BAB I

Horror & Thriller Completed 15839

Mulut Sekar menganga dan suara pertama yang keluar dari tenggorokannya memecah ke seisi rumah. Ia telentang, tubuhnya mengejang. Tangan kanan dan kirinya terkunci oleh genggaman dua orang yang ikut merasakan siksaan ini. Sementara di antara kakinya yang mengangkang, Seorang dukun wanita menekankan jari-jarinya di daerah perut, pinggang, dan selangkangan Sekar. Tekanan dan belaian sang dukun begitu kuat, tapi juga pelan penuh perhatian.

Sekar menjerit lagi. Ia merasakan sesuatu yang besar dan nyata sedang memaksa untuk keluar. Betapa kejamnya sesuatu itu memaksakan diri untuk keluar dari celah sempit milik Sekar agar ia bisa bebas, sementara wanita itu meradang kesakitan.

“Dorong terus, Mbak Sekar! Dorong! Ya!” perintah sang dukun.

Otot-otot muka Sekar mulai tampak. Kerutan di dahinya semakin kentara. Ia berteriak lagi sambil menengadah. Lehernya menegang berbarengan dengan cengkeramannya di sprei yang kian menguat.

“Lagi!”

Sekar menarik napas, lalu kembali berteriak. Seluruh tenaga yang ia pusatkan di bagian bawah perutnya dilepaskan. Keringat mulai menyembul dari keningnya, lalu membasah hingga pelipis. Sekar berteriak lagi dan peluh mengucur sampai ke pipi bersama dengan air mata. Rambut Sekar yang kusut terurai sampai wajah. Beberapa helai rambutnya menyatu akibat keringat yang merembes.

“Tahan! Tahan sebentar!” Sang dukun kembali memerintah. “Ambil napas, Mbak Sekar! Ambil napas! Pelan-pelan...” lanjutnya.

Sekar memalingkan wajah ke arah kiri, tepat di mana suaminya, Mardian, menjadi salah satu sayap yang mendampinginya hingga semua ini berakhir.

“Bersabarlah, Sayang,” bisik Mardian. “Sebentar lagi kita akan memiliki apa yang kita impikan selama ini. Kita akan memulai hidup baru.” Ia tersenyum meyakinkan.

Kedua tangan Mardian menggenggam jemari tangan kiri Sekar. Sesekali ia juga mencium rambut sang istri sembari terus mengulang doa yang tak henti-hentinya diucapkan. Setelah ini mereka akan memasuki kehidupan baru dan ia ingin Tuhan mengizinkannya untuk memperbaiki diri.

“Bertahanlah, Sekar. Ibu juga dulu begini. Kau merasakan apa yang Ibu rasakan waktu itu. Bertahanlah, Nak. Kita akan melewatinya bersama-sama.” Bu Lastri membelai rambut dan mengusir keringat di kening anak perempuannya itu. Ia menatap iba Sekar yang terlihat begitu menderita.

Bu Lastri yang menjadi sayap kanan Sekar, kemudian meremas kain bajunya untuk mengeringkan telapak tangan. Setelah kering, ia kembali menyeka wajah Sekar yang terus menerus berkilap peluh. Tanpa disadari kedua mata Bu Lastri ikut sembab, seakan ia juga berjuang menjadi satu raga dengan Sekar.

Sang dukun memerhatikan ibu dan anak itu, lalu berkata kepada Sekar, “Siap, Mbak Sekar? Kita mulai lagi. Ambil napas. Ambil napas lagi. Dorong!”

Sekar mengangguk pasrah, lalu kembali meremas sprei. Napas demi napas yang diembuskannya seperti benda berat yang sangat sulit digerakkan. Otot-otot di lehernya seperti pilar-pilar yang kokoh tertancap, yang menjaga Sekar untuk selalu menengadah.

Sang dukun berseru, “Sudah kelihatan, Mbak! Sudah kelihatan itu!”

Sang dukun mengangkat kepalanya untuk menatap semua orang. Entah Sekar, suaminya, atau ibunya sama-sama membalas dengan raut muka yang terang.

“Dorong! Dorong lebih kuat!” Sang dukun berteriak sengit.

Sekar berteriak keras. Jari-jari kakinya menekuk tegang.

“Ibu..!” Sekar merintih dalam penjara keperihan. Ia seperti tak sanggup lagi melalui semua ini. Setiap napas yang dikeluarkannya berubah bentuk menjadi erangan. Ia merasa ada sesuatu yang tumbuh di antara kedua pangkal pahanya. Sesuatu itu terus memaksa keluar tanpa ampun. Tubuh Sekar seperti dihancurkan perlahan dari dalam.

“Ibu!!!” Sekar menjerit kencang. Suaranya hampir menyerupai lolongan.

Tiba-tiba angin di ruangan itu bertiup. Sang dukun menegakkan badannya, merasakan apa yang terjadi di ruangan itu. Bu Lastri dan Mardian juga melempar pandangan ke arah dukun itu. Sang dukun membelai punggung tangan kanannya perlahan. Rambut-rambut halus di permukaan tangannya berdiri. Ia meraba tengkuknya dan merasakan hal yang sama di sana.

Sekar masih terengah-engah tanpa dapat berucap sementara mata Mardian masih terbelalak.

“Ada apa, Mbak Ning?” Tanya Mardian khawatir.

Dukun bernama Ning Ayu itu bergeming. Ia menyipitkan mata, kepalanya perlahan menunduk untuk mengamati ke dalam celah pribadi Sekar. Mimik muka Ning membuat semua orang di ruangan itu cemas.

Bu Lastri mengulurkan tangannya ke arah kain yang menutupi perut hingga paha Sekar. Akan tetapi, Ning segera menepis tangan itu sambil melotot ke arahnya, seolah perbuatan itu mengganggu keberlangsungan proses.

“Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam sini,” bisik Ning dengan tatapan tajam. “Jangan melakukan apapun sebelum saya mengijinkan.”

“Ibu.. Mas.. Apa yang terjadi? Apa?” Sekar bertanya dengan nada lirih bercampur panik sambil bergantian menatap ibunya dan Mardian. Tenaganya hampir habis. Ia tak lagi meronta, tapi cengkeramannya masih membatu.

Ibu dan suaminya hanya terdiam. Mereka memerhatikan Ning yang mengambil sebuah kendi di atas meja di dekatnya. Ning menutup mata dan mulutnya bergerak-gerak sesaat. Setelah itu, ia menuangkan air dari kendi ke permukaan perut Sekar. Seketika muncul asap dari kulit perut Sekar, seolah air itu mengucur ke permukaan yang sangat panas. Mulut Mardian dan Bu Lastri menganga menyaksikannya. Ning menatap Bu Lastri dan Mardian dengan ekspresi yang tak dapat diartikan sementara Sekar menjerit.

Air kembali mengucur dari bibir kendi dan membasahi perut sampai ke bagian vital Sekar. Dari seluruh area itu, asap-asap tipis menguar. Ning tetap melakukannya walau Sekar terus menjerit. Setelah seluruh air di dalam kendi habis, ia meletakkan kendi ke tempatnya dan memeriksa kembali punggung tangannya. Rambut-rambut halusnya masih berdiri tegak. Ning termenung sejenak menatap Sekar yang begitu menderita. Lalu Ning kembali menempatkan dirinya seperti semula.

“Kita lanjutkan, Mbak Sekar,” ucap Ning lalu menatap Bu Lastri dan Mardian. “Bu Lastri, tolong pegang tangan Mbak Sekar dengan kuat. Mas Mardian juga. Mbak Sekar kemungkinan akan mengalami rasa sakit yang lebih hebat dari sebelumnya. Saya mohon Mbak Sekar tetap berjuang sesakit apa pun itu.”

Mardian dan Bu Lastri saling bertatapan. Sekar terisak sembari bergantian menatap mereka berdua. Melihat kegelisahan Sekar, Mardian menempelkan keningnya di kening kekasihnya itu.

“Mas...” Bisik Sekar lemah.

“Aku di sini, Sayang. Ini akan segera berakhir. Percayalah semua akan baik-baik saja.” Mardian lantas mengecup kening Sekar dengan penuh perasaan.

Ning melanjutkan kembali tugasnya. “Siap, Mbak Sekar?” Sekar menatap Ning dan mengangguk.

“Dorong! Seru Ning Ayu. “Dorong lebih kuat!”

Fokus Ning kali ini bukan pada pijatan demi pijatan, melainkan ke apa yang sebenarnya tengah ia hadapi. Kedua matanya tak berkedip menatap ke lubang kehidupan milik Sekar.

“Lebih kuat lagi, Mbak Sekar! Jangan menyerah oleh rasa sakit!” seru Ning.

Kini Sekar menjerit. Suara dan wajahnya berubah. Bahkan, tenaga yang dikeluarkannya meningkat pesat. Bu Lastri dan Mardian terpaksa mengatur ulang posisi mereka agar dapat menyeimbangkan perubahan yang ditunjukkan Sekar.

“Oh, Tuhan..” Ning tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bu Lastri dan Mardian tak tahu apa yang terjadi. Namun, mendengar suara Ning dan melihat raut muka dukun itu membuat mereka mulai berpikir yang tidak-tidak.

Dari celah kecil di antara pangkal paha Sekar muncul bulatan seputih susu. Ning menghentikan kegiatannya sesaat. Ia mengambil kalung dengan sebuah lipatan kertas yang menjadi bandulnya dari dalam kantung bajunya, lalu menggenggamnya kuat seraya melirik ke arah Sekar.

“Mbak Sekar?” panggil Ning, memastikan jiwa wanita itu masih ada.

Bu Lastri ikut menoleh ke arah putrinya. Namun, seketika ia menjerit dan tubuhnya terperosot dari atas ranjang. Mardian mulai menangis sambil mengusap-usap kepala Sekar. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi pada istrinya itu. Ia ingin melakukan sesuatu demi membantu menghancurkan neraka yang dirasakan Sekar, tapi apa? Mardian tak tahu apa yang harus ia lakukan saat melihat kondisi Sekar yang sudah sangat berbeda.

Sekar seperti sakaratul maut. Sekujur tubuhnya mengejang. Kepalanya menengadah hampir mencapai titik belakang lehernya. Kedua matanya berputar ke atas hingga pupilnya tak terlihat. Kemudian, hidungnya mulai mengeluarkan darah.

Menyaksikan hal itu membuat Ning memindahkan konsentrasi ke sekelilingnya. Ia menoleh ke sisi kiri perlahan, ke arah dinding ruangan itu. Ia mengamati dinding serta sebuah lemari pakaian yang ada di sana. Setelah itu, pandangannya beralih ke sisi kanan, tepatnya pada jendela kamar. Langit terlihat masih jingga menuju petang. Sepertinya tak ada yang aneh. Namun, roman muka Ning Ayu tetap tegang.

“Mbak Ning, sebenarnya apa yang terjadi pada Sekar?” tanya Bu Lastri.

Ning tidak tahu kata apa yang harus ia ucapkan untuk menjelaskan situasi yang tengah terjadi. Ia telah melihat bentuk dan warna yang muncul dari dalam kemaluan Sekar. Kendati Ning belum dapat memastikan apa itu sebenarnya, beberapa kemungkinan berdasarkan apa yang terjadi mulai berkelebatan di pikirannya. Ia lantas mengenakan kalung bandul kertas itu ke lehernya.

“Mbak Sekar tidak apa-apa. Mbak Sekar kuat dan saya yakin itu. Mbak Sekar orang yang kuat. Mbak Sekar akan memulai hari dengan kehidupan yang baru. Mbak Sekar akan memiliki apa yang diimpikan selama ini dan hidup bahagia menjadi wanita yang lebih kuat lagi. Mbak Sekar masih dapat mendengar suara saya, kan? Mbak Sekar masih di kamar ini, didampingi oleh ibu dan suami yang sangat mbak cintai. Tugas Mbak Sekar belum selesai. Mbak Sekar masih harus berjuang.” jelas Ning menyemangati.

Setelah berkata demikian, Ning menatap Bu Lastri dan Mardian yang juga tengah menatapnya. “Pegang tangannya lebih kuat. Berdoalah sebanyak-banyaknya. Mohon perlindungan pada Tuhan agar Mbak Sekar diberi kekuatan. Mbak Sekar hanya butuh doa, bukan hal lain. Jadi, pegang tangannya lebih kuat dan mulailah berdoa. Kita lanjutkan.” Ning kembali menatap Sekar. “Mbak Sekar siap! Satu, dua, tiga! Dorong! Lebih kuat lagi! Dorong!”

Sekar yang masih melotot mulai bergerak. Dahinya kembali berkerut. Mulutnya melebar dan rahangnya menegang. Sekar mulai mengeluarkan suara seperti geraman.

Bulatan putih itu semakin muncul. Keringat sebiji jagung menyembul di dahi Ning yang mengerahkan kekuatannya untuk memijit perut dan pinggang wanita itu. Ia jelas merasakan suhu dan udara di sekelilingnya yang berubah. Ia tahu apa-apa yang mulai hadir dan bergerak. Namun, ia tak mau berurusan dengan semua itu.

Bulatan putih itu semakin terlihat jelas. Dua benda yang menempel di sisi bulatan itu juga mulai terlihat. Si jabang bayi terlahir dengan posisi yang semestinya. Kepalanya perlahan keluar. Namun, hal itu tidak membuat Ning tenang. Justru sebaliknya, jantungnya berdebar tegang dan tanpa sadar, Ning melepaskan jemarinya dari perut Sekar. Kepala bayi hampir sepenuhnya meninggalkan celah rahim sang ibu. Mata Ning masih terpaku, napas terus memburu melihat bayi itu keluar dengan sendirinya. Namun, semua ini belum selesai. Ning menahan napas. Kepala bayi mulai bergerak pelan menengadah, terus bergerak, dan saat itulah Ning melihat bagaimana wujud wajah sang bayi.

Ning seketika mendesah gementar. Ia jatuh terduduk. Kedua lututnya bergetar lemas. Tanpa disadarinya, Ning mengacungkan kalung dengan lipatan kertas yang ia dikenakannya ke arah sang bayi.

“Mbak Ning!” Bu Lastri berteriak menyaksikan Ning.

Kertas bandul kalung terbakar. Ning menjerit dan segera membuang kalung jimat itu dari lehernya. Tatapannya tajam ke arah sang bayi di tengah keberaniannya yang mulai rontok. Ia melihatnya. Mereka saling bertatapan. Seperti predator yang menghancurkan wibawa mangsanya, tatapan sang bayi begitu tajam, gelap, dan lebih dingin dari tubuh Ning. Lalu, satu gerakan terlihat. Ning mendengar Sekar kembali menggeram.

“Sekar!” Mardian yang sedari tadi menyaksikan apa yang terjadi, mulai berteriak. Baik Mardian ataupun mertuanya sama-sama menangis. Bu Lastri tak sanggup menahan gejolak tubuh putrinya. Ia melepaskan tangannya untuk menutup mulutnya sendiri sambil menggeleng menahan rasa pedih melihat apa yang terjadi pada Sekar.

“Sekar..” panggilnya lirih.

Yang disebut namanya bak kesurupan. Ia menggeram sebagai ganti jeritan sebelumnya. Suaranya parau dan terpecah. Kelopak matanya tak berkedip, seperti memperlihatkan merah amarah. Sementara di bawah, Ning masih tak berdaya menyaksikan sesosok bayi yang berusaha keluar dengan sendirinya.

Bayi itu menggerakkan kepala, leher, dan bahunya. Mulutnya beberapa kali membuka dan matanya memejam selama ia bergerak. Lalu dengan satu hentakan, tangan kanan bayi itu menyeruak seperti terlepas dari penghalang. Tangan itu menggapai-gapai udara dengan gerakan yang masih sangat muda, lalu menyentuh kain sprei dan meremasnya. Ning mulai menangis ketakutan. Tiba-tiba, mata bayi membuka, mengunci tatapannya pada sosok Ning, lalu memejam lagi. Kemudian, dari dalam kegelapan celah itu, jari-jari kecil tangan kirinya mengintip. Tangan itu mendorong bibir gerbang, menekan ke samping, lalu perlahan merasakan nikmatnya udara kebebasan.

“Mbak Ning! Tolong lakukan sesuatu! Tolonglah Sekar!” pinta Mardian yang masih memegangi Sekar sambil melihat Ning Ayu. Sang dukun tampak tidak bisa mengupayakan apa pun. Kalung jimatnya telah habis terbakar. Ia tak memiliki daya apa-apa sekarang. Sementara di atas ranjang, Sekar masih menggeram. Darah tak hanya mengalir melalui hidung, tapi juga mulut dan matanya.

“Mbak Ning, tolonglah Sekar!” Bu Lastri ikut memohon dengan tangisan pasrah kepada Ning.

Sementara itu, mulut sang bayi menganga lebar. Kedua tangannya merenggut kain sprei dan ia menarik tubuhnya keluar dari dalam kegelapan perlahan-lahan.

***

Ning Ayu membasuh wajahnya sekali lagi di kamar mandi. Air yang dingin setidaknya membantu menenangkan ritme jantungnya yang sempat kacau. Namun, apa pun yang ia lakukan pada saat ini sudah tidak ada gunanya. Bayi itu sudah lahir dan ia yang membantu kelahirannya. Ning Ayu menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di bibir bak mandi. Kepalanya tertunduk, butir-butir air dari wajahnya dibiarkannya terjatuh. Di luar kamar mandi itu, angin mulai terasa dingin dan kicauan burung sudah tak terdengar lagi.

Ini sudah terjadi. Segalanya sudah tak ada gunanya. Takdir sudah ditulis.

Ning Ayu memancing dan memunculkan kembali ingatannya ketika proses kelahiran tadi. Sebelum bayi itu benar-benar lahir, ia sudah merasakan tanda-tanda yang tidak baik. Semua rambut halus Ning Ayu meremang kembali saat ia mulai mengingatnya.

Tanda pertama adalah ketika datangnya embusan angin yang lembut. Tanda kedua adalah air kendi yang langsung berasap ketika mengenai tubuh Sekar, seperti air yang dituangkan ke benda panas. Tanda ketiga adalah hadirnya entitas gaib yang hanya Ning Ayu sendiri yang mampu melihatnya.

“Kenapa mereka datang?”

Ning Ayu melihat bagaimana wujud mereka dan di mana saja mereka turut menyaksikan kelahiran si jabang bayi. Ketika Ning Ayu menoleh ke arah kiri, ia melihat beberapa sosok berdiri berjajar di dekat sudut kamar. Lalu ketika Ning Ayu menoleh ke kanan, ia tidak hanya melihat langit yang terang berwarna jingga, tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengintip dengan wujud yang sangat gelap. Masih belum habis sampai di situ, Ning Ayu masih ingat debar jantungnya saat bayi itu merangkak keluar dari rahim Sekar. Dua sosok yang tak begitu jelas ikut berdiri dan membungkukkan wujudnya hanya demi menyaksikan sang bayi. Ning Ayu ingat bagaimana suara-suara dari dua sosok itu saling beradu dan berbaur di dekat kupingnya.

Ning Ayu menelan ludah. Wajahnya masih lesu dan tatapannya kosong, tertunduk kalah kepada tanah.

Bayi yang mampu merangkak dari jerat rahim, bayi yang tidak menangis saat terlahir. Bayi dengan wujud yang sangat berbeda..

“O.. num...”

Ning Ayu mendongak. Ia mendengarnya, tapi tak menemukan wujudnya.

“O.. num...”

Mata Ning Ayu menyapu ke setiap sudut. Suara itu sangat jelas dan pelan seolah memaksa untuk dirasa.

“O.. num...”

Makin jelas dan dekat, Ning Ayu menutup telinganya. Matanya terpejam, giginya gemertak menahan ancaman. Tiba-tiba tubuh Ning roboh dan ia menangis.

“Onum,” ucapnya kemudian. “Onum..!”

Ning mencoba bangkit. Sudut-sudut matanya perlahan meruncing. Tubuhnya bergerak kaku dan tak terarah. Ia menubrukkan diri ke dinding bambu. Kedua tangannya menarik-narik rambutnya sendiri.

“Onum! Ah.. Sakit.. Ini tubuhku, milikku.. O.. Num.. Jangan rebut...”

Ning Ayu membenturkan kepalanya ke dinding bak mandi. Lalu, ia mengangkat tangannya untuk menggapai bibir bak.

“O...”

Tangan Ning Ayu menemukan gayung. Matanya seketika terbelalak. Ia berdiri sambil menyeringai, dan dengan satu buangan napas keras, ia menciduk air lalu mengguyur kepalanya. Sekujur tubuh Ning Ayu bergetar, gayung jatuh dari genggamannya.

Sementara itu, Mardian terus membelai Sekar yang terbaring tak sadarkan diri. Wajah wanita itu pucat dan tampak jelas lingkar hitam di sekitar matanya. Semua kain yang kotor karena darah telah disingkirkan. Mardian sekarang tinggal berharap kondisi istrinya segera membaik. Meski begitu, jiwanya bukan hanya terpaut pada Sekar seorang, tapi juga kepada anaknya yang telah lahir dengan kondisi yang merobek hati.

Di ruang tengah, Bu Lastri duduk di salah satu kursi yang menghadap meja makan. Matanya basah sama seperti menantunya itu, tapi ia mampu mengatur diri dengan berulang kali menarik napas panjang dan kembali mengamati sosok kecil di dalam pelukannya. Cucunya itu terlelap dalam balutan selendang batik berwarna cokelat. Bu Lastri terus mengamati dan sesekali mencium sosok cucunya yang berbeda itu. Namun, Bu Lastri tampaknya terlalu sibuk pada si cucu hingga tak menyadari ada satu tangan yang hendak menggapainya dari belakang.

Tangan itu menepuk bahu Bu Lastri. Suara spontan wanita itu mencuat dari bibirnya dan ia menoleh dengan degup jantung yang serupa pacuan kuda.

“Mbak Ning?” Bu Lastri mengelus dadanya sambil bernapas lega. Tetapi ia segera mengernyitkan alis. “Kenapa bajunya basah?”

“Bagaimana bayinya?” Ning tidak menjawab dan malah bertanya balik. Ia mendekat dan mengamati sang bayi dalam pelukan Bu Lastri.

“Ia tertidur,” bisik wanita paruh baya itu. Ia perlahan memindahkan tatapannya ke arah Ning Ayu. “Mbak Ning, sebenarnya apa yang terjadi?”

Ning Ayu melihat binar kesedihan muncul dari sorot mata Bu Lastri. Beberapa langkah di belakang mereka, Mardian muncul dari dalam kamar. Ia menatap dua wanita itu sejenak, kemudian menutup pintu kamar sebelum menghampiri mereka.

“Mbak Ning..” Mardian membuka percakapan. “Kenapa dia seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa proses kelahirannya seperti itu?”

Ning Ayu menatap lelaki itu dan menghela napas mendengar rentetan pertanyaannya. Ia menundukkan kepala sebentar, lalu kembali memandang dua orang di hadapannya.

“Saya akan kembali lagi ke sini,” jawabnya dengan nada rendah. “Anda bertiga, jagalah bayi ini dengan baik...”

“Apa yang terjadi pada anak kami, Mbak Ning?!” tukas Mardian.

Ning Ayu menatap kesal laki-laki itu. “Saya tidak tahu, Mas! Ini bukan bidang saya. Kondisinya begitu kemungkinan karena –maaf, gizi yang kurang baik, infeksi, atau sebab lain. Saya tidak tahu...”

“Tapi saya melihat sendiri dia merangkak keluar dari rahim istri saya!”

Bu Lastri spontan mengusap punggung Mardian dengan tangannya setelah bentakan barusan.

“Sudah Mardian,” bisik Bu Lastri menenangkan. “Sudah.”

“Onum,” kata Ning Ayu lirih sambil memijit keningnya.

Mardian dan Bu Lastri memandang sang dukun.

“Maaf?” tanya Mardian. Kepalanya sedikit miring menatap Ning Ayu.

“Onum. Beri nama bayi itu dengan Onum.”
Mardian dan Bu Lastri terpaku heran. Sementara tatapan Ning Ayu tak tenang. Dahinya yang berkerut seperti menyimpan tanya pada dirinya sendiri.

“Onum? Apa itu Onum, Mbak Ning Ayu?” tegas Bu Lastri.

Napas Ning Ayu tersengal. Ia memandang Mardian dan Bu Lastri bergantian, seperti baru terjadi sesuatu yang tak masuk akal pada dirinya.

“Saya.. Saya mau pulang. Tolong untuk sementara waktu jangan temui saya dulu,” pinta Ning dengan tanpa menunggu persetujuan dari mereka.

Ning Ayu melangkah masuk ke dalam kamar dan membereskan peralatannya. Ia memasukkan semuanya ke dalam tas tanpa menatanya. Setelah itu, ia menutup resleting tas dan bergegas keluar kamar.

Ning Ayu mendapati Bu Lastri dan Mardian masih berdiri di ruang tengah, lalu ia berkata, “Saya yang akan kemari suatu saat nanti. Jadi, jangan pernah terlebih dulu menemui saya!”

Setelah berkata demikian, Ning Ayu berjalan cepat menuju pintu depan, lalu meninggalkan teras menuju ke sebuah motor bebek hitam di halaman rumah itu.

“Mbak Ning!” Bu Lastri seketika menoleh ke arah menantunya. “Mardian, kita belum membayarnya!”

Mardian tidak langsung memberi tanggapan. Ia hanya balik menatap wajah mertuanya. Bahkan ketika suara motor milik Ning Ayu terdengar, Mardian hanya memandang sang dukun sambil diam dalam pikiran yang bercampur aduk.

Bu Lastri mengembalikan pandangannya ke arah Ning Ayu. Namun, punggung dukun itu telanjur jauh dan tertelan langit yang mulai gelap.

***

Share this novel

Nur Rin
2021-01-23 20:14:41 

saya pernah


NovelPlus Premium

The best ads free experience