Chapter 20

Romance Completed 2699

Sampai di balkon Rumah sakit Alina mulai menghampiri tepi balkon yang jelas pemandangan bawahnya, berulang kali batin nya berkata untuk tidak melakukan hal bodoh yang begitu di benci oleh Allah Swt, tapi bisikan-bisikan menyesatkan terus mengingat luka di dalam hati nya. Kedua tangannya menjadi saksi atas ketidak berdayaan nya untuk terus memilih kepada kebenaran yang hakikat nya keikhlasan hati, perjuangan nya terasa sia-sia Alina memilih untuk mengakhiri hidup nya lalu meninggalkan permasalahan di dunia dengan instan.

 Di dalam ruangan kedua orang tua Alina berteriak histeris, tempat tidur yang kosong tanpa sosok Alina membuat semua pekerja Rumah sakit kalang kabut mencari keberadaan Alina. Dengan sigap mereka semua berpencar mencari di setiap lorong Rumah sakit.

Seorang Dokter laki-laki mencurigai balkon Rumah sakit karena ia beberapa hari terakhir ini memperhatikan kegelisahan Alina. Dengan sigap ia berlari menaiki setiap anak tangga dengan tanpa pikir panjang lagi sesampai di anak tangga yang terakhir Dokter itu mendobrak paksa pintu yang terkunci dari luar.

"BRAAKK!" suara pintu di dobrak paksa.

"Tunggu!" teriak Dokter itu dengan cepat menghampiri Alina lalu merangkul perut besarnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Lepaskan saya! saya mau mati saja." Alina terus meronta.

"Bunuh diri itu sangat di benci Allah, Mba istigfar." Dokter itu terus memeluk erat tubuh Alina.

Alina mulai terasa tenang, amukan nya mulai melemah. Setelah beberapa saat mereka terdiam untuk saling menenangkan pikiran.

Alina menoleh ke belakang dengan malu, raut wajah kecemasan itu masih nampak jelas Alina lihat dari wajah laki-laki yang sedari tadi memegang nya dengan erat, Alina memalingkan pandangan ke arah lain.

"Bisa lepaskan saya?" pinta Alina.

"Tidak, saya takut kamu mengulangi lagi. Sekarang biarkan saya antar ke ruangan mba dirawat." pinta Dokter itu dengan mengangkat tubuh Alina perlahan.

Ibunda Alina mendekat penuh semangat. Kemudian dicium dengan lembut pipi kiri dan kanan Alina. "Sayang kamu dari mana saja? Ibu dan bapak khawatir sekali."

Alina tersenyum lemah, wajahnya semakin kusam dan kusut akibat tangisan yang tak pernah surut dari kedua mata Alina. Lalu Alina menoleh ke belakang, "Bu, Dokter ini yang telah menyelamatkan nyawa Alina."

"Terimakasih banyak Pak Dokter."

"Sudah tugas kita sesama manusia harus saling membantu." jawab Dokter itu dengan hangat.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Dokter itu meninggalkan Alina yang masih menatapnya semakin jauh.

*****

  Adimas merasa hati nya semakin gelisah, setelah ucapan nya tadi, Adimas terus mengingat Alina yang harus menerimana kenyataan. Tak ada pilihan lain Adimas terus menguatkan hati dan batin nya agar tetap selalu berada dijalan Allah Swt.

 Adimas kembali masuk ke dalam ruangan, berulang kali ia menatap layar telepon hingga kedua mata nya semakin terasa lelah, satu panggilan pun tak ada yang atas namakan Alina. Adimas kembali menghubungi dengan penuh harapan bahwa ucapan nya tadi tidaklah sungguh-sungguh, sayangnya Alina tak menjawab panggilan Adimas.

Matahari pagi mulai menyusup masuk dengan terik, Adimas terbangun perlahan lalu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya berulang kali.  Adimas terkejut karena Nada sudah sadarkan diri memandangi Adimas penuh senyuman bahagia.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Adimas masih setengah sadar.

"Alhamdulilah Pak ... saya sudah merasa baik." jawab Nada semangat.

Nada masih tidak percaya betapa beruntung nya perempuan yang di nikahi Adimas,  hubungan mereka semakin dekat setelah Adimas setuju untuk Taaruf.

Alina terbangun dari tidur nya semalam karena kelelahan menangis yang tak pernah berhenti, dia mengambil telepon genggamnya. Membuka kontak lalu berhenti  di username Adimas gejolak kerinduan semakin tak tertahankan, ada panggilan tak terjawab beberapa kali dari Adimas. Alina menangis rindu terpendam semakin banyak.

Niatnya untuk menelpon balik sedikit di urungkan ucapan Adimas untuk menceraikan Alina membuat kerinduan itu berubah menjadi serpihan luka, sayatan yang semakin menyadarkan Alina bahwa sampai kapanpun ia belum bisa mengikhlas kan suami nya berpoligami tapi perceraian bukan jalan terbaik.

Dari balik pintu muncul seorang laki-laki, ia memakai kacamata dan jas putih memberi tanda bahwa dia seorang Dokter. Perlahan melangkah maju ke arah Alina yang masih dalam lamunan. Dari belakang punggungnya, muncul lah buket bunga mawar putih yang tertata rapi. Alina menoleh seakan-akan ingin bertanya 'Apa maksudnya' tapi kembali tak keluar dari dalam mulut nya.

"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Dokter.

"Sekarang sudah membaik." cetus Alina dingin, pandangan nya terus teralihkan oleh bunga mawar putih yang berada di hadapan nya.

"Syukurlah, ya udah saya kembali bertugas lagi, lekas sembuh ya." Dokter itu tersenyum lalu berlalu dari tatapan Alina.

Alina menyimpan dengan pelan bunga pemberian Dokter itu di samping tempat ia berbaring, Alina kembali resah lalu membaringkan tubuhnya kembali. Ibunda masuk dengan tiba-tiba langkah nya seperti tergesa-gesa.

"Sayang .... ada Adimas di luar." dengan pelan sang Ibunda memberi tahu kedatangan Adimas.

"Biarkan dia masuk Bu."

"Yasudah Ibu tinggalkan kalian berdua." Menepuk tangan kanan Alina memberi semangat untuk tetap tegar dalam pendirian nya.

Setelah Ibunda Alina keluar, tak lama kemudian Adimas muncul dari balik pintu raut wajahnya seditit pucat pasi. Tangan kanan nya menenteng sebuah barang, dia menoleh ke arah Alina dengan tatapan tak berdaya. Lalu duduk di kursi pengunjung, Alina menarik napas tiga kali secara berurutan pertanda hatinya kembali sesak luar biasa.

 Kedua mata itu sudah lama tak bertemu, Adimas masih terdiam kaku ia bingung harus memulainya dari mana.  Tak ada hal yang lebih menegangkan yaitu meminta maaf dengan tulus, walau bagaimana pun Adimas masih Sah menjadi suami Alina. Beberapa saat kemudian Alina semakin tak tahan lagi untuk terud membendung kerinduan nya. Alina menarik tangan Adimas.

"Kamu sudah yakin akan mencersikanku?" Alina bertanya lirih.

Adimas menatap Alina dengan lelah.

"I-ya, jika kamu belum bisa menerima semua nya dengan ikhlas."

"Aku ikhlas di madu mas ...."

"Betul kah?"

"I-ya."

Adimas memeluk erat tubuh Alina untuk sesaat mereka melepaskan kerinduan nya masing-masing, Adimas menoleh sedikit ke arah buket bunga yang tersimpan di sisi tubuhnya Alina. Jantung nya terasa bergetar tapi ia berusaha untuk berprasangka baik untuk istrinya.

Alina mulai tersenyum manja, menceritakan setiap keluh kesahnya. Adimas mendengarkan dengan sabar. Memang hal yang harus selalu di pertahankan dalam sebuah rumah tangga adalah menjaga komunikasi antara suami dan istri agar tak ada parasangka saling menuduh.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience