BAB II

Horror & Thriller Completed 15839

“Mas, aku hamil!” Teriak Sekar sambil berlari ke arah Mardian.

“Hah? Kau hamil? Benarkah?”

Sekar melompat dan memeluk suaminya. Ia segera memeluk leher Mardian dengan kedua lengannya.

“Akhirnya kita jadi orang tua. Aku bisa menjadi ayah!”

Mardian tertawa lebar sampai tak sanggup membuka matanya. Sementara itu, Sekar masih belum juga melepaskan pelukannya.

“Mas, aku ingin menamai anak kita dengan nama Michael.”

Bisikan Sekar itu menghentikan tawa suaminya. Mardian tersenyum, membuka matanya, dan membelai punggung Sekar sebelum balas berbisik.

“Jangan Michael, Sekar. Aku takut anak kita akan repot menanggung nama itu bila ia sudah besar. Kita tidak hidup di kota. Kita hidup di desa ini dengan orang-orang yang masih menutup hati mereka kepada kita. Aku takut anak kita akan menderita dengan nama itu.”

Sekar melepas pelukan yang sedikit menyiksa nafas Mardian itu dan menatap kekasihnya.

“Lalu apa?” Tanyanya

Mardian tersenyum lagi dan diam sejenak sebelum menjawab.

“Bagaimana kalau Bayu?”

“Hah?” Alis Sekar mengernyit

“Bayu. Aku ingin anak kita punya nama Bayu. Bayu Perdana, Bayu Pamungkas, Bayu Prasetyo, atau yang lain.”

Sekar sedikit merengut dan menurunkan tatapannya sebelum melirik kembali ke arah Mardian.

“Tapi nama-nama itu tidak keren.”

“Aku hanya ingin anak kita selamat.”

Sekar tersentak. Ia membuka matanya dan kosong sejenak. Tubuhnya masih menyatu dengan kasur. Wanita itu mencoba mengumpulkan kesadarannya. Kelopak-kelopak matanya masih belum sepenuhnya perkasa. Sebagian wajahnya juga masih tertanam dalam hangat tubuh sang bantal.

Sekar menggerakkan tubuhnya. Pandangannya masih berkunang. Ia menarik nafas beberapa kali. Ada sedikit rasa sakit di bagian bawah perutnya. Tangan kirinya menyentuh bagian itu dan memijatnya. Alisnya segera berkerut. Rasa ini memaksanya untuk menghentikan pijatannya. Sekar menoleh ke samping. Jendela kamar terbuka lebar dan sinar matahari masuk sepenuhnya ke dalam kamar. Sekar menutup matanya kembali. Sedikit demi sedikit, ia mulai mendengar suara kicauan burung-burung. Begitu damainya suara itu, begitu hangatnya sinar mata dewa ini. Sekar terus menutup matanya sampai akhirnya ia mendengar sayup-sayup suara manusia.

Di dapur, Bu Lastri mengaduk beras di dalam ketel yang sudah berisi air. Sementara di balai-balai, Mardian duduk lemas melihat ke tungku.

“Saya masih khawatir bagaimana perasaan Sekar saat melihat Bayu.”

Bu Lastri menoleh ke arah Mardian.

“Dari kemarin kau tidak bersemangat. Kau tidak boleh begitu,” kata wanita itu. “Mau bagaimana atau seperti apa, kita semua harus bisa menerimanya, termasuk Sekar yang jelas-jelas ibu kandungnya. Tuhan memberi kita bayi yang seperti itu juga pasti ada alasan baiknya.”

“Kenapa? Kenapa ini terjadi pada kami? Kami akan kesulitan untuk membawa anak itu keluar rumah. Apa akan orang kata? Bagaimana kami akan menyekolahkannya? Bagaimana kami akan mengenalkannya pada pasar malam atau membawanya piknik?”

Bu Lastri memungut beberapa kayu bakar di samping tungku dan memasukkannya ke dalam tungku tersebut. Setelah itu, ia mendekatkan ujung pipa bambu ke mulutnya dan memasukkan ujung yang satunya lagi ke dalam tungku. Bu Lastri menarik nafas dan meniup api di dalam tungku melalui pipa itu beberapa kali. Bara memerah. Api perlahan membesar dan mulai membakar semua kayu di dalam tungku. Setelah cukup, ia meletakkan pipa itu di samping kursi kecilnya dan diam menatap api.

“Bayu memang punya fisik janin berusia 3 bulanan.” Katanya. “Bagian-bagian tubuhnya masih belum sempurna. Ibu pun juga merasakan hal yang sama seperti kalian. Kita hidup bersama dalam satu rumah tidak mungkin ibu tidak ikut memikirkannya. Hanya saja apa yang dapat kita lakukan sekarang ini? Kita masih punya Tuhan, Mardian. Banyak-banyaklah berdoa. Siapa tahu, Dia sudi mengubah nasib kita.”

Mardian masih menatap mertuanya itu.

“Bu, apakah ini karena Sekar hamil di luar nikah?”

“Sudah, Mardian!” Tegas Bu Lastri. Lalu, ia melirihkan suaranya walau tetap menekan. “Jadilah laki-laki yang kuat! Kau ini sudah jadi ayah, tidaklah pantas kau terpuruk dalam penyesalan! Hadapi kenyataan di depanmu! Hadapi kondisi kita yang seperti ini!”

“Tapi saya sudah menderita dengan kehidupan kita, bu! Tetangga sudah membuang kita! Tidak sadarkah ibu bahwa para tetangga masih saja acuh bahkan menginjak-injak harga diri kita? Siapa di antara mereka yang tahu bahwa Sekar sudah melahirkan? Siapa yang akan peduli? Bila mereka melihat kondisi Bayu, bisa jadi mereka meneriaki Bayu anak setan!”

“Cukup!”

Bu Lastri berdiri. Ia memelototi Mardian dengan matanya yang berkaca. Mardian tak membalas tatapannya dan menunduk untuk menjelajahi perasaannya saat ini. Sementara itu di dalam kamar, Sekar berusaha untuk bangun. Ketika ia berhasil duduk, ia meringis dan tangan kanannya langsung menangkap bagian perutnya. Ia mengelusnya dan merintih. Sekar menggerakkan pinggang dan pantatnya beberapa kali. Berhasil, rasa perihnya berkurang. Sekar menata diri dan melihat sekeliling. Tak butuh waktu lama, pandangannya terkurung oleh sesuatu yang menarik hatinya beberapa langkah di depannya.

Sebuah tempat tidur bayi dari kayu berdiri di sana. Dari celah-celah bibir tempat tidur itu, Sekar melihat sesuatu yang berwarna putih terbaring di sana tak bergerak.

Jantung wanita itu berdegub pelan tapi kuat saat melihatnya. Tak menunggu lama, rambut halus di tangannya berdiri disusul rambut-rambut di tengkuknya. Ia memusatkan tenaganya ke kedua kakinya. Sekar berusaha berdiri. Tangan-tangannya mendorong permukaan kasur. Ia mencoba bangkit dan mencampakkan semua rasa yang mendera.

Tubuhnya tiba-tiba terguncang dan Sekar kembali terduduk di kasurnya. Ada sebuah gelombang tak terlihat yang menghempaskan keberanian Sekar ke titik nol. Semua rambut halus tubuhnya masih meremang. Tubuh Sekar kaku, udara di dalam ruangan tak seperti biasanya.

“Mas Mardian!”

Suara lemah Sekar merobek keheningan kamar dan sampai ke dapur. Mardian tanggap dan segera berlari ke dalam kamar. Bu Lastri yang masih mengaduk buburnya ikut beranjak dari kursi.

Mardian melihat Sekar yang berada dalam posisi duduk di tepi kasur. Ia mendekat padanya dan memeluknya.

“Sekar? Kapan kau bangun?” Bisik sang suami.

“Anak kita.. Mas, aku ingin melihat anak kita.”

Mardian tak menanggapinya. Ia masih memeluk Sekar dengan perasaan yang mulai berputar.

“Mas...”

Mardian melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Sekar yang masih pucat. Ia membelai-belai rambut kekasihnya tanpa tahu bagaimana harus menghadapi apa yang paling ia takutkan. Tak lama kemudian, Bu Lastri masuk ke ruangan. Ia langsung duduk di samping Sekar dan meraba bahu serta rambut sang anak.

“Mas, aku ingin melihatnya,” ulang Sekar lirih.

Mardian berpandangan dengan Bu Lastri. Ia menarik nafas panjang sebelum melangkah menuju ke tempat tidur bayi itu. Bu Lastri menatap Sekar.

“Bayu adalah anak yang lucu. Ia pasti belum bangun sekarang. Ibu akan memapahmu menuju ke sana. Sini, letakkan tanganmu ke sini...”

“Tidak perlu. Bayu sudah bangun.”

Bu Lastri dan Sekar menatap Mardian. Lelaki itu memungut sosok bayi di dalam tempat tidur mungil dan menggendongnya. Mardian diam sebentar memandang ke jendela yang membukakan sinar mentari hangat nan terang. Lalu, ia berbalik arah. Detik ini, Sekar melihat bagaimana wujud si kecil yang memberinya pengalaman buruk sehari kemarin.

Sekar menutup mulutnya saat melihat Bayu. Seluruh tubuh lemah seketika. Namun, tatapannya masih menyatu di sosok Bayu yang tak lazim. Di sampingnya, Bu Lastri mengelus kepala Sekar. Air mata mulai berlinang, ritmis rasa duka terlahir dan mengecat rongga hati Sekar. Kepala wanita itu bersandar di bahu sang ibu. Ia menggeleng.

“Itu bukan Bayu, kan?” tanya Sekar bergetar.

Wanita itu hanya dapat tersungkur di pelukan ibunya sembari masih menatap Bayu di dekapan sang suami.

“Itu anakmu, Sekar,” bisik Bu Lastri lembut. “Itu Bayu.”

Sekar menggeleng dan mulai terisak. Dadanya bergerak cepat naik dan turun terbawa nafas yang tak teratur.

“Itu bukan Bayu, bu. Itu bukan Bayu. Bayu tidak seperti itu. Bayu adalah bayi yang lucu dan normal. Bayu adalah bayi yang normal...”

Bu Lastri memeluk anak perempuannya itu. Ia membenamkan kepala Sekar ke dalam pelukan di dadanya. Sementara itu, air mata Mardian keluar dan mengalir ke pipinya. Butiran itu kemudian turun sampai ke dagu dan menetes. Bayu bergerak. Ia merasakan ada sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kepalanya. Anak itu mengangkat wajahnya. Ia melihat sang ayah menahan tangis. Namun, Mardian melihat reaksi anaknya ini. Ia tersenyum dan menggunakan salah satu tangannya untuk mengusap air matanya yang mengenai kepala Bayu.

“Kami akan selalu mencintaimu, Bayu, “ lirihnya sambil mengecup sang buah hati.

***
 
Mardian mengayuh sepeda keranjangnya di jalan utama desa Jogomakmur pagi ini. Kurang lebih pukul delapan pagi, angin yang bertiup masih membawa partikel dingin melalui sela-sela hutan desa. Pandangan Mardian menyisir rumah demi rumah yang berada di antara hijau. Beberapa warga perempuan sibuk membersihkan beras di pelataran. Asap-asap putih mengepul dari balik genteng. Ayam-ayam mengais sesuatu di tanah dan kambing-kambing riuh mengembik dari dalam kandang. Mardian hanya melewati semua itu tanpa bersuara dan tanpa tersapa.

Sepuluh menit kemudian, pria itu sudah melewati perbatasan dan memasuki wilayah desa Agung Sari yang bersebelahan dengan desanya, Jogomakmur. Sampai di depan pagar sebuah rumah, Mardian menghentikan sepedanya. Dua sosok harimau dari batu menyambutnya di sisi kanan dan kiri pintu gerbang. Beberapa kaki di dalam gerbang itu, berdirilah sebuah rumah dengan cat kuning dan merah di kisi-kisinya. Pintunya besar dengan warna merah dan berornamen. Sebanyak enam pilar merah menjadi penyangga atap teras. Mardian mengamati rumah itu dan turun dari sepeda.

Mardian mendorong pintu pagar. Ia melangkah kembali ke sepedanya dan menuntunnya masuk ke dalam halaman. Dua buah pohon beringin berada di sisi kiri dan kanan halaman rumah. Tidak ada rumput di halaman itu, hanya tanah dan dedaunan yang berguguran menghiasinya. Mardian menurunkan standar sepedanya di sebelah salah satu pohon beringin. Ia mengamati pohon besar itu. Akar-akar gantungnya menjuntai sampai di atas kepala Mardian.

“Sudah  saya katakan mas tidak boleh kemari tanpa ijin dari saya!”

Suara itu mengejutkan Mardian. Mardian membalik badannya dengan sekonyong-konyong dan melihat sesosok wanita berdiri di depan pintu rumah. Wanita itu berambut panjang tergerai dan mengenakan kaus berwarna hijau dan rok hitam. Tidak lama bagi Mardian untuk memanjakan keterkejutannya. Pria itu melempar senyum yang dirangkai dengan anggukan kepala.

“Mbak Ning Ayu,” sapanya seraya sedikit membungkukkan badan.

Sementara itu di rumah, Sekar duduk di atas ranjangnya. Dalam pelukannya, Bayu menyusu tak bergerak. Seringkali, mulut mungil yang belum sempurna itu menghisap dengan kuat dan membuat Sekar merintih.

“Bayu, pelan-pelan, ih!”

Sekar menarik putingnya dari dalam mulut Bayu. Ia memijit serta memelintirnya sebentar. Bayu menatapnya dan tangannya yang kecil mencoba menggapai tangan Sekar.

“Sebentar, Bayu! Kamu membuatku sakit, tahu! Bagaimana bisa makhluk sekecil kamu menghisap begitu kuat..?”

Di saat Sekar menggerutu terhadap anaknya, Bu Lastri muncul dari balik pintu kamar dan mendekati Sekar.

“Bagaimana? Bayu sudah cukup kenyang?” Tanyanya.

“Bayu baru saja membuat putingku sakit. Ia terlalu keras menghisapnya!”

Bu Lastri membelai kepala Bayu yang tanpa rambut dengan beberapa penampakan otot-otot kepala yang hijau kelabu menyebar seperti akar-akar tersamar. Sang bayi memalingkan pandangannya ke sang nenek. Melihat hal ini, Bu Lastri mengembangkan bibirnya.

“Bayu, ayo kita mandi,” kata Bu Lastri melembut. “Nenek akan memandikanmu.”

“Ya sudah cepatlah, bu! Aku lelah. Tenagaku masih belum pulih. Aku masih ingin istirahat tanpa diganggu.”

Sekar menyerahkan bayi itu pada Bu Lastri. Ia lantas memposisikan diri di atas kasur dan menarik selimutnya sampai ke pundak. Ia beringsut ke samping, memeluk gulingnya, dan langsung memejamkan mata. Nyaman. Bu Lastri meremas paha Sekar sambil tersenyum dan membawa Bayu ke luar kamar. Sesaat setelah dua orang itu pergi, Sekar kembali membuka matanya. Ia termenung dan berargumen dengan dirinya sendiri.

“Aku tidak mungkin punya anak seperti itu,” batinnya. “Bayu pasti anak orang lain. Pasti anak orang lain...”

Tak ada yang tahu. Air mata Sekar menggelincir ke atas bantalnya. Bu Lastri sudah berada di dalam kamar mandi. Ia membuka satu demi satu kancing baju Bayu dan menaruh anak itu ke dalam sebuah baskom. Tangan Bayu meraba-raba bibir baskom. Bu Lastri tersenyum dan mulai menangkan air ke dalam baskom sedikit demi sedikit. Bayu menatap setiap air yang mengalir. Ia mengamati perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Bayu menoleh ke kanan, kiri, dan bawah. Ia mengangkat tangannya yang kini basah oleh air itu. Dari matanya yang bulat, Bayu melihat perbedaan warna kulit dan cahaya pada bagian yang terkena air. Ia menggelinjang merasakannya.

“Ini namanya Air,” ujar Bu Lastri. Ia mengangkat tubuh Bayu dan mengusapnya dengan tangan yang sudah basah. Bayu ikut mengusap dada dan perutnya sendiri.

“Kau masih harus menggunakan air hangat, agar tidak masuk angin.”

Bu Lastri menyeka tubuh cucunya itu pelan-pelan. Lalu, ia terpikir untuk menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul. Wanita paruh baya itupun bernyanyi sambil sesekali mencubit pipi gembul Bayu.

Di rumah Ning Ayu, Mardian duduk di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Hampir tak ada suara di dalam rumah itu. Cahaya matahari juga tersaring oleh sosok besar pohon-pohon beringin di halaman depan. Sebagian ranting-rantingnya memayungi rumah itu dan menjaga udara tetap lembab. Di ruang tamu, Ning Ayu duduk berhadapan dengan Mardian. Wanita itu menatap Mardian tanpa berkedip dengan punggung yang tegak. Mardian meremas-remas tangannya sendiri dan tak membalas tatapan sang dukun.

“Saya sudah berkata mas tidak boleh menemui saya sebelum saya menemui mas terlebih dulu. Kenapa mas tidak menuruti saya?”

Ning Ayu membuka pembicaraan. Ia melipat tangannya di depan dadanya. Mardian sesaat menatap sang dukun, tapi akhirnya kembali tertunduk. Tangan kanannya merogoh saku kemejanya untuk mengambil sebuah benda berwarna putih. Ia membuka lipatannya dan menyerahkan kepada Ning Ayu dengan kedua tangannya.

“Saya ingin membayar Mbak Ning. Kemarin, kami belum sempat membayarnya karena mbak sudah terlanjur pergi.”

Ning Ayu masih bersedekap. Ia sama sekali tidak melirik amplop itu. Tatapannya masih ke titik antara dua mata Mardian. Mardian lantas meletakkan amplop itu di atas meja. Ia menarik tangannya kembali ke pangkuannya.

“Tujuan mas datang kemari tidak hanya masalah uang itu, bukan?”

Mardian mengangkat dagunya. Kata-kata Ning Ayu tak terbantahkan. Mardian menelan ludah tanpa ia sadari. Ning Ayu tetap tak bergerak di atas kursi. Menyadari situasi sudah begini, Mardian mencondongkan badannya ke depan.

“Mbak Ning, saya sungguh ingin tahu apa yang terjadi pada anak kami.”

“Saya tidak tahu.”

“Tapi kemarin mbak mengucapkan kata Onum!”

“Cukup!”

Angin bertiup. Dedaunan beringin berhamburan ke teras rumah, sebagian masuk melalui pintu dan mendarat di samping Mardian.

“Kami sudah melihatnya, Mbak Ning! Saya dan mertua saya melihatnya! Anak kami merangkak keluar dari rahim Sekar. Apakah ada bayi yang seperti itu sebelumnya? Bahkan, bayi itu belum menangis sampai detik dimana saya meninggalkan rumah saya sejam yang lalu!”

Suara Mardian lebih lirih tapi terasa mencekat. Ia berani menatap sang dukun sekarang. Perasaannya sudah digumuli oleh makhluk-makhluk liar yang disebut keresahan. Di sisi lain, meski merasakan perubahan getaran aura dalam tubuh Mardian dan melihat mata lelaki itu yang sudah penuh tekanan, Ning Ayu tetap bergeming.

“Anak itu tidak akan pernah menangis.”

“Iya, tapi kenapa?!”

Mardian menggebrak meja di depannya. Otot-otot di leher dan pelipisnya terlihat. Deru nafasnya kuat dan terdengar bergetar. Ning Ayu tak mengalihkan tatapannya. Mardian kembali tertunduk.

“Saya takut hidup kami jadi menderita karena dia. Saya takut para tetangga jadi makin menjauh dan mencibir kami. Saya takut akan hal-hal buruk yang bisa terjadi pada kami karena kelahiran Bayu.”

Pundak Mardian tiba-tiba berguncang. Ia menggunakan telapak tangannya untuk menutup kedua matanya. Isak tangis langsung tersedu, Mardian mencoba untuk menahannya.

“Para warga sudah mengasingkan keberadaan kami. Mereka tidak menyukai kami. Setiap kali ada acara desa, mereka selalu memanfaatkan kami untuk bekerja paling keras. Kami sudah tidak punya kesempatan untuk membangun hubungan yang baik dengan mereka. Sekarang kami punya Bayu dengan wujud seperti itu. Bagaimana jika warga sampai melihatnya? Saya tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada kami.”

Ning Ayu menarik nafasnya.

“Saya tidak akan peduli masalah pribadi mas atau keluarga Mas Mardian seluruhnya. Saya tidak punya hak dan tidak akan pernah ikut campur hidup orang. Walaupun terkait dengan anak itu, saya sedikit tahu.”

Mardian memandang Ning Ayu, memperlihatkan mata yang sembab dan memerah.

“Mbak Ning, tolong beri tahu saya, sebenarnya apa yang terjadi pada anak saya? Kenapa dia bisa merangkak keluar seperti itu? Kenapa dia tidak pernah menangis seperti bayi lainnya? Kenapa juga kulitnya begitu putih, urat-uratnya terlihat di beberapa bagian, dan bentuknya seperti janin yang berusia 3 bulanan? Kenapa waktu itu mbak menyuruh kami untuk memberi nama Onum? Apa arti Onum itu, Mbak Ning Ayu?”

Ning Ayu menarik nafas panjang. Untuk sejenak, ia membiarkan bunyi detak jam dinding mengisi suasana.

“Akan ada waktunya saya membeberkan beberapa hal tentang Onum, anak Mas Mardian, atau Bayu itu, tapi tidak sekarang. Lebih baik, Mas Mardian menjaga O.. eh, Bayu dengan baik. Jaga kesehatannya, jaga perasaannya, jangan melakukan apapun yang membuatnya marah. Jangan khawatir, cara perawatannya sama seperti perawatan bayi pada umumnya.”

“Tapi Mbak Ning, apakah Bayu memiliki kekuatan supranatural? Apakah dia memang punya kekuatan gaib?”

“Saya kurang begitu tahu karena dia baru saja lahir. Sebaiknya, mas tidak perlu memikirkannya. Urus dan rawatlah Bayu secara normal dan penuh kasih sayang. Jangan sampai ia terlantar hanya karena ada pihak keluarga yang tidak menyukai keberadaannya.”

Air mata Mardian di pipinya sudah cukup kering, sementara linangan di mata sudah menghilang. Nafasnya kembali melambat dan teratur. Apalagi, setelah ia melihat seberkas senyum dari bibir sang dukun.

“Mas Mardian ikhlas menerima pemberian Tuhan itu, kan?”

Mardian hanya tertunduk dalam resah. Namun, akhirnya ia mengangguk kecil sambil memaksakan diri untuk ikut damai.

“Banyak-banyak berdoa saja, Mas Mardian. Semua petaka tidak akan datang kalau bukan kita yang memulai.”

Mardian menatap Ning Ayu penuh arti. Kata-kata itu terdengar bak kaca pecah dalam relung ruang hati Mardian. Seketika ia teringat akan masa lalunya, tapi hanya berlalu begitu saja. Mardian mengangguk lemah dan mengembangkan bibirnya.

Sementara itu, Bu Lastri baru saja selesai memandikan Bayu. Sekar yang tengah berbaring merasakan seluruh rambut halusnya berdiri. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat ibunya memasuki ruangan dengan menggendong Bayu. Bu Lastri membawanya ke tempat tidur bayu yang mungil.

Bu Lastri membuka handuk yang melilit tubuh Bayu dan berjalan menuju ke lemari. Ia memilah-milah beberapa pakaian kecil dan mendapatkan satu yang mengundang ketertarikannya.

“Dari dulu sewaktu beli ini, nenek ingin cucu nenek memakainya. Sekarang, kamu sudah lahir, coba kamu pakai ini. Nenek yang pakaikan, ya.”

Bu Lastri memasangkan celana panjang kecil itu ke kaki Bayu. Setelahnya, ia mengangkat sedikit tubuh Bayu dan memakaikan bajunya. Terakhir, Bu Lastri membungkus tangan dan kaki sang cucu dengan sarung tangan dan kaos kaki. Bayu tidak menunjukkan ekspresi apapun selain hanya membiarkan kain itu membungkusnya.

“Sekar, bagaimana kalau Bayu tidur di sampingmu?” Tanya Bu Lastri tiba-tiba.

Sekar menggeleng. “Aku sedang tidak ingin diganggu dengan apapun.”

“Ayolah Sekar, sebentar saja. Biarlah dia berbaring di kasur itu dan menjadi dekat denganmu. Lagipula, kau ibunya. Kau harus perhatian dengan anakmu.”

“Jangan se...”

Bu Lastri mengangkat tubuh Bayu sebelum Sekar selesai bicara. Ia meletakkannya di samping Sekar dan tersenyum.

“Peluklah dia, Sekar. Beri dia kehangatan dan cintamu. Ibu mau mulai masak untuk makan siang kita.”

Bu Lastri meninggalkan ruangan. Sekar tidak menggerakkan tangannya sedikitpun. Ia hanya memiringkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Bayu. Wanita itu memperhatikan sosok yang masih menjadi tanya dalam benaknya. Bayu tak banyak bergerak dan tak pernah bersuara. Pandangannya lurus ke arah langit-langit.

“Sebenarnya makhluk apa kamu? Kamu seperti hantu yang meremangkan seluruh tubuhku. Kamu seperti hantu yang terus mengusikku. Bayi macam apa kamu sebenarnya?”

Sekar menghentikan gumamannya tatkala kepala Bayu berputar pelan ke arahnya. Sekar terperanjat. Bayu menatapnya dalam diam tanpa berkedip. Matanya yang bulat dan hitam itu seperti teror yang tak terlukiskan.

Sekar beringsut mundur. Rasa gemetar dari tubuh Sekar menguat. Bayu terus menatapnya. Ia tak memberi kesempatan pada Sekar untuk tenang. Mata itu terus mengawasinya tepat di depannya. Sampai akhirnya, Sekar mencapai batas kepanikannya.

“Bayu!”

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience