Nada perempuan yang baru dikenali Adimas beberapa hari yang lalu. Kini ia bekerja satu kantor dengan Adimas, entah harus bahagia atau bahkan menderita. Nada menjadi sekertarisnya kini memaksa mereka harus bertatapan lebih sering.
Ini hari kedua Nada bekerja dikantor Adimas, setelah insiden kemarin Nada cuti beberapa hari. Nada sampai diruangan ia bekerja, masih pagi Nada mulai mengecek ruangan Adimas rupanya Nada tak menemukan sosok yang mulai ia kagumi. Dengan perlahan ia mencari arsip dokumen dilaci-laci meja. Kedua mata Nada menatap pilu kearah bingkai foto yang Adimas pajang dengan rapih, Adimas memeluk perempuan difoto itu dengan mesra. Nada menghela napas merasakan ada sayatan kecil didalam hatinya, sayatan kecil itu terasa perih seperti luka yang disiram oleh alkohol. Nada mengalihkan pandangannya agar lukanya tak semakin melebar. Ia tau bahwa perempuan itu pastilah istri Adimas, dan kini ia yakin takkan ada ruang untuk ia tempati didalam hati Adimas.
Selepas mencari sesuatu rupanya tak dapat Nada temukan akhirnya ia mengakhiri pencarian itu karena kedua matanya terus menatap bingkai mematikan, Nada membalikkan tubuhnya untuk keluar. Baru beberapa langkah lalu menarik gagang pintu untuk keluar, tanpa sengaja Wajahnya menabrak tepat didada Adimas. Kejadiannya begitu cepat, mereka terdiam beberapa detik. Adimas terkejut lalu memegang punggung Nada yang hampir tersungkur ke tembok. Nada memegang erat kedua tangan Adimas kedua mata itu kembali bertatapan dengan situasi yang sama dan insiden yang sama.
Adimas menutupi raut wajah memerah karena berdebar disaat waktu yang salah, ia tersenyum tipis menatap kearah Nada dengan tatapan biasa. Nada tersenyum malu karena kecerobohan yang telah ia lakukan begitu memalukan.
"Kamu baik-baik saja kan?" Tanya Adimas.
Nada mengangguk, "Iya pak, maaf saya menabrak tidak sengaja."
Keduanya saling melempar senyuman manis, Adimas mengakhiri pandangannya lalu masuk kedalam ruangan.
Nada bergegas duduk dikursi kerjanya, debaran yang semakin memuncak kini tersendat kembali mengingat bingkai foto yang terasa mematikan. Nada semakin mengurungkan niatnya untuk tidak mengambil yang bukan haknya.
******
Alina dengan seribu kesibukannya nyaris melupakan kabar dari suaminya, kelelahan yang membuat Alina untuk beristirahat lebih banyak tanpa disadari Alina memberi ruang kosong.
Jam sudah menunjukkan pukul 12:00 waktunya untuk melaksanakan shalat Dzuhur, Alina meraih HP yang tersimpan diatas meja kecil tepat dihadaoannya. Dengan cepat ia mencari nomor Adimas.
"Hallo, Assallamualaikum mas." Alina bersemangat.
"Alhamdulilah aku dan calon anak kita baik-baik saja, oia mas jangan lupa shalat dzuhur udah waktunya loh." Alina membaringkan tubuhnya.
"Iya aku juga pasti mas, jangan lupa makan siangnya ya jangan makan sembarangan loh.. assallamualaikum." Alina mengakhiri panggilannya. Setiap mendengar suara Adimas ada kegelisahan yang bertambah.
***
Adimas meletakan kembali HP diatas meja, kepalanya terasa sakit karena akhir-akhir ini ia kurang beristirahat setiap malam kegelisahan selalu menghantuinya ditambah raut wajah Nada begitu sulit untuk dilepaskan. Rasa penasaran membuahkan hasil menjadi rasa sayang yang mulai bermekaran.
Adimas keluar ruangan, ia sedikit menoleh kearah kanan rupanya Nada sudah tidak ada ditempat kerjanya. Adimas mengerenyitkan dahi beberapa kali ia mengusah lembut merasakan sesuatu yang menganggu pikirannha saat ini adalah kurangnya istirahat. Dengan perlahan Adimas masuk kembali kedalam ruangan ia menyungkurkan kebelakang tubuhnya melemah, Adimas memejamkan mata yang membuatnya sedikit tertidur.
****
Hari yang ditunggu oleh Alina kini tibalah sudah, setelah selesai melaksanakan acara syukuran 4bulanan Alina bersiap kembali untuk pergi keibu kota. Menahan kerinduan yang teramat menumpuk untuk Adimas, Alina menelpon kembali Adimas untuk meminta ia dijemput pulang besok.
"Assallamualaikum mas, bagaimana kabarnya alhamdulilah acaranya lancar." Alina cengengesan.
"Besok jemput kesini kan mas? Aku mau pulang." Nada tak sabar.
Alina mengeluh, " Gak bisa ya mas? Yasudah gpp aku pulang sendiri .. assallamualaikum."
Alina mengakhiri pembicaraannya, sekarang ia kecewa tapi hatinya terus bertekad untuk selalu berprasangka baik. Kecurigaan dan kegelisahan dihatinya bentuk hasutan jin yang ingin menggoyahkan iman.
****
Diibu kota Adimas sibuk dengan setumpuk pekerjaan, membuatnya hanya berfokus terhadap apa yang ada dihadapan tanpa ia sadari melupakan sesuatu yang harus diperhatikan yaitu Alina yang sedang mengandung. Seminggu sudah mereka berpisah membuat Adimas mulai terbiasa tanpa kehadiran Alina, jarak memang memisahkan tatapannya tapi tidak dengan hatinya, hatinya begitu melekat dari sosok Alina.
Disela jam istirahat ada Doa yang sedang Adimas panjatkan, meminta ampunan sebanyak-banyaknya. Perasaan yang tak mampu ia redam, perasaan yang terus menggoda keimanannya sebagai seorang suami. Adimas menundukkan kepalanya diatas meja, imannya semakin tergoyahkan. Ia tak tau bagaimana sikapnya nanti setelah kembali bertemu dengan Alina apakah perempuan itu akan paham bahkan menyadari perasaan gundah suaminya kini karena ada sosok perempuan lain yang perlahan bersemayam dalam hati suaminya, resiko apa yang akan Adimas dapatkan ketika harus melepas salah satunya.
Berpoligami, kata yang selalu mengacaukan pikirannya kini terus menghantui. Adimas tahu makna dari sebuah kalimat itu. Ia harus benar-benar adil kepada keduanya, tapi apakah Alina akan ridha jika pemimpinnya membagi kehidupan dengan perempuan lain. Adimas beranjak dari duduknya, ia meratapi jendela untuk melihat awan diluar yang cerah karena terselip sinar matahari yang masuk menyelinap.
Adimas tercengang, ia sadar bahwa pemandangan yang ia ratapi sama halnya dengan apa yang sedang Adimas rasakan kini. Alina sebagai awan yang lembut dan indah, sedangkan Nada seperti sinar matahari yang menyelinap dengan hati-hati. Kembali Adimas mengeluh, debaran dihati semakin meresahkan otak sadarnya. Adimas tak ingin semakin berlarut.
*****
Nada kembali masuk kedalam ruang kerjanya, dengan perut kenyang setelah makan siang ada bingkisan yang ia tenteng ditangan kanannya. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu ruangan Adimas, tak ada balasan Nada memberanikan diri untuk masuk.
"Assallamualaikum." Nada masuk.
Adimas mengangkat pandangannya, " Waalaikumsalam."
" Maaf pak, ini ada bungkusan untuk bapak." Nada menghampiri Adimas.
Adimas menanarkan wajahnya, " Apa ini?"
"Itu untuk makan siang bapak, jangan dilihat dari sederhananya tapi rasanya." Nada tersenyum tanpa sadar hatinya berdenyut kencang.
"Terimakasih banyak." Adimas membalas senyuman Nada.
Nada menggandeng lengan Adimas, " Tunggu apalagi pak ayo dimakan, akan saya tunjukkan cara makannya."
Adimas mengangguk mengiyakan permintaan Nada.
Mukanya memerah, Adimas memalingkan wajah kearah luar. Tiba-tiba , perutnya berbunyi. Ia baru menyadari rasa laparnya dengan malu Adimas membuka bingkisan pemberian perempuan dihadapannya. Aroma masakan itu semakin menyebar, rupanya masakan khas sunda ada nasi liwet, sambal terasi , tumis kangkung tentunya ada rendang jengkol tentunya dengan mendoan tempe semua sudah tertata rapi. Adimas menatap semua menu itu dengan tajam, meski Alina juga orang sunda tapi ia jarang memarkan menu masakan seperti in.
Adimas ragu, "Ini bisa dimakan kan?"
"Bapak ini bercanda ya, tentu bisa dong." Nada cengengesan.
Adimas mulai menyentuh perlahan semua makanan dihadapannya.
"Sendoknya mana?" Adimas kembali menoleh kearah Nada.
"Cara makannya begini pak ... pakai tangan." Nada mempraktekkan dengan cekatan.
Adimas terenyuh, bayangan Alina berkelebatan dibenaknya. Alina perempuan modis berbeda jauh dengan Nada perempuan yang begitu sederhana. Adimas hanya mengangguk sambil menunduk tak berani menatap mata perempuan dihadapannya yang terus berbicara dengan tingkah lucu. Akhirnya Adimas menghabiskan semua makanan itu tanpa sisa, nampak dari jari-jemarinya yang belepotan tanda bahwa Adimas benar-benar lapar.
Nada terdiam sejenak, melihat Adimas dengan lahap berusaha menghabiskan semua makanan itu menyimpan rasa yang semakin membutakan.
***
Keesokan harinya, Alina berangkat sendiri untuk kembali keibu kota. Ia tak mengabari Adimas sengaja untuk memberi suprise untuk laki-laki itu, pagi buta selepas subuh Alina bersiap untuk ke terminal bus dan berlalu meninggalkan kota Garut.
Sepanjang jalan Alina tertidur, ia duduk sendiri disampingnya hanya kursi kosong. Ditemani lagu yang mengalir dari headset ketelinganya, Alina kembali membuka mata menikmati setiap pemandangan yang ia peroleh. Dengan meresapi setiap alunan musik ditelinganya. Kenangan dimasa dahulu dengan Adimas membuat Alina tersenyum sendiri kerinduannya semakin bertambah.
*****
Adimas bangun untuk melaksanakan shalat subuh dimesjid dekat rumahnya, bergegas ia merapihkan diri selepas mandi menuju mesjid. Sesampainya dimesjid tak banyak orang yang datang untuk berjamaah shalat, Adimas memilih barisan kedua. Ia duduk lalu merenungkan diri diatas sejadah. Buliran itu kembali menggenangi sudut matanya entah sampai kapan ia harus menyiksa dirinya sendiri. Isak tangis semakin bergeming, Adimas tak mampu menahan gejolak ketakutannya semakin menyentuh batinnya lebih banyak lagi kini perasaanya untuk kedua perempuan itu mulai imbang nyaris sama rata.
Adimas semakin dalam untuk bersujud meminta jalan keluar yang paling adil untuk tak memihak kepada siapapun, Adimas tau bahwa ini jalan yang salah jika ia terus menyimpan perasaan yang tak semestinya. Adimas mengakhiri keluh kesahnya dengan sang maha pencipta ia bergegas untuk pulang.
Share this novel