Chapter 14

Romance Completed 2699

Pandangannya kosong Nada selalu berusaha mengubur perasaannya terhadap laki-laki yang bukan hak nya, Dia tak pernah merasakan sesakit perasaannya saat ini. Akhirnya, nomor telepon itu dia simpan dengan baik didalam Telepon genggamnya. Walau bagaimanapun Nada menyukai Adimas dengan ikhlas, merelakan jiwa dan raganya untuk dimadu. Masuk kedalam kehidupan seseorang dengan cara yang tidak baik, Nada mengambil napas berulang-ulang kali. Degup jantungnya semakin kencang udara yang masuk semakin terasa menyesakkan seisi ruang kosong dalam hatinya. Nada terdiam disaat jam makan siang, dia  merasa tidak enak. Gosip murahan untuk dirinya semakin menyebar panas setiap lirikan yang tajam selalu mereka lontarkan untuknya. Tak terasa Nada kembali menitikkan air mata nya yang semakin memenuhi kedua sudut. Ia tak percaya bahwa takdirnya akan serumit ini, sekejam ini dan sesakit ini beberapa kali Nada beristigfar menyusutkan amarah yang terus menggoda keimanannya semakin melemah.

 Adimas menghampiri Nada dengan tergopoh - gopoh dari alur napasnya yang terasa terpotong, begitu jelas bahwa Adimas memang mengkhawatirkan perempuan didepannya itu sedang melemah. Dengan hati-hati Adimas menghampiri Nada yang menangis dipojokan kursi tempatnya bekerja. Adimas menghela napas panjang ditatapnya dengan hangat raut wajah Nada yang basah dibanjiri air mata yang tak berhenti keluar.

 Nada beristigfar kembai, dia menyandarkan harapan hanya kepada Allah. Memasrahkan semua urusannya, yang ia inginkan saat ini hanya mengakhiri dosa yang semakin membebani.

Sementara dirumah didalam kamar, Alina juga tengah memikirkan goresan takdir kehidupannya kini, hatinya memang belum betul-betul menerima keinginan suaminya. Kata ikhlas begitu sulit untuk diucapkan, kata sabar begitu sakit untuk dilakukan.

Alina memutuskan untuk menelpon Adimas, menyelesaikan semua masalah dengan hati yang ikhlas dengan suasana yang dingin, ia tak ingin mengambil keputusan yang salah tentu akan membuat penyesalan yang berkecambuk hebat menghantu setiap langkahnya keluar.

Dalam suasana yang salah Adimas merogoh telepon genggamnya yang terus berdering, ditatapi layar HP muncul nama Alina. Dengan tergesa-gesa Adimas memperbaiki posisinya kini, dia tak ingin perempuan dihadapannya akan semakin terluka. Adimas memilih untuk menjauh beberapa langkah dari Nada lalu mengangkat panggilan dari Alina, sejenak raut wajah Adimas mulai berubah. Kegelisahannya sejak tadi semakin memudar Alina memintanya untuk pulang lebih awal membicarakan keputusan dengan sebaik mungkin agar kedua belah pihak tak ada yang merasa dirugikan.

***

   Sesampainya dirumah Adimas mengucap salam mengetuk lembut dan menarik pelan gagang pintu didepannya, ditatap semua ruangan namun ia tak menemukan sosok Alina. Denyut nadi terasa semakin cepat Adimas masuk kedalam kamar. Adimas terkejut didapati Alina terkapar diatas lantai digelaran sejadah dan kain mukena yang masih melekat ditubuhnya. Alina menatap kearah Adimas raut wajahnya kusam, Adimas merangkut tubuh Alina yang lemas bukti bahwa seharian dia menangis tak henti, Adimas semakin merasa bersalah karena ulahnya menyakiti tiga makhluk hidup ciptaan Allah Swt. pandangannya berpaling kearah perut Alina yang sudah nampak membesar diusap dengan perlahan lalu mencium dengan penuh kasih sayang, Alina tersenyum lirih tubuhnya terasa lemas karena seharian tak ada secuil makanan yang ia masukkan kedalam perutnya.

 Adimas menggendong tubuh Alina dibaringkan dengan hati-hati diatas tempat tidur, Alina menatap kearah suaminya sayatan didalam hatinya semakin bertambah banyak, tak ada hal yang lebih menyakitkan ketika membayangkan laki-laki di depan nya itu akan melakukan hal yang sama dengan perempuan lain waktunya akan semakin terbagi. Lalu, bagaimana dengan nasib anak yang sedang Alina kandung dengan susah payah. Adimas memilih untuk berpoligami karena ia tak sanggup menanggung dosa di akhiratnya kelak yang akan dipertanggung jawabkan.

Adimas membisikkan kata-kata untuk Alina, memyakinkan Alina bahwa Adimas berjanji tak akan berubah sedikitpun meski harus berbagi waktu, Berbagi kasih sayang dan berbagi ranjang, Adimas berjanji akan adil kepada dua perempuan yang begitu berarti dihidupnya kini. Alina semakin melemah, keegoisannya semakin menyusut ketika menatap raut wajah Adimas yang berusaha keras meyakinkan kegundahan batinnya. Alina tersenyum kecil ia yakin bahwa sebanyak apapun seseorang berbicara tentu yang akan dipercaya adalah bukti dari ucapannya. Jika memang bersungguh- sungguh tentu tak harus banyak berbicara.

 Alina memeluk Adimas semakin erat, disenderkan kepalanya tepat ditengah dada Adimas. Rasanya sudah lama sekali mereka berdua tak menghabiskan waktu bersama dengan romantis, semenjak Alina hamil.

"Mas... ...." panggil Alina pelan.

Adimas menoleh, " iya sayang?"

"Sudah lama sekali rasanya kita gak pergi bersama sekedar makan malam."

"Bagaimana kalau malam ini kita pergi keluar, dede bayi yang ada didalam kandungan minta nih ... " sambung Alina dengan manja.

"Baiklah malam ini kita pergi keluar." Adimas membalas pelukan Alina, mereka berdua sedikit melupakan masalah yang sudah menegang sejak tadi.

***

   Adimas menghubungi Nada, beberapa kali panggilannya terabaikan. raut wajah Adimas sedikit gelisah, Alina menatapnya dari jarak kejauhan dari balik gorden Alina menenangkan perasaan cemburunya ia harus mulai terbiasa dalam situasi seperti ini. Dengan hangat Alina muncul dari balik gorden yang menyembunyikan tubuhnya sejak tadi, disapa dengan lembut suaminya yang gelisah. Alina menarik Adimas untuk mengelus perut nya karena Adimas junior sedang begerak bebas, Adimas tertawa geli ketika kedua tangannya seperti disundul-sundul tak berapa lama Adimas menempelkan telinga diatas perut Alina beberapa kali Dia berdoa lalu meniupkannya dengan tepat. Alina tersenyum lega suaminya kini sudah melupakan kegelisahan yang mengganggu rencana makan malam mereka.

"Mas aku udah siap, sekarang kita berangkat yuuk." ajak Alina menyadarkan lamunan Adimas.

"Mmm ... iya hampir kelupaan." Adimas bangun dari posisinya.

 Keduanya masuk kedalam mobil, Alina masih terus menatap raut wajah Adimas yang kembali gelisah hebat.

Alina mengambil napas tiga kali, menoleh, lalu berkata,"carilah sumber kegelisahanmu."

 Adimas menghentikan laju mobilnya, ia menoleh lalu kembali memeluk Alina, sekali lagi diciumnya ubun-ubun perempuan itu, kedua pipi dan mengelus ringan rambut Alina. Adimas kembali memutar balikkan setirnya menuju kearah rumah, Alina tersandar dikursi mobil, tubuhnya semakin terguncang. Sosok yang berpura-pura tegar itu sekarang mendadak lemah. Berulang kali suara hatinya mengucap istigfar.

 Sesampainya didepan rumah, Alina turun dengan penuh kekecewaan. Ucapan yang tak sengaja dia lontarkan begitu terasa menyiksa.

"Pergilah...." Suara Alina hampir tak terdengar, Adimas mengangguk lalu berpamitan masuk kembali kedalam mobil. Alina meraih kedua lengan tangannya, mengelus dengan cepat dadanya yang terasa sesak.

 Alina menutup kembali pintu semakin rapat, disimpan nya tas yang sedari tadi ia bawa keinginannya terkalahkan oleh egois yang memilih untuk mengalah demi kebahagiaan suaminya. Diteguk dengan cepat air didalam gelas, emosinya terasa semakin meluap. Alina menyandarkan tubuhnya kedinding, tubuhnya melorot lebawah. Entah berapa kali ia meminta kelapangan didalam dadanya untuk menerima kenyataan.

***

   Diluar sana Adimas kembali menghubungi Nada. Lagi-lagi, teleponnya tak diangkat sama sekali pesan singkat yang berulang kali Adimas kirim tak ada satupun dibalas. Gelisahnya semakin tak mampu dibendung lagi nampak jelas dari raut wajah Adimas, dia begitu mencintai sosok Nada.

  didepan halaman, Adimas menatap lekat kearah rumah Nada. Dia terdiam sejenak melunturkan kegundahan yang terus bergejolak hebat. Adimas mencoba menghubungi kembali nomer teleponnya. Lagi-lagi Nada belum menjawab puluhan panggilan darinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience