Sebuah motor menderu dari arah kiri saat Mardian tengah menghisap rokoknya di teras rumah. Dengan bertelanjang dada dan handuk yang tersampir di pundak, Mardian tampak santai saat si pengendara mematikan mesin motor itu di halaman rumah dan menatap Mardian di balik kaca mata hitamnya.
“Halo, Pak Lurah!” Seru Mardian. “Sepertinya Pak Lurah makin sehat dan gemuk!”
Pak Lurah melepas kacamatanya dan menyelipkannya di saku bajunya. Ia hanya berdiri di sana dan mulai berkacak pinggang.
“Ada perlu, pak? Mau bicara dengan saya? Saya sedang ada waktu luang dan kita bisa bicara sambil merokok.”
Pak Lurah melangkahkan kakinya. Tanpa ada keraguan, ia langsung menginjak lantai teras dan berdiri persis di hadapan Mardian yang tengah duduk.
“Woy, kampret! Mana palu pengganti yang aku tugaskan padamu untuk membelinya waktu itu? Mana, cepat!”
“Eit, tenang! Tenang! Itu hanya palu. Kehilangan sebuah palu seharga sepuluh ribu rupiah tidak akan membuat Pak Lurah mati.”
“Setan!!!”
Pak Lurah menjejak dengan keras tubuh Mardian di kursi dan menyebabkan tuan rumah terguling.
“Kau mau menantangku!? Kau tahu siapa dirimu!? Kau adalah wabah di desa ini! Dengar!? Wabah! Dan sekarang kau bersikap seperti ini di hadapan aku!?”
Pak Lurah menendang tubuh Mardian yang masih meringkuk di lantai. Alih-alih melindungi diri, Mardian malah cekikikan.
“Pak Lurah mau membunuh saya? Tanpa dibunuh pun maut sedang mengincar kami.”
“Apa maksudmu?”
Mardian berjuang untuk mendudukkan dirinya di lantai. Dasar bajingan. Walau meringis tapi senyumnya belum hilang.
“Seperti itulah. Maut sedang menatap kami entah dari mana. Kami semua akan mati.”
“Apa yang kau katakan, Mardian?”
Pak Lurah mengangkat kepalanya dan memperhatikan sekeliling. Ia melangkah ke pintu depan dan melongok ke dalam ruang tamu.
“Kemana keluargamu itu? Kemana penghuni rumah ini?”
“Entahlah. Kami sedang mempersiapkan diri jika maut datang sewaktu-waktu. Bukankah kita harus siap bila kematian mencabut nyawa kita?”
“Kau gila! Sungguh kau sudah gila! Aku tak akan peduli lagi dengan kalian, seperti warga di desa ini yang sudah tak menganggap kalian bagian dari kami. Kalau kau dan keluargamu berencana untuk bunuh diri, lakukanlah! Desa ini memang akan lebih baik tanpa orang gila seperti kalian.”
Pak Lurah meninggalkan teras. Namun, ketika ia hendak naik ke motornya, Mardian memanggil dari kejauhan. Dengan tertatih-tatih, pria malang itu mendekati Pak Lurah.
“Pak,” bisiknya, “saya tidak tahu apakah Pak Lurah memang sudah menutup hati Pak Lurah pada kami. Namun, saya ingin minta maaf atas apa yang pernah kami lakukan. Kami sudah lama menyadari kesalahan kami, tapi kalian tidak pernah memberi kami kesempatan. Maafkan saya, istri saya, dan mertua saya, Bu Lastri, pak. Sampaikan ini pada seluruh warga desa saat Pak Lurah sempat. Katakan pada mereka bahwa kami sangat menyesal. Namun, masa lalu tidak bisa kami ubah. Hanya ini yang bisa kami perjuangkan melalui saya.”
Mardian mundur. Ia mengangguk kepada Pak Lurah dengan tanpa senyuman, melainkan raut permohonan yang tulus dan tak main-main. Lalu, masuk ke dalam rumah seperti urusan telah berakhir. Pak Lurah mengenakan helmnya dan menyalakan motor. Pria itu meninggalkan rumah Mardian tanpa memberikan apapun sebelum pergi, walau hanya sebatas lirikan penasaran.
***
Sebuah angkutan umum menepi dan berhenti di samping trotoar. Sekar turun dengan membawa satu plastik besar bersamanya. Sambil bersenandung, Sekar melompat-lompat masuk ke dalam rumah.
“Cik Lin, saya pulang!”
Sekar melangkah menuju dapur. Ternyata, cik Lin sudah berada di sana, sibuk melakukan sesuatu. Di meja itu, terdapat tiga buah gelas dan beberapa buah alpukat. Cik Lin tampak tengah mengupas salah satunya.
“Ini pesanan cik dan Ini kembaliannya.”
Cik Lin membalik badan dan menerima kembalian uang dari Sekar.
“Cik Lin sedang apa?”
“Saya sedang membuat jus untuk kita nanti siang. Apakah kau pernah minum jus?”
Sekar menggeleng. “Saya hanya pernah mendengarnya.”
Cik Lin tersenyum dan kembali mengupas buah itu.
“Sebenarnya, ada acara apa sehingga cik menyuruh saya untuk membeli daging sapi sebanyak ini? Lagipula, cik tidak ke toko?”
“Saya dan suami saya hanya ingin makan enak bersama dengan seseorang yang telah berjasa membantu kami setiap hari. Saya melihat, kau sangat rajin bekerja dan tahu sopan santun, tidak seperti orang-orang yang pernah bekerja di sini. Jadi, tidak ada salahnya kami mengajakmu makan enak bersama kami.”
“Wah, apakah saya sebaik itu?”
“Iya. Kau sungguh hebat dalam memasak. Kau juga tak pernah melanggar aturan di rumah ini. Kami pernah punya pembantu dulu. Ternyata, dia kurang ajar dan diam-diam sering menggoda suami saya. Bukankah itu sangat menyakitkan saya sebagai seorang istri dan majikan? Oleh karena itu saya usir dan permalukan dia agar semua orang di lingkungan ini tahu bagaimana dia sebenarnya. Saya memang bisa kejam, apalagi terhadap siapapun yang mencoba menggoda suami saya.”
Tak ada respons. Cik Lin mengerling.
“Tapi, kau tidak seperti itu, bukan?”
“Iya. Ehm, apa yang harus saya lakukan sekarang, cik?”
Sekar membuka plastik belanjaannya dengan tergesa-gesa.
“Mulai memasak, tentu saja.” Jawab cik Lin seolah sengaja memelankan kata-katanya.
Cik Lin tertawa kecil. Sekar mengumpulkan bumbu dan mempersiapkan talenan dan sebagainya. Sekar tak bersuara lagi setelah itu. Senandung kecil yang sebelumnya begitu merdu dan riang seakan hilang. Ia melirik majikannya yang berjalan ke sisi ruangan dan mempersiapkan blender serta gelas. Kening Sekar tiba-tiba basah. Jantungnya berdetak tak seperti biasanya ketika ia menatap sosok besar cik Lin.
Tiba-tiba suara keras menjerit dari arah cik Lin. Sekar melonjak dari tempatnya. Ia langsung siaga menatap sang majikan.
“Kenapa, Sekar?”
Itu adalah suara blender. Sekar menekan dadanya, mengambil nafas panjang.
“Kau seperti ketakutan. Apakah ada yang kau takutkan?”
Sekar seolah tak mampu berkata. Namun ketika ia menenangkan diri, cik Lin perlahan melangkah mendekatinya.
“Sekar, apa ada sesuatu yang telah terjadi?”
Sekar tak tahu harus bagaimana. Cik Lin semakin mendekat dengan raut wajah yang sangat tenang.
“Cik...”
“Kau tampak pucat sekali.”
Cik Lin terus melangkah, seperti tak ada yang bisa membendungnya.
“Cik Lin, sepertinya saya kurang enak badan.”
Cik Lin berhenti.
“Hm? Sepertinya tadi pagi kau masih sehat?”
“Iya, tapi sebenarnya...sebenarnya sudah dari semalam saya kurang enak badan. Mungkin hari ini saya tidak bisa seperti biasanya. Saya harus beristirahat di rumah.”
Cik Lin melangkah lagi. Tanpa bisa dibendung, tangan kanan wanita itu terulur. Mata Sekar melotot dengan bibir yang menganga gemetar.
Lalu, tangan cik Lin menyentuh kening Sekar.
“Kau tidak panas. Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?”
“Saya...saya harus pulang, cik. Saya tidak enak badan.”
“Tidak boleh, Sekar. Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu. Saya ingin makan rendang.”
“Tapi...”
“Kau tidak sakit, Sekar. Kenapa kau beralasan seperti itu?”
Dua wanita itu saling bertatap.
“Oh ya, saya lupa mengunci pintu depan. Dulu pernah ada maling, soalnya.”
Cik Lin tiba-tiba berjalan keluar dapur. Sekar hanya sanggup mematung sambil terus mengawasi gerak-gerik cik Lin. Lalu, suara kunci terdengar. Pintu itu telah mengurung dirinya di rumah ini. Sekar menarik nafas yang mendadak tersengal. Ia membalik tubuhnya menghadap meja sambil menunduk seperti seorang maling yang menyesal. Sambil menyeka kedua matanya dan sesekali menarik ingus yang mulai memenuhi hidung, ia meneruskan kewajibannya.
***
Tengah hari beranjak naik untuk mengabarkan waktu makan siang telah tiba. Sebuah ketukan di pintu depan terdengar.
“Iya, sayang!”
Cik Lin berlari dengan kaki-kaki gemuknya dan membuka kunci pintu. Koh Andi berdiri dengan senyuman.
“Kok dikunci?” Tanyanya seketika.
“Biarkan. Agar orang-orang tak mencium bau masakannya.”
Koh Andi masuk dan cik Lin mengunci pintu itu lagi.
“Sekar mana?”
“Ada di dapur. Kau merindukannya, ya?”
“Bicara apa kau? Eh, makan apa kita?”
“Rendang!!!” Seru cik Lin penuh euforia sambil mengangkat tangannya.
“Apa? Itu kesukaanmu. Ku pikir kau sudah tahu aku tidak suka rendang. Lagipula, untuk apa kau mengunci pintu seperti itu?”
“Psst! Jangan bawel. Masakan Sekar akan berbeda dibanding masakanku. Aku juga membuatkan jus alpukat kesukaanmu. Kau harus mencicipinya dulu baru bicara.”
“Yah, semoga saja. Aku pikir kita akan makan gulai atau masakan padang.”
Cik Lin mengantar suaminya itu ke meja makan.
“Tada!!! Lihatlah ini! Warnanya yang cokelat dan kental begitu menggugah selera! Sekarang cium aromanya! Hmmm...!”
Koh Andi mendekatkan hidungnya ke masakan di atas meja.
“Hm, sepertinya memang enak.”
“Benar kan?” Cik Lin menepuk tangannya. “Sudah kuduga kau akan suka! Kita mulai makan saja! Aku akan memanggil Sekar untuk bergabung.”
Sekar masih duduk dengan fac di smartphone-nya.
“Sekar, suami saya sudah siap. Kau siapkan makanan untuk dia. Saya akan mengambil jus di lemari es.”
“Biar saya saja yang menyiapkan jusnya juga.”
“Tidak. Kau layani dia.”
Sekar seperti tak bisa menggerakkan kakinya. Namun, cik Lin melambaikan tangan yang mengisyaratkan Sekar untuk pergi. Sekar hanya bisa mengikuti apa yang tak sanggup ia hindari. Sambil melangkah pergi, Sekar beberapa kali menatap cik Lin yang sampai detik ini belum juga membuka lemari es, hanya berdiri menatap Sekar dengan senyuman lebarnya.
“Ini kau yang memasaknya, Sekar?”
Koh Andi tengah membungkuk sambil menyendok rendang di dalam piring. Sesekali lidahnya menjilat bibirnya yang basah oleh bumbu. Sekar mengambil piring di tumpukan teratas dan mengelapnya.
“Kau yang masak ini?” Ulang koh Andi.
“Iya.”
“Apakah istriku ikut membuat bumbunya?”
Sekar mengangguk. Ia mengambil dua sendok nasi dan melumurinya dengan rendang yang cokelat basah dan menyajikannya di hadapan koh Andi.
“Kau harus mengambil yang banyak untuk dirimu sendiri, Sekar. Ini memang untukmu.”
Sekar menoleh ke arah dapur. Cik Lin belum terlihat juga.
“Kenapa? Ayo ambil!”
“Ayo makan!” Cik Lin muncul dari dalam dapur sambil membawa baki dengan tiga gelas jus di atasnya. “Punyaku sudah siap, Sekar?”
Sekar gelagapan dan segera mempersiapkan piring untuk cik Lin. Koh Andi hanya menatap pembantunya itu dalam diam.
Makan siang dimulai. Cik Lin menikmati rendang dengan piring paling besar.
“Bagaimana? Enak bukan, masakan Sekar?” Tanya cik Lin sambil memotong daging dengan sendoknya.
“Iya. Kau tahu Sekar, sebelumnya aku tidak pernah menyukai rendang. Akupun tidak tahu kenapa. Mungkin karena orang tuaku juga tidak menyukainya. Namun kali ini, aku sungguh menikmati masakan ini. Enak sekali, Sekar.”
Sekar hanya tersenyum mendapat pujian demikian dari koh Andi.
“Menurutmu, Sekar bagaimana?”
“Oh, Sekar adalah wanita yang luar biasa!” Seru koh Andi, “Dia baik, jujur, dan yang paling penting, masakannya luar biasa. Kau seharusnya membuka restoran, Sekar. Aku yakin pasti akan laku.”
Sekar melirik cik Lin yang tersenyum saja dan terus makan.
“Menurutmu Sekar cantik, tidak?”
Koh Andi tersedak. “Maksudmu?”
“Dibanding dengan semua pembantu kita dulu, apakah menurutmu Sekar adalah wanita yang paling cantik dibanding mereka? Menurutku begitu. Pasti sangat menyenangkan menjadi seorang lelaki yang bisa memilikinya.”
“Oh, tentu! Tentu! Mardian pasti sangat bahagia memiliki Sekar.”
Seolah tak berani menunjukkan mukanya, Sekar menunduk dan tak menyendok nasinya.
“Kenapa, Sekar?” Tanya cik Lin. “Oh, sebaiknya kita minum dulu. Mari bersulang! Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk kita. Kita harus merayakannya walau hanya kecil-kecilan seperti ini. Yuk, bersulang!”
“Mari. Sekar, angkat jusmu!”
Sekar menatap koh Andi.
“Ayo!”
Sekar memperhatikan segelas jus di samping piringnya. Ia melirik cik Lin. Cik Lin mengangguk. Pelan, Sekar mengaitkan jari-jarinya ke tangkai gelas.
“Kenapa? Ayolah! Ini jus, bukan sianida.” Desak koh Andi.
Sekar mengangkat gelas. Air alpukat di dalam gelas miliknya beriak. Namun, Sekar tahu tak ada yang dapat ia lakukan. Akhirnya, ia mengacungkan minumannya ke tengah meja. Koh Andi dan cik Lin mengikuti.
“Kau yang mengatakannya, sayang.” Bisik cik Lin pada suaminya.
“Oh, baiklah!” Koh Andi mendehem. “Demi keluarga yang sukses dan Sekar yang sudah mengabdikan dirinya sepenuh hati kepada keluarga ini. Semoga, Tuhan senantiasa memberkati kita.”
Tiga gelas saling membentur. Koh Andi dan cik Lin segera meminumnya. Namun, Sekar hanya memandang gelas miliknya. Air masik beriak dalam rengkuhan jari-jari Sekar.
“Psst! Ayo!” Bisik cik Lin melotot pada Sekar, tapi segera tersenyum kembali.
Segala sesuatunya seperti berjalan dengan sendirinya, seperti kereta yang melaju kencang di tengah rel. Para penumpang hanya duduk di dalam dan mengikuti kemana kereta tersebut melaju. Sekar seperti salah satu penumpang di dalam kereta yang dibangun oleh cik Lin dan hanya bisa duduk diam di dalamnya, membiarkan kereta itu membawanya entah kemana. Sekar meminum jus alpukatnya. Sesapan atau seteguk mungkin tak ada bedanya dan Sekar memilih meminumnya beberapa teguk. Dari seberang meja, cik Lin tersenyum lebar sambil masih meminum miliknya. Air mata Sekar perlahan melinang seperti setitik embun. Kerutan di alisnya seperti sebuah gunung yang tinggi di tengah dan semakin landai di kedua sisinya. Lalu, apa yang terjadi berikutnya hanya menyelesaikan makan siang. Cik Lin dan koh Andi sama-sama menambah nasi mereka, sedangkan Sekar hanya sanggup menghabiskan satu piring dan meminta ijin untuk meninggalkan meja makan. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan duduk di lantainya yang sembab. Ia menangis di sana. Ia menangis sampai tubuhnya berguncang hebat. Ia menangis sambil menutup mulutnya, berharap tak ada yang tahu, berharap hanya dia sendirilah yang begini, walaupun jauh di dalam lubuk hatinya, Sekar ingin pulang saat ini juga. Ia ingin menatap wajah suaminya, memeluk suaminya, dan mencium kaki suaminya seperti semua tak akan pernah lagi sama.
***
Share this novel