Dua tahun kemudian...
Wanita itu tampak bahagia sekali. Ia duduk di lantai sebuah ruang keluarga dengan wanita lain. Di tangannya, tergenggam sebuah boneka barbie. Ia mengayunkan tangan boneka itu dalam posisi mengajak bersalaman. Lalu, wanita yang lain menggerakkan tangan boneka dalam genggamannya dan mempertemukan dua tangan itu.
“Assalamualaikum, namaku Ning Ayu. Nama kamu siapa?”
“Walaikumsalam, namaku Afifah. Salam kenal.”
“Aku ingin berteman denganmu, maukah kamu berteman denganku?”
“Iya, aku mau. Ayo kita berteman!”
“Yes! Semoga kita bisa berteman selamanya!”
“Amin...”
Dua wanita itu saling mendekatkan bonekanya dan mereka menggerakkan boneka seperti dua gadis yang berjalan beriringan dengan tangan mereka bergandengan.
Di sofa tak jauh dari mereka, seorang pria tua, seorang wanita, dan Suseno duduk memperhatikan dua wanita itu.
“Kami sungguh tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada mas Suseno dan istri.” Kata pria itu. “Mas telah ikut mendidik Ning Ayu walaupun mas hanya sebatas teman.”
“Saya dan Ning Ayu telah merasakan penderitaan bersama dalam peristiwa itu. Jadi, saya bisa merasakan apa yang dia alami. Sehingga, saya tidak mungkin meninggalkan dia.”
“Setelah kejadian itu, Ning Ayu menjadi suka berhijab, seolah berhijab adalah bagian dari hidupnya. Ia menjadi rajin shalat walaupun hanya ikut-ikutan orang tuanya. Namun ketika mendengar adzan, dia selalu mengajak kami untuk shalat. Ini semua berkat Mas Suseno dan istri. Mungkin, ini adalah keinginan Tuhan. Tuhan ingin anak kami meninggalkan dunia klenik dan kembali suci dengan ramuan yang...apa itu namanya?”
“Remedy of Rebirth. Ramuan reinkarnasi.”
“Nah, iya. Tuhan seolah ingin Ning Ayu kembali suci, agar kami sebagai orang tuanya mendidiknya dengan cara yang lebih baik dan Mas Suseno ikut membekalinya mengenai urusan agama. Karena, kalau kita mendidik anak dari usia dini, atau...dalam hal ini adalah...ketika Ning Ayu kembali seperti anak kecil, tentu kita akan lebih mudah mendidiknya.”
“Saya juga akhirnya sependapat dengan suami saya, mas.” Sang ibu melanjutkan. “Mas tentu masih ingat saat-saat pertama kami mengetahui keadaan anak kami yang hilang ingatan. Saya dan suami saya memarahi Mas Suseno habis-habisan. Namun, akhirnya kami sadar. Mungkin ini jalan terbaik bagi Ning Ayu dan bagi kami sebagai orang tuanya.”
“Kami telah sedikit gagal menjadi orang tua bagi Ning Ayu,” ujar sang ayah. “Waktu itu kami sangat jarang memperhatikan Ning Ayu karena kesibukan kami. Bahkan ketika dia belajar untuk menjadi dukun, kami membiarkannya. Karena, kami seperti tak ada waktu untuk dia. Namun kali ini, kami tidak akan mengulangi kesalahan kami. Kami akan menyayanginya sepenuh hati kami.”
Suseno tersenyum. Setelah itu, ia melirik orang tua Ning Ayu. Ia meremas-remas tangannya sendiri.
“Ehm, bapak dan ibu, sebenarnya, hari ini saya ingin mengatakan sesuatu.”
“Iya?”
Suseno memandang istrinya. Wanita itu mengangguk.
“Pak, saya sudah membicarakan ini dengan sang istri. Ehm...tapi saya sangat tidak tahu harus berkata apa.”
“Katakan saja, mas. Tidak apa-apa.”
Suseno melirik istrinya lagi. Lalu, ia sedikit menggerakkan badannya menghadap ke orang tua Ning Ayu sembari membungkuk.
“Pak, saya ingin melamar Ning Ayu.”
Orang tua Ning Ayu saling pandang.
“Iya, pak,” lanjut Afifah, “Ijinkan suami saya menikahinya. Kami berdua akan menjaganya dengan baik. Insya Allah saya sudah sangat ikhlas dan ridho.”
Sang ayah dan ibu masih terdiam. Mereka menatap Ning Ayu yang masih bermain-main dengan bonekanya dan bicara sendiri.
“Ning Ayu memang sudah seharusnya menikah, mengingat usianya yang sudah tiga puluh tahunan...apalagi dengan kondisinya yang sekarang ini, tapi...”
Sang ayah menatap istrinya lagi. Mereka berdua bisu untuk waktu yang cukup lama. Suseno juga tak lagi melanjutkan bahasannya. Mereka bertiga memperhatikan Ning Ayu yang tampak bahagia sekali. Ia menarik-narik lengan Afifah agar tidak berhenti bermain.
Lalu, suara adzan berkumandang. Ning Ayu seketika menengadah.
“Adzan! Sudah adzan! Ayah! Ibu! Kak Suseno! Mbak Afifah! Shalat yuk!”
“Iya...” jawab sang ibu lirih.
Ning Ayu berdiri dan menghampiri orang tuanya.
“Ayo cepat!”
Ning Ayu menarik tangan orang tuanya. Setelah orang tuanya berdiri, Ning Ayu berlari ke dalam.
“Kita shalat dulu.” Kata sang ayah sambil tersenyum.
“Iya.”
Orang tua Ning Ayu melangkah masuk, meninggalkan Suseno dan istrinya di sana.
“Abi...Mbak Ning senang sekali...”
“Iya. Dia sangat berbeda sekarang...”
Afifah berdiri. Suseno mulai menunduk. Wanita itu mendekat dan membelai wajah Suseno. Suseno menggenggam tangan istrinya. Lalu, dengan penuh kelembutan dan kehangatan, ia memeluk suaminya itu di dadanya. Mereka sama-sama terdiam dalam suasana yang tak mereka mengerti. Ada satu rasa yang lain dalam selimut kebahagiaan dari sosok Ning Ayu yang gembira di hati mereka. Afifah memeluk Suseno dengan erat, seakan-akan ia tahu bahwa dalam hati suaminya itu, mulai menyeruak satu rasa yang sulit dimengerti. Di dalam dekapan sang istri, Suseno termenung. Rasa ini sangat lain. Ia bahkan tak tahu apakah dirinya tengah dilanda kebahagiaan atau kesedihan. Namun, hatinya seperti memberontak dengan tujuan yang tak ia ketahui. Seperti ada sesuatu yang bergemuruh dan saling ricuh, tapi juga ada damai di antara relung-relung hatinya. Pada akhirnya, ia hanya mendiamkan semua itu dan mereka melangkah untuk membasuh diri dengan wudhu, melangkah dalam satu ketetapan Tuhan yang tak tergerakkan.
SEKIAN
Share this novel