Dimas menoleh ke arah Alina, di dapati Alina sedang melamun tanpa berkedip. Dia tau bahwa perasaan istri nya masih belum berubah rasa sakit nya melebihi apaun yang ada di dunia ini, Adimas meremas lembut telapak tangan Alina, lalu berkata.
"Nada sudah sadarkan diri." ucap Adimas pelan.
"Besok kita pulang ke jakarta lagi ya, jika kamu sudah siap kita bertemu dengan Nada."
Alina semakin memojokkan dirinya, perempuan mana yang kuat menatap madu dari suami nya, sungguh Gila! berlari sekuat tenagapun tak akan membawa nya pergi jauh. Alina memilih pasrah lebih pasrah dari biasanya, Alina mengangguk menyetujui ucapan Adimas.
****
Keesokan harinya mereka berkemas untuk pulang ke ibu kota, Alina memilih menutup rapat-rapat peristiwa yang menimpanya dan calon anak nya. Setelah semua nya siap Alina berpamitan meminta maaf karena telah membuat khawatir kedua orang tua nya, Alina memeluk ibu nya semakin dalam memberi isyarat bahwa ia sedang tak baik, tapi Alina teringat kembali bahwa ia harus menjaga aib suami nya semakin rapat.
Setelah selesai melepas kerinduan, Alina berangkat pulang kembali ke ibu kota Adimas menuntun nya untuk mausk ke dalam mobil. Mereka kembali merasakan canggung seperti biasa, Alina merasa bahwa suami akan menjadi orang asing untunya. Sedangkan Adimas merasa bahwa Alina semakin jauh dari pelukan nya, ternyata sulit untuk berpoligami banyak hal yang harus di pertimbangkan.
Adimas menoleh sekejap ke arah Alina, lalu bertanya. "Sayang, Mas mau tanya sekali lagi?."
"Tanya apa mas?"
"Kamu benar-benar ikhlas untuk di poligami?" pertanyaan kembali Adimas ulang.
Alina mengutuk dirinya sendiri, sungguh ia begitu muak mendengar kata poligami. Rasanya ingin sekali dia berteriak 'Aku gak bisa, aku gak kuat' lalu menyadarkan Adimas untuk berhenti menyakiti batin nya. Karena hati yang terluka sulit untuk di sembuhkan.
"Sayang?" Adimas menyadarkan lamunan Alina.
"Ahh ... iya Mas kenapa?" Alina gelagapan.
"Kenapa gak dijawab? pertanyaan mas."
"Iya aku ikhlas." Alina ketus.
Adimas menepikan laju mobilnya, memeluk erat tubuh Alina berulang kali ia ucapkan terima kasih.
***
Sehari setelah kepulangan Alina dari kota kelahiran, Adimas mulai masuk kerja kembali memulai rutinitas seperti biasa nya beranggapan semua nya akan segera berakhir dengan bahagia.
Alina semakin cemas, karena ia belum benar-benar kuat menatap perempuan itu untuk saling menukar perasaan, menukar logika dan menukar posisi. Jelas Alina tak ingin membagi suami nya.
Setelah sarapan selesai, Adimas berpamitan untuk berangkat Alina mencium dengan takzim tangan kanan Adimas, Adimas membalasnya dengan mencium kening Alina beberapa saat. Perasaan nya terasa bertambah mengingat keikhlasan Alina untuk menerima kenyataan atas takdir yang Adimas buat, tanpa paksaan.
Alina memeluk erat tubuh Adimas, melepaskan semua ketakutan nya dan berharap bahwa suaminya paham akan kegundahan hati nya yang sampai detik ini sulit untuk ditenangkan.
******
3bulan berlalu begitu cepat waktu taaruf Adimas dengan Nada telah selesai, Adimas berkunjung untuk menemui kedua orangtua Nada membicarakan tanggal pernikahan yang baik untuk dilaksanakan.
Nada mendampingi Adimas di sebelah kanan, berulang kali ia mencuri pandangan untuk menatap wajah Adimas secara diam-diam tak terasa bahwa hati nya sudah mengagumi sosok laki-laki disampingnya dengan sabar atas izin Allah Swt, mereka dipersatukan.
Adimas menoleh membalas pandangan Nada yang sedari tadi menatapnya dengan malu, Adimas tersenyum kecil. Lalu memalingkan kembali pandangan nya kearah depan. Debaran di dada semakin mengejutkan.
Setelah berbincang-berbincang cukup lama proses pernikahan akan di laksanakan minggu depan, Adimas menghela napas lega lalu memandang wajah Nada dengan penuh rasa bahagia. Adimas berpamitan untuk segera pulang karena ia harus memberi tahu Alina istri pertamanya.
Alina duduk manis di teras depan ditemani segelas susu hangat dan beberapa cemilan menemaninya. Dari kejauhan muncul mobil Adimas dengan perlahan, Alina bangun dari duduknya berusaha mencairkan kebekuan kakinya lalu melangkan kedepan. Adimas keluar dari dalam mobil, Alina tersenyum tipis. Adimas tertawa kecil, Adimas menatap dalam-dalam lalu kembali memeluk tubuh Alina dari belakang.
"Sayang, Minggu depan. Mas jadi menikah dengan Nada," ujar Adimas membuyarkan suasan hening.
Alina terisak kembali, mukanya memerah pasi, mata itu kembali berair, dan napasnya tersenggal. Untuk saat ini berada dekat dengan Adimas seperti menancapkan duri di luka yang sama. Ia tepis rasa cintanya, sungguh bukanlah hal yang mudah. Mendengar kabar itu seperti sedang di sambar petir.
Alina tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil mengangkat lalu mencium tangan kanan suaminya itu dengan penuh harapan. Dia memejamkan mata seluruhnya mencerna setiap ucapan Adimas. Alina mengambil nafas ada semilir angin mengelus di kedalaman lukanya. Mendadak tenggorokan nya tercekat dan hatinya berdesir halus, Alina menatap wajah Adimas dengan penuh luka di dalam batinnya.
Adimas masih mempertahankan raut wajah bahagianya tanpa ia sadari bahwa perempuan di depan nya sangatlah terluka.
"Syukurlah mas, aku ikut bahagia." Alina mengelak, ia yakin hati nya belum setegar ucapan nya.
Mereka masuk kedalam rumah, Alina menyiapkan teh hangat lalu menghidangkan masakan yang telah ia siapkan sebelum Adimas pulang. Adimas masuk ke dalam kamar niatnya untuk mengganti pakaian, ketika bercermin senyuman tak karuan nampak jelas dari pantulan, usaha nya membuahkan hasil bahagia.
Di ruang tengah Alina kembali murung, wajahnya seluruhnya pucat pasi tak ada sisa warna lagi semuanya nampak terasa semakin menyedihkan. Alina terus berusaha agar tetap waras keluh kesah nya memberontak semakin menggila. Ia tahu pada awalnya akan menemui kesulitan tapi Alina yakin bahwa Allah Swt telah menyimpan kebahagiaan yang tak diduga-duga.
**
Pagi-pagi, Alina kelihatan gelisah. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari yang paling Adimas nantikan. Hari pernikahan itu tak terasa semakin mantap di depan mata, begitu jelas melambaikan sebuah sayatan baru.
Alina masih bertahan di dalam kamar, sang ibunda masuk dengan hati-hati raut wajah nya merasakan apa yang sedang Alina rasakan. Hati orang tua mana yang tak sakit melihat putri satu-satu nya berpura-pura tegar di hadapan semua orang sedangkan dalam hati ia begitu sangat tersiksa.
"Nak, semua nya belum terlambat batalkan saja," ucap sang ibu mengejutkan lamunan Alina.
Alina menghapus uraian air mata yang semakin banyak berjatuhan, "Tak apa Bu, insyaallah Alina ikhlas lahir dan batin."
"Jika kamu ingin bercerai dengan Adimas, Ibu akan mendukungmu, setelah anak dalam kandungan mu itu lahir." sambung sang Ibu sedikit kesal.
"Perceraian itu bukan solusi terbaik Bu, ini urusan rumah tangga Alina. Atas izin Allah Swt semua nya akan baik-baik saja." Alina meraih telapak sang Ibunda lalu menciumnya meminta restu untuk Adimas berpoligami.
Kedua nya keluar dari dalam Kamar, semua orang bersiap untuk berangkat, seluruh pandangan itu tertuju hanya pada satu titik. ketika langkah kaki Alina semakin memerperjelas bahwa ia baik-baik saja. Adimas mencium kening Alina lalu mencium perut Alina yang semakin membesar. Kandungan nya sudah memasuki 9 bulan, dengan bacaan basmallah seluruh anggota keluarga berangkat. Alina merapatkan tubuh nya di dekat kedua orangtua nya, walau bagaimana pun hati nya tetap saja terluka.
Perjalan terasa begitu cepat mereka lalui, hanya Alina yang semakin memurungkan raut wajah nya. Sesak di dada nya semakin memperjelas keadaan Alina saat ini sangatlah hancur, mereka sampai di salah satu mesjid di kediaman Nada.
Adimas turun dengan gagah dengan Jas hitam, ia kembali melirik ke arah Alina menatap penuh kerinduan. Adimas kembali menghampiri Alina sejenak melunturkan kecemasan di pikiran Alina.
"Aku tak mengapa," sahut Alina hampir tak terdengar, kecemasan semakin mendominasi perasaan. Kenapa ini ?
"Maafkan, aku... memutuskan untuk menikah lagi." ujar Adimas hati-hati.
Meskipun Adimas menyampaikan permintaan maaf nya dengan pelan, tetap saja terdengar seperti petir yang menyambar di telinga Alina. Pandangan nya terasa tiba-tiba gelap gulita tak ada seorang pun yang menemani. Elena menarik paksa seluruh nafas nya, mengumpulkan kembali kesadarannya yang mendadak lenyap.
Adimas kembali di posisi nya, Alina masih bergeming antara sadar atau tidak. Apakah ada artinya jika kali ini ia memberontak saat ini? percuma.
Sepanjang jalan menuju mesjid, Alina terdiam kaku, tak ada setetes pun air mata. Ia tetap bertahan, seluruh tubuh nya terasa seperti mati beku.
Share this novel