Sesampainya dikota Garut Adimas melepas kerinduannya bersama Alina, Alina memeluk suaminya sangat lama. Perasaan enggan untuk ditinggalkan Alina meneteskan airmatanya, Adimas semakin terkejut ia tak ingin melihat perempuan yang begitu berharga untuknya menangis walau hanya setetes saja.
"Sayang kenapa kamu menangis?" Adimas ketakutan.
Alina menghapusnya, " Aku pasti akan merindukanmu Mas."
"Cuma seminggu ko sayang, bersabar ya..." Adimas kembali mencium ubun-ubun Alina lalu berdoa.
Setelah 1jam beristirahat Adimas memutuskan untuk kembali keibu kota, teleponnya terus berdering membuat Adimas tak ada pilihan lain. Selepas berpamitan kepada ibu dan bapak mertua, Adimas memandang Alina dalam-dalam rasa bersalah semakin melubangi hatinya. Bukan karena jarak yang memisahkan, tapi perasaan yang sedang ia rasakan. Perasaannya terhadap dua perempuan.
****
Dijalan tol Adimas menepikan mobilnya untuk beristirahat direst Area, dirokohnya telepon genggam yang sedari tadi berdering. Perlahan ia scroll layar HP nomor yang tak dikenal menelponnya lebih dari 15 kali. Siapakah? Adimas menghubunginya kembali.
"Assallamualaikum.." sahut Adimas
"Waalaikumsalam.." jawab seorang perempuan.
Adimas tercekak, "Nada?"
Jantungnya mendadak berdebar berhamburan, kedua matanya berkedip cepat. Seperti seorang anak yang sedang mendapatkan hadiah ia pasti bahagia. Begitupula dengan Adimas perasaan bahagianya bisa mendengarkan kembali suara perempuan yang sedang ia kagumi.
"Baiklah..saya akan segera sampai disana tolong share lokasi.." Adimas bergegas untuk melanjutkan perjalanannya.
Raut wajah perempuan itu mulai tergambar dipikirannya, Adimas menghentak-hentakan kepalan tangannya diatas setir ia berusaha mengontrol perasaan yang seharusnya tak boleh semakin melebar. Tapi, usahanya sia-sia.
****
Dengan kecepatan tinggi Adimas sampai dikantornya, ia berlari untuk segera sampai keruang kerja. Setelah mendapatkan pesan singkat dari Nada, raut wajah Adimas semakin cemas.
"Mas, tolong aku...." ( pesan dari Nada, lalu nomornya tak bisa dihubungi lagi)
Suasana gelap diseluruh ruangan tak membuat Adimas berhenti mencari keberadaan Nada, setiap ruangan ia cek. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomornya tapi gagal kembali, kegelisahan Adimas semakin menghebat. Kedua kakinya lemas karena terus berlari tak henti-henti, dirokohnya saku celana untuk meraih telepon genggamnya. Rupanya ada telepon masuk, Alina menghubunginya disaat waktu yang tidak tepat. Dengan berat Adimas mengabaikannya, ia mengambil senter untuk kembali mencari keberadaan Nada.
Didepan pintu Adimas menghentikan kedua kakinya. Ruangan yang terkunci, instingnya semakin kuat bahwa Nada ada didalam. Beberapa kali Adimas memanggilnya tapi tak ada jawaban, akhirnya ia mendobrak pintu dan didapati Nada sudah terbaring lemas. Dengan cepat Adimas meraihnya, lalu menggendongnya untuk keluar dan pergi ke rumahsakit. Securty kantor meminta maaf berulang kali atas kecerobohan yang sudah dilakukan tetapi Adimas mengabaikannya, ada hal yang lebih penting yaitu Nada, ia harus segera mendapatkan penanganan medis.
Sesampainya dirumahsakit Nada segera ditangani oleh tim medis, berulang kali Adimas membolak-balikkan badannya. Dikepalnya dengan penuh amarah lalu dihentakkan ketembok beberapa kali sampai keluar darah segar. Hatinya sedikit lega, Adimas tak mampu mengendalikan kegelisahan yang semakin sulit ia hentikan. Kedua lututnya kaku, akhirnya Adimas menyungkurkan tubuhnya kebawah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam pikiran dan hatinya sedang beragumen hebat.
30menit berlalu, Adimas terperangah ia teringat kembali bahwa Alina menelponnya sejak tadi, ia tak ingin membuat Alina khawatir karena ini pertama kalinya Adimas mengabaikan panggilan dari Alina. Adimas meraih teleponnya dan menghubungi kembali Alina, mungkin saat ini perempuan itu sedang cemas.
"Assallamualaikum sayang.."
"Maaf mas baru bisa menghubungi sekarang, tadi sesampainya dikantor Mas langsung pulang lalu ketiduran..." cetus Adimas berbohong.
"Mas baik-baik saja sayang, udah ya jangan cemas lagi.. " sambung Adimas lalu mengakhiri teleponnya dengan Alina, ia tak ingin semakin jauh berbohong.
Sesak didada semakin terasa nyaris sulit untuk bernapas, Adimas menyandarkan kepalanya kebelakang. Ia mengelus dahinya mengingat kebohongan yang sudah ia lakukan, seluruh tubuhnya terasa sakit seperti semua tulang akan meloloskan diri. Disana ada perempuan yang sudah menemaninya selama 8tahun yaitu Alina. Disini ada perempuan yang dengan beraninya menariknya masuk kedalam dunianya dengan mudah yaitu Nada. Lalu, Adimas laki-laki yang sudah beristri tapi begitu mudahnya tergoda menjaga pandangan dari yang bukan haknya.
1jam berlalu, Dokter keluar dari ruangan. Dengan cepat Adimas beranjak dari kursi lalu menanyai dokter itu dengan seribu pertanyaan kegelisahan yang ada didalam pikirannya.
Dokter bertanya, " maaf, anda suaminya kah?"
Deg...deg...degg detak jantung Adimas berdegup cepat, apa yang harus ia lakukan menjawabnya lalu berbohong atau jujur sejujur-jujurnya.
"Iya dok, saya suaminya" Adimas gelagapan, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa menyakitkan.
"Pasien sudah ditangani untungnya anda cepat membawanya, ia nyaris kehilangan nyawa karena penyakit yang sedang ia derita." Sambung Dokter.
Adimas menggigit kedua bibirnya, matanya tak berkedip, "penyakit? Ia sakit apa dok..."
Dokter tersenyum,ia tau bahwa laki-laki dihadapannya benar-benar sedang mencemaskan istrinya.
"Asma, cukup akut...tapi dari pihak kami sudah menanganinya."
"Apa harus dirawat dok?" Tanya Adimas kembali.
"Iya, untuk memulihkan kembali." Dokter mengangguk lalu izin untuk pergi.
Dipandanginya dari balik kaca, Adimas menempelkan wajahnya. Perempuan yang sedang terbaring lemah itu tak mampu membalas tatapan kecemasan Adimas, suster mempersilahkan Adimas masuk kedalam ruangan. Dengan ragu Adimas menghampiri dan memegang gagang pintu, seketika terdiam benarkah jalan yang ia ambil?.
******
Jauh dari ibu kota, Alina masih setia menunggu kabar dari Adimas. Sejak teleponnya dimatikan Adimas tak memberi kabar kembali, jam sudah menunjukkan pukul 02:00 wib dini hari. Alina beranjak untuk shalat Sunnah entah kenapa hatinya terus gelisah.
Diakhir shalatnya Alina menyelipkan sebuah doa,sebuah harapan untuk membuatnya terus berprasangka baik terhadap suaminya.
*********
Tanpa sadar Adimas mulai kelelahan seharian ia belum beristirahat, akhirnya Adimas tertidur disamping Nada dengan posisi tangan masih menggenggam erat tangannya. Suasana pagi mulai terasa, sinar matahari menyentuh lembut wajah Adimas, seketika Adimas terperangah wajah ngantuknya masih tergambar jelas diwajahnya. Ia menatap kearah Nada, rupanya ada sambutan pagi dengan senyuman tipis. Nada sudah mulai siuman dan ia memandang Adimas dengan berbeda.
"Ahh, maaf.." Adimas melepaskan genggamannya.
Nada terdiam tak memberi respon apapun ia hanya terus memandang Adimas, pandangannya membuat Adimas salah tingkah.
"Terimakasih pak.." Ucap Nada sedikit lirih.
Adimas kembali menatapnya, " Sudah kewajiban sesama manusia harus saling menolong kan?"
Nada mengangguk mengiyakan ucapan Adimas, beberapa menit mereka terdiam Adimas berpamitan untuk pulang karena harus kembali bekerja.
"Kamu istirahat dahulu, jangan pikirkan untuk masuk kerja." Adimas berlalu dari pandangan Nada.
******
Selepas Adimas pergi meninggalkan ruangan, Nada membaringkan kembali tubuhnya. Beberapa saat ia terdiam kedua matanya terpejam perlahan, ada sesuatu yang mengganjal perasaannya kini, ini pertama kalinya Nada memikirkan seseorang yang bukan muhrimnya. Pertemuannya dengan Adimas tak sengaja membuat hatinya terlena, meski ia tau bahwa Adimas sudah beristri.
****
Keesokan harinya Adimas mulai membiasakan diri, mengontrol diri jika berada disamping Nada. Ia tak ingin terjerumus dalam Dosa besar, disisi lain ada Alina yang sedang mengandung mungkin ini cobaan untuk imannya? Adimas kembali merenung diatas balkon menjelang subuh, beberapa kali ia mengusap dahinya yang mulai resah. Debaran dijantungnya selalu berdegup hebat jika sesuatu itu mengenai Nada, perasaan yang terselip tak mampu teruraikan. Adimas mengepalkan kembali kedua tangannya, kekacauan yang akan terjadi jika ia terus memendam perasaan yang salah.
Adimas menyerahkan dirinya diatas sajadah, desak tangis yang mulai menetes memecahkan kegemingan diwaktu subuh. Begitu lemah imannya sehingga begitu mudah mencintai 2 perempuan, andai waktu itu ia mampu menjaga pandangannya mungkin tak ada sesuatu yang masuk kedalam hatinya sehingga menancap dalam sulit untuk dilepas. Tak ada pilihan lain Adimas harus berhenti sebelum terlambat.
Selepas shalat subuh, Adimas menelpon Alina melepaskan kerinduan yang memendung.
"Assallamualaikum sayang?" Adimas menyambut Alina dari balik telepon.
"Bagaimana kabarmu sayang? Mas sangat rindu sekali, kandungamu baik-baik sajakan.." sambung Adimas.
"Yasudah..jangan macam-macam ya disana inget loh udah punya suami, mas mau siap-siap berangkat kerja dulu.. Assallamualaikum." Adimas mengakhiri panggilannya dengan Alina, hatinya sedikit lega mendengar suara Alina.
****
Selepas menerima panggilan dari Adimas, Alina masih terdiam disamping tempat tidur perasaannya kembali gelisah. Dari nada bicara Adimas ia tau bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggunya, Alina kembali beristigfar berusaha menepis jauh-jauh kegelisahannya agar ia selalu berprasangka baik terhadap suaminya sendiri.
****
Selepas menelpon Alina, Adimas bersiap untuk masuk kerja. Setelah berpakaian rapih ia meraih teleponnya, beberapa langkah ia keluar kamar ada pesan singkat masuk.
( Maaf pak .. mengganggu saya mau minta tolong, bisakah kerumahsakit sebentar )
Adimas berlari menuju mobil, setelah membaca pesan dari Nada kecemasannya kembali muncul. Adimas lupa akan usahanya untuk berhenti memperluas perasaannya terhadap Nada. Tapi sayang jika sesuatu hal yang terjadi berhubungan dengan Nada, Adimas melupakan segalanya termasuk anak dalam kandungan Alina.
Beberapa menit kemudian, Adimas sampai dirumah sakit. Dimana Nada sedang dirawan intensip disana, Adimas kembali berlari menuju ruangan tak perduli beberapa mata memandanginya aneh. Adimas tetap dengan tekadnya segera sampai dan menemui Nada.
Dengan napas tersenggal Adimas mengucapkan salam dari balik pintu.
"Assallamualaikum." Adimas masuk kedalam.
Nada menjawab dengan cepat, "Waalaikumsalam."
"Kamu baik-baik saja kan?." Cemas Adimas.
"Iya pak saya sudah sehat." Nada mengangguk.
"Lalu pesan yang kamu kirim itu.." Adimas menghentikan gerak bibirnya.
"Saya mau minta tolong antarkan saya pulang Pak, kebetulan hari ini saya sudah boleh pulang dan besok bisa kembali kerja." Nada beranjak dari pembaringannya.
"Sudah duduk saja disitu, biar saya yang membereskan semuanya."
Nada terdiam kembali, dipandanginya Adimas yang mulai membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang, rasa kagum mulai muncul.
"Maaf..pakai kembali hijabmu." Adimas mulai memakaikan dikepala Nada.
Nada menunduk perlahan, dilihatnya kedua tangan Adimas semakin mendekat kearah kepalanya, dengan ragu Nada menghentikan gerakan Adimas. Nada menghela napas, ia tak ingin ada yang melihat kesalah pahaman yang akan membuatnya semakin berdosa.
Nada mengelak, " Maaf pak, biar saya sendiri."
Adimas terkejut, ia menghentikan tangannya dan berpindah posisi. Adimas memandangi wajah Alina yang sedang memasang hijab dikepalanya, meski takut ia tetap melihat Nada. Perempuan itu semakin memancarkan cahaya diwajahnya, Adimas melemah.
Selepas semuanya selesai Adimas meraih kursi roda, dengan malu Adimas mempersilahkan Nada untuk duduk diatasnya. Didorongnya perlahan keluar mengitari seluruh rumahsakit, Keduanya terdiam. Tak ada perbincangan yang lebih keduanya hanya terdiam.
Share this novel