Alina memandangi dari kejauhan, menatap setiap goresan kegundahan didalam hati Adimas. Alina semakin berat ia tak ingin suaminya terus merasa terbebankan, Alina kembali menghampiri Adimas. Di rangkul kedua pundaknya lalu menempatkan wajahnya dipundak kanan Adimas, lalu berkata.
"Mas, kapan mau mempertemukanku dengan Nada?" Suara Alina pelan nyaris tak terdengar.
Adimas mengucek kedua mata, "Kamu yakin ?"
Alina mengangguk lalu berpindah posisi, " Aku yakin mas."
"Baiklah nanti sore kita temui dia." Adimas tersenyum lebar suasana hatinya seikit berubah mendengar setiap ucapan Alina.
***
Sore mulai menghampiri, Alina semakin memantapkan dirinya untuk menatap kedua mata yang telah melukai hatinya. Adimas menepuk lembut punggung Alina memberi semangat untuk meyakinkan dirinya. Mereka pergi dengan rapi, disepanjang jalan Alina terus menahan goresan perih yang semakin menyakitkan kedua matanya terus memaksa untuk menangis, Alina menahannya.
Adimas menggenggam erat kedua tangan Alina yang terasa gemetar, berulang kali Adimas menoleh lalu tersenyum menenangkan.
Di parkiran rumah sakit Alina turun perlahan keluar dari mobil, berulang kali Alina kembali beristigfar meminta kepada Sang pencipta keyakinan untuk selalu menenangkan agar ia tak terjerumus dalam amarah. Adimas kembali menghampiri Alina dengan menggenggam telapak Alina untuk mengikuti setiap langkah kakinya.
Alina berjalan perlahan dengan perut yang semakin membesar jalannya mulai terasa lambat, Alina meminta untuk istirahat sejenak menenangkan kedua lututnya yang terasa lemas, entah karena efek kehamilannya atau rasa takutnya bertemu dengan Nada. Yang jelas, ia merasakan tidak nyaman berada di lingkungan sekarang. Adimas menunggu dengan sabar, kedua tangannya memijat dengan lembut lalu meminta Alina untuk kembali melanjutkan langkahnya. Alina mengangguk lalu pergi kembali.
Di depan ruangan, Adimas mengehentikan langkah kakinya dipegang gagang pintu disamping kiri lalu membuka dengan pelan. Alina kembali mengambil napas 3x seluruh dadanya terasa seperti sesak, Alina mengikuti Adimas dari belakang. Ditatapinya seorang perempuan yang masih terbaring di atas tempat tidur, tangan kanannya ditempeli infusan. Alina merasa iba, ia tak mungkin mencaci seseorang yang sedang terkapar lemah. Adimas menggenggam tangan Nada lalu menariknya perlahan untuk saling bertemu dengan tangan kiri Alina. Adimas menumpukkan tangan Alina dan Nada, menatap penuh harap kepada dua perempuan di hadapannya.
Alina menoleh sekilas pada Adimas, seolah memohon jangan melakukannya. Alina menepis hasrat egoisnya, berandai-andai hanya akan menjadi pintu masuk iblis penggoda. 'Tidak, aku tak boleh menangis!' Serunya dalam hati menguatkan diri sendiri. Dia mengusap air mata, kepalanya terasa sakit luar biasa.
"Kau mencintainya?" tanya Alina sambil menatap menunduk.
Adimas mengangguk pelan. "Dia perempuan yang akan aku nikahi," jawabnya sambil menunduk.
Adimas melepaskan kedua tangan perempuan itu, isak tangisnya pecah dalam kegemingan. Laki-laki tegar itu sekarang jatuh kedalam lubang kebingungan.
Diusapnya kepala Adimas, Alina duduk jongkok agar setara dengan posisi Adimas. Hatinya bertanya-tanya, benarkah dia ingin menduakan cintanya? ...
Adimas kembali memeluk erat tubuh Alina seperti ingin mencurahkan semua kekhawatiran dan ketakutannya yang selalu menghantui di mimpi buruknya, Adimas menitikkan buliran bening itu semakin banyak membasahi blezzer yang Alina kenakan. Alina terdiam kaku, sungguh hatinya terluka karena suaminya menangis untuk perempuan lain bukan untuk dirinya. Suasana semakin terasa canggung, Alina tak berkutik tubuhnya terus berusaha tegar beranggapan bahwa ini hanyalah mimpi semu yang mengerikan. Berharap suatu saat nanti dia terbangun lalu bahagia.
Alina menatap kearah Nada, rasanya ingin ia berteriak 'ayo bangun, biar aku bisa menjambak kerudungmu sampai tersungkur jatuh' Alina bergumam kesal dalam batinnya, walau bagaimanapun ia berhak memarahi siapapun yang sudah merebut kebahagiaan. Tapi egoisnya mengalah Alina teringat dosa yang terus mengalir.
**
Amarahnya mengalah, Alina duduk disamping Nada yang masih terbaring lemah. Ditatap dengan penuh kesal, Alina menarik napas berulang kali menenangkan sesak di dalam hatinya. Adimas duduk di hadapan Alina, kedua tangannya gemetar cepat. Menatap dua perempuan secara bersaam.
"Perkenalkan dia Nada, perempuan yang akan mas nikahi jika kamu sudah menerimanya dengan ikhlas." Adimas menarik tangan Alina untuk diletakkan diatas tangan Nada.
"Kamu mencintainya?" tanya Alina ragu.
Adimas kembali tercekak, pertanyaan itu yang sulit dia utarakan.
"Iya, mas mencintainya." Adimas menjawab lirih.
"Lalu apakah mas mencintaiku?" cetus Alina.
"Tentu saja mas begitu mencintai mu."
"Jika memang iya mas tidak akan melakukan hal bodoh ini." Alina mendesis kesal.
"Perempuan mana yang ikhlas membagi hak nya untuk perempuan lain?"
Adimas terdiam mendengarkan keluh kesah Alina dengan saksama.
"Jika mas mau menikah lagi, bolehkah aku juga menikah lagi?" sambung Alina masih dengan amarahnya.
Adimas tercengang mendengar ucapan terakhir Alina, rasanya panas diseluruh tubuh sampai naik keubun-ubun. Adimas menoleh sebentar, lalu melangkah pergi menuju jendela. Dalam hati, Adimas berbisik bahwa keinginan Alina tentu tak akan pernah ia setujui. Adimas tak pernah merasa sepanas ini mendengar ucapan Alina, selama ini dia hanya melihat sosok Alina yang tegar, seperti tidak takut apa pun. Tetapi sekarang, mengutarakan keinginan nya terlihat rapuh bahwa hidup perempuan itu tidaklah bahagia.
Di antara keheningan malam dan suara derik jangkrik, Adimas merasa bahwa ucapan Alina tidaklah sungguh-sungguh melainkan untuk pengalih rasa sakit nya di hadapan laki-laki yang sedang merobek hatinya. Suaranya terdengar getir, seakan-akan langit seperti ingin runtuh.
Alina beranjak dari duduknya, menatap sebentar ke arah Adimas, lalu pergi tanpa berpamitan. Adimas masih dibuat kebingungan sejenak ia terdiam kaku lalu mengejar Alina yang mulai hilang dari pandangannya.
"Alina tunggu!" teriak Adimas, tak digubris oleh Alina. Ia terus berjalan keluar.
Adimas meraih tangan Alina dengan cepat. " kamu mau kemana?"
Alina menoleh ketus, "Aku mau pulang, kamu gak usah mengantarku pulang."
"Lalu kamu pulang dengan siapa?" tanya Adimas heran.
"Taksi banyak, jangan pulang jika hatimu belum tenang!" Alina melepas genggaman Adimas dengan sekuat tenaga, satu tarikan saja membuat Adimas tersungkur kecil.
Adimas mengutuk dirinya sendiri, sudah jelas bahwa Alina belum siap menerima keadaan ini.
Share this novel