Alina mulai merasa aneh, tubuhnya seperti tidak biasa lagi menerima kegiatan sehari-hari yang ia lakukan. Tubuhnya melemah, sesekali ia pergi kekamar mandi untuk mengeluarkan yang tidak ingin keluar. Pusing kepala sering ia rasakan seperti sedang berada didalam roller coaster, Alina tak mengerti ia hanya beristirahat sejenak untuk meredakan semua gejalanya yang sudah ia rasakan selama 3minggu belakang.
Adimas pulang seperti biasa, Alina dengan sigap menunggunya dibalik pintu. Untuk membukakan pintu disaat suaminya pulang kerja, Alina mencium tangan kanan Adimas. Selanjutnya, Adimas memeluk dengan lembut tubuh Alina. Pandangan Adimas beralih keraut wajah Alina, mukanya pucat.
"Sayang kamu sakit?" Cemas Adimas.
"Aku tidak tahu mas,sepertinya masuk angin." Jawabnya pelan.
"Kita periksa saja." Adimas memoyong tubuh Alina untuk masuk kedalam mobil.
Setibanya dirumahsakit mereka segera masuk kedalam ruang periksa dokter, Adimas masih dengan kecemasan yang menegangkan. Ditatapi sang istri sedang terbaring lemah untuk diperiksa dokter, tak ada cara lain Adimas hanya mampu memperbanyak Doa didalam diamnya. Beberapa menit kemudian pemeriksaan selesai, dokter kembali duduk dihadapan mereka.
"Dok, bagaimana hasilnya? Apa istri saya harus dirawat." Adimas gelagapan.
Dokter tersenyum, "Tidak usah pak."
"Apa yang maksudnya tidak usah? Istri saya terlihat lemas sekali dok." Cetus Adimas, Alina berusaha meredam amarah Adimas.
"Selamat pak,bu..kalian akan mendapatkan seorang anak." Dokter memberi selamat.
Alina terkejut, "Maksud dokter, saya...Ham...il?"
Keduanya saling bertatapan, mata mereka berbinar-binar terharu atas keajaiban yang akhirnya mereka dapatkan. Adimas mencium kening Alina, Alina membalas.
****
Kehamilan Alina membuat Adimas menjadi suami super siaga, dikehamilan pertamannya Alina tak ingin memanjakan dirinya. Masih dengan setia mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak untuk suami tercinta, Adimas membujuk Alina untuk mencari asisten rumah tangga agar meringankan beban Alina. Tetapi, Alina menolak permintaan Adimas.
Adimas menggerutu, "kenapa gak mau? Kamu harus banyak istirahat"
"Mas dengarkan aku, ada Allah yang selalu menjagaku dan calon buahhati kita." Alina menepuk pundak Adimas.
"Jadi mas jangan ketakutan begitu ya, slow beibeh." Goda Alina dengan mencubit perut Adimas.
Kabar baik atas kehamilan Alina mulai tersebar, kedua orang tua Alina dan Adimas begitu antusias menyambut calon cucu mereka. Banyak nasihat-nasihat yang Alina dapat, membuatnya selalu tertawa geli.
****
Trimester pertama awal kehamilan membuat Alina semakin tak karuan, muntah dipagi hari selalu ia rasakan. Adimas selalu mencoba menangani situasi, ia tau betul efek kehamilan pertama yang akan mereka lalui bersama, meski hanya Alina yang mengandung buahhati mereka. Adimas merasakan apa yang sedang Alina rasakan, mencoba untuk selalu mensupport Alina dalam segala hal.
Dengan cemas Adimas mengusap, " Sayang bagaimana sekarang sudah merasa baik, apa kita perlu kedokter?"
"Gak usah mas, ini efek kehamilan trimester pertama." Alina mengusap bibirnya.
"Yakin?" Adimas ragu.
Alina mengangguk, "Iya mas."
***
Trimester pertama kehamilan sudah Alina lalui, keluh kesah di 3bulan kehamilannya sudah mulai mereda. Alina bisa melakukan aktifitas seperti biasanya dengan batasan beberapa harus di kerjakan oleh ART, Persiapan untuk syukuran 4bulanan sedang mereka rundingkan. Semenjak kehamilan Alina, Adimas selalu menjaganya semakin hati-hati.
Sepulangnya dari kantor Adimas tak pernah lupa membelikan sang istri sebuah kejutan, sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Alina sudah mengandung keturunannya. Banyak hal yang akan Alina lalui disaat perutnya semakin membesar, Adimas menghela napas berat sesekali ia memukul-mukul stir mobil merasakan kesal karena terjebak macet parah.
Dirumah, Alina bersiap untuk menyambut kepulangan sang suami. Makanan favorite Adimas sudah siap tersaji diatas meja, dengan cemas ia mondar-mandir dibalik jendela besar yang dengan mudah bisa melihat kedatangan Adimas. Tapi, sudah hampir 30menit berlalu dari jam kepulangan Adimas. Tapi tak ada batang hidungnya yang muncul, berusaha tetap berprasangka baik terhadap suaminya meski hatinya terasa berdebar, Sebenarnya ada apa ini?.
Diperjalanan, Adimas berusaha mengontrol amarah yang dibuat oleh iblis. Sesekali ia mengucap istigfar sesering mungkin agar hatinya semakin sejuk, sayangnya rasa panas dan kesal berdominan membuat pikirannya kacau. Dengan berat, Adimas memarkirkan mobilnya didepan sebuah minimarket meredam sedikit amarah agar ia tak berlarut dalam dosa.
Dengan sekaleng minuman dingin, Adimas duduk dikursi yang bisa memandang jelas kemacetan yang sedang ia hadapi. Dirokohnya ponsel disaku celana, Adimas menghubungi Alina agar ia tak khawatir menunggu dirumah.
"Assallamualaikum sayang." Sahut Adimas.
"Maafkan mas, sepertinya akan terlambat pulang...mas terjebak macet jangan khawatir ya sayang mas baik-baik saja." Sambung Adimas dan mengakhiri panggilannya, Hatinya sedikit lega.
Jam sudah menunjukkan pukul 17:00 wib, Adimas masih duduk manis. Kemacetan semakin parah tapi apalah daya ia kembali mencoba untuk melanjutkan pulang. Dengan tergesa-gesa Adimas ditabrak seseorang tanpa sengaja.
"Maafkan saya pak." Seorang perempuan yang menabrak Adimas dari belakang.
Adimas menoleh dengan sigap memegang tubuh perempuan itu yang hampir jatuh tersungkur karena tersandung, keduanya saling berpapasan. Mata bertemu mata, keduanya saling terdiam beberapa saat. Tanpa Adimas sadari bahwa pandangannya sudah membuat Dosa yang tak disengaja mengagumi perempuan lain selain istirnya.
"Kamu baik-baik saja kan?" Tanya Adimas dengan melepas pegangannya.
Perempuan itu mengangguk dengan tersenyum tipis ia berlalu dari pandangan Adimas. Berbeda dengan Adimas pandangannya masih terpokus dari perempuan berhijab merah muda dengan balutan gamis yang menutupi seluruh tubuhnya yang mulai menghilang dari kerumunan kendaraan, Adimas kembali beristigfar mengerenyitkan dahinya betapa malunya karena kedua matanya tak ia jaga dengan baik, memandangi perempuan yang bukan muhrimnya secara berlebihan.
Alina masih setia menunggu kepulangan Adimas, tanpa ia sadari kedua matanya terpejam perlahan. Akhirnya Alina tertidur pulas diatas sofa dan bermimpi bebas dengan imajinasinya.
Adimas berhati-hati membuka pintu berharap tak ada suara sedikitpun yang ia hasilkan, setelah masuk dan melangkah beberapa kali Adimas tersenyum lebar melihat Alina masih setia menunggunya meski tertidur diruang tamu sekalipun. Diletakkan tas kerjanya dan ia menggendong tubuh Alina untuk Adimas baringkan ditempat tidur. Dikecupnya dengan sabar kening Alina dan dielus perlahan ubun-ubunnya dan Adimas berdoa diatasnya.
Malam semakin larut, beberapa kali Adimas pejamkan kedua matanya tapi ada rasa penolakkan. Adimas meremas rambut dengan kedua tangannya, kepalanya ditundukkan dalam-dalam wajah perempuan yang ia temui tadi sore melintas bebas dipikirannya, Akhirnya Adimas semakin gelisah mengartikan perasaan yang sedang ia rasakan.
Alina mengerjap-ngerjapkan matanya, mual yang ia rasakan kembali terasa. Dengan perlahan ia beranjak dari tempat tidur untuk sesegera mungkin sampai ke wastaffel, mendengar Alina mual dan muntah Adimas terperangah tanpa pikir panjang ia berlari menghampiri Alina meski akhirnya ia tersandung dan jatuh tepat dihadapan Alina, dengan malu Adimas beranjak dari jatuhnya.
Share this novel