14. Perselisihan Dua Sahabat

Romance Completed 1105

Alex tahu apa yang dilakukannya salah sejak
awal. Tidak seharusnya Alex membiarkan Angel masuk kembali dalam kehidupannya sementara ia masih belum bisa melepaskan Lily. Alex sudah
mempersilahkan Angel pergi dengan setengah hati. Ia memilih Lily, karena Alex sadar tidak akan pantas untuk perempuan itu. Usahanya gagal ketika Angel memilih bertahan, Migel tidak menolak. Memang dirinya tidak ingin melepaskan Angel. Lebih tepatnya, Alex tidak bisa melepaskan keduanya.

Brengsek? Iya. Alex sudah mengatakannya pada Angel. Jika Angel adalah lampu yang menerangi jalannya, maka Lily adalah tiangnya. Tiang yang membantu Alex berjalan kembali saat terjatuh, Lily selalu menjadi tongkatnya. Biarkan seperti ini dulu. Alex akan memutuskan siapa yang harus ia lepas dan siapa yang seharusnya ia pertahankan.

Alex membuka helm miliknya. Menyisir rambutnya dengan jemari tangan sementara kakinya mulai menelusuri koridor. Tangannya menenteng sebuah tas berbahan kertas berwarna coklat yang lumayan besar. Kakinya berhenti depan pintu warna biru. Tangannya terangkat ke udara untuk mengetuk, namun pintu tersebut terbuka terlebih dahulu.

Alex tidak bergeming, meremas tali tas di tangan kirinya. Sementara tangan kanan yang masih melayang di udara turun dengan perlahan.

"Ngapain lo disini?" Keduanya kaget. Lelaki di hadapan Alex melipat tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke pintu. Menatap Alex dengan seribu pertanyaan.

"Ngapain lo disini?" Alex memutar balik
pertanyaannya.

"Seperti yang biasa lo lakuin." Nando menggelengkan kepalanya dan tertawa mengejek, sebelum ekspresinya dengan cepat berubah menjadi serius. "Masih main sama Lily? Lo main di belakang Angel ?!" Tiba-tiba saja Nando tersulut emosi.

"Bukan urusan lo."

"Urusan gue." Nando menatap tajam. Ia berdiri dengan kedua tangan terangkat ke atas disisi pintu kanan-kiri, membuat otot lengannya tercetak sempurna karena Nando hanya mengenakan boxer saja. "Kalau sampai lo sakitin Angel, Habis lo sama gue." Ancam Nando.

Alex membuang pandangannya dengan kedua alis menyatu, ia membasahi bibirnya sebentar sebelum membalas tatapan Nando. "Kenapa? Lo suka sama dia?"

"Iya, gue suka dan gue lagi atur strategi buat ambil milik gue." Alex mengepalkan kedua tangannya. "Dilihat dari gelagat lo, Angel nggak tau kalau lo main sama Lily." Nando menurunkan kedua tangannya, ia tersenyum. Senyuman bahagia. Berbeda dengan beberapa detik yang lalu. Lelaki itu handal dalam mengelabui lawannya dengan ekspresi wajah. "Dan juga, Luna. Cewek itu nggak tau kalau cowoknya habis pulang liburan romantis berdua sama Lily."

Melihat Alex tidak bergeming. Nando terbahak, ia senang bukan main saat mengetahui dua sahabat itu suka pada satu wanita yang sama. "Sory, gue berlebihan." Nando menoleh sebentar ke belakang, air yang mengalir dari kamar mandi masih terdengar, menandakan orang di dalam sana belum selesai. Nando kembali menatap Alex.

"Leon lebih bajingan ternyata. Gue baru tau. Dia dapatin Luna, tebar janji manis, sok setia, tapi dia lakuin hal yang lebih manis dan mewah ke Lily. Gue
bingung, sebenernya yang dicintai Leon itu, Luna atau Lily?" Nando tersenyum miring sementara Alex semakin menajamkan tatapannya.

Flashback

"Apa?! Leon?" Nando menghentikan gerakkannya sejenak. Lily mengangguk. "Dia ngelakuin semua itu buat lo?"

"Gue bingung. Luna temen gue, dia baik banget. Gue serbah salah. Gue juga bisa tersanjung diperlakukan manis dan sepesial. Bukan satu kali, sering. Kejutan yang dia kasih selalu bikin gue terpesona. Termasuk liburan beberapa hari yang lalu, Leon bawa gue liburan di pulau pribadinya." Nando menarik tangan
Lily sehingga saling berhadapan, saling bertaut bibir sebentar. "Leon cowok impian gue," Lily mengeratkan pelukannya di leher Nando, menarik rambut cowok itu dengan kedua matanterpejam.

"Alex tahu?" Livesey menggeleng cepat, menggigit bibir bawahnya. Nando menyandarkan punggungnya kebelakang, dengan Lily yang masih dipangkuannya.

"Lo suka sama Leon? Tapi lo juga berharap sama Alex?" Nando mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Mau lo apa, Lil? Hancurin pertemanan mereka?"

Lily menggeleng. "Nggak sama sekali. Gue nggak sejahat itu." Nando menghembuskan nafasnya pelan, membuang pandangannya sebentar.

"Udahan? Gue mau Mandi."

"Lo suka sama Leon." Lily menggeleng. "Lo suka lil, Lo yang nggak sadar."

Lily mengangkat wajahnya, menatap Nando dengan tatapan sendu. Ada kesedihan disana. Nando bisa melihatnya. "Bukan dia Nan, Bukan Leon. Tapi, dia."

Flashback off

Nando tertawa kecil. "Kasih tau gue, kapan tanggal yang pas buat bongkar kedok lo sama Leon?" Alex semakin mengepalkan tangannya. Menutup kedua matanya sebentar sebelum menatap Nando. Bola mata Alex bergerak ke samping, melihat sosok perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Rambutnya digulung handuk kecil. Lily terkejut namun tidak bergeming dari tempatnya. Tidak mengherankan. Tidak ada lelaki yang berkunjung ke kamar itu kecuali meminta dimanjakan.

Migel melemparkan tas yang dibawanya ke bawah kaki Nande. "Gue hanya kembaliin itu." Ujar Alex sebelum pergi dari sana. Dua langkah Alex berbalik, Nando langsung menutup pintunya dengan keras, membuat Alex mau tidak mau menoleh ke belakang, menatap pintu itu dengan umpatan kasar. Tujuannya saat ini adalah Horison. Ia baru mendapat pesan masuk dari Bimo jika malam ini akan menggelar pesta BBQ. Dengan tema, Kepulangan Ferdy.

Shit!

Haram bagi Alex untuk menyambutnya. Alex tidak akan hadir jika Angel tidak sedang bersama mereka. Ada rasa penyesalan kerena meminta Angel pindah bekerja ke Horison. Alex menghembuskan nafasnya berulang kali. Berjalan melewati beberapa pengunjung menuju taman belakang. Itu adalah tempat privat, tempat VVIP yang sengaja tidak Leon sewakan kecuali orang yang mau merogoh kocek tinggi.

Tempat outdor dengan kolam renang di tengahnya. Banyak bagian mengelilingi kolam yang lumayan besar itu. Salah satunya dinner party, sandy bay beach club, dance floor, matras balon yang mengapung, meja bar dengan pelayanan super, bir dengan harga fantastic, dan masih banyak lagi, semuanya bisa ditemukan disini.

Alex langsung menjelajah tempat tersebut. Mengambil sisi kanan menuju tempat paling ujung dengan lantai kayu dan sofa putih. Aroma daging panggang dan musik yang dimainkan oleh Luna membuat malam semakin gemerlap. Alex melewati Luna tanpa berniat menyapanya.

"Dari mana lo. Di tungguin dari tadi." Leon meletakkan dua piring daging ke meja. Lelaki itu menggunakan topi chef dan celemek, seolah ia adalah pelayan.

"Silahkan dinikmati tuan, Nggak ada CEO yang rela turun tangan masak untuk tamunya. Kalian adalah orang-orang beruntung," Ujarnya bangga. "Ini sekertaris pribadi gue." Lanjutnya saat Angel baru saja datang dengan membawa hidangan lainnya. Angel hanya bisa terkekeh pelan. Alex menepuk kursi disebelahnya, meminta Angel untuk duduk.

"Yang! Woy! SAYANG! LUNA! ALUNA!" Luna menengok. "Makan dulu!" Luna mengangkat jempolnya dan melepaskan earphone yang menggantung di leher.

"Tamu specialnya mana kak? Kok aku belum lihat."

"Lo nggak sama Ferdy?" Bimo baru saja bergabung. Sedari tadi lelaki itu berendam di kolam. Mengambil kimono dan duduk di sofa single. "Ferdy bilang mau jemput lo di apartemen."

"Gue bisa berangkat sendiri." Jawab Alex ketus, menusuk daging dan melahapnya.

Bimo menggeleng pelan dan menunduk. "Kaya tujuh turunan kalau lo nikah sama Leon, cipratin gue, ya." Bimo menepuk paha Luna dengan kakinya yang duduk dilantai kayu. Luna terkekeh pelan, mendorong kaki Bimo.

"Gue telpon Ferdy bentar." Leon melepaskan celemek, mengambil jarak untuk menelpon Ferdy.

"Kamu dari mana?"

Alex menoleh. "Apartemen, kenapa?"

Angel menggeleng, menatap Alex dari samping. Ada yang aneh, mungkin Angel yang terlalu sensitif atau Alex yang tidak bisa menyembunyikan perasaan. "Ada yang buat kamu marah?" Pertanyaan itu keluar bersamaan saat Alex menusukkan garpu ke daging. Nafsu makannya hilang tiba-tiba. Tangannya terhenti. Alex menarik tangannya dannbertumpu di atas paha, ia menatap Angel .

"Nggak." Jawabnya tersenyum. Bola mata Alex turun ke bawah, melihat Angel yang tidak nyaman dengan rok hitam. Alex melepaskan jeketnya lalu ia letakkan di pangkuan Angel .

"Aku tau kalau kamu lagi marah, kelihatan jelas." Angel menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Apa kamu keberatan buat maafin sahabat kamu sendiri?" Alex mengangkat satu alisnya. "Ferdy, kak Luna udah cerita soal kamu sama Ferdy. Konflik apa yang buat kalian bermusuhan?" Alex membuang pandangannya ke dasar kolam dengan gusar. "Salah ya kalau aku tanya?"

"Lo nggak perlu tau." Alex menoleh. "Itu urusan gue."

"Iya."

Alex menghembuskan nafasnya pelan. "Bukan gue nggak mau cerita. Gue nggak mau lo masuk dalam masalah gue."

"Iya, aku ngerti." Alex melihat raut wajah kecewa Angel .

"Ferdy udah sampai." Semua mata menatap Leon. Angel begitu bersemangat, penasaran seperti apa lelaki yang pernah Luna ceritakan. Apa sama tampan seperti ketiga lelaki yang bersamanya? Angel tidak tahu.

"Duduk aja." Angel menoleh saat Alex menahan lengannya, padahal ia ingin ikut berdiri. "Gue bilang duduk."

Angel mendengus kesal, kembali ke posisinya. Alex menarik tangannya kembali dan mengeluarkan sebatang rokok.

"Buang rokok kamu." Alex menoleh. Menatap Angel lama. "Jangan ngerokok depan aku."

"Fine."

"Lex," Alex mendongak. "Apapun masalah lo sama dia, udah saatnya buat berdamai. Ferdy udah pergi selama lima tahun buat intropeksi diri," Bimo buka suara. "Udah lima tahun, saatnya lo maafin dia."

"Nggak." Jawab Alex acuh. Angel menggelengkan kepalanya, tidak mengerti apa yang Alex inginkan.

Bimo ingin membalas ucapan Alex, tapi Luna langsung memutar tubuh Bimo ke depan. Ketiganya sudah berdiri di meja dengan kue tart yang besar dan tinggi. Ada tulisan 'Wellcome Back Ferdy' di bagian paling bawah. Leon juga sudah menyiapkan tulisan besar itu di dasar kolam, di semua tempat. Saat pintu mulai terbuka, Ferdy muncul, suara terompet terdengar sangat keras. Seperti tahun baru. Gleen terkejut bukan main. Tidak menunjukkan ekspresi yang terlalu berlebihan. Ferdy mengusap dadanya dan tersenyum takjub.

"Wellcome back Ferdy!" Luna berlari memeluk Ferdy yang dibalas anggukan oleh lelaki itu. "Tambah ganteng aja lo."

"Singkirin tangan lo, Luna." Ferdy memperingati Luna ketika mulai menyentuh wajah dan rambutnya seperti menguyel anak kecil.

"Habisnya gue gemes."

Ferdy terkekeh pelan dan melihat sekelilingnya. "Apaan? berlebihan." Ferdy cukup terkesan dengan apa yang direncanakan sahabatnya.

"Ini adalah simbol kebahagiaan karena lo udah balik ke kita." Bimo merangkul Leon di sebelahnya. "Kita bahagia lo balik."

"Thanks."

"Sewa tempat ini mahal, jadi lo bisa bayar setengahnya aja," Ferdy mendengus pelan. "Bercanda Fer, Special buat lo. Apa sih yang nggak buat seorang Ferdy."

"Leon udah masakin lo hidangan lezat." Luna menarik tangan Ferdy hingga lelaki itu berhadapan dengan Alex. "Oh iya, new member. Angelista." Luna menunjuk Angel yang duduk bersebelahan dengan Alex.

Ferdy mengulurkan tangannya. "Ferdy." Disambut oleh Angel tidak kalah hangat.

"Angel."

"Dia punya Alex." Senyuman hangat itu hilang seketika di bibir Ferdy, ia menatap Luna dengan tangan yang masih bersalaman. "Kenapa? Gue tambah cantik?" Ferdy beralih pada Alex yang sama sekali tidak menatapnya, asik dengan hidangan. Ferdy menarik tangannya kikuk.

"Ganteng siapa? Gue apa dia?" Tanya Bimo merangkul Ferdy, ia menunjuk dirinya sendiri dan Ferdy secara bergantian. Meminta Angel memilih.

"Ferdy." Jawab Manda tanpa berfikir panjang. Bimo langsung menunjukkan ekspresi tersakiti dan memukul dada Ferdy seperti gerakan cewek, Angel tertawa. Angel berkata jujur. Satu kata, Sempurna untuk Ferdy.

"Udah, gue mau jadi Mermaid aja." Bimo mengibaskan rambutnya, seperti duta shampo. Berbalik dengan gaya centil membuat Leon langsung menendang bokong Bimo hingga lelaki itu langsung tercebur kekolam.

"Bangsat!" Pekik Bimo setelah muncul ke permukaan.

Luna duduk di pangkuan Leon dengan sepiring daging, tangan kiri Leon melingkar sempurna di pinggang Luna. Alex tersenyum miring melihatnya.

"Jadi, kalian udah baikan, kan?" Tanya Luna menunjuk Alex dan Ferdy dengan garpu di tangannya. Ferdy tersenyum dan mengangguk, tapi tidak dengan Alex.

"Bagus."

Alex mendecih pelan yang berhasil menarik perhatian. Hening sesaat. "Fer, dipotong dong kuenya." Ujar Luna sadar jika suasana mendadak menjadi tegang. Ia menarik tangan kanan Ferdy, memberinya pisau. Ferdy tersenyum miring, menerima pisau tersebut.

Leon dan Luna saling beradu pandang. "Yaudah, sini gue aja yang potong." Leon bergeser, merebut pisau di tangan Ferdy. Leon takut akan terjadi pertumpahan darah. "Gue pesan kue mahal, sayang nggak dimakan." Ujarnya yang mendapat kecupan dari Luna dan dibalas dengan ciuman singkat oleh Leon. Ferdy yang melihatnya mendengus pelan.

"Bim! Mau kue nggak?!" Bimo yang sedang bersantai di matras balon mengangkat kakinya, menggerakkan ke kanan-kiri. Sibuk berbincang dengan seseorang dibalik telpon. "Gue yang punya rencana, gue yang sediain tempat, gue yang keluarin duit, gue yang beli kue dan gue juga yang makan kuenya sendiri. Gue bahagia, gue gak pa-pa." Tidak ada yang menanggapi. Leon melipat kakinya ketika Luna berdiri.

"Ngel, mau belajar DJ gak?" Angel menegapkan punggungnya. "Kalau sama orang lain lo bayar mahal, sama gue gratis."

Baru saja Angel ingin bersuara Alex menjawab. "Nggak."

Angel mengerucutkan bibirnya. "Sebentar aja, aku penasaran."

"Protektif banget lo. Lagian, gue ngajak main bukannya diujung dunia. Tuh, disana. Nggak sampai sepuluh meter."

Alex menatap Angel yang memohon, menghembuskan nafasnya dan mengangguk pasrah. Senyum Angel tercetak sempurna. Angel berdiri menghampiri Luna yang sudah menunggunya.

"Gue ikut, Lun." Ferdy berdiri. "Gue juga penasaran sama sesuatu." Luna mengerutkan keningnya. Sebelum berkata. "Ya udah, ayo."

Langit semakin gelap. Musik yang dimainkan Luna semakin keras. Luna memang handal dalam bermain DJ, ia pernah sekolah DJ selama enam bulan. Terbukti, hasilnya permainan Luna patut diacungi jempol. Bimo masih setia mengapung. Terbahak sendiridengan benda pipih menempel di pipi kanan. Kedua Mata Alex tidak lepas mengawasi Angel yang terlihat semangat mendengarkan penjelasan Luna. Alex menghembuskan nafasnya, meneguk minuman miliknya lalu meletakkannya kembali ke meja.

"Sehari setelah kejadian Angel di MJ, paginya Lo dimana?" Leon mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. "Seminggu yang lalu."

"Liburan, kenapa?"

Alex mengangguk pelan. "Sama siapa?"

"Keluarga." Jawab Leon tanpa menatap Alex. Kembali asik dengan handphone di tangannya. Alex menatap Leon lama.

"Bedanya gue sama lo itu apa?"

Leon yang asik menikmati musik mendadak menoleh dengan kening berkerut. "Lo bicara sama gue?"

"Sama setan."

"Ya udah." Ujar Leon kembali menghadap depan. Alex menatapnya tajam membuat Leon mau tidak mau kembali menoleh. "Apa?"

"Gue bisa ngerasain perasaan lo waktu itu," Leon menautkan alisnya. "Waktu lo marah saat gue main sama Lily, dan mengabaikan Angel. Pastinya lo mau nonjok gue waktu itu."

"Lo bicara apaan?"

"Gue nggak bisa tonjok lo, Kita sama bejatnya." Leon menarik satu alisnya ke atas. "Tadi lo minta gue kembaliin tas Lily. Kenapa bisa sama lo?"

"Ketinggalan di mobil gue. Kenapa?"

"Gue nggak berhak marah, karena gue ngaca diri sendiri." Alex menghidupkan rokoknya. Menghisapnya lalu menghembusakannya melalui mulut. "Lo sadar diri nggak, waktu ceramahin gue soal Angel?" Alex menoleh. "Waktu lo kasih nasihat itu, ada yang sedang lo rencanain?"

"Apa?" Tanya Leon tidak bergeming. "Apa yang mau lo bahas sekarang, jangan bertele-tele, Gel. Lo bukan orang seperti itu,"

"Seharusnya gue rekam nasehat lo kemarin dan gue kembaliin semua nasehat itu buat lo." Leon mengatupkan rahangnya keras. Ia melempar garpu ke meja yang sejak tadi dipegangnya, membuang pandangannya sejenak sebelum menatap Alex kembali. "Maksud lo apa, Le?"

Leon menatap Alex lama sebelum berkata dengan pelan. "Lo udah tau, Lex. Kenapa tanya lagi."

Mendengar jawaban Leon membuat emosi Alex langsung naik ke ubun-ubun. Alex memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan mengepal dan bergetar. Sebisa mungkin Alex menahan tangannya agar tidak melayang ke wajah Leon. "Tangan gue gatel mau nonjok lo."

"Sama, gue juga." Leon tersenyum miring. "Yang gue rasain waktu itu. Gue nggak mau kita berantem, jadi gue tahan semuanya. Gue dongkol dengan sifat lo, tapi gue bisa tahan diri."

"Lepasin Luna." Alex mengatupkan rahangnya. "Lepasin Luna, dan gue akan lepasin Lily. Sampai itu terjadi, lo bajingan terhebat yang gue temui, Leonardo."

"Apa bedanya sama lo?" Leon tertawa sakartis. "Lo jangan minta gue lepasin salah satu antara mereka, karena lo juga nggak bisa lepasin salah satunya." Keduanya menatap sengit. Sama-sama menahan diri untuk tidak menimbulkan keributan. Suasana tegang terjadi antara keduanya. Musik dengan volume tinggi tidak bisa terdengar karena tertutup emosi.

"Gue tau Lily suka sama lo. Dia sering cerita ke gue. Awalnya gue tanggepin biasa, Kasih nasihat ke Lily kalau lo nggak akan bisa menetap di satu selangkangan, apalagi sebuah hubungan." Leon meneguk minumannya kasar. "Waktu lo buang dia, nggak ketemu Lily selama tiga bulan karena lo fokus
sama Angel. Dari sana gue semakin dekat sama Lily, entah kenapa perasaan gue semakin hari, semakin beda ke Lily."

"Ingat Luna brengsek."

Leon mengangguk pelan. "Saat lo asik main sama Lily, Apa lo inget Angel? Seperti yang lo bilang. Ngaca diri sendiri." Alex benci fakta itu. "Kita lihat aja, kapan lo rusak Angel sama seperti gue rusak Lun-"

Bbaaamm!!

Seumur hidupnya. Alex tidak pernah melayangkan pukulan bercampur emosi yangmenggebu-gebu seperti sekarang. Haram untuknya melukai orang yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Seratus persen Alex sadar. Siapa orang yang sedang ia pukul sekarang. Leon. Yang selama ini makan, tidur dan mandi bersama. Orang yang selalu ada saat Alex butuh bantuan. Alex tidak akan pernah menyesal karena sudah membuat sobek ujung bibir lelaki itu hingga darah segar keluar.

Alex menindih tubuh Leon di sofa. Tangannya mencengkram kerah baju Leon. Urat leher dan tangannya terlihat, menjadi saksi betapa kuatnya tenaga yang Alex keluarkan. Rahangnya mengeras dengan kedua mata memerah. Tidak ingin kalah dari Alex. Leon juga mencengkram baju Alex. Keduanya saling menatap dengat tatapan membunuh.

"Woy! Main di ring, jangan disini!" Teriak Bimo membuat Angel, Luna dan Ferdy menatap Alex dan Leon.

"Gue nggak rusak anak orang kaya lo. Gue emang brengsek, tapi gue tau batas. Lo rusak Luna, Gue rela mundur demi lo bangsat!" Alex emosi. "Waktu SMA lo bilang mau jaga dia, gue percaya sama lo dan lupain Luna. Meski gue nggak ada perasaan lagi sama Luna, Gue nggak terima lo perlakuin Luna seperti ini. Dia cewek baik-baik sebelum kenal sama lo," Alex mengatupkan rahangnya. "Sampai Luna tau semuanya, sampai gue lihat Luna nangis. Gue habisin lo."

"Jangan gantungin Lily." Balas Leon tidak kalah sengit. "Gue sayang sama dia Anjing!" Leon melayangkan tinjunya ke wajah Alex, sehingga Alex terhempas kesamping. Leon langsung menindih
Alex dengan murka. Posisi berbalik. "Jangan buat Lily tersiksa. Kalau lo emang pilih Angel, lepasin Lily. Dia berhak bahagia. Jangan pernah kasih harapan apapun sama dia."

Alex tidak tinggal diam, berusaha mengembalikan posisinya. Pertarungan sengit tidak terelakkan. Keduanya saling melempar pukulan, berguling di lantai kayu.

"WOY!!? BERANTEM BENERAN?!" Bimo menjauhkan ponselnya yang dari tadi menempel ditelinga, ia menegapkan punggungnya. Leon dan Alex saling adu tonjok. "Anjir seriusan!"

Bukan hanya Bimo yang mengira Alex dan Leon sedang bercanda, Begitu juga Angel dan Luna. Merasa keduanya semakin aneh, kedua perempuan itu langsung berlari mendekat.

"Leon!?" Panggil Luna berusaha memisahkan. Gagal. Tubuhnya malah terhempas ke samping karena dorongan kedua lelaki itu yang bertarung sengit.

"SUMPAH LO BERDUA KENAPA!" Luna memekik histeris, mengusap wajahnya. Ferdy yang melihatnya hanya duduk dikursi bartender, tidak berniat mendekat. Menyesap minumannya. Menganggap perkelahian kedua sahabatnya sebagai tontonan. "Leon!"

"LO BERDUA APA-APAN, HAH!" Bimo yang baru saja keluar dari kolam langsung memisahkan keduanya, meski memberontak. Bimo langsung menarik Alex menjauh dari Leon. "Masih sehat? Sadar? Atau udah campur alkohol?" Luna langsung memeluk Leon, antisipasi jika lelaki itu kembali beradu tonjok. Alex dan Leon saling melempar tatapan tajam. Nafas yang naik turun dan emosi yang memuncak. "Hello!?" Bimo mengangkat kedua tangannya. Ia berdiri antara Alex dan Leon. "Lo berdua kenapa?!"

"Kita pulang." Alex langsung menarik Angel pergi.

-

"Ngel? Udah, gue baik-baik aja." Alex mengacak rambutnya frustasi, membuang nafasnya kasar dan kembali menatap Angel. "Jangan nangis. Gue nggak bisa lihat cewek nangis." Angel menghapus air matanya kasar. Tangannya terus bergerak mengompres wajah Alex yang kebiruan. "Jangan nangis. Gue nggak apa-apa." Alex menyentuh pergelengan tangan Angel, menurunkannya. Angel menunduk. Air matanya semakin deras. "Gue masih napas, Ngel. Tangan gue masih bisa gerak, kaki gue masih bisa jalan, gue masih bisa lihat lo, dengar lo dan otak gue masih konten dewasa," Angel mendengus, Alex tersenyum kecil. "Gue baik, Lo boleh nangis kalau gue udah mati. Selama gue masih hidup, jangan pernah nangis untuk masalah apapun. Gue nggak suka dan gue benci."

"Aku nggak tangisin wajah kamu, aku tau kamu baik." Angel mengangkat wajahnya, Alex menghapus air mata Angel dengan punggung tangannya. "Aku nggak tau, tiba-tiba sedih lihat kamu sama Kak Eon. Kita masih ngobrol sama-sama, kumpul, dan ketawa. Terus kamu bikin kaget berantem sama Kak Leon itu gimana ceritanya?" Angel menghapus cepat air matanya. "Aku kira kalian berdua bercanda, kenapa beneran?"

Alex tertawa kecil, menarik dua lembar tissue lalu ia tempelkan dihidung Angel, tangan kirinya menahan belakang kepala Angel. "Keluarin dulu, jorok banget."
Tanpa merasa malu, Angel langsung mengeluarkan isi hidungnya. Alex terkekeh pelan.

"Ayo kita ketemu sama Kak Eon. Selesain masalahnya tanpa adu kekuatan. Aku nggak mau kamu berantem sama dia."

"Nggak. Leon yang salah, gue nggak akan mukul orang sembarangan." Alex berdiri, melepaskan bajunya, mengganti dengan kaos putih polos.

"Terus masalahnya apa?" Angel ikut berdiri. "Aku harus tau agar bisa menyimpulkan siapa yang salah."

"Lo nggak harus tau, Angel."

"Kamu selalu bilang gitu. Semua masalah kamu, aku nggak boleh tau. Kamu nggak suka aku bohong. Apapun yang terjadi sama aku, kamu harus tau semuanya."

"Itu bedanya cewek sama cowok." Alex berbalik. Berhadapan dengan Angel. "Gue tau semua masalah lo agar bisa lindungin lo. Gue yang berdiri paling depan meskipun lo salah. Bukan tandanya lo berdiri paling depan saat gue punya masalah. Gue nggak mau terjadi apapun sama lo. Tugas cowok buat melindungi cewek, bukan menambah masalah buat ceweknya,"

"Aku nggak minta kamu berdiri paling depan saat aku punya masalah. Kamu yang mengajukan diri."

"Karena lo milik gue."

"Aku bukan milik siapapun!" Ucapnya tegas. "Kalau aku milik kamu, udah seharusnya kamu berbagi masalah. Kamu cerita, terbuka tentang apapun sama aku. Kamu bahkan nggak bisa ceritain diri kamu sendiri sama aku."

"Lo nggak harus tau tentang gue."

"Kamu juga nggak harus tau tentang aku." Balas Angel sengit. "Aku selalu ikutin apa mau kamu, apa pernah aku membantah?"

"Angel," Geram Alex frustasi.

Angel mengambil tasnya. "Kayaknya kamu masih sakit. Sebaiknya istirahat. Aku bisa pulang sendiri."

"Gue antar-"

"Nggak." Potong Angel. "Aku bakalan naik motor kamu lagi setelah kamu cerita kenapa kamu berantem sama Kak Eon dan juga, Ferdy." Alex menarik rambutnya gusar. "Kalau kamu sampai berantem juga sama Kak Bimo, kamu nggak akan punya teman lagi. Pikirin baik-baik."

Alex menatap punggung Angel yang akhirnya menghilang dibalik pintu. Alex mengambil ponselnya, menghubungi seseorang. Berdiri di balkon kamarnya. Menghisap rokok yang mengapit antara jari telunjuk dan jari tengah. Setelah memastikan Angel masuk ke dalam taxi yang sengaja ia pesan tanpa sepengetahuan Angel. Alex memutuskan masuk. Karena angkot ataupun angkutan lain tidak pernah lewat depan apartemennya. Kedua kakinya terhenti otomatis saat ia berbalik, Bimo sudah berdiri tiga meter dari tempatnya berdiri. Alex menghembuskan nafasnya pelan dan berjalan melewati Brayn begitu saja. Menuangkan segelas air dingin dan menghempaskan pantatnya di sofa.

"Apa masalahnya?" Bimo buka suara setelah lima belas menit berada disana. Duduk bersebelahan bersama Alex. "Jangan minta gue, tanya Leon. Karena Leon udah minta gue tanya sama lo. Dikira ongkos taxi murah bolak-balik ke rumah Leon, terus ke Apartemen lo." Alex mendecih pelan. Menekan ujung rokoknya yang sudah pendek ke asbak.

"Lo pikir gue mau jawab?"

"Nggak."

Terus?"

"Ya ini gue lagi usaha, ganteng," Bimo gemas sendiri. Alex mendorong kepala Bimo, lebih kasarnya menempelengnya.

"Anjirr di tampar."

"Kalau lo kesini mau bujuk gue buat baikan sama dia. Sebaiknya lo pergi jauh-jauh."

"Gue harus tau masalahnya, Lex," Bimo melunak. "Gue nggak maksa lo berdua baikkan, tapi gue harus tau. Jadi gue bisa berdiri dipihak yang benar," Alex menghidupkan rokoknya untuk yang kesekian kali. "Aneh. Nggak ada hujan, nggak ada banjir tiba-tiba adu jotos gitu gimana ceritanya? Lo berdua masih baik sebelumnya. Karena apa? Cewek? Kalau iya, nih gue kentutin. Selangkangan aja dipikirkin," Alex tidak menjawab, menikmati rokoknya dengan layar televisi yang volumenya sengaja ia besarkan. Bimo mengambil remot, menekan tombol off. Alex menoleh dengan wajah terusik.

"Kita perlu bicara, Lex."

"Nggak ada yang mau gue bicarain." Alex ingin merebut remot di tangan Bimo, kalah cepat saat Bimo melempar remot dengan emosi dan terdengar suara hantaman keras, remot itu mendarat di pintu masuk, terbelah menjadi dua. Alex menatap lama remotnya yang berserakan, sebelum akhirnya ia menatap Bimo. "Nggak pake ngerusak barang gue, anjing."

Brayn berdiri berkecak pinggang. Berjalan kesana-kemari depan televisi. "Oke fine, gue nggak mau maksa kalian berdua untuk berdamai. Kalau gue mau egois, ngapain gue ngurusin masalah kalian. Peduli amat gue," Bimo duduk di lemari kecil samping televisi. "Sayangnya hati gue ini masih peduli. Lo udah punya masalah sama Ferdy, dan lo buat masalah lagi sama Leon. Maksud lo apaan? Nggak mau temenan lagi sama mereka? Nggak pake acara adu tonjok, Lex. Lo bilang, kita akan menjauh."

"Lo pikir gue suka cari masalah?"

"Iya. Lo masalahnya disini. Kurang apa Ferdy sama Leon. Mereka berdua orang yang paling care sama lo, beda sama gue yang masa bodo. Kalau gue jadi pribadi itu saat ini. Nggak akan ada lagi yang mau
berdiri di tengah, antara lo, Ferdy dan Leon. Lo yang bermasalah Lex, bukan mereka!" Suara bimo meninggi. "Lo berhasil buat Ferdy menjauh, lalu Leon. Apa selanjutnya gue? Apa lo lagi cari cara juga buat berantem sama gue?!"

Alex menendang meja hadapannya, berdiri dengan emosi. "Kalau lo tau masalah gue sama dia. Lo nggak akan bilang kayak gini sama gue!"

"Kasih tau gue anjing!" Bimo tidak kalah emosi.

"Aaarrrggghhhhkkk!" Alex meremas rambutnya kasar berteriak frustasi. Wajahnya kacau. "Dia itu-" Bimo
menunggu. Sejak dulu Alex ingin memberitahu masalahnya dengan Ferdy. Mulutnya terkunci. Alex berteriak keras.

"Gue nggak bisa," Ujar Alex menyerah. la kembali terduduk dengan kedua tangan menarik rambutnya kasar. "Jangan tanya lagi, otak gue mau pecah. Gue butuh dia.."

- Dua minggu kemudian

Jemari tangannya dengan lincah memberi noda pada kertas putih. Rambutnya tergerai berada dibahu kiri. Tertiup angin karena ia berada dekat jendela yang sengaja terbuka. Suara sorak ataupun teriakan dalam kelas tidak bisa mengusiknya. Hanyut dalam kegiatannya sendiri. Sudut bibirnya kadang terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman. Manis sekali.

Kedua telinganya terdapat headset yang memutar lagu berjudul Dear God. Angel meletakkan pena yang ia pegang sejak tadi. Mengangkat kedua tangannya ke atas untuk merenggangkan otot. Ia sudah menyelesaikan tugasnya, senyuman yang merekah mendadak menghilang saat sadar suasana kelas menjadi sangat sepi. Sebenarnya sudah seperti itu sejak sepuluh menit yang lalu, Angel baru menyadarinya. Tidak ada siapa-siapa dalam kelas, hanya dirinya sendiri. Angel menghembuskan nafasnya pelan, melanjutkan tulisannya untuk memberi nama dibagian kanan atas jika tidak ada yang menarik headset miliknya hingga terlepas. Angel terlonjak seketika, berbalik cepat dengan perasaan kaget.

"Kaget? Maaf nggak bermaksud." Nando tersenyum, mengangkat satu tangannya. "Maaf."

Angel mengusap dadanya, menormalkan detak jantungnya. "Kamu ngapain?" Tanya Angel setelah berhasil menguasai dirinya sendiri.

"Ketemu sama lo," Nando menyumpalkan headset milik Angel ke telinganya. "Suka A7X?"

Angel kembali pada posisinya, menghadap pintu masuk. "Nggak, suka aja sama lagu itu."

Nando melepaskan headset, mengembalikannya pada Angel. "Aneh kalau lo suka. Nggak cocok sama aliran lo yang kayaknya lebih suka denger lagu mellow dari pada rock." Angel tersenyum kecil. "Udah selesai? Mau makan siang?"

Angel menggeleng pelan. "Aku udah makan. Kamu nggak ada kelas?"

"Baru aja selesai. Lo nulis apaan? Kayaknya serius banget sampai nggak sadar gue udah duduk disini sepuluh menit."

"Tugas, nanti malem mau aku kirim," Nande manggut-manggut

"BTW, kok gue nggak pernah lihat Alex?" Nando mengecek sekitarnya. "Dia nggak pernah kelihatan sama lo lagi, bener nggak, sih?"

Angel memberikan senyuman hangat. Merapikan buku miliknya. Sadar Nando terus memperhatikannya dari belakang, Angel merasakan sebuah tangan dingin ditengkuk lehernya. Nando menahan kepalanya agar tetap menghadap depan.

"Kamu mau ngapain?" Angel merasakan Nando menyingkirkan semua rambutnya ke bahu kiri. Seketika Angel panik, Alex pernah mengatakan untuk tidak memperlihatkan cap itu pada siapapun.

"Siapa yang kasih lo tanda ini?" Angel merasakan aura dibelakang tubuhnya mendadak gelap. "Alex?" Tanyanya pelan. Angel tidak menjawab. Nando membebaskan tubuh Angel. "Jawab gue, Alex yang kasih tato itu?"

"Bukan tato, ini cap stempel biasa." Angel merapikan rambutnya.

"Dimana Alex?"

"Em?" Angel mengerjap lalu menggeleng.

"Aku nggak tau."

Nando menghembuskan nafasnya kasar, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Terlihat gelisah. Nando melepaskan ransel miliknya, mencari sesuatu yang bisa digunakan. "Pake jaket gue," Nando mengulurkan tangan kanannya.

"Kenapa? Cuaca panas, Aku nggak perlu pake jaket." Nando memejamkan kedua matanya menahan emosi. Meremas jaket ditangannya yang belum Angel terima.

"Pake, Angel." Angel mengerutkan keningnya. "Udah berapa kali gue bilang, lo boleh dekat sama siapapun tapi jangan Alex. Kita nggak tau apa yang mau dia lakuin sama lo. Pake jaket gue, Jangan sampai orang lain lihat." Nando meninggalkan jaketnya, menggunakan ranselnya kembali lalu pergi meninggalkan Angel.

"Bangsat Alex!" Kedua mata Angel tertutup kaget. Nando menendang meja yang tidak bersalah. Angel menatap punggung Nando yang menghilang
menjauh. Angel terdiam. Tangannya terangkat meraba tengkuknya. Tiba-tiba rasa takut dan khawatir mendominasi perasaannya saat ini. Ia tidak pernah meragukan Alex, hari ini Angel merasa salah langkah untuk tetap berada disebelah lelaki yang sudah dua minggu ini menghilang tanpa jejak. Kenapa Nando semarah itu melihat cap stempel di lehernya?

Angel merapikan bukunya cepat. Memasukkan semuanya ke dalam tas secara acak-acakan, menggunakan jaket Nando dan berlari meninggalkan kelas. Ia harus bertemu Nando, menanyakan semuanya tentang Alex yang tidak Angel ketahui. Tapi Angel terlambat. Mobil yang pernah mengantarkannya pulang baru saja keluar dari kampus dengan kecepatan tinggi. Membuat orang yang yang berjalan santai langsung menyingkir, memberi jalan leluasa pada Nando.

Bukan hanya Alex yang menghilang dan tidak bisa di hubungi. Tapi juga Leon, Bimo, Luna dan Lily tidak pernah Angel lihat di kampus setelah insiden Leon dan Alex bertengkar hebat. Jujur saja, Angel tidak serius saat mengatakan tidak ingin naik motor Alex kalau lelaki itu belum menceritakan semua masalahnya. Alex bukan orang yang bisa Angel tendang pergi jauh dengan kalimat sepele.

Sekejap semuanya berubah. Alex tidak menemuinya setelah Angel meninggalkan Apartemen. Angel merasa hidupnya kembali tenang, seharusnya Angel senang, tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. Angel merindukan Alex. Kenapa merindukan seseorang bisa sesakit dan membuatnya menangis belakangan ini?

Angel merasa sesak setiap kali sendirian. Ia tidak baik-baik saja tanpa Alex. Angel ingin melihat kalimat bosy Alex, menggodanya, kalimat mesumnya dan juga super protektif seorang Alex. Sudah dua jam Angel duduk di sofa panjang. Menghembuskan nafasnya pelan lalu berdiri. Sekali lagi menatap sekelilingnya. Angel tersenyum, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga dan berjalan keluar. Tidak ada tanda kepulangan Alex. Berapa lama Angel harus menunggunya. Kaki Angel terpaku, meremas tas punggung miliknya saat mendengar bunyi ketikan pasword. Menandakan ada orang yang berusaha masuk.

Jantung Angel berdetak cepat. Perasaannya menggebu-gebu menunggu pintu itu terbuka. Matanya mulai berkaca-kaca. Angel rasa penantiannya berakhir. Pintu terbuka. Memperlihatkan seorang lelaki mengenakan sebuah celana pendek dan jaket, kepalanya tertutup hoddie dengan kedua tangan dimasukan ke saku jaket. Keduanya sama-sama terdiam. Senyuman Angel menghilang, genggaman tangannya mengendur perlahan.

"Angel? Lo, ngapain disini?" Angel tersenyum. Bimo melepaskan sepatunya dan memakai sandal biasa. "Jadi lo, yang bersihin Apartemen Alex?" Angel mengangguk pelan. Bimo menghembuskan nafasnya. "Mau apa lagi, Ngel? Lo cari Alex?"

Bimo berjalan ke dapur. Mengambil minuman kaleng dan meneguknya hingga setengah. Ia menghempaskan pantatnya di sofa. "Gue nggak tau Alex dimana," Ujar Bimo seakan membaca pikiran Angel. Angel mendekat, duduk bersebelahan dengan Bimo. "Dia menghilang, sembunyi mungkin. Gue nggak tau."

"Kalian semua menghilang, bukan hanya Alex."

"Nggak, gue masih disini. Emang nggak pernah ketemu lo aja. Leon lagi ke luar negeri sama Luna,"

"Lalu, Alex?" Bimo menggeleng. "Kakak serius nggak tau Alex dimana?"

"Seriusan, gue nggak bohong. Nomornya nggak aktif waktu gue telpon. Semua baju dan barangnya masih di lemari. Mungkin dia butuh waktu buat sendiri, nanti juga balik." Angel mengguk pelan. Sebenarnya banyak yang ingin ia tanyakan pada Bimo.

"Kak Bimo kenal Lily?" Bimo tersedak. Air yang masih ditenggorokan keluar melalui hidung, perih sekali. "Dia teman Kak Luna, dulu aku pernah lihat Alex sering antar dia ke kampus." Bimo menarik dua lembar tissue, mengelap mulutnya. "Mereka apa, ya, Kak?"

"Em?" Bimo menggaruk kakinya yang tiba-tiba saja gatal. "Gue nggak kenal, tau sebatas nama doang. Kenapa?" Angel menggeleng cepat. "Mereka teman, kayaknya, sih, iya, temen." Ujarnya ragu-ragu, Angel tidak berhasil menangkap keraguan itu. Angel percaya.

"Kalau boleh tau, kenapa Alex berantem sama Kak Eon?"

"Gue aja nggak tau," Bimo menghela nafasnya. "Lo tau sendiri, Alex nggak pernah mau cerita soal masalahnya sama orang lain. Dia selalu simpan itu sendiri. Sok kuat, emang kuat, sih. Tapi manusia nggak selalu kuat, benar nggak? Pasti ada waktunya Alex keluarin semua yang ia pendam selama ini." Bimo tersenyum yang dibalas anggukan singkat oleh Angel.

"Kayaknya gue lagi diwawancara, kameranya mana, nih?" Angel terkekeh pelan. "Imbalannya, bisa sate dua bungkus dan makan sama cewek cantik."

"Kak Bimo bisa aja. Oh ya, Kak. Tau ini ap-" Bibir Angel terkunci, tangannya yang meraba tengkuk lehernya ia turunkan.

"Kenapa?"

"Nggak," Angel menggeleng.

"Kalau lo mau wawancara tentang Alex. Lo tanya Leon. Gue orangnya cuek, hobi gue sama Alex itu beda. Meski ada satu atau dua yang sama. Kalau Leon punya kesamaan sama Alex, makanya dia paling dekat. Gue nggak berhak ceritain detail hidup orang lain, nanti jadi fitnah. Ada aja yang dikurangi atau dilebihin, kata Mama Dede gitu, Ngel. Jadi gue kasih tau garis besarnya aja sama lo." Angel tersenyum. "Gue tau lo penasaran. Gue nggak mau lo dengar dari orang lain, harus dengar sendiri dari Alex. Kita nggak tau ada orang yang saling menjatuhkan, termasuk gue. Nggak, gue bercanda."

"Kakak nggak mau cerita kenapa Alex nggak suka sama Nando?"

"Seperti yang gue bilang sebelumnya. Alex nggak suka cerita tentang masalahnya. Yang gue bingung, yang bermasalah sama dia juga tutup mulut. Dari Ferdy, Nando dan juga Leon. Mereka seakan udah disuap sama Alex, tapi kayaknya nggak, makanya gue bingung. Yang salah mereka bertiga apa Alex?" Angel memilin jemarinya. Terlalu banyak masalah yang bukan hanya dirinya yang tidak tau. Bimo, sahabatnya sekalipun tidak menuntut Alex mengatakannya, seharusnya Angel seperti itu.

"BTW, satenya jadi? Gue laper, lagi bokek," Berbeda dengan Alex yang irit bicara jika tidak dimulai terlebih dahulu. Bimo sebaliknya. Lelaki itu sangat humoris, selalu ada topik untuk dibicarakan. Sejenak, Angel lupa akan sosok Alex. Perutnya sakit karena tertawa. Ada yang bisa Angel ambil dari sifat Bimo. Bimo tidak suka membicarakan orang lain jika tidak ada orangnya. Selalu memilih topik yang ringan namun menjadi berkelas saat Bimo membahasnya. Dari hal sepele sampai berat terasa enjoy. Yang sangat disayangkan adalah wajahnya. Mungkin untuk mendekat semua orang minder karena Bimo tampan dan tidak bersahabat. Berbeda saat sudah mengenalnya, Bimo tidak seram sama sekali.

"Entah kenapa gue mau sate. Kayak ngidam aja gitu, apalagi akhir-akhir ini makan gue banyak. Badan gue melar nggak?" Angel menggeleng. "Gue harus Gym, nih." Angel menelan sate di mulutnya, meneguk air minum sebentar dan berkata.

"Masih kebentuk kok ototnya, tapi lenturan sedikit."

Bimo mengangguk menyetujui, melahap tiga tusuk sate sekaligus. "Udah lama gue nggak ngegym. Dua bulan kayaknya, hanya jogging, push up doang kalau pagi. Gue males mau ngegym."

"Kenapa?"

"Takut suka pisang," Ujarnya pelan, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Emang kenapa? Kak Bimo nggak suka pisang?" Bimo tersedak. Bumbu kacang di mulutnya muncrat keluar membuat beberapa pengunjung menatap ke arahnya. Angel meringis, bumbu kacang itu mendarat di wajahnya. "Kak Bimo jorok, iikh," Angel meringis memejamkan kedua matanya.

Beberapa pengunjung yang sedang makan ataupun menunggu pesanan tertawa geli. Bimo juga tidak ketinggalan. Melepas jaketnya lalu bagian tangannya ia gunakan sebagai lap, tidak ada tissue yang disediakan. Maklum, keduanya bukan makan di Restoran bintang lima tapi dikaki lima. "Sorry-sorry super junior. Lo kelewat polos sih," Bimo terkekeh pelan.

"Emang pertanyaan aku salah?" Angel cemberut. Bimo sudah kembali ke posisinya.

"Maksudnya pisang makan pisang, jeruk makan jeruk, apel makan apel, anggur makan anggur, melon makan melon," Angel mengerutkan keningnya. Bimo menghembuskan nafasnya pelan, ia menatap Angel yang tidak habis pikir. "Cowok makan cowok, Angel. Gay, astaga!" Semua orang kembali mentap Bimo.

"Bukan gue maksudnya!" Ujar Bimo menatap orang-orang itu dengan kesal. Angel cekikikan.

"Maaf kak, aku bercanda." Bimo mengangkat satu alisnya. "Aku tau sebenarnya."

Bimo bertepuk tangan membuat orang-orang itu kembali menatapnya. "Apa? Gue Gay, puas!" Angel terbahak. Orang-orang terlihat ilfil menatap Bimo. "Anjiirr percaya amat,"

"Aduh, perut-sakit. Kak-" Angel tidak bisa berhenti tertawa.

"Yee cantik! Gue cium juga nanti." Kekehnya menghiraukan Angel, kembali memakan makanannya.

"Besok-besok gue yang traktir,"

"Restoran bintang lima, ya." Angel merapikan rambutnya.

"Bintang sepuluh!" Bimo semangat, menunjukkan sepuluh jarinya.

"Maksudnya, kaki gerobaknya sepuluh. Yang ada bintang-bintang nggak menjamin enak, Ngel."

"Iya, aku juga nggak suka."

"Kita sehati soal kuliner," Keduanya bertos ria.
"Jangan pindah hati aja. Gue sih, fine."

Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience