk. Ada sebuah kursi rotan yang disusun secara melingkar. Di tengahnya ada sebuah meja bundar dan berbagai jenis minuman.

Angel memberikan senyuman pada Lily. Dibalas perempuan itu dengan senyuman tipis. Tidak ada kecanggungan yang terjadi antara Alex dan Lily. Semuanya terasa baik-baik saja. Untuk sekarang, Angel akan menutup mata.

"Ngel?" Angel menoleh cepat. "Kepala lo udah nggak sakit?" Bimo mengambil tempat duduk disebelah Angel. Artinya lelaki itu berada ditengah antara dirinya dan juga Lily.

"Hei, Kak. Udah nggak papa, kok. Jangan khawatir,"

"Sory banget, gue nggak sengaja."

"Iya aku tau. Udah jangan merasa bersalah,"

"Dia emang salah." Celetuk Alex sama sekali tidak menatap kedua orang itu. Melahap makanan yang tadi dipegang Angel.

Angel memandang kesal ke arah Alex lalu menunjukkan senyuman manis saat menatap Bimo. "Buktinya aku nggak, papa. Jangan dipikirin,"

Bimo mengangguk, mengambil minuman kaleng. Membukanya dan meneguknya hingga setengah. "Btw, lo cantik malam ini," Berhasil. Alex menoleh dengan cepat menatap Bimo.

"Em?" Angel mengerjapkan matanya. "Maaf aku nggak konsen. Kak Bimo bilang apa tadi?"

Bimo terkekeh pelan saat Alex mulai tersulut emosi. "Nggak. Gue cuma bilang pemandangannya cantik,"

"Oh, iya. Cantik banget."

Bimo memiringkan sedikit kepalanya ke kiri, membalas tatapan Alex kemudian tawa pelan terdengar. Bimo meneguk habis minumannya dan membuangnya dengan cara ia lempar ke belakang. Kaleng tersebut masuk tepat ke tong sampah. Perut Angel mulai terisi penuh. Makanan dipiring yang Alex pegang sudah hampir habis. Kursi-kursi yang kosong mulai terisi. Di sebelah kiri Alex ada Luna, di sebelahnya lagi Leon dan juga Ferdy. Membentuk sebuah lingkaran. Tidak ada obrolan yang biasa Angel dengar. Alex, Bimo, Leon maupun Ferdy sibuk dengan urusan masing-masing. Sampai akhirnya Luna memecahkan konsentrasi. Ia memukul meja dengan kaleng kosong untuk merebut perhatian semua orang. Dengan cepat, perempuan itu mengangkat meja hingga benda di atas meja saling berjatuhan.

"Mau ngapain, sih?" Tanya Leon mulai risih saat Luna menunjukkan sisi tomboynya. Luna tersenyum, meletakkan meja kembali ke posisi dan menatap orang-orang secara bergantian.

"Dari pada diem aja. Kita main permainan truth or dare," Usul perempuan cantik itu. Hanya ada dua orang yang excited. Angel dan Bimo. "Dua orang nih?"

"Fer? Mau ikutan kan?"

Ferdy berfikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Oke, boleh juga." Luna memberi jempol pada Ferdy. "Honey?" Lily mengangguk pelan.

"Gue gak ikutan," Entah itu direncanakan atau tidak. Alex dan Leon saling melempar tatapan saat kalimat yang mereka keluarkan secara kompak dan diwaktu yang sama.

"Alex ikut!" Angel mengangkat tangannya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alex. Sengaja Angel tidak menatap lelaki itu, ia yakin tidak punya nyali membalas tatapan Alex.

"Coba aja kalau lo mau kabur," Ancam Luna yang membuat Leon mendesah frustasi. Luna menggebrak meja. "Oke kita mulai permainannya."

Hanya ada satu botol air mineral yang isinya tinggal setengah. Luna menatap sekelilingnya seakan memberitahu permainan akan di mulai. Luna memutar botol tersebut. Botol berputar sangat kencang. Nyatanya dari semua orang yang terlihat biasa saja, Alex dan Leon adalah orang yang paling memperhatikan ke arah mana tutup botol akan berhenti. Keduanya harap-harap cemas. Membatin dalam hati agar tutup botol tidak menujuk ke arah keduanya. Perlahan. Putaran itu menjadi pelan dan sangat pelan. Tutup botol berhenti menunjuk Bimo.

Tanpa orang sadar. Alex dan Leon menghembuskan napasnya lega. Angel dan Luna bersorak sambil menunjuk Bimo. Lelaki itu bukannya merasa terkucilkan melainkan menantang.

"Ayo silahkan, mau tanya apa?"

"Ada yang mau tanya?" Luna menunjuk satu persatu.

"Aku," Angel mengangkat tangannya.
Luna mempersilahkan. "Kak Bimo.
Masuk kuliah kedokteran dipaksa sama
orang tua atau kemauan sendiri?"

"Ck," Alex mendecih pelan. Sungguh pertanyaan yang tidak berbobot.

"Jujur ya, " Angel mengangguk.

"Paksaan,"

"Lo bilang kemauan?" Ferdy bertanya dengan kening berkerut.

"Nggak. Cut dulu. Ferdy nggak boleh tanya lagi. Itu pertanyaannya udah gue jawab,"

"Lah si geblek," Ferdy melempar botolnyang berjatuhan dibawah Kakinya ke arah Bimo.

"Bim,"

"Iya sayang,"

Luna berfikir sebentar. "Misalkan nih, ya. Ternyata lo orang yang bunuh Maura. Apa yang bakal lo lakuin?"

Pertanyaan Luna berhasil menarik perhatian Alex dan Leon yang dari tadi ogah-ogahan. Keduanya menatap Bimo, menunggu jawaban lelaki yang sedang berpikir itu. Harap cemas karena menyangkut pribadi Bimo.

"Mungkin selamanya gue melajang," Bimo tersenyum. "Its oke Lun. Gue tau lo nggak berpihak ke gue. Meski gue bilang bukan gue pembunuhnya, lo nggak akan percaya." Bimo tersenyum. Suasana mendadak menjadi tegang. "Gue nggak bunuh sepupu lo,"

Luna tersenyum getir. "Tapi lo lagi sama dia dilokasi kejadian."

"Bukan tandanya gue yang bunuh cewek gue sendiri. Simple aja, gimana kalau gue tuduh lo bunuh Leon? Permasalahannya karena dia selingkuh," Leon berdeham. "Dengan alasan lo ada di lokasi kejadian,"

"Lo lagi dalam pengaruh alkohol saat itu. Apa yang bisa dipercaya dari orang yang lagi mabuk?"

"Gue emang nggak sadar. Tadi gue nggak pernah bawa benda tajam di mobil gue,"

"Lo selalu bawa Bim. Polisi temuin seperangkat senjata api dan itu punya lo,"

"Itu emang punya gue. Tapi pisau itu bukan punya gue,"

"Jejak tangan lo ada di sana,"

Bimo menghembuskan napasnya. "Whatever you think," Bimo tersenyum. "Gue tetap iblis di mata kalian,"

"Apa yang buat lo yakin kalau lo bukan pembunuhnya?" Pertanyaan itu bukan diajukan oleh Luna, melainkan Leon. Angel yang tidak mengerti apa-apa hanya diam menyaksikan ketegangan yang terjadi.

"Gue kidal. Buat nulis aja gue susah, apalagi nusuk orang pake tangan kanan. Tangan kanan gue nggak sekuat milik Alex," Leon terdiam. Bergelut dengan pemikirannya sendiri. "Meskipun gue keluar masuk penjara, gue masih punya akal sehat,"

"Lo konsumsi Narkoba."

"Nggak anjing." Bantah Bimo cepat. "Udah berapa kali gue jelasin. Ada yang jebak gue dengan kasih rokok yang isinya barang itu. Kita udah bahas ini, Le."

"Well. Siapa tau lo tertarik waktu udah nyicip," Leon mengangkat bahunya acuh.

"Ada seorang cewek," Kalimat itu berasal dari Alex. Membuat perhatian tertuju pada lelaki itu. "Diam-diam dia nyimpen perasaan ke lo," Alex menggerakkan matanya menatap Lily yang mulai merasa bahwa Alex membicarakannya. "Apa yang bakal lo lakuin?" Alex kembali menatap Bimo.

"Gue tau kalau gue orang yang paling menarik di antara kita berempat," Sontak Alex, Leon dan Ferdy mendengus. "Kalau ada yang suka sama gue diam-diam. Gue akan bilang. Gue juga suka sama lo. Selesai," Alex mengibaskan tangannya tanda tidak ingin melanjutkan.

Bimo tersenyum penuh kemenangan. "Udah semua?" Tanya Bimo. "Oh ya," Bimo memutar tubuhnya. "Mau tanya ly?" Lily menggeleng. "Oke. Sekarang gue putar,"

Bimo memutar botol sampai beberapa kali, dan selalu jatuh dari meja. Luna menyingkirkan tangan Bimo. "Nggak pake seluruh tenaga juga," Hadriknya. Bimo cengengesan.

Botol kembali berputar. Tenang dan perlahan akhirnya menunjuk Ferdy. Luna dan Bimo bertepuk tangan. Ferdy menghembuskan napasnya pelan.

"Waktu itu lo pernah cerita tentang orang yang lo sukai," Alex bergerak gelisah di kursinya. "Kasih tau kita namanya, anak mana, dan kita sekelas nggak sama dia,"

Ferdy menggerakkan matanya. Mencoba mencari bola mata Alex yang sama sekali tidak menatapnya. "Apa hukumannya?"

Bimo menepak meja dengan menghembuskan napasnya. "Yah nggak seru lo, Fer." Ferdy tersenyum. "Oke, karena lo nggak bisa jawab. Gue kasih lo hukuman buat cium Alex,"

"Fuck Bimo!" Alex menoleh cepat. Bimo tertawa terbahak. Tidak dengan Alex yang sudah tersulut emosi.

"Oke, oke. Nggak. Hukumannya kerjain BAB satu sama dua aja."

"Ye modusan lo!" Leon melempar sandal yang ia pakai dan jatuh tepat di kepala Bimo. Ferdy tertawa kecil lalu mengangguk. Bimo berseru ria.

"Ferdy," Luna memanggil. Ferdy menunggu. "Apa yang buat lo berantem sama Alex?" Alex memejamkan matanya ketika semua pertanyaan bersangkutan dengan dirinya.

Ferdy berdiri, melangkah mendekati Luna dan mendaratkan sebuah ciuman manis di pipi perempuan itu. Luna mendecih pelan. Tandanya pertanyaan Luna tidak akan dijawab oleh Ferdy. Leon menendang lengan Ferdy.

"Aku mau tanya," Alex menatap perempuan disebelahnya. "Apa yang Kak Ferdy nggak suka dari Alex, Kak Bimo dan Kak Eon?"

"Emmm.." Ferdy berpikir sebentar.
Mengingat hal yang paling menyebalkan
saat bersama ketiga lelaki itu. "Bimo. Dia
datang kalau lagi butuh duit doang,"

"Eh, si kampret. Fitnah aja lo,"

Ferdy tidak menanggapi. Ia melanjutkan. "Leon? Dia lebih sukses dari gue," Ujarnya dengan nada bercanda. "Dan Alex. I think, nothing." Ferdy menatap Alex memuja. 'Gue suka semuanya.' Batinnya.

Bimo dan Leon mendengus. "Dia yang paling banyak ngeselin di antara kita berdua," Cibir Bimo masih tidak terima.

"Oke lanjut." Luna kembali mengintrupsi. Memutar botol sampai hal yang paling Leon hindari terjadi. Tutup botol itu menunjuk dirinya. "Leon!" Luna mengambil alih sebagai orang pertama yang bertanya. "Apa yang lo sembunyiin dari gue? Jujur!"

Alex tersenyum miring. Menunggu jawaban yang akan Leon berikan. Sementara Leon berusaha bersikap santai.

"Gue sembunyiin sepatu lo yang warna hitam di lemari gue," Luna mengerutkan keningnya. "Gue lebih suka liat lo feminim," Saat Luna ingin menyela jika bukan itu maksud dari pertanyaannya, Leon dengan cepat berkata. "Satu pertanyaan, sayang," Leon mencium pipi Luna.

"Apa yang buat lo berantem sama Alex?" Pertanyaan itu di ajukan oleh Bimo. Leon menggigit bibir bawahnya untuk berpikir. Sampai gerak-gerik Leon ingin bangkit, Bimo langsung mencari titik aman. "Stop anjing. Jangan cium gue!"

Bimo melempar sepatunya ke arah Leon, lelaki itu hendak menghampirinya. Angel tertawa geli melihat kekonyolan Leon dan Bimo. Dimana, Bimo mempertahankan harga diri untuk tidak menerima kecupan menjijikan dari Leon. Namun Leon senang sekali menggoda Bimo. Ia memeluk Bimo mesra, meski yang di peluk memeberontak, memukul, menjambak, menampar, menendang. Leon mencoba menahan kepala Bimo untuk tetap diam. Hingga akhirnya Bimo merasakan lembut dan lembab mendarat di pipinya.

"BANGSAT LEON!" Pekik Bimo saat Leon sudah membebaskan tubuhnya, mengelap pipinya dengan syal yang menggantung dileher Angel.

Suasana yang tegang mendadak cair akibat kekonyolan keduanya. Tapi itu hanya sesaat. Saat Alex mengajukan sebuah pertanyaan. "Dia, atau Luna?"

Alex bertanya dengan pelan namun tajam, membuat suasana terasa mencekam. Tawa Angel dan Luna menghilang ditelan bumi. Leon menatap tajam Alex yang dibalas tidak kalah tajam oleh Alex. Keduanya menatap sengit. Saling menyalakan api satu sama lain. Luna menatap Leon dengan kening berkerut. Tidak paham dengan pertanyaan yangndilontarkan Alex. Terlihat seringai tipis di bibir Alex. Merasa puas membuat Leon diam tidak berkutik.

"How about You?" Tantang Leon balik. "Dia, atau Angel?"

Senyum miring di bibir Alex berpindah pada Leon. Lily hanya menunduk. Memilin jemarinya di atas pangkuan. Ferdy tersenyum penuh arti saat melihat gelagat aneh antara Alex, Leon dan dia. Ferdy tahu permasalahannya sekarang.

Semilir angin semakin kencang. Malam semakin larut. Api unggun semakin mengecil, sehingga m pencahanyaan sedikit meremang. Di tambah suasana semakin yang semakin mencekam. Bimo mengetuk ujung jemarinya dipegangan kursi. Menggigit bibir bawahnya dengan pandangan tertuju pada ombak. "Lun," Panggil Bimo memecahkan keheningan. "Lo liat ponsel gue nggak?" Luna mengerutkan keningnya. "Tadi waktu gue main ke kamar lo. Kayaknya ketinggalan di sana,"

"Ya udah nanti di ambil,"

Bimo menggeleng. "Gue butuhnya sekarang. Bokap gue akan kasih kabar soal persidangan malam ini," Luna memutar bola matanya malas dan memberikan kunci kamar pada Bimo. "Gue minta ambilin, kayaknya perut gue bermasalah. Nanti samperin gue ke toilet di lobby. Ngel, Lo bisa temenin Luna?"

Angel mengangguk, berdiri dari tempat duduknya menghampiri Luna yang terlihat malas untuk beranjak pergi. Angel merasa Bimo sedang mencoba untuk menenangkan keadaan. Angel tidak terlalu yakin siapa 'dia' yang dimaksud Alex. Tapi Angel tahu 'dia' yang dimaksud Leon. Dan 'dia' yang kini sedang duduk ditengah-tengah seorang lelaki.

Dua perempuan itu pergi ke hotel untuk mengambil ponsel Bimo di kamar luna. Ketika tepat di depan lobby, tiba-tiba Angel bersuara. "Aw," Angel mencengkram tangan Luna disebelahnya. Ada sesuatu yang menusuk dan terasa basah ditelapak kakinya. Berdenyut nyeri dan sakit.

"Ngel? Kenapa?" Luna meraih tangan Angel, menuntun perempuan itu untuk duduk di sofa lobby.

"Nggak tau Kak. Kayak ada sesuatu disepatu aku," m Luna berjongkok dihadapan Angel. Perlahan, ia membuka sepatu kiri Angel dan seketika mulutnya terbuka sempurna.

"Oh my God!" Luna panik, menarik taplak meja yang berada disebelahnya lalu ia lilitkan pada telapak kaki Angel yang tersayat lumayan besar. Darah segar menutupi telapak kaki Angel. Banyak dan terus menetes dilantai. "Sakit?" Angel mengangguk menahan rasa nyeri saat Luna membalutnya.

Luna ikut meringis, seakan merasakan rasa sakit di kaki Angel. "Tunggu di sini, Gue ambil kotak obat." Angel mengangguk, melihat punggung Luna yang berjalan menjauh dan hilang dibalik tembok. Angel menunduk, menatap sepatunya lama sebelum memutuskan untuk memeriksa. Tangan kanannya mengadah, bersiap menangkap sebuah benda yang akan keluar dari sepatu.

Angel terdiam saat sebuah serpihan kaca kecil keluar dari dalam sepatunya. Seingat Angel. la tidak memecahkan sebuah barang berupa beling ataupun kaca dan sejenisnya. Kenapa benda kecil yang sangat tajam bisa masuk ke sepatunya. Angel menghembuskan napasnya, membuang serpihan kaca ke tong sampah yang terletak tidak jauh darinya. Ia melihat Ferdy dan Lily berjalan mendekat.

"Kaki lo kenapa?" Tanya Lily dengan kening berkerut. Angel menggeleng, tersenyum pada Lily. Untuk pertama kalinya perempuan itu bertanya padanya tanpa harus Angel yang membuka percakapan.

"Kayaknya ada binatang disepatu aku. Jadi dia gigit," Ujar Angel asal.

"Sebelum pake sepatu, pastiin dulu lain kali," Ferdy berjongkok. Ia meraih kaki Angel, meletakkan di atas pahanya. Angel tersentak kaget sekaligus senang melihat Ferdy yang memeriksa lukanya.

"Aku nggak papa, Kak," Angel mengulum senyum melihat Ferdy yang begitu perhatian. Tepat saat Luna kembali membawa kotak obat.

"Lo jaga Angel bentar. Gue mau ke kamar ambil ponsel Bimo." Ferdy mengangguk.

"Ly temenin gue,"

Bimo dan Ferdy sama-sama mengambil kuliah kedokteran. Ferdy yang baru saja menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar sebagai Dokter umum. Tidak dengan Bimo yang mogok dijalan karena kasus yang menimpanya. Jika dokternya seperti Ferdy. Angel yakin sudah sembuh terlebih dahulu begitu melihat wajah seorang Ferdy. Ini pertama kalinya Angel merasa Ferdy begitu hangat. Tidak ada aura yang membuatnya takut untuk mendekat. Sekarang semuanya terlihat baik-baik saja. Ferdy tidak seperti apa yang Angel pikirkan. Dia adalah lelaki yang begitu hangat.

"Kak Ferdy, mau ambil spesialis apa?" Angel memberanikan diri untuk membuka obrolan.

"Rencananya kandungan, tapi masih banyak pertimbangan." Angel mengangguk pelan. Sedikit meringis saat Ferdy membersihkan luka di kakinya.

"Tahan dikit,"

"Iya,"

Angel tidak banyak bertanya. Rasanya terlalu aneh dan canggung. Tidak seperti pertama kali ia mengenal Leon dan Bimo. Mengalir apa adanya. Angel memperhatikan Ferdy yang melilitkan perban di kakinya. "Kenapa lo suka Alex?"

"Em?" Angel menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. "Dia baik," Ferdy tertawa kecil, Angel bisa melihatnya. "Dia selalu menjaga aku,"

Ferdy meletakkan kaki Angel ke lantai setelah ia menyelesaikan tugasnya. Ferdy menatap Angel. "Dia nggak akan jaga lo," Ferdy tersenyum. Tidak. Bukan sebuah senyuman manis seperti Alex. "He'll just give you pain."

Jantungnya berdetak. Angel mencoba tersenyum meski ia yakin senyumannya bergetar. Perlahan tapi pasti, senyuman itu menghilang. Ia meremas pinggiran sofa. Angel suka melihat orang tersenyum. Menurutnya sangat cantik. Begitu juga dengan Ferdy. Angel menghilangkan apa yang ia pikirkan tentang Ferdy, semua praduga jika Ferdy tersenyum hanya untuk sebuah permainan.

"Alex is danger. You will always be in an emergency. Now, tommorow, and the next day," Intonasi suara Ferdy terdengar biasa. Saat semua kalimat itu masuk ke indra pendengarannya. Terdengar pelan, tajam, mencengkam dan seperti sebuah perhitungan. Bagaikan suara hantu di film yang pernah Angel tonton. Sukses membuat bulu kuduknya berdiri. Angel memejamkan kedua matanya. Menghilangkan kalimat Ferdy yang terus menggema ditelinganya. Merasakan tangan lelaki itu menyentuh pipinya. Angel tercekat. la membuka mata, berharap Ferdy tidak berubah menjadi hantu yang paling menyeramkan.

"Be careful,"

- sisi lainnya di waktu yang sama

Ada yang bisa Bimo tangkap dari pertanyaan Alex. Permasalahan yang menyebabkan kedua sahabat itu saling adu jotos. Ketika suasana mendadak menjadi sangat tegang. Bimo berbohong perihal ponselnya yang tertinggal di kamar Luna. Tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang sedang menunggu panggilan masuk dari seseorang. Kedua lelaki yang sedang bersamanya terlihat santai. Satunya menikmati rokok yang di hisapnya dan satunya lagi asik dengan ponselnya. Angel dan Luna pergi, kedua kursi itu kosong. Menjadi pembatas satu sama lain.

"Jadi? Siapa yang mau jelasin duluan?" Bimo membuka suaranya setelah merasa suasana menjadi lebih tenang, menatap Alex dan Leon bergantian. Keduanya sama sekali tidak membalas tatapan Bimo. Seolah tidak ada yang berbicara. Bimo menghembuskan napasnya. "Dia?" Tanya Bimo tertawa sakartis. "Jangan katakan apa yang gue pikirkan adalah benar," Lagi. Keduanya sama sekali tidak terganggu dengan kalimat Bimo. "Oh shit," Gumam Bimo membuang wajahnya. Napasnya menjadi lebih kasar. Dadanya naik turun dengan cepat. Rasa sesak di dadanya. Seakan ada orang yang membekap wajahnya dan Bimo kesulitan untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen.

Apa yang dipikirkan Alex dan Leon. Bertengkar karena seorang perempuan? Bimo bahkan kehabisan kata-kata untuk membuka mulutnya. Rasanya kelu dan percuma. Tidak. Maksud Bimo bukan seperti itu. Tapi. Hei! Seorang perempuan?! Bukan, lebih tepatnya seorang jalang? Dimana akal sehat mereka. Berada di dengkul? Ah, selangkangan. Jika sudah berurusan dengan pangkal paha sudah mati di buat lemas. Tidak ada logika dan perasaan. Ketika nafsu mengalahkan segalanya. Dua orang idiot. Jika ada kata yang lebih menggambarkan seseorang yang punya otak tapi tidak bisa menjalankan otaknya dengan benar. Itulah sebutan untuk kedua lelaki bangke yang tidak merasa bersalah sama sekali.

Keduanya brengsek. Bimo tidak pernah melarang. Terserah, bodo amat, peduli kasih, najis untuk mengurusi kisah cinta orang lain di saat dirinya punya masalah lebih besar dari Alex dan Leon. Yang tidak bisa Bimo mengerti di sini adalah. "Kenapa lo berdua berantem hanya karena jalang?"

Selama itu tidak merugikan dirinya. Bimo tidak akan ambil alih. Tapi di sini, Bimo sangat terganggu saat Alex dan Leon saling melempar tatapan tajam, kalimat sakartis, saling menjatuhkan dan bisa saja saling membunuh. Semua itu karena jalang?

Bimo menarik rambutnya kasar. "Punya otak?" Tanyanya dengan suara pelan. Sangat pelan. Bimo memejamkan kedua matanya sebelum akhirnya terbuka dengan kilatan emosi, Bimo berteriak.

"JAWAB GUE BAJINGAN!" Napas Bimo naik turun dengan cepat. Urat leher dan tangannya terlihat dan rahang mengeras. "Gue nggak peduli lo berdua main sama cewek manapun. Tapi gue nggak suka kalau hanya karena seorang jalang temen gue jadi berantem."

"Urusin masalah lo sendiri," Jawab Alex pelan. Ia menatap Bimo tidak suka. "Seharusnya lo tanya sama dia,"

"Lo juga sama," Leon tidak terima. Ia merubah posisinya untuk menghadap lawan bicaranya. "Lo yang mulai. Kalau lo nggak main sama dia, semuanya akan baik-baik saja,"

Alex mendecih pelan. Menekan ujung rokoknya di meja. "Baik-baik aja?" Alex memiringkan kepalanya menatap Leon dengan tawa kecil. "Yang lo maksud baik-baik aja adalah tanpa diketahui Luna?"

"Luna urusan gue,"

"Gue tau lo pernah ke sini berdua sama dia. Lo mau nebus kesalahan lo sama Luna dengan bawa Luna ke sini."

"Kenapa nggak sekalian lo kasih tau yang sebenarnya sama Luna? Gue nggak keberatan,"

Alex tersenyum miring. "Gue nggak tertarik sama urusan pribadi lo," Bimo memejamkan kedua matanya mendengarkan pembicaraan Alex dan Leon. "Lo pengecut,"

"Dan lo pecundang," Balas Leon tidak kalah sengit. "Lo selalu buat masalah tapi nggak bisa nyelesain masalah lo sendiri. Diam bukan jalan aman. Lo selalu ambil jalan itu untuk ke titik aman." Bimo membuang napasnya kasar. Ia berdiri dengan kedua tangan berada dipinggang. Alex dan Leon saling menatap tajam.

"Lepasin Lily," Alex mengepalkan tangannya. "Dan gue lepasin Luna,"

"BANGSAT!"

Leon terhuyung ke belakang. Tubuhnya berguling di pasir. Rasa asin dimulutnya menandakan ada yang robek di sekitar bibirnya. Cepat dan tidak sempat Leon tangkis. Berdenyut nyeri dengan pandangan yang mengabur. Leon meludah, warnanya berubah menjadi merah kental.

Alex menurunkan tangannya yang terangkat di udara. Bukan Alex yang melakukannya. Ia kalah cepat dengan tangan Bimo yang lebih dulu menghantam pipi kanan Leon.

Orang yang menyalakan api adalah Alex. Orang yang menyiram bensin ke tubuhnya adalah Leon. "Sakit Le?" Leon berdiri dengan tertatih. Menyeka ujung bibirnya. "Itu dari Luna. Dan," Posisi Alex yang tepat berdiri dibelakangnya mempermudah Bimo memberikan satu pukulan di pipi kanan Alex. Lelaki itu tidak melawan. Melainkan membiarkan saat tangan itu mendarat di wajahnya. Jujur saja, Alex bisa menghindar. "Itu dari Angel,"

Bimo menarik napasnya dalam dan mengeluarkannya dengan satu hentakkan. Ia menatap kedua orang di samping kanan kirinya bergantian dengan perasaan campur aduk. "Hubungan pertemanan lo berdua rusak karena Lily. Jangan rusak hubungan pertemanan Luna sama Lily karena lo. Leon," Tunjuk Bimo. "Yang lo pikir hanya selangkangan,"

"Selangkangan?" Leon tertawa sakartis. "Gue sayang sama dia bukan nafsu seperti Alex!" Leon menunjuk Alex emosi. "Gue sayang tanpa mikir kehidupan dia yang seorang jalang. Gue terima dia apa adanya. Gue dapetin apa yang nggak bisa gue dapetin dari Luna. Lily punya itu. Lo nggak akan ngerti Bim, lo dapetin itu semua dari keluarga lo. Lily bukan hanya sekedar puasin gue tapi dia rangkul gue, dia orang yang buat gue percaya diri kalau gue bisa hidup tanpa kasih sayang orang tua! Ngerti lo bangsat!"

"Yah.. Gue salut sama pemikiran lo anjing. Lo bawa Lily ke dunia yang lebih baik. Dan lo nggak mikir udah jeblosin Luna ke dunia hitam!" Bimo menarik kerah baju Leon. "Luna udah rusak sama lo," Bisiknya. "Hanya ada dua pilihan setelah dia tau semua masalah ini. Pertama dia mutusin buat jadi jalang karena terlanjur udah lo rusak. Kedua dia bunuh diri karena nggak terima udah lo rusak." Bimo mendorong tubuh Leon. "Gue nggak mau lo nyesel saat dia udah sama Tuhan. Lo nggak tau rasanya. Bunuh diri juga gak pantas buat tebus semua kesalahan."

Bimo menendang kursi di dekatnya. Sampai kursi tersebut melayang sejauh tujuh meter. "Terserah. Bukan urusan gue lo pilih yang mana. Disini gue udah berusaha untuk jadi teman yang baik. Berdiri ditengah buat kalian, sampai gue pikir lagi. 'Ngapain sih, gue?' Peduli amat. Tugas gue selesai. Itu nasihat gue, mungkin sekedar kalimat yang nggak penting menurut kalian. Mau lo berdua saling bunuh, terserah." Bimo mengambil jaket miliknya. "Kalau iya, dengan senang hati gue pinjamkan pistol satu-satu. Kebetulan gue bawa tiga. Satunya gue akan pikirkan, kasih Luna atau Angel." Alex mendengus. "Kalau mau berantem. Tolong kasusnya yang kerenan dikit kayak gue. Kasus saling rebut cewek udah mainstream dan kayak anak kecil ditelinga gue,"

Kalimat santai Bimo berhasil menohok hati Alex dan Leon. Simple tapi terngiang ditelinga. Tidak ada yang istimewa, Bimo tidak menambahkan embel-embel martabak spesial di kalimatnya agar Alex dan Leon termakan bujukan. Bimo bukan orang yang melankonis, dramatis, ataupun suka dengan hal-hal berbau sinetron. Kalau jahat, jangan setengah-setengah. Dan itu Bimo lakukan. Penjara sudah seperti rumah kedua. See, dia iblis.

Menurutnya, semua orang punya carantersendiri untuk menyelesaikan urusan masing-masing. Bimo tidak suka ikut campur jika tidak begitu kepepet seperti sekarang.

Alex menghembuskan napasnya. Ia mengusap wajahnya setelah memikirkan sosok Bimo yang kini berjalan di tepi pantai. Begitu pula dengan Leon. Keduanya duduk bersebelahan tanpa mereka sadari. Sudah cukup lama namun tidak berniat pergi meski kesadaran itu menghampiri. Baik Alex ataupun Leon hanya melempar tatapan sejenak. Bukan tatapan seperti beberapa menit yang lalu. Seolah ingin membunuh satu sama lain.

Keduanya membuang pandangan dengan menghembuskan nafasnya pelan dan kembali menatap Bimo. Leon malas untuk menyetujui. Jika semua yang diucapkan Bimo adalah benar. Bimo bukan orang yang suka memberikan Quotes menjijikan seperti tadi. Bimo lebih suka dengan sebuah topik yang santai.

Kedua mata Alex dan Leon menyipit. Punggung mereka yang tadinya menyandar kebelakang menjadi condong ke depan. Kedua tangan berpangku di atas paha masing-masing. Seperti harimau yang siap membidik mangsanya. Tajam. Setiap gerak-geriknya begitu dilihat. Kemudian, tanpa aba-aba dan begitu kompak, keduanya bangkit dari kursi sampai kursi yang mereka duduki terhempas kebelakang begitu saja. Melompati meja di hadapannya dengan berguman. "Shit!"

Kedua kaki Alex dan Leon beradu cepat. Mencoba saling mendahului namun masih bisa setara. Jantung yang berdetak cepat dengan kedua tangan mengepal yang berayun ke depan dan belakang.

"BIMO!" Pekik Leon. Terlambat dan kalah cepat.

Sebuah kapal kecil yang tidak tahu dari mana asalnya sudah menunggu diperairan. Suasana yang gelap tidak menyadarkan satu orangpun jika ada sebuah kapal yang mengapung ditempat tersebut. Keduanya baru saja tahu ketika lampu kapal dihidupkan. Suara mesin yang membawa tubuh Bimo dengan paksa ke kapal.

Seolah satu pemikiran. Alex dan Leon langsung berlari dimana sebuah jet sky terikat oada salah satu kayu. Tanpa menunggu. Keduanya langsung melepas tali tersebut, melompat naik lalu mengendarai jet sky dengan kecepatan penuh. Perasaan panik langsung menyelimuti keduanya. Alex dan Leon melihat sebuah perkelahian yang begitu menakutkan di kapal tersebut.

Alex mendesis kasar dengan umpatan kotor di mulutnya. la melihat Bimo kalah tenaga. Jaraknya sudah semakin dekat. Kapal tersebut berhenti, bertepatan dengan Alex yang menghilang dari jet sky. Leon ikut mematikan mesin kendaraannya. Mengangkat kedua tangannya seperti tahanan. Bibirnya terbuka dengan napas yang naik turun dengan cepat. Bukan dirinya di todong pistol. Melainkan Bimo. Jika Leon terus bergerak maju maka pistol tersebut akan menembus ke otak dangkal seorang Bimo. Leon melirik kesebelahnya. Jet sky yang dinaiki Alex bergerak sendiri dibawa ombak.

"Butuh berapa!?" Teriak Leon. "Gue kasih yang kalian mau sesuai harga nyawa dia!" Lanjutnya. "Nggak lebih dari seratus juta. Dia hanya punya satu ginjal, jantungnya juga bermasalah. Dia juga kena penyakit hati!" Mendengar itu Bimo mendecih pelan dengan keadaan lemas. "Ayo kita bicarain baik-baik! Dia bukan anak yang menguntungkan kalau lo bunuh. Itu malah buat dia enak di neraka!"

Romeo menurunkan tangannya perlahan saat mengetahui keberadaan Alex sekarang. "Gue serius. Dia anak pembawa masalah!" Leon menjatuhkan pantatnya di jet sky ketika Alex berhasil menyusup ke atas kapal, berhasil mengambil alih pistol di tangan lelaki yang berdiri di belakang tubuh Bimo. Keduanya bertarung sengit di atas kapal. "Dan temannya pembawa masalah terbesar," Lanjutnya menatap Alex dengan mudah melenyapkan orang-orang di atas kapal. Leon kembali menghidupkan jet sky dan berhenti disamping kapal. Ia naik dengan mudah. Mendorong tubuh orang-orang dengan kakinya yang sudah lemas itu ke laut. Ia menghampiri Alex dan Bimo, tergeletak lemas di atas papan dengan napas yang naik turun. Leon tersenyum kecil, menggulingkan tubuhnya di sebelah Bimo. Menjadikan satu tangannya sebagai bantal.

Ketiganya terdiam. Membiarkan kapal yang bergoyang di tengah lautan. Menatap langit malam yang begitu cerah. Napas yang tadinya memburu cepat sudah menjadi normal. Lalu tanpa kode, ketiganya tertawa. Seakan lepas dari jeratan dewa iblis. Emosi yang beberapa menit lalu membakar disiram dengan seluruh air lautan. Padam tak bersisa. Adu jotos yang mereka lakukan beberapa menit yang lalu sama sekali tidak membuat ketiganya masa bodo satu sama lain. Terselip rasa ikatan yang begitu kuat. Dibangun dengan sebuah tali yang tidak terjual harganya. Tali yang semakin lama semakin panjang sesuai dengan perjalanan kehidupan.

"Sensasi hidup sama lo itu berasa di dunia action," Leon menyikut lengan Bimo yang berbaring ditengah antara dirinya dan Alex.

"Sensasi hidup sama lo itu berasa di dunia sejarah. Ngebosenin," Bergantian. Bimo menyenggol lengan Alex. Alex mendengus pelan. "Dan lo penuh dengan drama," Bimo menepuk dada Leon dua kali. Ia menarik napasnya dan mengeluarkannya dengan satu hentakan.

"Jadi ngerti kenapa kita nggak pernah sejalan? Dari kehidupan aja genre kita udah beda," Alex dan Leon terdiam. "Saling diam satu sama lain nggak akan menyelesaikan masalah kalau nggak diomongin. Entah berakhir dengan adu jotos, gue nggak masalah. Tapi endingnya harus kembali ke awal. Kita bukan anak SMA, bro. Udah ngerti bedain mana yang baik dan buruk. Punya masalah selesaiin, gentel aja. Lo berdua punya burung kan?" Bimo tersenyum puas. "Resiko udah bisa di tanggung sendiri-sendiri," Bimo mengusap pelipisnya yang berdarah. Meraba benda pipih disaku celana pendek yang ia kenakan.

Kapten is calling...

Alex dan Leon ikut membaca nama dipanggilan ponsel Bimo.

"Malem," Bimo menjawab. Kedua lelaki. di samping Bimo menatapnya penuh arti. "Em, aku baik. Ada Alex sama Leon yang selametin." Bimo menghembuskan napasnya. "Oke, Pa." Bimo menutup sambungan teleponnya. "Besok. persidangan. Kok gue ngerasa malem ini malem terakhir gue ngerasain kebebasan." Gumamnya pelan.

"Ngaco lo," Alex menyikut tubuh Bimo.

"Le, gue butuh bantuan lo." Bimo menatap Leon.

Leon tersenyum miring. "Coba aja dari dulu lo bilang, Bim. Sok bisa ngatasin sendiri gini jadinya. Penjara aja sana."

"Karena lo cowoknya sepupu cewek gue,"

"Bukan tandanya gue berpihak sama Luna. Gue kenal lo lebih dulu dari dia, bangsat," Bimo terkekeh pelan mendengar jawaban Leon. Mereka terdiam sejenak, kemudian kalimat Alex dan Leon terdengar secara bersamaan.

"Gue akan lepasin dia," Suara itu berasal dari kedua orang di sebelah Bimo.

Bimo mengerutkan keningnya, menatap Alex dan Leon bergantian. Merasa sulit, Bimo merubah posisinya menjadi duduk dengan menghadap kedua temannya. "Tunggu dulu. Dia? Dia siapa yang kalian maksud?"

Alex dan Leon saling melempar pandangan.

Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience