Alex berlari menuju satu ruangan yang diberi tahu oleh seorang perawat. Pikirannya sudah melayang entah kemana. Alex mengatupkan rahangnya dan tatapannya sangat tajam. Jika sampai Angel terluka, jika sampai mereka berani menyentuh Angel, lihat saja apa yang akan terjadi.
Alex langsung menendang pintu kamar VIP itu dengan kasar dan membuat pintu itu membentur tembok dengan keras.
"LO APAIN DIA, BANGSAT!!?" Teriakan itu membuat semua orang melihat ke arahnya termasuk Angel.
Jangan pernah mengganggu miliknya, jangan pernah menyentuh miliknya. Melihat penampilan Angel saat ini membuat Alex liar seketika. Emosinya meluap. Alex merangsek maju dan melayangkan tinjunya kepada orang yang sedang menarik rambut Angel. Bodyguard itu terlempar ke dinding dan tak sadarkan diri. Keenam bodyguard lain tercengang melihat salah satu dari mereka terkapar dengan satu pukulan. Alex melirik ke arah enam bodyguard itu dengan tatapan yang tajam. Tubuh Alex seakan memiliki aura mematikan yang membuat keenam bodyguard itu kesulitan bernafas.
Kurang dari satu menit. Semua bodyguard terkapar di atas lantai sambil mengerang kesakitan. Tapi Alex masih belum berhenti, dia meninju para bodyguard itu dengan brutal sampai mereka tak sadarkan diri. Setelah memastikan mereka tidak akan bangun lagi, Alex menghampiri Bima yang tidak bisa berkutik di atas ranjang. Alex mencengkram kerah baju Bima dengan kuat hingga membuat Bima kesulitan untuk bernafas dan memohon pada Alex agar melepaskannya.
Angel yang melihat Alex menghampiri Bima dan mencengkram kerah bajunya ingin menahan Alex agar tidak menyakiti Bima lagi. Namun, karena dia sangat shock dia tidak bisa menghentikannya. Jangankan menghentikan Alex, untuk berdiri saja sekarang dia sudah tidak bisa. Tubuhnya bergetar ketakutan.
Alex menarik rambut Bima dengan kasar. Menatap lelaki itu dengan tajam. "Sekarang lo pilih, mau gue patahin dimana? Leher? Kaki? Tangan?" Tanya Alex pelan tapi bagai pisau. Bima yang mendengar ucapan Alex menggelengkan kepala dengan kuat. "Gue nggak peduli sekalipun lo anak presiden." Bima hanya bisa berdoa dalam hati. Bisikan Alex lebih menyeramkan dari pada bisikan di film horor yang pernah dia tonton. Bisikan seram Alex dan cengkraman kuat di rambutnya, membuat Bima meneteskan air mata. "Sekali lagi lo buat masalah sama gue atau Angel, gue pastiin lo bakal menjalani sepuluh kali operasi dengan taruhan nyawa lo. Ngerti?" Bima mengangguk dengan patuh.
Alex melepaskan tangannya dari rambut Bima dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh dari ranjang. Kemudian Alex menarik tangan Bima kebelakang dan 'krak' suara tulang patah terdengar membuat Bima menjerit histeris. Bima langsung menekan tombol darurat setelah Alex melepaskannya. Alex tidak peduli jika ia dituntut karena telah mematahkan tangan anak anggota dewan sekalipun.
Alex melangkah mendekati Angel. "Lo nggak pa-pa?" Alex berjongkok di depan Angel. Tatapan mata yang begitu tajam, menuntut dan menyeramkan seketika berubah begitu menatap Angel. Otak dan tubuhnya seakan sudah di atur untuk tidak membuat Angel takut.
Angel sontak menjauh ketakutan. Tubuhnya masih gemetar. Alex terdiam melihat Angel, dan pada saat itu juga para perawat masuk menghampiri Bima.
"I will not to hurt you, Angel." Ujar Alex dengan lembut. Ia tidak ingin Angel salah paham setelah melihat kejadian tadi.
Angel memejamkan mata. Mengatur nafas yang tersengal. Merasa lebih baik, ia mencoba berdiri dan Alex mencoba membantu tapi Angel segera menjauhkan tangan Alex dengan cepat.
"Aku bisa sendiri," Angel masih memberikan senyuman,tapi bukan senyuman yang biasa Alex lihat. Angel terpaksa memberikan senyuman itu. Alex merasa sakit melihat keadaan Angel. Pipinya memerah dan memar karena ditampar oleh bodyguard Bima. Alex tidak suka melihat miliknya ada yang mengganggu dan membuatnya terluka seperti ini.
Alex berjalan mengiringi Angel dari belakang. Perempuan itu tetap kekeh tidak ingin di bantu olehnya. Angel berjalan pelan dengan bantuan pilar-pilar rumah sakit.
Angel melihat kejadian itu tepat didepan wajahnya. Angel melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa menakutkannya seorang Alex saat itu. Alex menghabisi para bodyguard itu tanpa ampun. Ini adalah pertama kalinya Angel menyaksikan kekerasan. Ia belum atau mungkin tidak akan terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Otaknya belum menerima rekaman yang membuat tubuhnya terus gemetar. Angel merasakan kakinya melemah dan tiba-tiba pandangannya terasa kabur.
Melihat Angel yang akan terjatuh, dengan cepat Alex menangkap tubuh Angel agar tidak membentur lantai. Alex menatap wajah Angel yang terlihat pucat dan rasa bersalah menghampiri dirinya. Alex kemudian mengangkat dan membawa pergi Angel dari tempat itu untuk menemui dokter. Memeriksa kondisi Angel.
Setelah diperiksa, dokter berkata bahwa Angel hanya kelelahan dan butuh tidur. Dokter sudah memberikan obat pada Angel dan kemungkinan perempuan itu akan sadar setelah lima hingga enam jam. Karena Angel tidak perlu dirawat, Alex membawanya ke apartemen. Ia tidak mungkin membawanya ke kosan dan meninggalkan Angel disana sendirian. Membuka pintu apartemen dengan bahunya. Membaringkan Angel dengan hati-hati di atas tempat tidurnya.
Melihat begitu tenang dan damai perempuan itu tidur, membuat Alex tidak ingin mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Alex menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh Angel sebelum ia pergi ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Alex menghubungi Leon dan Bimo jika dia tidak akan menampung mereka untuk malam ini. Ia tidak mau kedua sahabatnya itu membuat Angel lebih takut.
Selama Alex tinggal di apartemen, baru kali ini dia membereskan apartemennya sendiri. Memungut baju-baju kotor dan sampah-sampah yang berserakan dimana-mana.
Alex pergi keluar untuk membeli bubur yang ada di depan apartemen. Tidak ada makanan lain di lemari esnya selain mie instan. Terlebih lagi karena ia suka makan di luar. Waktu sudah menunjukkan jam setengah dua belas malam. Alex masih setia duduk di sofa dengan kaki yang diluruskan ke meja.
"Hei," Mendengar panggilan itu membuat Alex terkejut. Ia menoleh kebelakang, melihat Angel yang sudah berdiri tegak di depan pintu kamar. Terlihat malu, perlahan Angel berjalan mendekati Alex. "Maaf."
Mendengar Angel menyapanya membuat ketakutan Alex tidak terjadi. Tadinya ia berpikir bahwa Angel mungkin tidak akan pernah mau berbicara lagi dengannya. Itu adalah hal yang paling menakutkan bagi Alex. Ia menghembuskan nafas lega karena itu tidak terjadi, kemudian tersenyum tipis. "Sini," Alex menggerakkan tangannya menepuk sofa kosong disebelahnya.
Angel duduk disebelah Alex dengan memberi jarak. "Masih pusing?" Angel menggeleng. "Tadi gue beli bubur, mungkin udah dingin. Makan dulu," Alex menunjuk mangkuk di atas meja.
Angel menatap bubur itu lama. "Orang makan pake mulut bukan pake mata," Alex mengambil mangkuk dan membukanya. "Lo makan dulu, kalau lo pikir gue racunin buburnya -"
"Eh, nggak kok!" Potong Angel. Bukan seperti itu maksudnya. Ia percaya kalau Alex tidak akan melakukan sesuatu seperti itu.
"Yaudah, makan."
Angel mulai memasukkan bubur ke dalam mulutnya sesuap demi sesuap, sambil sesekali melirik ke arah Alex yang sedang menatapnya. Angel menjadi sedikit risih ditatap seperti itu oleh Alex.
"Kamu udah makan?"
"Udah," Angel memberikan senyuman kaku. "Gue nggak bermaksud buat lo takut," Ucap Alex sambil membersihkan sudut bibir Angel dengan ibu jarinya. "Gue jadi seperti itu karena lo."
"Aku?" Angel menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.
"Em, gue nggak mau lo terluka, gue nggak mau orang lain menyentuh apa lagi menyakiti milik gue. Jadi, kalau lo nggak mau lihat gue kayak tadi, jangan sampai lo terluka. Ngerti?"
Angel menelan bubur dengan susah payah mendengarnya. "Kenapa? Aku bukan siapa-siapa kamu? Kita aja baru kenal. Kenapa kamu bisa kayak gitu cuma karena aku?"
"Gue udah pernah bilang sama lo. Dipertemuan pertama, lo udah berhasil menarik perhatian gue. Lo berhasil membuat mata gue tidak teralihkan malam itu," Angel menyipitkan mata. "Bukan karena baju lo yang transparan," Jelas Alex seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Angel. "Lo udah narik gue untuk mendekat. Dalam hidup gue hanya ada tiga kesempatan. Gue berkata pada diri sendiri, kalau kita bertemu lagi pada kesempatan ke tiga, gue nggak akan lepasin lo."
"Tapi kita baru ketemu dua kali,"
"Tiga, yang ke dua gue sengaja nggak nyapa lo. Inget waktu lo hampir ketabrak motor?" Angel memutar bola matanya. "Itu, gue."
Angel berusaha mengingat tapi tidak berhasil. Kejadian seperti itu sering dia alami. Angel kemudian menggeleng pelan. "Tapi, kenapa harus aku?"
"Itu salah lo sendiri yang berteduh disamping gue," Angel mengerucutkan bibirnya. Ia sebenarnya belum mengerti dengan apa yang diucapan Alex. Menghabiskan buburnya, Angel berniat mengikat rambutnya namun ditahan oleh Alex. "Kenapa? Aku gerah. Lagian nggak ada orang lain yang ada disini selain kamu."
"Karena berdua sama gue jauh lebih berbahaya, jangan ikat rambut lo." Angel mendengus kesal. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, meneliti apartemen Alex.
"Yang gantiin baju aku siapa?" Angel bertanya karena baru saja sadar bajunya sudah berganti.
"Lo tenang aja, bukan gue yang gantiin, tapi perawat di rumah sakit." Angel menghembuskan nafas lega mendengarnya. "Aku, mau pulang." Ujar Angel pelan. Alex mengangguk dan mengantarkan Angel pulang ke kosannya dengan selamat.
Keesokan harinya.
Alex mengendarai motornya pelan. Sesekali bercengkrama dengan Angel. Sepertinya Angel sudah kembali seperti biasa, ketakutan yang semalam terlihat sekarang sudah hilang. Alex memberhentikan motornya di depan Kafe. Mengajak Angel untuk sarapan. Semalam sebelum mengantarkan Angel ke kosan, Angel meminta Alex pergi ke Kafe tempatnya bekerja untuk mengambil tas. Sekarang tas milik Angel sudah kembali. "Handphone kamu?" Ucap Angel sambil menunjukkan hape yang dibuang Alex.
"Udah gue buang. Kalau lo mau ambil aja," Jawab Alex yang mendapat hembusan nafas dari Angel. "Kalau ada sesuatu, kasih tahu gue."
Angel mengangguk dan memasukkannya ke dalam tas. "Kamu nggak kuliah?" Alex hanya menggeleng. "Kenapa?"
"Males," Jawabnya santai. Angel pun tidak bertanya lagi karena perutnya meronta minta di isi. Alex menatap Angel dengan senyum tipis. Ada kehangatan yang pernah Alex rasakan dulu, yang kini ia kembali rasakan saat bersama Angel. Sudah lama ia tidak merasa damai seperti ini.
"Kenapa?" Angel bertanya, bingung karena Alex dsri tadi menatapnya. Alex tersenyum dan menggeleng kecil. "Kamu lagi nggak merencanakan sesuatu yang jahat sama aku, kan?"
Seketika tangan Alex terhenti di udara saat ia akan memasukkan sesendok makanannya. Alex menoleh dan demi apapun, Alex tidak akan pernah mewujudkan apa yang Angel pikirkan.
Alex menurunkan tangannya dan meletakkan sendok. "Lo mau gue ngelakuin apa agar lk percaya?"
"Aku mau jujur sama kamu. Aku bukan perempuan yang bisa kamu banggain sama teman kamu. Aku kuper, bukan anak pejabat atau orang kaya, pergaulan aku hanya sebatas lembaran buku perpustakaan. Nggak ada yang menarik dari aku. Kalau kamu mau culik aku dan minta tebusan ke orang tua aku di kampung juga percuma. Mereka nggak punya uang. Kalau kamu mau jual aku-" Ucapan Angel menggantung, karena dia tidak bisa memikirkannya kalau Alex memang berniat menjualnya.
"Siapa yang mau jual, lo?" Alex menyahut tidak suka.
"Aku orang kampung. Tapi aku nggak tutup mata soal pergaulan kota. Nggak ada orang yang tiba-tiba baik tanpa ada tujuan,"
"Gue punya tujuan."
"Apa?" Angel bertanya dengan rasa penasaran.
"Lo. Tujuan gue itu elo."
Angel hanya terdiam dan masih tidak mengerti dengan jawaban Alex.
Alex pulang ke apartemennya setelah mengantar Angel pulang. Tapi ia terkejut ketika ada sepuluh orang yang menunggunya di apartemen. Alex tahu siapa orang-orang itu. Mereka adalah bodyguard keluarganya. Para bodyguard itu datang untuk membawa Alex pulang secara paksa. Alex menurut saja karena ia sedang tidak ingin membuat masalah. Jika dia mau, Alex bisa saja menghajar mereka semua tapi Alex benar-benar tidak ingin.
Alex mengedarkan pandangannya ke halaman rumah. Sudah berbulan-bulan ia tidak pulang. Sepertinya rumah keluarganya tidak banyak berubah.
Alex masuk ke dalam rumah dan langsung pergi menuju ruangan ayahnya sang Wali Kota tanpa permisi. Tidak perlu mendengar jawaban, Alex langsung membuka dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Danang melepas kacamata, menyandarkan punggungnya kebelakang.
"Masih ingat jalan pulang?" Tanya Danang membuka pembicaraan. Alex tidak menjawab, bahkan dia tidak menatap lawan bicaranya.
"kamu apain anak teman papa?" Danang tidak melepaskan pandangan terhadap sosok dihadapannya. Putra sematawayangnya yang pembangkang. "Kamu buat malu papa, Alex. Dua kali, dua kali kamu buat anak teman papa dirawat di rumah sakit!"
"Mereka yang salah." Alex menoleh dengan malas.
"Mereka nggak salah. Kamu yang salah, Alex." Ucap Danang sambil menunjuk wajah Alex. "Hidup kamu sudah salah sejak dulu."
"Saya lahir juga kesalahan, terus kenapa? Mau bunuh saya? Silahkan!" Danang mengatupkan rahangnya. Kalau saja rupa Alex tidak semirip itu dengannya, dia akan melakukan itu dari dulu. Keduanya saling menatap dengan tatapan tajam satu sama lain.
"Kamu mempermalukan pap."
"Beli media. Lakukan seperti apa yang pernah anda lakukan pada mama dulu. Katakan kalau saya anak angkat. Semuanya selesai." Alex berdiri. "Silakan anda hapus nama saya dalam daftar nama keluarga."
"Karena dia?" Danang melempar beberapa lembar foto ke atas meja. Alex menunduk melihatnya. "Kamu pasti tahu apa yang akan papa lakukan terhadap gadis itu."
Alex mengepalkan kedua tangannya. Mengangkat wajahnya dan menatap Danang yang masih di tempatnya. "Jangan sentuh dia." Ujar Alex dengan penuh penekanan.
"Karena dia, kamu membuat anak teman papa masuk rumah sakit. Dia membawa dampak buruk bagi kamu." Ucap Danang sambil menghentakkan tangan ke meja dengan murka.
"Bukan dia!" Alex membentak balik dengan suara yang tidak kalah tinggi. "Jika anda berani menyentuh dia-" Alex mengatupkan rahangnya sebelum melanjutkan. "Saya akan melakukan hal yang sama dengan yang mama lakukan," Danang tertegun. "Saya tidak akan main-main jika bersangkutan dengan perempuan itu."
"Papa juga tidak main-main. Minggu depan, kamu harus tunangan dengan Diana. Itu semua untuk kamu, untuk memulihkan nama baik kamu di depan semua orang!"
"Bukan nama baik saya, tapi nama baik anda!" Ucap Alex meninggalkan ruangan itu dengan langkah besar disertai emosi.
Alex mengendarai motornya kesetanan. Ia sudah melakukan apa yang Danang katakan untuk pergi dari rumah jika tidak ingin bertunangan dengan Diana. Alex sudah melakukannya, sekarang apa lagi yang akan pria tua itu lakukan untuk menjeratnya kembali? Melalui Angel?
"SHIT!!" Alex membanting helmnya ke lantai saat baru saja tiba di apartemen. Menarik rambutnya dan berteriak kesal.
Jangan, jangan Angel. Alex tidak akan memaafkan bagi siapapun yang berani menyentuj miliknya. Danang menemukan kelemahan Alex setelah mama-nya. Untuk mendapatkan apa yang ia mau, Danang pasti akan melakukan cara apapun tanpa memikirkan perasaan Alex.
Rintik hujan terdengar, membasahi jendela apartemen Alex. Setelah tiga puluh menit lebih Alex melampiaskan emosinya pada samsak, ia akhirnya berhenti dan menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan mata terpejam.
Alex mengganti pakaiannya dengan baju hitam dan celana pendek. Mengambil topi yang ia kenakan dengan terbalik. Ia berjalan mendekati Leon yang sampai sejak lima belas menit lalu. "Pinjem mobil."
Leon mendongak. "Mau kemana, lo?" Tanya Leon sambil menyerahkan kunci mobilnya. Alex diam mengabaikan pertanyaan Leon dan pergi begitu saja. "Udah biasa gue, biasa diabaikan." Ucap Leon diikuti dengan gelengan kepala.
Alex mengamati satu persatu halte yang ia lewati. Khawatir jika Angel berteduh di salah satu halte itu. Sejauh ini, Alex belum menemukan keberadaannya.
Ponselnya tidak aktif. Alex memutuskan untuk masuk ke kampus. Banyak orang di depan koridor berkumpul menunggu hujan reda.
Alex menghembuskan nafasnya lega saat melihat Angel ada disalah satunya. Perempuan itu sedikit
menjauh dari kerumunan. Berjongkok di lantai dengan tangan mengadah ke depan. Menangkap rintikan hujan.
Sejenak, Alex tidak ingin beranjak. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas melihat Angel tersenyum hanya dengan hal sederhana. Tidak ada yang menarik dengan air yang jatuh ke telapak tangan. Tetapi, itu berhasil membuat Angel berteriak senang. Dan siapapun yang berani melenyapkan senyuman itu. Alex akan menggantungnyaa.
Melihat langit semakin gelap, Alex memutuskan untuk menghampiri Angel. Mengambil payung di kursi belakang, Alex membuka pintu mobil. Semua orang dalam kerumunan langsung menatap Alex terpesona. Yang menjadi pusat perhatian tidak akan pernah sadar.
Alex berdiri di hadapan Angel. Membuat senyuman Manda menghilang perlahan. Tidak ada air hujan yang jatuh ke telapak tangannya karena terhalang payung yang Alex bawa. Perlahan, Alex menekuk kakinya. Mensejajarkan wajahnya menatap Angel. Saling beradu pandang satu sama lain begitu lama sebelum Alex berkata.
"Pulang yuk," Dengan intonasi suara sangat lembut.
Alex sendiri tidak menggunakan intonasi selembut ini sebelumnya. Angel memang 'Pengendali', pantas mendapatkan itu.
Senyum di bibir Angel perlahan terlihat. Hati Alex mencolos melihatnya. Angel mengangguk lalu berdiri. Berjalan berdampingan dengan Alex. "Kamu bawa mobil?" Tanya Angel saat Alex membukakan pintu untuknya. Alex mengangguk. Menutup pintunya setelah memastikan Angel tidak kehujanan. Ia memutar ke depan untuk sampai di kursi pengemudi.
Langkah Alex menjadi pelan saat menemukan sosok Lily yang berdiri diantara kerumunan orang yang
menatapnya. Lily memberikan seulas senyum yang tidak mendapatkan balasan dari Alex. Lelaki itu langsung masuk ke mobil. Hubungannya dengan Lily hanya sebatas ranjang. Tidak lebih.
"Dingin? Nih," Alex memberikan jaketnya yang langsung Angel terima tanpa ada perlawanan. Angel sungguh kedinginan.
Karena hujan, jalanan menjadi lapang dan tidak ada kemacetan. Alex tetap mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Seolah mengulur waktu untuk bisa lebih lama bersama Angel.
Angel menggosokkan kedua telapak tangannya. Berharap bisa mengurangi dingin yang menghampiri tubuhnya. Alex bisa saja memeluknya agar Angel tidak
kedinginan, tapi Alex tidak akan melakukannya. Usahanya akan menjadi sia-sia mendekati perempuan itu. Pelan-pelan saja, lagi pula, baik ia dan Angel tidak akan pergi ke mana-mana.
"Kamu nggak perlu antar jemput, aku bisa pulang sendiri." Ucap Angel membuka percakapan.
"Dengan jalan kaki sendirian? Bermimpilah." Angel mengerucutkan bibirnya. "Udah makan?" Angel mengangguk. "Kamu?"
"Temenin gue makan dulu."
Alex menarik stir ke kiri. Menghentikan mobil di depan kafe bertuliskan Horison. Sepertinya tempat ini menjadi langganan Alex, karena Angel selalu dibawa Alex kesana untuk makan.
Angel menggunakan Hoddie jaket Alex hingga menutup seluruh kepalanya, retseliting yang menutup seluruh tubuh sampai ke hidung. Hanya matanya saja yang terlihat. Alex terkekeh geli melihat kelakuan Angel. Ia menarik tali jaket di leher Angel agar perempuan itu mengikutinya.
Setelah memesan makanan. Alex duduk di kursi yang berhadapan dengan Angel. Perempuan itu menurunkan retseliting hingga ke dagu. Mengusap hidungnya.
"Aku suka pilek kalau dingin gini." Alex mendekatkan kotak tisu. "Yakin udah kenyang?" Manda mengangguk, menarik dua lembar tisu.
"Oh ya, Nilai aku udah berubah. Nggak A, tapi B, tapi nggak masalah. Aku akan usaha buat memperbaiki di pelajaran lainnya. Makasih ya."
Alex melipat tangannya dimeja. Mengamati wajah Angel dihadapannya, membuat Angel mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
Alex menggeleng dengan tersenyum kecil. "Lo pernah pacaran sebelumnya?" Manda menggeleng. "Bagus."
"Kamu?"
"Gue juga." Ujar Alex tidak sepenuhnya berbohong.
Ia pernah pacaran satu kali sewaktu SMP. Cinta monyet. Selebihnya Alex tidak pernah menjalin ikatan bersama perempuan. Jika Angel bertanya tidur dengan perempuan? Itu akan berbeda. Dan Alex berharap Angel tidak akan pernah bertanya.
"Aku nggak percaya, kamu kan ganteng." Angel mengatakan itu dengan salah tingkah, Alex bisa melihatnya. "Nggak mungkin." Lanjutnya pelan.
"Gue serius." Alex menunjukkan wajah serius yang sengaja Alex gunakan hanya untuk menakuti. Angel yang melihat keseriusan Alex pun tidak banyak bicara lagi. Makanan sudah datang. Angel hanya memesan minuman. Mengaduknya bosan selama Alex menghabiskan makanannya.
Hujan sudah mulai reda, udara panas dan kotor berubah meniadi segar setelah diguyur hujan. Usai makan. Alex mengantarkan Angel ke tempatnya bekerja. Lalu berpamitan pulang dan mengatakan akan menjemput Angel saat pulang nanti.
Beberapa hari terakhir ini, Alex terus bersamanya. Menjemputnya di kampus, mengantar ke kafe dan menjemputnya pulang. Angel merasa, Alex tidak ada niat buruk yang akan dilakukan. Lelaki itu memang menyeramkan, tapi Alex tidak pernah melukainya apalagi menyentuhnya sedikitpun. Selama Angel menuruti apa yang Alex katakan, tidak ada kejadian adu jotos seperti seminggu yang lalu. Kejadian yang hampir sama dengan kejadian dua orang lelaki yang masuk rumah sakit waktu itu. Sudah ada tiga orang korban yang masuk rumah sakit karena Alex.
Hal yang menyadarkan Angel jika Alex sungguh melindunginya. Lelaki itu tidak memberi ampun bagi siapapun yang menyentuhnya. Awalnya Angel merasa
nyaman, bejalannya waktu ia semakin takut berada bersama Alex. Angel pernah berpikir untuk menghindar, tapi Angel tidak bisa. Karena Alex selalu mengikutinya.
Seperti sekarang. Alex sudah duduk di atas motornya saat Angel pulang bekerja. Perlahan kaki Angel menghampiri Alex dan berhenti tepat di hadapannya. Apapun yang orang lain katakan soal Alex, Angel selalu menutup mata dan telinga, selama Alex tidak pernah melukainya, Angel akan berada di dekat lelaki itu.
"Apa yang lo dengar soal gue dari mereka?"
Alex melipat tangannya di dada. Membuat Angel kaget pertanyaan itu langsung Alex lontarkan. Kedekatannya dengan Alex tercium dan membuat satu kampusnya bergosip ria. Keberadaan Angel yang tidak pernah
terlihat, kini namanya melambung karena Alex.
"Nggak," Angel menggeleng, meremas tas
punggungnya.
"Lo tau kan apa yang nggak gue suka?" Angel menggigit bibir bawahnya. Gelisah. Sebenarnya Angel juga penasaran dan ingin bertanya, tapi belum ada keberanian. "Gue nggak akan mengulang pertanyaan."
Angel menundukkan kepalanya, menatap ujung sepatu. "Ganteng,"
"Terus?"
"Cool,"
"Terus?"
"Playboy,"
"Terus?"
"Kejam,"
Terus?"
Angel mengangkat kepalanya, membalas tatapan Alex lama. "One night stand." Alex terdiam. Tidak ada suara yang menyelimuti keduanya. Hanya angin kencang yang berhembus. Sepertinya hujan akan kembali turun. Musim hujan memang sedang melanda. Setiap hari, hujan pasti turun tak menentu entah jam berapa. Angel berharap Alex mengatakan tidak untuk yang terakhir. Angel tidak ingin Alex membenarkannya.
Sudah lebih dari sepuluh orang yang menanyakan apakah Angel sudah tidur dengan Alex. Ketika Angel mengatakan Alex bahkan tidak pernah menyentuh tangannya, mereka tidak percaya. Hubungan yang Alex jalani selalu di atas ranjang bersama perempuan. Jujur, Angel terkejut mendengarnya pertama kali. Ia mungkin tidak akan percaya jika satu orang yang mengatakannya, lebih dari sepuluh orang yang memberitahu Angel tentang siapa Alex.
"Aku pulang sendiri, ya." Pamit Angel tersenyum kecil yang sama sekali tidak Alex halangi.
Banyak yang menyuruh Angel menjauhi Alex. Sebenarnya Angel tidak peduli semua itu, yang terpenting Alex tidak pernah membawa dampak buruk dihidupnya. Yang terpenting Alex tidak pernah menyentuhnya.
Angel berteduh di kafe, tempat pertama kali ia bertemu dengan Alex karena hujan tiba-tiba menjadi sangat deras. Tidak ada orang selain dirinya. Angel mengusap keningnya dengan punggung tangan. Memberikan seulas senyuman pada pemilik Kafe. Angel memeluk tasnya, berjongkok.
"Masuk aja," Lelaki berbadan besar itu menghampiri Angel. Ia hampir saja jatuh terjerembab ke depan karena kaget.
Benar yang Alex katakan. Orang bertato belum tentu penjahat. Angel mengucapkan terima kasih ketika sebuah teh hangat diantarkan. Untuk pertama kalinya, Angel duduk di sana setelah tiga tahun tinggal dilingkungan itu. Tidak ada panggilan masuk atau pesan yang Alex kirimkan. Angel memasukkan hape ke dalam tas. Rambutnya sedikit basah terkena hujan.
"Alex-" Manda menoleh saat pemilik Kafe itu bersuara menyebut nama Alex.
"Gue kenal dia tujuh tahun yang lalu. Anak SMA yang pembangkang. Keras kepala, kejam, kasar, dingin, tidak suka aturan, emosian, suka tidur, dan tidak suka jika miliknya diganggu." Lelaki itu berbicara tanpa menatap Angel. Seolah bukan Angel yang ia ajak bicara saat ini melainkan memberitahu hujan yang turun.
"Jika Alex bilang A, maka harus A. Sebenarnya ia hanya anak kesepian. Alex hanya seorang anak kecil yang akan bertekuk lutut jika ia menemukan sosok itu setelah ibunya. Mengontrol Alex itu sangat mudah, ia akan menjadi penurut seperti anjing yang setia kepada majikan. Anjing yang akan menggigit jika majikannya diganggu." Angel masih diam. "Mereka selalu menatap kesalahan yang pernah dilakukannya. Mereka tidak pernah paham." Angel tertegun, lelaki itu seperti menyindirnya.
Angel menatap teh hangat yang tinggal setengah gelas. Menempelkan telapak tangannya di gelas tersebut. Mencari kehangatan.
Tanpa Angel sadari, Alex mengikutinya. Duduk di atas motor dengan hujan yang membasahi. Memperhatikan Manda dari kejauhan. Alex tidak akan melepaskannya begitu saja. Memastikan Angel sampai ke kosan dengan aman. Alex meninggalkannya. Angel masih menjadi perlindungan di bawah lelaki itu.
Alex murka. Marah dan emosi menjadi satu. Ia melampiaskan semuanya di atas ring. Bagaimana tatapan Angel berubah saat menatapnya. Alex membenci itu. Lima orang yang menjadi lawannya malam ini sangat tidak beruntung. Mereka melawan singa yang kelaparan. Alex menghantam mereka tanpa ampun.
Seharusnya Angel tidak mendengarkan apa kata orang, Alex benci. Ia tidak pernah mengusik kehidupan orang lain. Kenapa mereka selalu mengusiknya. Ada tatapan takut saat perempuan itu menatapnya.
Shit!
Alex tidak menyukai saat Angel menatapnya seperti penjahat. Alex tidak peduli semua orang menatapnya ataupun menganggapnya brengsek, asalkan jangan Angel. Alex tidak sanggup jika Angel berdiri di antara mereka dan menatapnya seperti itu. Alex kacau. Ia tergeletak di atas ring setelah pertandingan ke delapan usai. Nafasnya naik turun. Memejamkan kedua matanya.
Senyuman Angel kembali menghiasi alam bawah sadar. Tawa lepas tanpa ada ketakutan. Tawa yang membuat dunia Alex terasa hidup kembali.
"Lex? Nggak mau pulang, lo? Udah jam tujuh pagi," Leon bersuara. Menyaksikan kebrutalan temannya tanpa bisa menghentikan.
Leon tahu jika suasana hati Alex sedang buruk. "Lex?" Panggil Leon pelan. Ia tidak berani menghampiri Alex. Menghindari kejadian buruk yang mungkin bisa terjadi.
Leon menyandarkan kepalanya di tiang ring. Ia belum pernah melihat Alex seperti ini. Terakhir kali ia melihat Alex sangat kacau saat Mamanya meninggal. Betapa frustasinya seorang Alex saat itu. Dan ini pertama kalinya setelah sekian lama Leon tidak menyaksikannya lagi, hanya karena seorang wanita.
"Gue pulang, ya. Ngantuk, gue nggak tidur lihat lo semalaman." Leon bisa saja meninggalkan Alex bertarung sendiri.
Di saat seperti ini Leon tahu jika Alex kesepian. Dia tetao disana untuk mengawasi Alex, takut temannya itu melenceng dari peraturan pertandingan.
Gedung mulai sepi. Jika tadi masih ada Leon, sekarang benar-benar kosong dan hanya ada Alex seorang. Tidak ada suara lain kecuali hembusan nafasnya sendiri. Alex bangkit. Mengganti bajunya sebelum pergi dari sana.
Melajukan motornya menuju kosan Angel. Angel masih berada di kamar. Alex yakin, Angel sedang bersiap berangkat ke kampus. Tepat setelah Alex berpikir seperti itu, Angel keluar. Alex menegapkan tubuhnya saat matanya beradu pandang dengan Angel. Berjalan maju menunggu di tangga terakhir yang menjadi satu-satunya jalan. Angel tidak bergeming. Menatap Alex tanpa senyuman.
Itu menyakitkan.
Alex tetap menunggu sampai akhirnya Angel melangkah turun. Menyisakan dua tangga yang menjadi pembatas. Membuat tingginya setara dengan Alex. Perlahan kedua sudut bibir Angel terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman. Seketika pertahanan Alex runtuh melihatnya. Tembok yang ia bangun, Angel pecahkan dengan senyuman itu.
"Hai,"
"Hai," Balas Alex nyaris tidak bersuara. Angel tidak pernah terbaca, membuat kejutan tak terduga. Alex sudah sangat khawatir Angel akan mengusirnya saat
ini.
"Kamu nggak pulang?" Tanya Angel melihat baju Alex masih sama dengan semalam. Alex menggeleng.
"Semalam kamu kehujanan, kenapa nggak ganti baju?"
Alex suka mendengar intonasi suara Angel yang khawatir. "Kamu bisa demam," Angel meletakkan punggung tangannya ke kening Alex. "Badan kamu
panas."
"Gue baik-baik aja." Alex menurunkan tangan Angel perlahan. Jujur, Alex suka melihat Angel mengkhawatirkannya.
"Lo pasti kecewa sama gue."
"Kamu sakit. Maaf." Ucap Angel mencoba mengalihkan pembicaraan karena tahu arah pembicaraan Alex.
"Ini gue, Ngel. Gue emang nakal, tapi gue nggak pernah berurusan dengan yang namanya narkoba. Gue emang brengsek, tapi gue nggak pernah bunuh orang, yahh.. Sepertinya. Gue juga bukan playboy. Gue nggak pernah gonta ganti pacar. Ya, gue emang suka one night stand. Dulu, sebelum gue kenal sama lo." Manda tersenyum.
"Aku nggak peduli apa kata orang tentang kamu."
"Lo tau apa yang menakutkan di dunia ini? Lo, Angel. Padahal lo nggak bisa mukul gue. Matahin kaki ataupun leher gue, tapi gue takut, Ngel."
"Kamu pasti belum makan, tidur di mana
semalam? Sama perempuan?"
"Gue bisa gila kalau lo menjauh. Gue bisa lebih gila kalau lo terluka. Ngel, gue nggak pernah main-main kalau sayang sama orang." Alex menundukkan kepalanya sejenak, membasahi bibirnya sebelum menatap Angel kembali.
"Yang ada di diri gue nggak ada yang benar. Jangan tatap gue dengan tatapan mengintimidasi, takut ataupun menjauh. Lo orang yang gue cari selama ini. Jangan jauhin gue kayak mereka. Angel, gue gak akan pernah buat lo terluka." Ujar Alex dengan penuh ketulusan dengan suara yang sedikit bergetar.
"Gue antar, ya."
Angel menatap punggung kekar Alex yang mengendarai motor seperti biasa. Alex sama sekali tidak berbicara soal hidupnya. Angel tidak ingin bertanya, ia akan menunggu. Menunggu Alex mengatakan semuanya. Lelaki itu sedang demam, Angel yakin itu.
Setelah turun pun tidak ada kalimat yang Alex katakan. Hanya senyuman kecil sebelum meninggalkannya. Angel berdiri menatap kepergian Alex. Hati kecilnya
mengatakan untuk mendekati lelaki itu.
Alex menundukkan kepalanya. Menghentikan langkah dan memutar tubuh, dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Rasa pusing baru Alex rasakan saat ia tiba di apartemen. Bajunya basah, Alex tidak sanggup bangun lagi untuk mengganti baju. Niatnya menghubungi Leon batal melihat nama Angel di layar ponsel.
Alex masih bisa tersenyum dengan wajah pucat. "Hallo?" Alex mengangkat satu alisnya saat sapaannya tak kunjung mendapat jawaban. "Angel?" Panggilnya.
"Aku di depan apartemen kamu." Alex menatap pintu kamarnya. Meletakkan ponsel begitu saja, ia segera berdiri dan berlari meski kepalanya sangat berat.
Begitu Alex membuka pintu, Angel muncul dibalik pintu dengan dua bingkisan ditangannya. "Aku bawa bahan untuk masak bubur." Alex menatap lama sebelum
menggeser tubuhnya ke samping mempersilahkan Angel masuk.
Alex masih tidak percaya, senang bukan main. Alex mengganti password apartemennya. Antisipasi jika Leon atau Bimo masuk nantinya.
"Kamu ganti baju dulu." Alex mengangguk, berjalan ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
Alex rebahan di sofa depan tv. Awalnya, Alex ingin menyaksikan Angel memasak, namun matanya enggan untuk terbuka.
Angel mengganti handuk kecil di kepala Alex untuk yang kesekian kalinya. Lalu berlari ke dapur, memastikan bubur yang ia masak matang sempurna. Alex tertidur pulas. Dengkuran halus dan dada yang naik turun membuat Angel tidak tega membangunkannya. Bubur yang ia buat sudah jadi. Sengaja tidak Angel hidangkan karena Alex belum bangun.
Angel menelusuri apartemen lelaki itu. Tidak ada foto keluarga. Hanya ada beberapa lukisan sederhana. Banyak alat olahraga di dekat jendela, pantas jika tubuh Alex sangat atletis. Angel juga baru sadar jika Alex tinggal sendirian.
Kemana keluarganya? Bukankah Alex anak Walikota? Kenapa tidak tinggal di rumah? Apa Alex punya masalah? Angel tidak tahu.
Apa kata pemilik Kafe itu benar. Alex seorang anak kesepian. Angel kembali duduk di karpet, mencelupkan handuk ke air sebelum ia letakkan kembali ke kening Alex. demamnya belum turun. Alex harus minum obat dulu sebelum melanjutkan tidur. Angel menepuk pundak Alex pelan.
"Kamu makan dulu." Ucapnya menggoyangkan lengan Alex.
Alex menggerakkan matanya. Suara Angel begitu lembut mengalun di telinga. Angel memanaskan buburnya sejenak. Menuangkannya ke dalam mangkuk dan kembali duduk di karpet. Alex memperhatikan perempuan itu. Kenapa Angel harus menguncir rambutnya? Alex bersyukur karena ia tidak punya tenaga saat ini. Angel mengaduk dan meniup bubur penuh perhatian.
"Bisa makan sendiri?" Angel menatap Alex. Alex menggeleng pelan.
Sesuap demi sesuap Alex makan tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Angel yang sengaja tidak membalas tatapan Alex. Sebelum masuk ke mulut
Alex , Angel memastikan bubur itu tidak akan melukai lidah Alex. Banyak hal yang ingin Angel tanyakan. Alex yakin hanya dengan melihat raut wajahnya.
"Gue nggak tidur sama perempuan." Gerakan tangan Angel yang sedang mengaduk bubur terhenti. "Gue udah berhenti ngelakuin itu, terserah lo percaya
apa nggak."
Angel memberikan suapan terakhir. "Jangan sakit." Ujar Angel memberikan segelas air dan obat penurun demam pada Alex. "Aku mau ke kampus, kamu
istirahat aja. Aku bisa sendiri."
Alex menahan tangan Angel yang hendak berdiri.
"I won't to hurt you, I won't to touch you. So, don't leave me alone."
Angel memberikan senyuman kecil. Ia berjongkok di hadapan Alex yang sedang duduk di sofa, mengelus punggung tangan Alex. Jika Alex belum bisa menjelaskan, Alex akan tetap menunggu.
"I will not leave you. I will try to believe you."
Kemurkaan Alex yang mengetahui miliknya diganggu tak bisa dikendalikan. Hanya Angel yang bisa membuatnya tenang. Dengan Angel, Alex menemukan sesuatu yang hilang sejak lama. Hubungan mereka mulai lebih baik. Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Tunggu di episode selanjutnya! Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi saya kedepannya. Terima kasih.
Share this novel