Jari-jemari nya terasa semakin gemetar rasanya ingin sekali Alina kabur dari acara ini, menarik paksa agar Adimas ikut serta untuk kembali pulang. Egois nya semakin menghasut pikiran Alina, ia tak setegar yang mereka bayangkan.
Penyambutan keluarga dari pihak perempuan begitu hidmat dan singkat, Adimas mencium kedua tangan orangtua Nada lalu melingkarkan bunga di leher Adimas selanjutnya mereka masuk ke dalam untuk proses Ijab Qobul. Alina meminta izin untuk ke kamar kecil berpura-pura, perlahan Alina membelokkan langkah kaki nya menuju sisi lain di mesjid tempat acar di laksanakan. Di pojokan tubuh perempuan itu melorot kebawah dengan perlahan. Alina kembali menitikkan air mata sekuat yang ia bisa menahannya semakin membuat Alina merasakan sesak yang luar biasa.
Seluruh tubuhnya seperti di cambuk 1000 cambukan dalam waktu bersamaan, meronta sekuat yang ia bisa semua tak akan berhasil. Alina masuk ke dalam kamar kecil, ia duduk lalu mengunci pintu dengan rapat.
"Alina?" panggil seseorang dari luar, suara laki-laki yang Alina kenal.
"Adimas." Alina bergumam.
"Alina? Mas mohon keluar sayang."
"Iya Mas?" Alina keluar dari salah satu pintu.
Adimas memeluk erat tubuh Alina, mengelus rambut lalu mencium kening Alina, menatap kedua mata nya sembab karena tangisan yang belum berhenti. Adimas memohon, dengan hati-hati Alina meraih pundak Adimas lalu menepuk pelan.
"Mas masuklah kedalam, proses ijab Qobul akan segera dimulai."
"Tapi sayang ....."
"Kasian para tamu, jangan bikin malu keluarga Nada."
Alina mengangkat tubuh Adimas untuk kembali tegak berdiri, Alina memeluk dengan hangat menyandarkan kepalanya tepat di depan dada Adimas. Kedua nya terdiam beberapa saat lalu menghentikan kegelisahan masing-masing.
"Mas jika kamu telah resmi menikahi Nada, aku hanya ingin tinggal terpisah."
Adimas mengangguk menyetujui permintaan Alina, ketika pengeras suara berulang kali memanggil nama Adimas. Ia muncul dari salah satu pintu mesjid.
Alina kembali menyerahkan diri terhadap ikhlas nya yang belum begitu sempurna, sekarang Adimas sudah menjadi suami perempuan lain. Ia bukan lagi sesuatu yang utama di kehidupan Adimas.
Kegundahan nya terasa semakin membebani, Alina mulai membiasakan diri untuk hidup mandiri dengan keadaan perut nya yang semakin membesar. Malam ini menjadi saksi Alina dengan bersimpung luka dalam hati nya, isak tangis yang kembali bercucuran datang dengan hebat Alina semakin terasa tersiksa luar biasa. Beberapa kali ia menoleh ke arah samping dimana Adimas membaringkan semua lelah nya di atas tempat tidur, raut wajah nya yang menggemaskan dengan jelas Alina melihatnya. Kali ini semua nya terengut dengan sempurna, tak ada sisa yang Alina peroleh. Kesunyian semakin membuat nya lemah tak berdaya walau bagaimanapun sekuat dan setegar apapun dia tetap perempuan yang lemah.
***
Di rumah yang berbeda, Adimas duduk di pinggir kasur dengan rambut yang basah ia meremas dahinya dengan perlahan. Setelah selesai adegan memanas nya dengan Nada ada rasa kecewa tersirat jelas. Rupanya Adimas merasa telah di bohongi, Nada bukan gadis seutuh nya melainkan ia telah melakukan dosa besar di masalalu.
Nada memandangi suami nya dari kejauhan ia yakin bahwa Adimas sangat lah kecewa, malam pertama yang di idaman kan begitu indah untuk di lewati semuanya sirna setelah Nada berkata jujur bahwa ia bukan lah gadis suci sepenuh nya. Seluruh nafas nya terasa di tarik paksa nyaris membuat Nada merasa tercekik, begitu sesak kah perasaan Adimas saat ini?
Adimas meraih ponsel yang ia letakkan tak jauh dengan posisi nya saat itu, Adimas mulai menghubungi Alina.
"Assallamualaikum sayang ...."
(Waalaikumsalam mas)
"Kamu belum tidur sayang? Boleh mas ke rumahmu saat ini," pinta Adimas hati-hati.
(Selarut ini?)
"Mas berangkat sekarang ya, Assallamualaikum ...."
Adimas berkemas setelah selesai menelpon Alina ia merasa bahwa malam ini rasa kecewa sedang merengut setiap prasangka baiknya untuk Nada, maka Adimas memilih untuk sejenak melepaskan apa yang harus di lepaskan.
Masih dengan posisi diam, Nada mulai menghampiri Adimas dengan rasa malu berdominan takut ia tetap meraih Adimas di saat kekecewaan itu semakin jelas tergambar dari raut wajah Adimas, Nada memeluknya dari belakang.
"Maafkan mas ...." Adimas melepaskan satu persatu jari tangan Nada yang melingkar tepat di dada nya.
"Maaf kan aku mas ...."
"Untuk saat ini mas belum siap, tapi suatu saat nanti ...." Adimas berlalu dari pandangan Nada.
Usai telepon nya berakhir, Alina merapi kan setiap helai rambut nya. Hati nya gelisah yang seharus nya ia bahagia atas kehadiran Adimas tapi sekarang bukan itu yang Alina rasakan, ia merasa kasian terhadap Nada karena harus di tinggalkan oleh Adimas di malam pertama mereka.
****
Bel berbunyi, Alina dengan ringkih menghampiri pintu depan. Adimas mengucap salam tersenyum tipis, Alina mencium tangan Adimas dengan takzim kedua nya saling bertatap manja.
Adimas meraih bantal, lalu merebahkan diri nya di atas sofa memalingkan pandangan nya dari Alina dengan membelakangi nya, pura-pura kedua mata nya terlelap. Adimas mendesah pendek. Hatinya terasa sakit, tapi ia tahu hati Alina jauh lebih terluka parah. Ia hanya mampu memandangi istri pertamanya tanpa mengatakan apa-apa, ia kehilangan jati diri sebagai seorang laki-laki.
Alina berusaha untuk tetap tenang karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk nya bertanya, raut wajah Adimas semakin suram ada hal yang sedang ia pikirkan masak-masak. Alina menoleh ke arah lain walaupun Adimas suaminya tetap saja Alina tak berhak untuk ikut campur dalam rumah tangga Adimas bersama Nada, ia urungkan niat.
"Mas di minum dulu susu hangat nya, biasa nya kalau mas gelisah minum segelas susu pasti merasa lebih baik." Alina menaruh gelas berisi susu di tengah meja.
"Terima kasih sayang, boleh malam ini mas tidur di sini?."
Alina mengangguk seberapa besar laki-laki di hadapan nya itu melukai batin nya, tetap saja ia tak bisa menolak ke inginan Adimas. Tak berapa lama kedua mata Adimas terlelap pulas, Alina mulai menyelimuti seluruh tubuh Adimas.
***
Jantung nya berdegup kencang dan cepat, keringat dingin terasa bercucuran. Nada mengepalkan tangan, mengumpulkan semua keberanian dan menguatkan tekad. Nada perlahan mengetuk pintu rumah Alina.
Setelah beberapa kali mengetuk, Alina muncul dari balik pintu tatapan nya terkejut hebat di dapati Nada sudah berdiri sejak lama. Nada tak sanggup lagi menahan perasaan cemburunya. Nada tersenyum sinis.
"Alina bisa kita bicara sebentar?"
"Baiklah, silahkan masuk."
Nada memperhatikan wajah Alina yang terasa tak menyambut kehadiran nya dengan baik, untuk pertama kali nya mereka bertemu secara dekat.
"Semalam mas Adimas tidur di sini?"
Alina mengangguk kedua tangan nya sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu istimewa.
"Apa ia bilang sesuatu kepadamu?"
"Silahkan diminum dulu supaya lebih tenang,"tawar Alina mempersilahkan.
Nada meraih secangkir teh hangat, lalu mulai meminum nya dengan perlahan.
"Jadi kedatangan mu hanya ingin tahu Adimas berbicara perihal apa yang sedang terjadi dalam hubungan kalian?"
Nada terdiam, dari tatapan nya iya sangat penasaran.
"Bukan hak saya, ikut campur dalam rumah tangga kalian." dalih Alina.
"Kamu juga istrinya kan?"
"Bagaimana bisa saya masuk kedalam rumah yang bukan pemiliknya? Jika tidak ada kunci masuk atau lubang untuk jalan." Alina meraih biskuit di hadapan nya, "Tentu tak akan pernah bisa masuk bukan?"
"Aku tak mengerti."
"Meski saya juga istri sah Adimas, ada batasan-batasan nya. Termasuk untuk tidak ikut campur dalam masalah pernikahan orang lain."
"Bukan hak saya menanyakan itu, jika kamu tidak percaya. Bukan itu yang saya luruskan, carilah jawabanmu sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang menggoyahkan kepercayaan mu untuk imam mu sendiri."
"Kamu cemburu?" Nada semakin berani bertanya.
Share this novel