Alina menahan egois nya, ia yakin bahwa perempuan di hadapan nya hanya sedang gelisah. Berulang kali Alina memasrahkan seluruh amarah nya agar tak melebihi kesabaran yang ia miliki.
"Kita sama-sama perempuan, dengan suami yang sama. Jika kamu cemburu lantas bagaimana dengan saya? Sudah hampir 9 tahun menemani Adimas." jawab Alina santai.
"Untuk saat ini bukan egois yang harus di utamakan, tapi kesabaran yang harus di perhatikan. Kamu perempuan saya juga perempuan, sudah cukup saya ikhlas membagi Adimas dengan mu."
"Aku merasa tak pantas untuk Adimas." Nada murung.
"Yang berhak menilai seseorang hanya Allah Swt. Adimas tak akan pernah salah memilih seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dulu saya pun berpikir apa pantas? tapi kita menikah untuk menjalani ibadah dan menjauhi dosa besar jika berzinah, saya bukan perempuan yang baik tapi dengan ikhlas Adimas sabar menuntun sampai pada akhirnya saya seperti saat ini. Menerima dengan lapang dada Adimas mendua ketika saya sedang mengandung, ketika kebahagiaan itu tiba akan dengan cepat cobaan itu menghampiri."
Nada semakin merasa bersalah hebat, ia jelas sudah merebut kebahagian seseorang, jika ia di posisi Alina entah akan sekuatnya sekarang. Kedua nya terdiam cukup lama sampai akhirnya Nada memutuskan untuk kembali pulang, Alina dengan yakin merangkul Nada lalu memeluknya.
"Bersabarlah yang banyak, cobaan tiba tak akan melewati batas kemampuan umatnya." Alina berbisik, Nada menoleh lalu tersenyum. Mereka berpisah.
Alina semakin mendewasakan diri, menahan hal yang harus ditahan termasuk menahan diri agar tak cemburu. Nada seorang perempuan ia juga perempuan sama-sama makhluk ciptaan Allah swt yang lemah, Alina sadar bahwa semua itu semata-mata takdir yang telah di goreskan, menerima kenyataan dalam keadaan ikhlas lilahita'ala, sebagaimana usaha nya untuk masuk ke pintu surga dengan berlelah-lelah di dunia.
Biarlah hanya Allah yang tahu seberapa besar goresan yang semakin mendalam, Alina yakin bahwa tak ada hikmah yang harus di raih dengan mudah dari setiap kejadian.
***
Mereka terdiam sejenak, Nada menyiapkan secangkir kopi lalu duduk di hadapan Adimas berulang kali ia membalas tatapan Adimas dengan rasa takut yang terasa menyiksa. Adimas mengambil nafas 3x berturut-turut secara cepat, lalu menoleh ke arah Nada.
"Ucapan mu tadi di kantor, apa sudah di pikirkan masak-masak?"
"Iya mas."
"Bukan karena emosi atau hasutan nafsu yang sedang bergebu-gebu?"
Nada bungkam, kedua lutut nya terasa gemetar cepat.
"Bukan itu yang mas mau, mas hanya kecewa bukan berarti akan melepasmu begitu saja."
"Aku takut mas."
"Takut kenapa?"
"Mas menceraikan aku terlebih dulu."
"Takutlah kepada Allah swt. Mas tak akan pernah mampu melebihi sang maha pencipta, kita sama-sama manusia mempunyai kelemahan dan kesalahan ... bercerai bukan pilihan."
Nada mengurungkan niat nya semakin menjauh, Adimas berdiri seperti patung di hadapan Nada sejenak ia kembali teringat sebuah Karma atas perbuatan yang telah ia pilih. Perasaan nya semakin terasa terombang-ambing menyadarkan diri dari kesalahan begitu sulit di terima.
Adimas kembali meninggalkan Nada yang tak bergeming tetap pada pendirian nya ia bertahan, bertahan untuk melelahkan diri meraih keyakinan suami nya kini. Tak ada perjuangan yang akan mengkhianati hasil akhir, Nada menghampiri Adimas lalu melingkarkan kedua tangan nya sesaat Adimas tercekak lalu menghentikan kedua mulut nya untuk minum.
"Mas, berikan aku kesempatan kedua," tanya nya lirih.
"Tentu saja."
Adimas menoleh ke belakang, ia tersenyum lalu menarik pergelangan tangan Nada masuk ke dalam kamar.
Share this novel