Semakin malam semakin jadi. Tamu indoor sudah mulai berkurang. Sang pengantin sudah memulai acara yang lebih santai dan bergabung di outdoor. Acara party muda-mudi dengan dentuman music yang keras. Pencahayaan yang remang-remang, tamu mulai berdesakan.
Angel menarik lengan Alex hingga lelaki itu menunduk agar Alex bisa dengan jelas mendengar apa yang Angel katakan di telinganya. "Aku mau ke toilet!" Alex mengangguk. Menegapkan tubuhnya. "Kamu tunggu sini aja. Aku bisa sendiri!"
"Ya udah," Alex mencium pipi Angel sekilas. Meski cahaya remang-remang, Alex bisa melihat pipi itu merona. Ia menarik tangannya yang dari tadi melingkar di pinggang perempuan itu. "Ah.. Gemasnya," Gumam Alex.
"Angel kemana?"
"Toilet," Alex meneguk habis minumannya. Menuangkan lagi hingga gelas terisi penuh. "Cewek yang lo bawa tadi mana?"
"Di mobil,"
"Tega banget lo minta dia tunggu di mobil," Alex menghidupkan rokok, mengapitnya di antara jari telunjuk dan tengah. Menghembuskan asapnya didepan wajah Bimo. "Namanya siapa?"
"Sok peduli si anying," Bimo berdiri dari tempat duduknya begitu melihat Leon berjalan menghampirinya. "Le, gue nggak bisa lama-lama,"
Leon duduk disebelah Alex dengan meja bundar ditengah. Banyak minuman dan makanan yang tersaji disana.
"Langsung pulang?"
"Iya, Sekarang jam sebelas. Gue perlu 4 jam untuk sampai sana, jadi masih sempat buat tidur," Bimo mengenakan jaketnya. Leon mengangguk. "Adek gue udah balik?"
"Belum. Tuh, sama Adrian." Tunjuk Leon. "Kata Alex lo bawa cewek?"
"Nggak. Halu dia," Alex mendecih pelan. "Gue balik, ya. Le, usir adek gue. Nanti dia keenakan minum terus gue yang dimarahin bokap karena nggak bisa kasih contoh yang baik."
"Dari segi mana lo bisa jadi sebuah contoh atau panutan?" Leon mengerutkan keningnya.
"Eh, tai. Pokoknya nggak lama setelah gue pergi lo harus usir Farid. Meskipun dia salah yang kena marah bokap tetap gue."
"Kakak yang baek, lo." Leon tertawa geli.
"Hati-hati,"
Bimo hanya mengangkat tangannya, berlari kecil meninggalkan dua sahabatnya. Jika dihadapan Alex semua orang berdesakan dan harus rela berdiri. Leon sudah menyiapkan tempat khusus untuk dua sahabatnya yang pastinya tidak bisa diganggu.
"Udah suami orang lo," tegur Alex. Leon menoleh, ia meneguk minuman dihadapannya. "Gimana rasanya?"
"Bahagia. Coba deh, lo rasain." Leon tersenyum penuh arti. "Bahagianya double. Baby on going sama istri taken,"
"Lo nggak pantes sama sekali jadi orang tua, Le." Leon mendengus pelan. "Gue dengar acaranya bakal diadain di dua tempat?"
"Iya. Besok gue sama Luna langsung pergi ke Brazil. Keluarga besar gue emang disana, yang datang sekarang hanya grandma sama sepupu gue. Lo mau ikut?"
"Nggak. Thanks tawarannya,"
Leon memutar bola matanya malas. Menyingkirkan tangannya yang dari tadi di atas paha saat Luna tiba-tiba duduk dipangkuannya.
"Nih, kasih sama Angel." Luna menyerahkan sebuah tas mungil berwarna biru tosca dihadapan Alex.
"Apaan?" Alex mengerutkan keningnya.
"Souvenir. Angel nggak punya handphone, jadi gue pilihin souvenir handphone aja,"
"Gue udah beliin dia handphone,"
"Kata Angel udah dikembaliin sama lo,"
"Nggak. Kapan dia kembaliin sama gue?"
Luna mengangkat bahunya. Perasaannya saja atau memang Alex sama sekali tidak merasakan Angel mengembalikan ponsel? Atau ia lupa? Tidak. Alex yakin tidak menerima apapun dari Angel. Salah satu souvernir pernikahan Luna dan Leon adalah sebuah iphone. Bukan barang branded itu saja. Di sudut pintu masuk ada sebuah meja yang disediakan untuk mengambil souvernir. Mulai dari handphone, laptop, parfum, Mp3, dan jam tangan. Semua barang limitid editions. Sengaja Leon pesan khusus untuk hari pernikahannya.
"Kapan nyusul?" Alex mengangkat satu alisnya. "Sama Angel,"
Alex memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Luna. Lagi pula, Alex sama sekali tidak pernah berfikir untuk mengikat suatu hubungan dalam bentuk pernikahan. Alex bahkan tidak pernah membayangkannya. Untuknya, sekarang sudah cukup. Angel ada didekatnya. Tidak ada hal yang menjanjikan yang Alex rasakan dari hubungan sakral itu. Semuanya sama saja, ada atau tidak adanya ikatan pernikahan. Alex menghembuskan napasnya. Ia menoleh ke arah pintu masuk. Belum ada tanda kedatangan Angel.
Disisi lain. Pipi Angel kembali merona begitu Alex mengecupnya. Membuat jantungnya semakin gila tidak terkontrol. Rasanya panas seperti terkena sengatan listrik. Angel menepuk kedua pipinya. Menyadarkan diri didepan kaca saat ini. Angel kembali tersenyum. Kenapa hal sekecil itu saja sudah membuatnya begitu bahagia? Sungguh receh kata bahagia diotak Angel.
Vio sudah izin pulang terlebih dahulu. Sebenarnya Angel merasa tidak enak, ia pergi berdua bersama Vio dan Angel membiarkan Vio pulang sendiri. Besok Angel harus mengembalikan gaun dan sepatu yang Vio pinjamkan.
"Oh?" Angel berlari kecil. Memungut sebuah kertas yang tidak sengaja terjatuh dari genggaman seorang lelaki yang ingin memasukkan kertas itu ke saku celana.
"Pak? Maaf, ini kertasnya jatuh." Angel menyerahkan kertas itu dengan sopan begitu lelaki yang dikejarnya berbalik badan.
"Ya ampun! Terima ka-" Angel mengangkat wajahnya saat mendengar kalimat itu belum selesai. Keduanya sama-sama kaget, Angel melangkah mundur dengan sendirinya. "Kamu ngapain disini?"
"Saya teman dari kedua pengantin," Jawab Angel tetap mempertahankan senyumannya. "Bapak apa kabar?"
"Tentu saja buruk. Setelah kamu ambil putra saya."
"Saya sama sekali tidak mengambil apapun milik orang lain. Bapak yang sudah membuangnya,"
"Kamu berani nantang saya?" Danang menajamkan matanya. "Karena putra saya kenal perempuan seperti kamu. Dia menjadi orang yang pembangkang. Berani melawan orang tuanya, kamu berusaha mengendalikan dia? Kamu pikir siapa? Sangat mudah bagi saya menyingkirkan orang seperti kamu,"
Angel membasahi bibirnya menutupi kegugupan. "Saya diam bukan berarti saya bebasin anak saya untuk berhubungan sama kamu. Begitu pekerjaan saya selesai, saya akan ambil dia kembali. Dengan cara saya. Dan kamu, sebaiknya menjauh jika mau selamat. Saya akan melakukan apapun untuk kebaikan Alex. Saya tidak akan membiarkan Alex memilih perempuan yang salah."
"Bagaimana Bapak tau kalau itu salah jika hanya dilihat dari satu sudut pandang saja? Maaf bukan saya ingin ikut campur."
"Siapapun orang yang menjauhkan saya dan anak saya itu adalah sebuah masalah." Tunjuk Danang. "Kamu masalahnya." Ujarnya tidak suka dan berlalu pergi begitu saja.
Angel menghembuskan napasnya. Ia tersenyum simpul, berjalan berlawanan arah dengan lelaki yang ia temui tadi. Tiba-tiba ada gerakan yang begitu cepat. Tanpa bisa Angel lawan sebuah tangan besar membungkam mulutnya dan membopong tubuhnya layaknya karung. Kesadarannya hilang. Begitu lemas terlihat pasrah saat tubuhnya dilempar begitu saja ke dalam mobil.
"Angel?"
Dua mobil itu melesat jauh sebelum bisa Nando halangi. Jantungnya berpacu, ia yang baru saja keluar dari mobil dikagetkan dengan pemandangan yang kurang enak. Awalnya Nando tidak peduli, setelah ia cermati, Nando mengenalnya. Itu Angel. Nafasnya menjadi naik turun dengan berat. Niatnya untuk menjemput Vio tidak ada lagi dipikirannya, Nando langsung berlari masuk ke hotel, mencari sumber pesta yang masih berlangsung.
Lampu yang minim tidak bisa menghalanginya untuk menemukan seseorang yang ingin ia bunuh sekarang juga. Nando langsung menendang meja yang menghalangi jalannya sehingga gelas dan makanan itu tumpah menimbulkan kegaduhan. Nando meloncat, menarik kerah baju Alex dengan murka.
"Ikut gue," Nando menarik kerah baju Alex. Alex menghempaskannya.
"Apaan!" Musik berhenti dengan sendirinya. Kekacauan yang Nando timbulkan cukup besar.
"Bokap lo bawa Angel bangsat!" Gerakan tangan Alex yang merapikan bajunya terhenti. Ia mengangkat wajahnya. Menatap Nando sebentar sebelum melesat berlari keluar. Kacau, pikiran Alex dipenuhi dengan bayangan yang kurang mengenakkan.
"Leon!" Panggil Alex tidak sabaran. Leon masih berusaha fokus, melacak keberadaan mobil yang membawa Angel. Suasana mendadak tegang. Begitupun Luna yang tidak peduli lagi dengan kekacauan dipestanya. Alex yang terus mengumpat di atas motornya bergerak gelisah.
"Gedung dipinggir danau. Tepat main kita waktu SMA!"
Tidak ingin membuang waktu. Alex langsung melesat cepat dengan motornya. la tidak ingin bertanya ataupun berdebat pada lelaki yang kini duduk diboncengannya. Danang pasti melihat cap stempel itu. Seharusnya Alex menemani Angel saat ke kamar mandi. Menunggu didepan toilet agar tidak ada kejadian seperti ini. Semuanya salah Alex. Jika terjadi sesuatu pada Angel, Alex tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Alex benci Danang!
Melewati jalanan bebatuan untuk sampai ke sebuah gedung tua di pinggir danau. Alex menurunkan standar motor miliknya, membiarkan kunci motornya tetap disana. Ia berlari bersamaan dengan Nando, menarik dua sisi pintu besi itu bersamaan hingga terbelah menjadi dua. Sudah ada dua mobil sedan di dalam sana. Alex mengeraskan rahangnya, berlari ke tengah ruangan yang tidak ada perabotan sama sekali. Tubuhnya memanas, ada yang menyalakan api membuat Alex memekik dengan keras.
"ANJING!"
Nando juga merasakan hal yang sama. Kedua tangannya mengepal. Disebuah kursi, Angel duduk dengan tubuh terikat dikelilingi oleh lima orang lelaki. Satu diantaranya duduk di belakang Angel memegang sebuah alat.
Angel menangis. Ia begitu ketakutan dengan tubuh gemetar hebat. Matanya terpejam, tubuh yang menegang begitu rasa sakit di tengkuk lehernya. Ada yang menusuk lehernya.
"GUE BILANG STOP!" Pekik Alex lagi. Ia tidak bisa melangkah mendekat, sudah ada pistol yang diarahkan pada perempuan yang Alex cintai. Alex serba salah. "Dimana orang itu?" Tanyanya dengan dada naik turun dengan cepat. Kedua tangannya mengepal, matanya merah dan rahangnya mengeras.
"Kenapa? Kamu cari Papa?" Alex menoleh cepat. Lelaki yang begitu Alex benci baru saja keluar dari persembunyiannya. Berjalan menghampiri Angel, menarik rambut perempuan itu.
"Jadi kamu sembunyiin cap stempel itu ditubuh dia?"
"Lepasin,"
"Kenapa kamu membuat pekerjaan Papa bertambah?"
"Anda bukan Papa saya! Berhenti memanggil diri anda seorang Papa!"
Danang tersenyum kecil. "Kalau kamu serahin cap itu sama Papa, nggak akan ada kejadian seperti ini. Kamu pasti sudah membuang cap itu. Jenius juga, kamu,"
"Bermimpilah untuk memilikinya."
"Papa hanya menerangi tulisan disana dengan tinta yang lebih jelas."
"Jangan." Ujar Alex dan Nando bersamaan. Kaki kanan keduanya maju satu langkah, kemudian tidak bergerak lagi, pistol semakin diarahkan pada Angel. Alex tahu. Tinta itu pastinya bukan tinta biasa.
"Kompak ya, kalian. Tau aja kalau tintanya akan melumpuhkan semua syaraf." Danang tertawa. la meminta anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Alex," Gumam Angel begitu tusukan itu lebih dalam.
Alex menggeleng. Melihat ekspresi Angel begitu kesakitan akhirnya Alex menyerah. Ia tidak sanggup melihat Angel yang tersiksa karena ulahnya sendiri. Alex menarik rambutnya frustasi sebelum akhirnya ia berlutut, gerakkan yang sama seperti yang Nando lakukan. Kekhawatiran diwajah mereka membuat keduanya berteriak lantang disertai emosi dan murka.
"PAPA!" Pekik Alex dan Nando bersamaan.
Tujuh tahun yang lalu.
"Lex, wali lo hadir!" Merasa namanya dipanggil. Lelaki dengan seragam sekolah yang dikeluarkan dan dua kancing atasnya terbuka menoleh. "Bukan bokap lo,"
Alex mendengus pelan. Menutup aplikasi game online diponselnya, ia berdiri hingga kursi yang ia duduki berdecit pelan. Alex berjalan keluar kelas sembari memasukkan ponsel ke saku celana.
"Masalahnya apaan? Biar gue bantu," Ferdy mengikuti sahabatnya itu. Bersamaan dengan Bimo dan Leon. Empat sekawan yang selalu membuat histeris satu sekolah.
"Gue dengar, orang yang lo hajar itu anak orang penting. Gilak lo, udah berapa orang yang masuk rumah sakit karena emosi lo yang nggakjelas itu," Leon menggeleng
"Lo salah nggak?" Tanya Bimo. Ke-empat orang itu berbelok. Menuruni tangga menuju lantai satu. "Berantem sendiri, nggak seru lo,"
"Tapi seriusan lo nggak papa?" Ferdy memastikan sekali lagi. Alex mengangguk, menyingkirkan tangan Leon dipundaknya.
Ferdy merapikan baju Alex sebelum lelaki itu memasuki ruangan kepala sekolah. Mengancingkan kemeja atasnya sembar terus berjalan. Ferdy tidak menghalangi melainkan diam saja. Tidak lupa memasukkan baju Alex ala kadarnya, merapikan rambut lelaki itu. Ferdy menepuk pundak Alex. "Kalau butuh sesuatu gue di luar,"
Menghembuskan napasnya. Alex meraih knop pintu. Mendorongnya. Ketiga sahabatnya memilih menunggu didepan ruangan.
Alex memutar bola matanya malas. Menghempaskan pantatnya di samping perempuan yang datang sebagai walinya. "Bunda ngapain?" Tanya Alex tidak suka.
Bunda tersenyum, mengelus pundak Alex. Mendengarkan seluruh kronologi dan nasihat kepala sekolah. Sementara sang pelaku tidak membuka suara sama sekali selain mengangguk atau menggeleng. Sudah terlalu bosan mendengar ceramah, bahkan seringnya dipanggil, Alex sampai hapal kalimat itu. Namanya selalu menjadi langganan masuk ke ruang BK ataupun kepala sekolah. Tidak ada hari tanpa masalah dihidup seorang Alex.
Sekitar satu jam akhirnya Alex diperbolehkan keluar, diberikan skors selama tiga hari. Salah besar memberikan hukuman itu. Alex tidak akan merenungi kesalahannya.
Alex ikut pulang bersama seorang wanita yang berstatus sebagai ibunya sekarang. Bukan ibu kandung, melainkan ibu tiri. Selama perjalanan, ia terus mengabaikan perempuan itu yang memberikan seluruh perhatian pada Alex. Tidak ada satu kalimat pun yang bisa menggoyahkan hatinya.
"Berhenti jadi wali aku." Alex melemparkan tasnya ke lantai begitu sampai di rumah. "Aku nggak minta Bunda hadir sebagai wali. Aku nggak minta Bunda buat mengaku sebagai Mama aku."
"Bunda nggak bisa diem aja duduk dirumah sementara telpon terus berdering, Nak."
"Abaikan." Geram Alex. "Seberapa keras dan usaha Bunda buat ambil hati aku. Semua itu nggak akan berhasil. Kecuali Bunda kembaliin Mama aku."
Bunda melangkah maju. "Maafin Bunda. Bunda nggak ber-"
"Bunda nggak perlu minta maaf." Seorang lelaki menahan tangan Bunda untuk tidak mendekat pada Alex. Sorot mata tajam penuh kebencian dihadiahkan pada Alex. "Anak nggak tau diri kayak dia ngapain dikasih simpati."
"Gue nggak perlu simpati dari kalian berdua. Bilangin sama Bunda lo nggak perlu jadi wali gue lagi."
"Lo sama sekali nggak tau terima kasih." Bunda mengelus dada Nando, menenangkan putranya. "Kurang baik apa nyokap gue urusin lo sampai sekarang!?"
"Gue nggak minta diurusin sama dia!" Alex menunjuk Bunda. "Seharusnya nyokap lo nggak muncul dalam kehidupan gue! Seharusnya lo berdua jauh-jauh dari keluarga gue!"
"Anjing! Disini nyokap lo yang udah hancurin keluarga gue!" Nando sudah tidak bisa tinggal diam. Ia menyingkirkan tangan Bunda yang terus menahannya. Melangkah maju mencengkram kerah baju Alex. "Berapa kali gue kasih tau, Nyokap gue udah nikah sama Danang sebelum nikah sama selingkuhannya. Dan selingkuhannya itu nyokap lo! Nggak ngerti kalimat gue? Apa perlu gue gebukin lo lagi?!"
"Nak, udah. Nando udah," Bunda berusaha melerai.
"Kalau itu kejadiannya kenapa lo sama nyokap lo muncul lagi?! Kenapa nggak pergi aja dan biarin keluarga gue bahagia?!"
"Mana ada perusak rumah tangga orang yang hidup bahagia!" Nando mengeraskan rahangnya. "Meskipun Bunda gue nikah sama bokap lo karena perjodohan, nyokap lo tetap perusak disini."
"Nyokap gue nggak salah!"
"Nyokap lo salah makanya dia bunuh diri!"
Alex melayangkan tangannya yang mengepal ke wajah Nando . Membuat Nando terjatuh ke lantai. "Berhenti bicarain nyokap gue! Lo nggak tau apa-apa!"
"Lo yang nggak tau apa-apa, bangsat!"
"Nando sudah cukup!" Bunda menghalangi Nando, memeluk putranya itu yang ingin membalas perbuatan Alex.
"Sudah, Nak. Sudah, dia adik kamu,"
"Aku nggak punya adik, Bun. Dia hanya anak haram!" Tunjuk Nando murka. Alex mengepalkan kedua tangannya berlari ke kamarnya di lantai dua. Menghempaskan pintunya keras. Melampiaskan kekesalannya dengan membanting semua barang di kamar.
Memekik histeris dan terus meronta. Tidak terima dengan semua penghinaan yang dilontarkan Nando setiap kali. mereka bertatap muka. Alex tahu siapa dirinya. Hanya seorang anak yang tidak diharapkan dan juga anak haram bagi. Danang. Alex hanya dilahirkan sebagai bahan yang bisa digunakan sesuka hati oleh Danang. Lelaki itu tidak menyukainya, Danang hanya mencintai harta ibunya.
Selama tiga belas tahun lelaki yang selama ini Alex panggil Papa sudah membohonginya dan juga Mamanya. Danang sudah menikah terlebih dahulu. bersama wanita lain. Mamanya hanya istri simpanan. Termakan oleh cinta buta yang Danang berikan. Lelaki itu memanfaatkan Mama untuk menjadi orang sukses seperti sekarang. Setelah sukses, ia kembali pada istri yang pertama dan meninggalkan Mama begitu saja. Mama yang merasa telah dikhianati tidak sanggup lalu memutuskan bunuh diri. Semuanya masih terkam jelas, saat anak dari pernikahan pertamanya yaitu Nando melabrak Mama dengan mengatakan wanita tidak tahu malu.
Mama tidak salah. Mama tidak tahu jika Danang sudah menikah. Alex tidak tahu siapa yang patut disalahkan disini. Danang? Sudah pasti. Dari cerita yang setiap malam selalu Bunda ceritakan padanya. Jujur saja Alex kadang malas mendengarnya dan pura-pura tidur. Bunda tidak berhenti dan terus berbicara. Bunda juga tidak tahu jika Danang menikah lagi. Siapa yang salah di sini! Semua perempuan itu terperdaya oleh Danang.
Sebuah lampu hijau bagi Bunda saat Alex memanggilnya dengan sebutan 'Bunda'. Karena Bunda tahu, Alex hanya anak kesepian dan mencoba hidup dirasa kesepian itu. Bunda hadir untuk memberi lampu. Alex tahu, Bunda dan Mamanya tidak salah disini. Hanya sebuah rasa pengalihan emosi yang tidak bisa terlampiaskan dan kekesalan tiada akhir hanya sebagai bentuk kebencian nyata pada Bunda. Alex hanya mencari kesalahan.
Danang sama sekali tidak menyayanginya. Lelaki itu hanya menganggap Nando sebagai putranya. Alex hanya sebagai alat untuk sebuah bisnis agar berjalan dengan lancar. Nando mendapatkan apa yang ia mau. Apapun yang dilakukan lelaki itu, Danang tidak pernah mencegahnya. Sedangkan Alex begitu dikekang. Semua pergaulannya harus terlihat baik agar bisa diserahkan pada salah satu teman bisnisnya. Bangsat. Alex tahu semuanya.
"Mau ke mana kamu!" Alex keluar begitu saja tanpa menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. "Alex dimana cap stempelnya!"
Alex berbalik cepat dengan kedua tangan mengepal. "Kenapa? Anda tidak bisa mencairkan uang triliunan di rekening Mama karena cap stempel itu?"
"Papa tau dia kasih cap itu sama kamu,"
"Kalaupun iya. Saya tidak akan pernah kasih cap itu pada anda."
"Menyesal saya sudah membesarkan kamu."
"Saya lebih menyesal sudah lahir didunia." Alex berbalik. Selanjutnya ia hanya bisa memekik dan meronta pada dua orang lelaki yang menarik paksa untuk kembali ke kamar. Mengurungnya seperti biasa.
Nando memutar bola matanya. Melemparkan buku yang ia baca ke meja dan berdiri. "Saya memang tidak suka pada anak itu. Tapi saya lebih tidak suka pada anda," Danang menoleh. "Anda bisa mengaturnya sekarang. Tapi lihat ketika Alex tubuh menjadi lebih dewasa. Anak anda akan menjadi lawan anda sendiri." Setelah semua kebusukan Danang terbongkar. Nando tidak punya rasa simpatik kepada Papanya lagi. Semua rasa sayang itu sudah lenyap dan Nando tidak butuh Papa.
-
"PAPA!!" Pekik Alex dan Nando bersamaan.
Ganang tersenyum kecut. "Papa? Sudah berapa tahun Papa nggak pernah dengar kalian berdua memanggil saya dengan sebutan Papa. Kenapa? Hanya karena perempuan ini kalian berlutut dan berteriak ketakutan seperti ini?" Alex mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Danang tertawa pelan.
"Lepasin dia," Sudah cukup. Alex tidak bisa melihat lebih lama lagi ekspresi wajah Angel yang begitu kesakitan. "Pa, lepasin."
"Apa? Papa tidak bisa mendengar kalimat kamu,"
Alex menunduk. Menghembuskan napasnya melalui mulut. Matanya memerah, Alex mengangkat wajahnya. "Papa, aku mohon lepasin dia,"
Danang bertepuk tangan dengan rasa tidak percaya. Merasa sangat bangga dan begitu puas setelah menemukan kelemahan Alex.
"Oke, Papa akan lepasin. Tapi setelah kamu kasih cap stempel itu sama Papa." Cukup lama kalimat Danang menggantung sampai akhirnya suara perempuan menggema di dalam ruangan. Nando mencengkram kerah baju Alex yang sudah menangis tak bersuara. Mengalami sakit yang lebih parah seperti yang Angel rasakan saat ini.
"Dimana stempelnya," Tanya Nando berusaha tenang ditengah rasa panik yang menghampirinya. "Dimana bangsat!"
"Gue buang," Alex menutup kedua matanya pasrah. Air matanya mengalir dalam kesunyian. la tidak peduli jika Nando akan membunuhnya. Angel juga akan mati ditangan Danang. "Gue buang setelah gue cap di leher dia. Gue lempar ke laut." Ujar Alex pelan dan bergetar.
Malam setelah Alex menempelkan cap itu di leher Angel. Ia langsung membuangnya ke laut. Jika selama ini cap stempel itu yang paling berharga dihidupnya. Sekarang Alex punya Angel yang lebih berharga dihidupnya. Nando menghempaskan tubuh Alex. la berdiri dengan panik. Gerakan yang begitu cepat dan lincah, Nando merebut sebuah pistol dibelakang tubuh lelaki yang dari tadi berdiri disebelahnya.
"PA, STOP PA!" Teriak Nando. "Kalau Papa lanjutkan, aku akan bunuh diri!" Nando mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri. "Aku nggak bercanda."
Danang terlihat panik. Ia berjalan dengan pelan dan ketakutan menghampiri Nando. "Papa pilih uang triliunan itu atau aku?!" Alex berdiri. Tersenyum miris melihat Danang yang kalang kabut saat Nando memberikan sebuah ancaman.
"Nando kamu ngapain, turunin pistolnya."
"Nggak! Papa jawab dulu!" Tuntut Nando.
Danang mengusap wajahnya frustasi, bergantian menatap Nando dan juga Angel dengan perasaan kalut. Nando terus mendesak, mengatakan ia tidak pernah bercanda dengan apa yang dilakukannya. Danang akhirnya menyerah. Ia berjalan mendekati Nando. "Papa pilih kamu. Papa pilih kamu, sekarang turunin pistolnya,"
"Nggak akan bahas cap stempel itu lagi?" Danang mengangguk cepat. "Lepasin Angel."
Danang menurut seperti anjing jinak. Ia berbalik menatap seorang lelaki dibelakang tubuh Angel untuk menghentikan kegiatannya. Jaraknya yang jauh atau orang itu pura-pura tidak mendengar perintah dari Danang.
"Hentikan dan lepaskan anak itu!"
Orang itu sama sekali tidak mendengarkan teriakan Danang. Angel mulai lemas, merasakan jarum yang masuk dan keluar secara bergantian seperti sedang melukis, kuas yang digunakan adalah sebuah jarum suntik. Alex menyipitkan matanya sebelum terbuka lebar.
"FERDY!"
Alex berlari. Gerakannya kalah cepat saat lelaki yang ternyata lebih dulu mengarahkan pistol ke kepala Angel. Lelaki itu berdiri, melepas masker yang menutupi bagian bawah wajahnya. Alex mengatupkan rahangnya keras dengan kedua tangannya mengepal. Ferdy tersenyum miring.
"Gue nggak tau lo bisa mengenali gue sedetail itu." Bukan hanya Alex yang terkejut, Nando dan Danang sama terkejutnya. Ferdy sudah menukar semua anak buah Danang dengan anak buah miliknya. "Apa yang lo harapkan dari dia, Lex?" Ferdy mengelus pipi Angel. "Dia lumpuh sekarang,"
"JANGAN SENTUH DIA!"
"Apa yang bisa lo harapkan dari orang lumpuh? Kalau lo nggak bisa jadi milik gue, maka tidak ada satu orang pun yang bisa jadi milik lo, Lex. Alex is mine,"
"SINGKIRIN TANGAN LO ANJING!"
Alex kembali berjalan, sebuah tembakan terdengar keras melesat ditelinganya. Kaki Alex terhenti dengan sendirinya. Suara yang menghentikan seluruh fungsi sistem tubuh termasuk jantungnya. Bulir air mata turun begitu saja di sela bulu mata Alex. Dengan bibir yang sedikit terbuka, perasaan lemas yang datang membekukan tubuhnya saat ini. Darah segar mengalir melalui kening perempuan itu, turun ke hidungnya hingga tubuh Angel terjatuh dari kursi begitu saja.
"Ngel?" Panggil Alex nyaris tidak ada suara. "Angel?" Panggil Alex lagi masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Kakinya perlahan berjalan dengan begitu lambat, tubuhnya belum menemukan keseimbangan. Alex ingin berlari, tetapi kakinya masih begitu lemas seakan lumpuh ditempat. Ferdy melepaskan pistol ditangannya kemudian melarikan diri. Alex terjatuh. Ia merangkak mendekati Angel, membawa tubuh itu kepelukannya. Mendekapnya erat.
"FERDY!" Pekik Bimo.
Leon datang menghampiri Alex. Sedangkan Bimo mengejar Ferdy yang berusaha melarikan diri. "Angel nggak papa?" Tanya Leon panik. Alex terus memeluk perempuan itu. "Syukurlah. Bukan Angel yang ketembak." Bola mata Alex yang menatap kosong kini sudah kembali terisi dan bergerak. "Kalah cepat sama senampan Bimo. Darah dikepalanya adalah darah dari tangan Ferdy, bukan kepala Angel." Alex memeriksa sekali lagi. Benar. Tidak ada bekas tembakan disana. "Ini kunci mobil gue-" Leon menyerahkan kunci mobilnya. "Bawa Angel ke rumah sakit. Racun dalam kandungan tinta bisa dihentikan sebelum menjalar ke seluruh sistem syaraf. Lo harus cepat."
Tanpa basa-basi ataupun membantah. Alex langsung menggendong Angel. Membawanya ke rumah sakit dengan perasaan lega bercampur panik yang tidak bisa Alex jelaskan.
You save, Ngel. You save.
Berapa banyak dan besarnya uang yang tersimpan selama ini tidak akan ada artinya sama sekali bagi Alex. Ia tidak pernah menyentuh, melihat ataupun berniat untuk memiliki uang yang diserahkan oleh Mama padanya. Alex tidak butuh uang. Mama salah jika pergi begitu saja dengan memberikan triliunan dollar untuknya. Alex tidak butuh itu. Yang Alex butuhkan adalah perempuan dihadapannya saat ini. Perempuan yang kini tertidur pulas tanpa berniat untuk membuka matanya. Alex tersenyum simpul. Ia mengecup kening Angel sekali lagi, lebih lama dari sebelumnya. Dokter sudah menghentikan racun itu. Sikap cepat Alex dengan membawa Angel ke rumah sakit sangat berpengaruh. Telat sedikit saja, Angel mungkin akan mengalami kelumpuhan total termasuk otaknya.
"Maafin gue," Gumam Alex pelan. "Gue nggak bermaksud bawa lo ke dalam daftar perbuatan jahat gue, Ngel. Dibanding stempel itu, lo jauh lebih berharga buat gue. Selama ini, gue hidup bukan dengan uang yang nyokap gue kasih. Gue hidup dengan mendengar suara lo, lihat senyum lo dan merasakan sentuhan hangat lo. Itu yang buat gue hidup,"
"Gue hanya tidak ingin melupakan sesuatu yang penting bagi nyokap gue. Makanya gue jadikan sesuatu yang penting itu menyatu. Di tubuh lo. Maafin gue karna udah buat lo nangis lagi," Alex mengelus pipi Angel, ia mengerutkan keningnya. Kedua mata Angel bergerak, bibirnya berkedut. Alex mengulum senyum, melipat tangannya di dada. "Heh, bangun."
"Aw, sakit Alex." Angel mengusap keningnya yang mendapat hadiah jitakan dari Alex dengan wajah cemberut.
"Kapan lo bangun? Badannya bisa gerak?"
Angel mengangguk. Sembari menggerakkan tangan dan kakinya agar Alex percaya. "Bisa, kan?"
Menghembuskan napasnya lega, Alex memeluk Angel yang masih tertidur diranjang rumah sakit. "Jangan pergi lagi tanpa gue,"
"Aku emang mau pergi kemana tanpa Alex?" Angel menepuk-nepuk pundak Alex. "Alex adalah tujuan Angel," Sebuah kalimat yang begitu menggelikan, ketika sampai ditelinganya begitu menghangatkan. Alex mencium kepala Angel, melepaskan pelukannya.
Membiangkai wajah Angel. "Sekarang lo tau betapa berartinya seorang Angelista bagi Alex?" Angel mengangguk. "Jadi jangan pernah mengujinya ataupun ingin tau seberapa besar cinta gue sama lo. Itu semua nggak bisa diungkapin lewat sebuah kalimat."
"Hari buruk kalau nggak lihat Alex. Apalagi sifatnya yang super bosy dan wajah seramnya." Alex mendecih pelan. Kejujuran Angel yang membuatnya lucu. Angel tertawa pelan. "Tapi kalau nggak lihat jadi kangen. Ada orangnya nyebelin," Alex menurunkan kedua tangannya dari pipi Angel. Mendengarkan keluh kesah perempuan dihadapannya saat ini.
"Nyebelin kenapa?"
"Yaa itu, suka ngatur. Apa-apa nggak boleh. Jalan aja masih digandeng, emang aku anak TK." Angel melipat tangannya didada. Cemberut. "Aku udah bisa jalan waktu umur satu tahun. Nggak perlu diingetin 'Angel jalan yang benar' terus yang paling sering itu, 'Angel duduk yang benar'. Kamu tuh, aku udah hidup sembilan belas tah-" Angel membulatkan matanya saat bibirnya dibungkam dengan benda lembab milik Alex.
"Jangan ngomel terus, makin suka."
"Tau tuh, nyebelin!" Menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. Alex terkekeh pelan, menarik ke bawah selimut yang menutupi Angel.
"Ngel?"
"Em,
Alex membasahi bibirnya sebelum berkata. "Gue nggak bisa janji apapun sama lo. Sebuah hubungan yang mungkin akan terjadi dihari-hari berikutnya. Maksud gue sebuah hubungan sakral seperti Luna dan Leon sekarang. Pernikahan. Jujur aja, gue masih belum bisa menemukan jawaban dari pertanyaan gue. Jadi selama gue cari jawaban itu, lo masih mau tetap berada disamping lelaki brengsek ini? Masih mau temenin gue cari jawaban yang masih kelabu? Dampingi gue, bilang kalau gue salah arah nantinya. Kita pelan-pelan aja. Lo masih sembilan belas tahun dan gue dua puluh tiga tahun. Masih banyak cerita dan karir yang pastinya mau lo capai. Sama kayak gue, masih banyak yang harus gue perbaiki. Dimulai dari diri gue sendiri dulu. Jadi jangan nuntut sesuatu sama gue karna hubungan kita yang lo bilang gak jelas. Seperti yang gue bilang, kita mulai dari hal kecil dan pelan-pelan."
Angel mengangguk. Perjalanan masih
panjang, banyak yang harus ia dan Alex
perbaiki. Alex tertawa pelan, menarik
Angel kepelukkannya. Mengelus kepala
dan pundak Angel bergantian. Angel
menyembunyikan wajahnya ditengkuk
Alex. Menenggelamkan dirinya dalam dekapan hangat Alex yang membuatnya tenang, melingkarkan tangannya dipinggang lelaki itu.
"Alex yang bandel,"
"Angel yang ceroboh,"
"Alex yang ganteng,"
"Angel yang jelek,"
"Ih, kamu narsis!" Angel melepaskan pelukannya. Lalu keduanya tertawa bersamaan.
Kepergian Alex lima belas menit lalu masih begitu terasa. Angel dibuat terbang dengan semua kalimat yang membuatnya sesak napas. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, Angel memaksa Alex untuk membeli sarapan. Setelah dipaksa akhirnya Alex pergi juga.
"Iya?" Angel menoleh. Menatap pintu kamarnya yang dibuka oleh seseorang. Senyum Angel merekah. "Nando? Masuk,"
Nando tersenyum, menutup pintu lalu berjalan mendekati Angel. Memberikan satu bucket bunga pada Angel. Suasana canggung mungkin hanya dirasakan oleh Nando. Tidak dengan Angel yang terlihat biasa saja.
"Alex baru aja keluar cari makan, kamu cari dia?" Nando menggeleng.
"Gue sengaja mau ketemu sama lo."
"Oh gitu. Kenapa?" Angel memfokuskan menatap Nando yang duduk di tepi ranjang. "Bicara aja, kenapa? wajah aku aneh?" Angel meraba wajahnya. Nando tertawa pelan.
"Lo tuh, ya. Kayak nggak ada masalah aja,"
Angel tertawa pelan. "Emang kita punya masalah?"
Nando menghembuskan napasnya, melipat satu kakinya menghadap penuh pada Angel. "Gue mau minta maaf sama lo. Semua kalimat gue yang lo dengar di OX. Gue merasa bersalah sama lo, Ngel. Jujur, gue bukan mau jadiin lo barang taruhan malam itu. Semua itu gue lakuin buat-"
"Mancing Alex?"
Nando terdiam sejenak sebelum mengangguk. Angel tersenyum. "Gue nggak suka sifat dia yang tinggalin lo seenaknya dan gak bolehin gue dekat sama lo. Gue nggak bisa terima, lo itu perempuan yang baik, nggak harus ketemu sama cowok kayak dia,"
'Mungkin bagi lo perasaan gue terdengar biasa. Nggak, Ngel. Lo salah besar. Perasaan gue nggak pernah main-main sama lo. Itu baru gue sadari semalam. Saat gue rela mati demi Angelista yang nggak akan bisa balas perasaan cinta tulus seorang Ferdnando. Jaga diri lo, ya.' Batin Nando.
"Cowok itu adik kamu, toh," Nando menghembuskan napasnya malas. Angel sudah mendengar semuanya. Meski berbeda rahim, keduanya masih satu aliran darah dari ayah yang sama. "Sifat kamu sama dia itu sama. Sama-sama keras kepala. Kalian itu mirip, kenapa aku nggak sadar dari dulu ya,"
"Udah jangan dibahas." Angel terkekeh pelan. "Gue juga sadar kalau gue nggak akan bisa rebut lo dari dia, anggap aja sebagai permintaan maaf gue,"
"Aku udah maafin kamu,"
Nando ikut tersenyum melihat senyuman yang Angel berikan untuknya. Hanyut dalam senyuman itu membuat Nando tidak berada jauh.
"Ngel?"
"Em?"
"Boleh peluk lo? Sekali aja, setelah ini gue nggak akan ganggu lo,"
Angel mengangguk. Mendekatkan tubuhnya pada Nando yang langsung direngkuh oleh kedua tangan kekar itu. "Kita masih bisa ketemu. Kita temen,"
-
'Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.'
Seperti pepatah di atas. Alex bisa menemukan jawabannya. Keluar dari zona hitam hidupnya. Keluar dari lingkungan kelam kehidupannya. Depresi, rasa trauma dan hilangnya kepercayaan diri. Bunuh diri? Sudah pernah Alex coba saat rasa trauma kembali. Tuhan yang memberikan kesempatan lebih atau ingin menyiksanya lebih lama lagi. Dulu Alex menganggap hidupnya hanya sebatas lingkungan tanda merah ke bawah. Tidak ada tawa dan tidak ada siang. Semuanya malam. Tawa ataupun matahari bukanlah temannya. Tidak ada satupun obat yang bisa menyembuhkan depresi berkepanjangan yang kadang membuatnya putus asa.
Obat itu memang tidak dijual. Meskipun dijual, harganya tidak akan ternilai oleh uang. Sebuah produk limitid editions dan tidak ada duanya. Dia. Angelista. Perempuan dengan sejuta senyuman dan beribu kalimat polos yang terdengar begitu lucu. Bukan perempuan yang datang menghampirinya pertama kali seperti yang lainnya. Bukan perempuan berpakaian sexy untuk menggodanya. Bukan perempuan secantik bidadari untuk meluluhkannya. Dia, Angel, hanya seorang perempuan sederhana yang memiliki hati seperti ibu peri.
Hei.. Alex jatuh cinta.
Bukan cinta dibawa oleh nafsu. Bukan cinta dibawa oleh terburu-buru. Bahagia apa lagi yang Alex harapkan. Ketika matahari kalah telak dengan sinarnya yang begitu cerah. Rambutnya yang tergerai tersapu oleh angin. Lesung pipinya yang begitu dalam memperlihatkan betapa kerasnya ia tertawa.
Alex mencintainya.
Seperti sebuah rasa ingin memiliki lebih. Alex menggenggamnya. Tidak akan pernah ia lepas. Begitu kuat menyalurkan sebuah keyakinan di sana. Angel menoleh, memberi aliran listrik sehingga Alex ikut menoleh.
Banyak yang bertanya. Kenapa Angel menerima, memaafkan dan seperti sebuah sampah yang dibuang lalu dipungut kembali. Itulah dirinya. Balas dendam? Memberikan pelajaran agar sang pembuang sampah merasakan apa yang ia alami? Membuangnya juga? Lalu apa bedanya sampah dan si pelaku? Berpuas diri? Merasa terbalas? Tidak. Itu hanya sebuah pertahanan yang dibuat seolah tegar sendiri. Menyiksa diri dan tertawa meski hati menangis.
Angel tidak ingin menjadi seperti itu. Kenapa ia harus membuang kebahagiaannya sendiri? la tak pandai berakting. Tak pandai dalam permainan perasaan. Angel selalu melihat dari sisi positif. Jika orang itu salah, maka Angel akan menilai diri sendiri. Apa ia sudah benar sehingga bisa menyalahkan orang lain? Jika orang itu berbohong, Apa ia sudah menjadi orang yang jujur selama ini?
Jangan menghujat karena mereka sudah menyakitimu berulang kali. Tuhan sedang menguji seberapa sabar orang yang berhasil lulus dalam ujiannya. Dan untuk mendapatkan ACC, hanya ada satu kalimat. Memaafkan.
"Ngel?"
"Apa?"
"Cara menyatakan perasaan pada seseorang yang kita sayang gimana? Setelah itu mereka menjalin sebuah hubungan yang namanya pacaran?"
"Emang kamu nggak pernah?"
"Nggak. Kasih tau gue,"
"Kamu harus bilang sama dia kalau kamu sayang, kamu suka dan cinta sama dia. Terus tanya, mau nggak jadi pacar aku?"
"Mau."
"Apa?"
"Pacaran?"
"Kenapa kita harus pacaran?"
"Because you go, i go. You are hurts, me more. We are one. Now, tomorrow, then forever with you, Angelista."
"Love you,"
"Big love for you, Angelista."
To be continue...
Alex menemukan jawabannya. Apa yang dia inginkan? Apa yang harus dia tinggalkan? Dan apa yang membuatnya berubah dari orang yang berada dalam dunia hitam, menuju sisi terang. Semua itu hanya karena seorang perempuan. Bernama Angelista. Ayo langganan dan beri dukungan pada penulis. Silahkan follow untuk mendapat update terbaru dari karya kami.
Share this novel