Adimas semakin terlarut dalam keajaiban dihadapannya, gemerlap lampu dimalam hari dan hembusan angin membuat Adimas semakin melupakan Alina, Mereka masih terdiam hanya keduamata yang terus saling berbalas tatapan. Nada tersenyum tipis kearah Adimas ia tau bahwa laki-laki dihadapannya akan ia dapatkan dengan cara apapun.
Pesanan mereka datang, dibawah sinar bulan Adimas dan Nada mulai menyantap hidangan dihadapannya. Tanpa basa-basi Nada melahap semuanya pertanda memang ia begitu lapar namun menjaga image dihadapan Adimas. Alunan musik klasik semakin menambah keromantisan untuk setiap pasangan yang hadir dicafe itu, Nada semakin mengagumi sosok Adimas menurutnya Adimas laki-laki yang sempurna.
Adimas mulai kembali menggenggam erat tangan Nada kali ini ia angkat kearah wajahnya lalu mengecup dengan hangat, sontak Nada terkejut rasa ingin marah berbalik menjadi perasaan takut kehilangan.
"Nada, saya tau kamu sudah merasakannya bukan?" Adimas bertanya dengan yakin.
Nada gerogi, " Maksud bapak apa ya?"
"Panggil mas aja.." sambung Adimas melepas genggamannya.
"Baiklah mas, maksudnya apa." Nada mengulang kembali pertanyaannya.
"Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tak ingin terus menambah dosa." Adimas menghela napas beberapa kali sesak didadanya kembali bermunculan.
Nada semakin penasaran ia hanya terdiam kaku mendengar dengan seksama setiap ucapan yang Adimas keluarkan.
"Apakah kamu mau menikah denganku?" Adimas berlutut dihadapan Nada dengan cincin yang Adimas rokoh dari dalam saku jasnya.
"Apa?" Nada terkejut seketika berdiri dari kursi.
"Aku tidak main-main ini perasaanku yang sesungguhnya." Adimas bangun dan berdiri agar setara dengan tubuh Nada.
"Mas tolong..hentikan lelucon ini." Nada sedikit kesal.
"Aku tak pernah main-main dengan perasaan." Adimas kembali meraih pergelangan tangan Nada.
"Semua itu tidak mungkin, aku tau mas sudah menikah." Nada menggrutu.
"Aku akan berpoligami jika Alina ikhlas berbagi ranjang denganmu."
"Tidak ada satu perempuanpun yang ingin dimadu mas, termasuk aku."
"Jika Alina tidak mau, aku akan melepaskannya setelah melahirkan nanti."
"Alina sedang mengandung?" Seketika Nada membungkan mulutnya lalu duduk kembali perlahan.
Adimas kembali duduk, " Iya Alina sedang mengandung."
Nada semakin memojokkan tubuhnya, betapa hinanya ia harus menghancurkan sebuah rumah yang sedang berbahagia, Nada menundukkan kepalnya dalam-dalam mengelus dadanya yang mulai terasa menyakitkan.
Adimas menatap kearah Nada, suasana semakin terasa dingin mereka terdiam beberapa saat setelah pembicaraan terlarang itu Adimas ungkapkan, perasaannya mulai lega karena mampu mengungkapkan diwaktu yang tepat.
Nada meneteskan airmata, dibalik kerudungnya ia begitu malu terhadap sang maha pencipta karena ia melanggar aturan-aturan yang membuatnya masuk kedalam dosa yang besar, perasaannya semakin menyakitkan antara iya atau tidak.
****
Alina mengambil bantal, lalu merebahkan dirinya di sofa membelakangi TV yang masih menyala. Untuk beberapa saat Alina terus berdoa meminta pertolongan untuk keselamatan suaminya. Kedua matanya mulai kelelahan akhirnya menunggu pulang dengan tertidur diatas sofa.
*****
Adimas mulai merasa canggung, setelah melepaskan beban dipikirannya Nada selalu menolak tatapan Adimas. Perempuan itu mulai menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya, Adimas kecewa tapi ia tak ada hak untuk melakukan apa-apa.
Nada terus menghindar, ia belum siap menerima kenyataan mengenai perasaan yang sedang ia rasakan tentunya ada perempuan lain yang akan terluka hatinya. Malam semakin larut mereka memutuskan untuk mengakhiri perbincangan yang menegangkan, Adimas meremas rambutnya merasakan bahwa perasaannya akan sia-sia saja.
Selepas mengantar Nada pulang, Adimas mempercepat kembali laju mobilnya ia tau bahwa Alina menunggu kepulangannya sejak pesan singkat yang Alina kirim tak dibalas oleh Adimas. Dengan pelan Adimas mengetuk pintu dengan hati-hati Adimas takut Alina terbangun didalam, nampak Alina sudah terlelap dalam tidur ditemani segelas susu yang dingin pertanda bahwa Alina menunggu kepulangan Adimas sejak lama, Adimas menggendong tubuh Alina untuk masuk kedalam ditatapnya dengan lekat wajah Alina berharap ia akan siap menerima kenyataan bahwa niat Adimas untuk berpoligami sudah bulat. Alina harus siap berbagi haknya dengan perempuan lain.
***
Menjelang subuh Alina terbangun, dengan kantuk yang masih melanda Alina membangunkan suaminya untuk shalat subuh berjamaah. Adimas mengerjapkan mata kantuknya perlahan ia beranjak dari tempat tidur dengan sempoyongan, Alina membopong tubuh Adimas biasanya ia bersemangat ketika diajak shalat subuh berjamaah kali ini sedikit berbeda.
Selepas shalat berjamaah mereka berpisah Adimas masuk kekamar untuk bersiap kerja sedangkan Alina masuk kedapur untuk menyiapkan sarapan suaminya, tak ada perbincangan yang mereka lakukan Adimas masih terdiam seribu bahasa.
"Mas sarapannya sudah siap." Alina menghampiri pintu kamar.
Adimas sedikit berteriak, "Iya sayang tunggu sebentar."
"Sini mas biar aku bantu," Alima masuk kedalam kamar.
"Sedikit lagi ko sayang." Adimas sedang merapihkan dasinya.
Alina tersenyum, "Mas ini dasinya gak cocok sama jasnya tunggu sebentar biar aku pilihkan warna lain."
Adimas duduk kembali diatas tempat tidur, perasaan bersalahnya begitu menghantui terasa pedih. Walau bagaimana pun ia ingin mengakhiri dosa yang terus mengalir.
"Mmm...sayang." Adimas gerogi.
"Iya mas." Alina sedikit menoleh.
"Kapan kamu mau menutup aurat?" sambung Adimas.
Deg..deg..deg...
Detak jantung Alina tiba-tiba saja berdegup kencang, hatinya terasa sakit mendengar ucapan suaminya itu bukan karena ia tak ingin berhijrah tetapi Alina tau bahwa Adimas melakukannya karena Nada. Adimas ingin Alina seperti Nada menutup auratnya supaya mirip bukan karena hidayah dari Allah.
Alina mengepal tangan kanannya mengumpulkan seluruh emosinya didalam kepalan itu, ada desirah yang menyayat hatinya secara perlahan. Alina menundukkan kepalanya mengambil napas berulang-ulang kali.
"Mas hijrah itu bukan untuk main-main." Alina menoleh dengan senyuman manja.
Alina memasangkan Dasi, "Menutup aurat itu harus benar-benar dari keyakinan dan hidayah Allah yang telah dijemput oleh siapapun yang ingin berubah."
Adimas terdiam kaku.
"Jika ingin melihat seseorang menutup aurat tapi karena ingin mirip dengan seseorang itu kesalahan yang fatal." Sambung Alina.
Adimas terkejut dengan ucapan terakhir dari Alina, raut wajahnya berubah menjadi kelam. Adimas semakin mengurungkan niatnya untuk berbicara perihal poligami yang akan ia lakukan tentunya bukan hari ini, mungkin keesokan harinya.
Share this novel