Alina keluar dengan perasaan yang teramat dongkol, dirogohnya ponsel dari dalam tas lalu Alina memesan Taksi Online. 5 menit menunggu, mobil yang ia pesan tiba. Dengan menangis Alina kembali membuka HP lalu mengetik dengan cepat sebuah pesan.
Dari : AlinaM
Ke : A
Asallamualaikum imam halalku..
Dalam lubuk hati yang terdalam, sungguh aku bukanlah perempuan yang begitu tegar dalam menerima terpaan badai. Ada kalanya perempuan ini melemah, kepadamu suamiku aku memasrahkan diri jiwa dan raga ...
Ada percikan api yang terasa semakin membesar, menatap perempuan itu hatiku semakin terluka banyak. Sampai saat ini kata ikhlas itu sungguh sulit untukku gapai ...
Bukan...
Bukan aku tak berusaha, hanya saja waktu belum begitu mendukungku. Percayalah mas ini hanya masalah waktu jika Allah Ridha hamba-Nya berpoligami tentu didapati kelancaran-kelancaran yang mudah ...
Maka bersabarlah yang banyak ..
Berusahalah tanpa henti ...
Andai aku bisa memilih, tentu tak ingin seperti ini tapi takdir berkata lain. Dengan berat aku menyapa perempuan keinginanmu itudengan hangat..
Untuk saat ini aku tak mampu menatap seluruh wajahmu yang telah merobek dalam hatiku, biarkanlah aku menenangkan bagin dan otak sadarku selama proses taaruf mu selesai...
Salam rindu
Perempuan yang tak bersayap
Kedua mulut Alina semakin terasa kaku, setelah mengirim email untuk Adimas. Tak ada pilihan lain memang ia harus berhenti sejenak bukan untuk melepaskan tapi untuk menariknya semakin dekat. Alina yakin akan ada jalan ketika seseorang dalam masalah hanya perlu berikhtiar dan selalu berada di jalan Allah Swt semua akan baik-baik saja. Sesampainya dihalaman rumah Alina masuk dengan perlahan, seluruh tubuhnya terasa seperti tak memiliki tulang yang kokoh, lepas begitu saja.
Alina menarik paksa gagang pintu lemari, di obrak-abrik semua pakaiannya. Meluapkan semua emosinya yang semakin menyesakkan. Alina kembali menangis histeris tanpa ada siapa pun yang tahu lalu berkemas dengan cepat untuk pulang kerumah orang tua nya.
***
Di rumah sakit Adimas masih tak tau harus bagaimana lagi, harus berhenti atau terus maju meski badai sedang menerpa nya. Dalam lamunannya Adimas merogoh telepon genggamnya di buka dengan nanar email yang masuk dari Alina. Hati nya kembali terasa di sayat-sayat, degup jantung masih berdetak cepat . Adimas memejamkan kedua matanya, melepaskan perlahan setiap beban yang ia pikul. Adimas membiarkan Alina untuk menenangkan diri.
Adimas mengelus dahi Nada beberapa kali Dia berdoa diatas ubun-ubun Nada dengan pelan lalu meniupnya. Sebenarnya ia ingin secepatnya meresmikan tanggal pernikahan mereka tapi kondisi Nada belum memungkinkan.
Adimas beranjak dari duduknya pergi sejenak untuk keluar, ia masuk kedalam sebuah mesjid untuk merenungkan diri. Dengan hidmat Adimas bersujud kembali ia memohon untuk petunjuk yang harus ia ambil, di sisi kanan ada seorang laki-laki tua rambutnya sudah ber uban mungkin umurnya sudah 70 thn, dia menoleh ke arah Adimas lalu menepuk pundak membuat Adimas terkejut.
"Nak,kamu sedang kebingungan?" tanya nya.
Adimas mengangguk.
"Memang sulit memilih salah satunya, terkadang napsu seorang laki-laki sering kali salah. Menginginkan kedua nya untuk bisa digenggam bersamaan."
Adimas duduk dihadapan kakek renta itu, dengan saksama mendengar setiap kata yang keluar dari mukutnya.
"Jangan kamu biarkan emas itu luntur karena tetesan hujan, tapi lapisilah dia dengan emas yang lain, tentu akan menjadi semakin indah." sambung kakek tua itu terus tersenyum.
"Aku tidak mengerti ..." sahut Adimas.
"Kamu ingin berpoligami? Karena, tak ingin terlarut dalam dosa? "
"Iya betul seklai, tapi sulit untuk di lakukan." Adimas menundukkan lebih dalam kepalanya.
"Yang sulit itu menjaga pandangan dari yang bukan mukhrim nya, bukankah dosa itu berawal dari kedua mata yang tak mampu di jaga lalu turun perlahan masuk ke dalam hati?" ucap kakek itu semakin terasa menasehati.
Share this novel