Tanpa tahu bagaimana awal mulanya, tiba-tiba ia sudah berada di rumah itu. Seseorang atau sesuatu telah mengikat tubuhnya di sebuah kursi yang sangat dingin. Tidak ada cahaya di dalam sana selain sinar matahari yang telah tersaring mendung dan terjala dinding-dinding anyaman bambu rumah itu. Di sisi lain, semua jendela dan pintu sepertinya tertutup rapat. Remang, kelabu, dan bau darah. Ia segera menyadari sesuatu di bawah. Kaki-kakinya yang telanjang terendam sesuatu. Wanita itu menoleh ke lantai. Tidak ada lantai, melainkan cairan kental yang berwarna gelap. Semakin diperhatikan, semakin ia menyadari bahwa lantai tergenang air darah.
Wanita itu merasakan bagian di kedua kakinya yang berada di bawah genangan. Lewat ujung-ujung jari kaki, ia tidak merasakan dasar rumah. Tidak ada tanah, tidak ada keramik, tidak ada apapun. Hanya darah kental yang tak tahu darimana asalnya.
Masih menjaga diri dari rasa takut yang mulai merekah di sekujur dirinya, wanita itu mengamati ruangan. Tak ada benda apapun. Hanya ada satu jendela dan satu pintu di salah satu sisi ruangan yang sama-sama tertutup. Walau ia merasa tidak pernah berada di ruang kosong seperti ini sebelumnya, wanita itu merasa mengenal dinding anyaman bambu dan luas dari ruangan itu.
Lalu, ia seketika terperanjat. Ia pernah berada di sini sebelumnya. Ini adalah sebuah kamar. Ia pernah melihatnya. Seharusnya, ada tempat tidur di sini dengan sprey yang berwarna putih dengan motif daun. Seharusnya, ada sebuah meja kecil di sisi tempat tidur itu. Seharusnya juga, ada lemari di sudut sana yang berwarna cokelat dengan sedikit bagian kakinya sudah keropos tersantap beringas rayap.
Ini adalah rumah keluarga itu, Mardian, Sekar, dan Bu Lastri. Kamar ini adalah kamar tempat persalinan waktu itu. Tempat dimana Onum dilahirkan, tempat dimana segala kegelapan mulai menampakkan diri secara nyata dan agresif.
Tanpa suara, hanya pergerakan yang halus dan mistis. Sang wanita melirik ke sisi dinding depannya, tepatnya pintu kamar. Tak ada lagi pintu yang mengurung. Daun pintu sekarang memiliki celah dari kusennya. Tidak lebar, tapi sudah cukup membuktikan ada sebuah kekuatan di luar sana yang mampu mendorong pintu itu.
Sang wanita di kursi hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi. Ia tidak merasakan getaran apapun. Ia juga tidak mendengar suara apapun di luar kamar. Dari celah pintu pun, ia tidak melihat sesuatu yang hidup di ruang sana.
Pintu membuka lagi, tanpa suara. Jarak bibir pintu dengan kusen makin lebar. Gelombang-gelombang yang timbul dari gerakan pintu di air darah berpendar menyentuh kaki wanita itu dan memantul sampai ke dinding-dinding seberang. Setelah agak lama, wanita itu baru tahu, air darah yang menggenang itu mengalir. Darah itu mengalir dari luar kamar masuk ke dalam kamar itu dan memenuhinya. Sang wanita mengembalikan pandangannya ke pintu.
Pintu itu sudah terbuka lebar...
Sepenuhnya...
Tak ada siapapun di luar. Hanya ruang lain dengan dinding anyaman bambu. Kosong, mati, dan kelabu seperti kamar itu. Air darah terus mengalir masuk tak terbendung. Pelan, tapi terasa egois.
Lalu, masih dengan diam-diam, sesuatu muncul dari balik dinding, terapung di permukaan air darah. Benda itu bergerak sama pelannya dengan aliran darah. Mulanya, wanita itu masih belum bisa menebak apapun. Namun setelah beberapa saat, ia melihat sesuatu yang tak ingin ia lihat.
Itu adalah sesosok tubuh manusia.
Dan ketika sampai di pintu, sosok itu berbelok masuk ke dalam kamar.
Mayat itu laki-laki, mengalir terlentang menghadap angkasa, seolah memasrahkan segalanya pada langit atau merupakan keputusasaan. Wanita itu tidak tahu. Mayat terus mendekati sang wanita di kursi. Masih sama-sama diam, sama-sama kelu oleh kegelapan. Ketika kepala si mayat telah menyentuh betis sang wanita dan gerakannya berhenti sepenuhnya, wanita itu melihat siapa sosok yang telah mati di depan kakinya.
Mardian.
Itu Mardian, seseorang yang tinggal di rumah ini. Sang wanita terbelalak. Kakinya mencoba menghindari mayat Mardian itu agar tidak menyentuhnya. Namun, sepertinya mayat itu selalu memburunya agar kaki-kaki sang wanita selalu menyentuh jasadnya.
Belum berakhir kepanikan sang wanita, satu sosok lain mengalir masuk ke dalam kamar, terlentang dan tanpa harapan. Lalu, selesai ketika jasadnya tersangkut jasad Mardian.
Kali ini adalah istri Mardian, Sekar.
Sang wanita merasa mual. Dahinya mengernyit melihat sosok-sosok itu. Wajah-wajah yang begitu dikenalnya itu kini tamat dalam banjir darah. Rumah mereka terbenam dalam darah. Semua penderitaan itu masih menyertai mereka walau maut telah mengacungkan jarinya.
Rasa berkabung wanita itu ternyata belum berakhir. Melalui satu-satunya pintu kamar, seonggok tubuh lain terlihat bergerak dari luar. Namun, kali ini tubuh itu tidak sendirian. Ada sesuatu yang berada di atasnya.
Sang wanita tercekat oleh apa yang ia lihat. Bukan karena tubuh itu adalah Bu Lastri, melainkan sosok yang diam di atasnya jelas bukan manusia. Sosok itu bergelung mungil dan berwarna sepucat mayat lainnya. Kedua matanya menutup dan mulutnya yang kecil mengemut ibu jarinya sendiri.
Onum...
Onum...
Onum...
Wanita itu tidak mampu menahan suara-suara berbisik yang terus mengulang nama Onum, sosok yang tertidur di atas mayat. Ketika jasad Bu Lastri menubruk jasad Sekar dan terhenti, seluruh kulit wanita di kursi itu bergidik. Panas dan dingin menjalar dan menggigilkan bibirnya. Giginya gemertak tanpa bisa ia tahan.
Entah kenapa sekarang ini ia juga tak dapat bergerak. Ia merasa seperti mayat-mayat itu. Ia seperti mati karena mereka. Terlebih kali ini, ketika ia melihat dengan matanya sendiri, sosok Onum yang awalnya hanya mitos.
Setelah disiksa hawa kematian dan kesenyapan yang begitu ngilu, sang wanita akhirnya menjumpai rasa takut terbesarnya. Onum mulai bergerak.
Bayi itu telah bangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya beberapa kali dan menguap lebar. Lalu, ia duduk di atas perut Bu Lastri dan perlahan menatap sang wanita. Begitu pandangan mereka bertemu, sesuatu segera mengunyah jiwa sang wanita menjadi terberai-berai. Berbagai pemikiran akan kematian mulai merasuk ke otaknya. Berbagai penyiksaan segera ia lihat dalam dirinya. Ia tidak ingin hidup. Ia tidak ingin melihat bayi itu. Namun, ia juga tidak ingin mati seperti mereka yang telah bersatu dengan darah. Ia ingin pergi. Ia harus pergi. Ia harus melepaskan Onum dari jiwanya.
Namun, kenyataan membukakan tabir yang lebih buruk. Onum mulai merangkak ke arah wanita itu.
Onum merangkak di atas tubuh Bu Lastri. Dari perut, merangkak ke dadanya, kemudian ke kepala. Sampai di kepala, Onum menarik kulit Sekar dan ia beringsut menunggangi jasad istri Mardian itu. Ia terus mendekat. Melalui tubuh Sekar yang membisu, Onum sampai ke tubuh Mardian. Terus merangkak. Terus mendekati sang Wanita.
Tanpa daya apapun, sang wanita hanya berpasrah dalam keabu-abuan cahaya mentari yang tersaring mendung, di antara merah darah yang berputar pelan dalam kamar itu. Onum merenggut kain daster sang wanita. Perlahan, ia merambat naik sampai ke pangkuan. Detik ini, mereka berdua telah saling menyentuh, saling merasakan kehidupan masing-masing. Namun, Onum ternyata tidak berhenti sampai pangkuan wanita itu saja. Bayi itu terus naik. Ia mencoba menggapai kain bagian dada sang wanita, mencengkeramnya, menariknya, dan merambat makin tinggi. Sang wanita tidak sanggup bersuara. Hanya nafasnya yang menderu, bergemuruh, berdebum tak terkendali. Dan saat jari-jemari Onum yang kecil mencapai leher dan mulai merenggut kulit, seluruh dunia tiba-tiba berubah dan kenyataan yang ada begitu berbeda.
***
Ning Ayu masih belum sepenuhnya kembali ke dunia sadarnya. Tubuhnya masih berguncang di atas kasur. Mukanya banjir keringat dan udara begitu dingin di kulitnya. Nafasnya ngos-ngosan terangkai oleh takut yang belum pernah ia hadapi.
Tiba-tiba muncul suara keras di dekatnya.
Ning Ayu seketika melonjak di atas tempat tidur. Naluri paranormalnya siaga. Pikirannya segera siap dengan semua mantra pelindung. Namun setelah menyadari sepenuhnya, suara itu adalah adzan dari mushala terdekat, jarak dua rumah dari rumah Ning Ayu. Dengan speaker yang terpasang ke empat penjuru, rumah Ning Ayu menjadi tempat yang masuk dalam arah salah satu speaker. Wanita itu mendengus. Sialan! Ia melirik jam dinding, pukul empat sepuluh menit.
Ning Ayu merenung. Ia merasa sepertinya banyak sesuatu yang ada di kamarnya itu. Sesuatu yang membawa kabar tentang Onum kepadanya. Sesuatu yang begitu tersembunyi dan licik.
Angannya masih tersangkut ke mimpi barusan. Mayat-mayat itu terasa hangat tapi juga dingin. Mereka seperti belum lama mati, tapi terhimpit dalam ruang jiwa yang begitu dingin. Onum yang hidup, merangkak dari tubuh ke tubuh, menghampiri, dan hendak melakukan sesuatu pada Ning Ayu.
“Bu Lastri.. Sekar.. Mardian...”
Ning Ayu bergumam sendiri. Wajahnya tertunduk menatap bumi. Ingatannya kembali ke saat dimana Onum merangkak di atas tubuh-tubuh itu.
“Bu Lastri, Sekar, Mardian.. aku...”
Ning Ayu terbelalak. Sesuatu tiba-tiba menusuk kesadarannya.
“Dia yang pertama!”
Ning Ayu menurunkan kakinya ke lantai. Namun, saat ia akan berdiri, Ning Ayu menahan diri.
“Aku tidak mau terlibat. Aku bukan siapa-siapa di rumah itu. Tidak seharusnya ini terjadi padaku.”
Meski demikian, sisi lain dari dirinya muncul.
“Tapi kau akan mati. Kau harus bertindak, setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri.”
“Tapi bagaimana caranya? Sejauh apapun aku pergi, Onum telah memasukkan aku ke dalam daftar korbannya. Tidak ada cara untuk lari. Akan tetapi jika aku harus melawannya, aku tidak tahu bagaimana caranya.”
“Kau tahu sekarang kalau Onum adalah nyata. Mitos yang selama ini telah hampir terkubur di antara para dukun telah hidup dan menjadi sosok nyata di depan matamu sendiri. Kau punya banyak teman sepertimu. Mintalah bantuan mereka. Selamatkan dirimu entah bagaimanapun caranya. Namun, jika kau masih punya hati, kau bisa memikirkan keluarga itu juga.”
Ning Ayu tak bergerak. Suara adzan telah berakhir dan langkah-langkah kaki jamaah bermunculan dari arah jalan depan. Begitu teduh di luar, dengan kata-kata yang berbisik ria antar para jamaah yang melangkah menuju masjid. Namun, begitu riuh, gaduh, dan ruwet di dalam pikiran Ning Ayu, yang mana mulai muncul sisi-sisi lain dirinya dan ikut duduk dalam ruang jiwa tanpa diundang, mencetuskan ide-ide mengenai semua yang harus dilakukan dengan cara masing-masing.
***
Mardian mendesir masuk ke halaman rumah dan memarkir sepedanya menyentuh teras. Bu Lastri yang menyapu di situ mengamati menantunya. Ujung-ujung sapu lidi yang berwarna kehitaman bergerak mondar-mandir mengusap tanah, mengumpulkan helai demi helai dedaunan gugur.
“Cepat sekali.”
“Iya. Saya hanya mengantarkan dia dan membantunya menyiapkan tempat. Saya tidak akan terlalu berurusan dengan pasar hari ini.”
“Mardian, karena kau hari ini di rumah, lebih baik kau menyempatkan diri menenangkan pikiranmu.”
“Saya juga berencana demikian. Tapi menenangkan pikiranpun tidak membuat saya mendapat uang.”
Bu Lastri tersenyum.
“Tapi, pikiran yang tenang membuatmu lebih mampu bersikap bijaksana. Kondisi kita yang seperti ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan pikiran, tapi kebijaksanaan juga turut andil. Kau adalah seoran ayah. Kau bukan bujangan lagi. Kaulah satu-satunya laki-laki yang menjadi tumpuan keluarga ini. Cobalah untuk membuka pikiranmu.”
Mardian memperhatikan salah satu perkututnya di dalam sangkar. Burung itu hanya sedikit sekali bergerak. Mardian tahu, semenjak Bayu lahir, tidak ada satu pun dari perkututnya yang berkicau. Namun pagi ini, perkutut itu lebih diam dengan mata yang terpejam. Mardian berpindah tempat, menuju ke kurungan satunya. Perkutut dalam kurungan itu juga menunjukkan gejala serupa.
Mardian menurunkan kurungan itu dan menarik pintunya ke atas. Ia memasukkan tangannya perlahan ke dalam kurungan dan menyentuhkan ujung jarinya ke punggung perkutut. Satu gerakan kecil kepala perkutut itu terlihat. Mardian menghembuskan nafas lega, setidaknya, burung itu tidak mati. Namun, setelah gerakan kecil tadi, burung itu kembali diam. Mardian menyenggolkan jarinya beberapa kali ke badan burung. Tidak ada reaksi normal yang terlihat. Lalu, Mardian menggenggam perkutut itu dan membawanya keluar kurungan. Keprihatinan Mardian berlanjut tatkala burung itu tetap menutup matanya dan tak ada usaha untuk mengepakkan sayapnya. Burung malang itu diam menekukkan kakinya di telapak tangan sang majikan.
“Ada apa, Mardian?” Bu Lastri tiba-tiba bertanya di kejauhan.
Mardian sekarang merasa bahwa dirinya menjadi yang berada dalam kurungan. Sebuah kurungan yang terbuat dari kawat duri dimana dia sendirilah yang merajutnya dan memenjarakan diri dengan mengunci satu-satunya pintu keluar dari dalam.
Mardian memasukkan lagi perkututnya, menaruhnya dengan sangat hati-hati di atas kayu ramping yang melintang dari celah dinding kurungan ke celah dinding seberangnya.
Bu Lastri sudah sampai ke teras tanpa Mardian sadari. Wanita itu melihat apa yang tengah dilakukan Mardian.
“Kenapa, Mardian?”
“Burung-burung ini tidak sehat.”
“Apakah kau merawatnya dengan baik? Karena, ibu perhatikan akhir-akhir ini, kehidupanmu sedikit berbeda. Kau menjadi lebih acuh terhadap banyak hal. Apakah kau juga mulai mengacuhkan piaraanmu ini?”
“Apakah mereka jadi seperti ini karena Bayu?” Lirih Mardian. “Apakah Bayu memang biang keladi dari keterpurukan kita?”
“Mardian, kenapa kau bicara begitu?”
“Sekar pernah berkata kalau Bayu adalah pembawa petaka. Dia bukan manusia. Dia adalah iblis yang mengacaukan kehidupan umat manusia.”
“Dan kau akan melakukan sesuatu pada anakmu sendiri?”
Mardian tak segera menjawab. Ia terlihat tanpa kehidupan.
“Saya hanya...hanya tidak ingin punya kehidupan yang seperti ini.”
Bu Lastri menjatuhkan sapunya dan membelai punggung serta memijit pundak Mardian. Segera Bu Lastri merasa bahwa ia sedang memegang pundak seseorang yang lain. Semakin ia memijit pundak itu, semakin ia merasa bahwa Mardian tak pernah memiliki pundak seperti ini.
“Kegelapan hidup kita telah melemahkanmu, Mardian. Kau jadi berbeda dibanding dulu. Kau harus menabahkan hatimu. Kau harus kuat.”
“Mardian sudah mencoba tabah bu, tapi hasilnya kehidupan kita semakin hancur.”
“Mardian, maafkan ibu. Tapi, ibu melihat dari dulu kau dan Sekar tidak pernah sholat. Kalian berdua terlarut dalam kehidupan suka-suka dan tanpa aturan. Sayangnya, jiwa kalian yang sudah terbentuk seperti itu terbawa sampai kalian menikah, sampai semua ini terjadi. Ibu dulu juga begitu, kau tahu sendiri. Akan tetapi sejak kejadian malam itu, ibu mulai menyadari kalau kita justru akan semakin terpuruk jika kita jauh dari Tuhan. Kau juga melihat sendiri bukan, beberapa hari semenjak malam yang mengerikan itu, ibu mulai membuka mukena yang ibu miliki. Ibu cuci lagi setelah mungkin lebih dari lima tahun tak pernah ibu pakai. Ibu buka lagi alquran dan mulai membacanya lagi. Ternyata, kebiasaan itu bisa ibu jaga sampai detik ini. Cobalah kau pikirkan lagi tentang hal itu. Sarungmu masih ada di lemari. Kau bisa pakai sajadah punya ibu. Tidak ada salahnya kau meratap di hadapan Tuhan. Tidak ada salahnya kau mengadukan semuanya. Tuhan pasti mendengarmu. Pagi seperti ini kau bisa sholat dhuha. Kau bisa melakukannya dua rakaat, empat rakaat, enam, atau delapan. Terserah. Masuklah ke kamar, tutuplah pintunya jika kau tak mau ada yang melihatmu. Biarlah Tuhan melihat kesendirianmu dan kelemahan yang kau miliki. Cobalah, Mardian. Sungguh, tidak ada salahnya kau mencoba.”
“Apakah Tuhan akan mengubah kehidupan kita jika saya melakukannya?”
“Ibu tidak tahu rencana Tuhan. Akan tetapi, kehidupanmu akan menjadi baik jika kau sering-sering berdoa. Kita tidak akan pernah menyangka balasan dari Tuhan, kapan dan seperti apa. Namun, mulai mencoba sekarang dan menjaga ketakwaan jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Mardian menatap mertuanya, sejenak membiarkan Bu Lastri membelai punggungnya. Lalu, ia tersenyum dan mengangguk. Bu Lastri membalasnya dengan anggukan yang sama dan melepaskan Mardian yang kemudian masuk ke dalam rumah.
Mardian menutup pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Pandangannya langsung tertuju ke saluran kecil di dinding luar bak mandi yang disumbat oleh karet sandal. Ada beberapa api keraguan yang mulai memercik dalam otaknya, yang membuat laki-laki itu tak segera membuka penyumbat saluran. Namun, Mardian akhirnya mencabut penyumbat dan air dingin mengucur membasahi kakinya.
Sambil terus menepis semua pikiran yang menyerang, Mardian mulai membasuh kedua tangannya. Ia melakukan wudhu sejauh ia dapat mengingat tata caranya. Baru kali ini, selama beberapa tahun terakhir hidupnya, Mardian kembali membasuh diri dengan air suci dan membiarkan dirinya terlarut dalam kesejukan hati yang siap untuk menyapa Sang Pencipta.
Mardian berjalan menuju kamar Bu Lastri. Ia mengambil sajadah yang terlipat di dalam lemari. Lalu, ia masuk ke kamarnya. Mardian membuka kembali sarung yang telah lama ia tinggalkan dalam lemari. Bau debu segera merasuk hidung. Namun, ia tetap membungkus tubuh bawahnya. Sejenak ia melirik Bayu yang masih tak sadarkan diri dari tidur dengan suara-suara yang begitu menyiksa setiap malam. Bayu telah menyiksa hidupnya, tapi apakah anak itu memang pantas untuk disingkirkan? Apakah semua ini memang karena Bayu dan bukan karena dosa-dosa Mardian sendiri? Mardian menarik nafas panjang dan melangkah menuju balai-balai ruang tengah dan menggelar sajadah di sana. Ia naik dan menunduk menatap kain sajadah. Ia menutup matanya, merangkai niat dalam benaknya, dan takbir panjang mulai berembus dari mulutnya.
Di saat Mardian mulai tenang dan larut, sesuatu sedang terjadi di halaman rumah. Bu Lastri tiba-tiba berhenti menyapu. Tangan kirinya memegang kepalanya. Alisnya berkerut dan mulutnya meringis. Lalu, ia terhuyung melangkah ke teras dan duduk di lantainya. Matanya membuka dan menutup seperti tengah menahan sesuatu yang mencoba menguasai dirinya. Ia menyandarkan tubuhnya ke tiang penyangga atap yang paling dekat dengannya. Dengan sambil menatap jalan, Bu Lastri berdiam diri tanpa tenaga. Keringatnya mengalir ke pelipis. Namun, ia membiarkannya. Bahkan, ketika ada keringat lain yang mengalir sampai membasahi sisi matanya, Bu Lastri tetap membiarkannya, seperti memang demikianlah yang seharusnya terjadi. Lama-lama, pandangannya mulai mengabur dan terkadang gelap sama sekali.
***
Pasar pagi mulai ramai. Pengunjung berdatangan dan menyebar ke tenda-tenda tujuan. Sekar merasakan peningkatan ini sambil duduk di belakang meja dagangan dan memakan lempernya. Sesekali, ia memanggil orang-orang yang melewati jalan di depan tendanya untuk menawarkan semua yang ia jual. Walau tidak banyak, ternyata ada beberapa orang yang menoleh ke arahnya, memperlambat langkah mereka, dan kemudian berbelok. Ketika itu terjadi, Sekar akan berdiri dan memasang raut roman ceria, seperti dirinya adalah orang yang paling bahagia dan bersemangat di dunia ini. Setelah para pengunjung sudah datang ke tendanya, mereka akan mengamati dagangan, memperhatikan lemper-lemper bakar yang masih menjadi satu-satunya di kota itu, dan menanyakan harganya. Namun setelah itu, hal yang selalu terulang akhir-akhir ini kembali terjadi. Tanpa alasan yang jelas mereka pergi dan meninggalkan Sekar di dalam kekecewaan besar. Sekar akan segera lesu ketika mereka pergi. Akan tetapi, ia tidak mungkin menahan mereka atau memaksa mereka untuk membeli. Sekar kemudian duduk lagi di kursinya dan memandang orang-orang yang lainnya, lalu menawarkan dagangan dengan cara yang sama.
Di antara keramaian yang memusingkan, seorang pria melangkah pelan. Tubuhnya tegap, berkulit putih, dan memiliki tulang wajah yang bagus. Ia berjalan sambil menyapa para pedagang di sepanjang jalan. Sesekali, ia menanyakan kabar mereka atau kabar dagangan mereka hari ini. Lalu, melanjutkan perjalanan sambil terus tersenyum. Tak lama kemudian, ia berhenti. Matanya menangkap tenda hitam dalam jarak beberapa belas kaki di depannya. Sesuatu di dalam tenda itu membuatnya sedikit heran. Ia melihat seorang wanita tengah duduk di sana, sendirian.
“Sekar!?”
Pria itu berjalan cepat menuju tenda hitam. Sekar yang menganggur mendengar panggilan itu. Ia berdiri menatap si pria. Segera ia tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
“Koh Andi!”
Si pria langsung berlari melihat respons dari Sekar. Sesampainya di depan tenda, ia membelalakkan matanya dengan polah sumringah.
“Sekar! Kau jualan lagi? Dari kapan?”
Koh Andi menyusup masuk tenda dan menubrukkan tubuhnya ke tubuh Sekar. Ia memeluknya erat sambil mengguncang-guncangkan tubuh wanita itu.
“Dari kemarin. Koh Andi bagaimana kabarnya?”
“Baik, aku baik-baik saja. Aku sangat senang melihatmu, Sekar!”
“Saya juga sudah lama tidak bertemu dengan Koh.”
Koh Andi melepaskan pelukannya. Sekar segera menata rambut dan bajunya.
“Kau tidak berjualan selama berbulan-bulan? Mardian pernah bilang, kau hamil dan sekarang kalian sudah punya anak?”
Sekar mengangguk, sedikit menunduk.
Raut wajah Koh Andi berubah dan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sekar.
“Mardian sudah cerita. Katanya anak kalian agak berbeda. Itulah alasannya kalian tidak mengundangku ataupun teman-teman yang lain untuk syukuran.”
Sempat ragu, tapi Sekar mengangguk kemudian.
“Tidak apa-apa. Tidak ada orang yang tahu di sini tentang kenyataan itu. Aku simpan cerita ini untuk diriku sendiri.”
Sekar memandang Koh Andi dan tersenyum. Manis sekali..
“Eh, mana Mardian?”
“Dia di rumah. Katanya, dia ingin istirahat. Mungkin untuk sementara, saya yang berjualan di sini.”
“Oh begitu...eh, kalau kau yang berjualan, lantas siapa yang menyusui Bayu?”
“Ehm, ibu saya yang mengurusnya.”
“Hah?! Oh, baiklah. Aku mengerti. Ehem, bagaimana dagangannya? Sepertinya, aku sering melihat Mardian pulang dengan membawa karung yang masih besar. Apakah semuanya baik-baik saja?”
Pertanyaan yang mengenai sasaran di hati. Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, melesat cepat, dan menghujam papan target tepat di titik merah. Hanya bedanya, pertanyaan ini membuat panah itu terus melesat bukan hanya menancap di titik pusat, tapi juga menembus papan target. Sekar tak berdaya menahan gejolak yang seketika muncul dalam diri. Ia menatap Koh Andi, lama.
“Ada apa, Sekar?”
“Koh, saya ingin bicara dengan Koh Andi.”
“Kenapa, Sekar? Apa ada yang terjadi?”
Sekar menarik kursi dan menyilakan koh Andi untuk duduk di sampingnya. Begitu duduk, koh Andi menggeser kembali kursinya untuk semakin merapat kepada Sekar.
“Koh,” Sekar membuka perasaannya. “Sebelumnya, saya ingin koh Andi tidak menceritakan hal ini pada siapapun.”
“Iya. Aku berjanji padamu aku tak akan mengatakannya pada siapapun. Kau bisa percaya padaku, Sekar. Ada apa?”
“Sebenarnya, sudah lama dagangan kami tidak laku. Oang-orang seperti sudah bosan dengan apa yang kami jual. Sedangkan kehidupan kami hanya mengandalkan jualan di sini. Kami tidak tahu harus bagaimana. Hari ini saja, kalau koh Andi percaya, mereka hanya melihat-lihat dan pergi lagi. Tidak ada yang membeli. Sudah lama Mas Mardian pulang tanpa membawa uang. Sehingga, pada akhirnya kamilah yang menghabiskan dagangan kami sendiri ketika malam tiba. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Koh, apakah boleh kalau kami meminjam uang pada koh Andi?”
“Oh...”
Koh Andi menarik nafasnya. Melempar pandangan ke orang-orang yang berlalu-lalang sambil manggut-manggut sedikit. Sekar hanya menunggu jawaban tanpa berani membuka mulut lagi. Setelah agak lama menatap orang-orang, koh Andi menunduk, manggut-manggut.
“Ya.. ya...”
“Apa, koh?”
“Begini saja, bagaimana kalau kau kerja di rumahku?”
Satu panah kembali menembus papan target di jiwa Sekar. Kali ini, panah itu bukan panah biasa, melainkan panah emas.
“Kerja di rumah koh Andi?!”
“Iya. Kau kerja di rumahku. Bantu-bantu pekerjaan rumah, karena istriku juga membuka toko sepertiku. Jadi, beberapa kali kami kewalahan mengurus rumah. Sebenarnya, pernah ada yang bekerja di sana, tapi dia sudah lama dia pergi.”
Pupil mata Sekar melebar saat memandang koh Andi. Entah koh Andi menyadari hal itu atau tidak, yang pasti ia tersenyum sekarang.
“Koh Andi serius?”
“Iya. Aku serius. Kita sudah lama berteman. Aku juga sudah kenal Mardian dari sejak dia remaja. Menurutku, aku bisa percaya pada kalian. Karena, aku tidak suka pada orang yang berutang. Mereka sangat mengganggu kehidupanku. Nah, khusus untukmu, aku akan memberi uang jika kau bersedia bekerja di rumahku. Masalah berapa-berapanya, itu akan aku bicarakan dengan istriku.”
“Yes!!! Mulai kapan saya bekerja, koh!?”
Koh Andi tertawa melihat Sekar yang melonjak-lonjak di tempat duduknya. Ia meremas pundak wanita itu.
“Sabar. Sabar. Aku bicarakan dulu dengan istriku, masalah gajimu dengan jam kerjanya. Kalau semua sudah dimatangkan, aku akan menemuimu lagi. Kau juga harus beritahu Mardian.”
“Iya. Iya koh! Terima kasih banyak ya, koh!”
Mereka tersenyum bersama-sama.
“Eh, aku tadi kemari untuk sarapan. Mana lempernya? Sini aku beli beberapa!”
Selanjutnya, Sekar melalui hari itu dengan cahaya yang berbeda di wajahnya. Ia mengumpulkan banyak rencana dalam kepalanya tentang pakaian yang akan ia gunakan, tentang menjaga sikapnya saat di rumah koh Andi, tentang memulai hidup baru dengan uang yang ia terima, tentang sedapat mungkin menghibur diri dari bayangan Bayu yang tak pernah melepaskan dirinya dari jerat gelap yang menyiksa.
***
Share this novel