Alina membaringkan tubuhnya dengan mata sembab karena terus menangis, pikiran nya semakin kacau. Diratapi telepon genggam nya dari jarak kejauhan, mungkin hanya berjarak 20cm. Keinginan batin nya untuk menelpon Adimas menceritakan semua keluh kesahnya dan meminta untuk meninggalkan perempuan itu.
Alina mulai mencerna baik-baik nasihat sang Ibunda, seperti ada sesuatu yang menyejukkan menyeruak masuk ke dalam rongga dada. Keinginannya untuk menelpon Adimas terus terngiang dalam batin, egoisnya terus menarik ulur keyakinannya untuk terus berprasangka baik terhadap suaminya.
Namun, jika Adimas benar-benar mencintai Alina karena Allah, tentu cintanya tidak harus di bagi apalagi mensabotase karena dosa ia memilih untuk berpoligami, keikhlasan Alina diuji, apakah ia akan tetap patuh dan bertahan atau melepaskan lalu kabur untuk lari.
Alina terus memaksa otaknya untuk berpikir jernih, ia ingin belajar menyerahkan diri dalam keadaan ikhlas yang sesungguh nya. Mempertahankan apa yang harus dipertahankan, Alina menyerah akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Adimas setelah beberapa jam bernegosiasi dengan batinnya sendiri.
Mencoba untuk tetap biasa, hati-hati Alina meraih telepon genggam nya. Lalu, ia mulai menekan setiap tombol angka, sungguh saat ini ia butuh tempat untuk bersandar mencurahkan seluruh kegundahan tanpa ada seorang pun yang tahu. Alina menghapus buliran bening itu dengan paksa ketika suara Adimas terdengar dari balik telepon, Adimas mengucap salam lalu Alina menjawab dengan hangat, Alina menghentikan gerak bibirnya meminta ampunan kepada sang maha Pencipta, lebih banyak lagi kesabaran yang ia pinta. Setiap mendengar suara Adimas luka itu kembali menyayat dengan tipis.
****
Jauh di sana, Adimas menunggu dari balik telepon yang sedang ia genggam dengan erat berharap ada secercah keyakinan untuk mencoba kembali meyakinkan Alina, mengikhkas kan agar takdirnya berjalan dengan semesti nya.
Adimas menggenggam erat tangan Nada, menarik napas berat, lalu berkata. "Alina? jika kamu sulit ikhlas, lebih baik. Kita bercerai saja."
Adimas melepaskan genggaman nya lalu beranjak pergi keluar meninggalkan Nada sendiri di dalam ruangan, kedua kaki nya lemas tak tertahankan dengan melangkah pelan Adimas duduk di bangku halaman belakang rumah sakit dengan dan masih tersambung dengan Alina yang belum berbicara sedikit pun. Sebenarnya Adimas sendiri pun belum sanggup melepaskan Alina, tapi Adimas tak ingin semakin jauh melukai hati Alina.
Sepoy-sepoy angin perlahan menjatuhkan dedaunan kering menerpa di hadapan Adimas, langit seperti mendung seketika merasakan apa yang sedang Alina rasakan saat ini. Berulang kali Adimas memanggil dengan lirih tapi hanya isak tangis yang terdengar lantang dan pasrah, Adimas menekan tombol merah pertanda mengakhiri panggilan Alina.
Kedua pundaknya terguncang hebat, Adimas menyenderkan punggung nya ke belakang mengusap dengan sabar dada nya yang terasa nyeri luar biasa. Tetesan menyakitkan kembali membasahi setiap sudut kelopak mata, pertanda bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
****
Alina melemaskan kedua tangannya, telepon genggam nya tergeletak tak berdaya di lantai. Isak tangis nya kembali pecah dan berhamburan dengan terbata-bata Alina terus mengucap Istigfar tak henti, mengelus dada nya berulang-ulang kali. Alina melepas paksa infusan yang menempel lekat di tangan kanan, dengan darah yang sedikit bercucuran Alina berjalan keluar ruangan.
Sakit yang masih terasa di area perut nya tak begitu sakit dengan apa yang sedang hatinya rasakan, dengan perlahan Alina menaiki setiap anak tangga dengan cahaya yang tak begitu terang , tangan kanan mengelus perutnya yang terasa seperti kontraksi satu tangan nya memegangi besi tangga satu-satu penguat ia untuk terus berjalan.
Alina terus meminta ampun atas batin nya yang belum sekuat baja, belum sekuat pohon yang diterpa angin tetap berdiri kokoh. Alina beristigfar, merangkul kedua tangan nya dan menarik ulur alur napas yang terasa seperti hembusan yang menusuk tajam seperti pedang.
Share this novel