Ning Ayu baru saja selesai menyisir rambutnya. Ia lantas memeriksa ulang dompetnya dan menaruh benda berwarna cokelat itu ke dalam tas kulit dengan bingkai berwarna keemasan miliknya. Ia melangkah keluar rumah dan berjalan ke arah motornya. Namun, ketika wanita itu sudah naik dan menghidupkan mesin, ada sebuah motor lain yang mendekat dan berhenti di luar pagar.
“Mbak Dewi?” Seru Ning Ayu.
Sang tamu adalah seorang wanita yang lebih muda dari Ning Ayu dan memiliki aura terang. Wajahnya cenderung bulat dan memiliki mata yang besar.
“Oh, Mbak Ning mau pergi?”
“Oh, tidak apa-apa kalau mbak mau mampir dulu. Ini bukan urusan penting. Sungguh!”
“Tidak. Tidak perlu. Saya kemari hanya ingin mengantarkan ramuan yang dipesan mbak beberapa waktu lalu.”
“Wah, kenapa mbak mengantarkannya ke saya?”
“Tidak apa-apa. Kebetulan saya sedang santai dan memang ingin jalan-jalan. Jadi, kenapa tidak sekalian saya mengantarkan ini.”
Ning Ayu tersenyum dan Dewi memberikan plastik berisi beberapa ramuan.
“Hari ini banyak yang berobat?” Tanya Ning Ayu.
“Iya. Kebetulan hari ini sangat banyak yang datang untuk berobat atau sekadar memesan ramuan.”
“Eh, kenapa kita malah berdiri di sini? Masuk dulu yuk, mbak! Ayo!”
“Tidak! Saya langsung pulang saja. Oh iya, saya punya rencana untuk mendatangkan beberapa ramuan dari Afrika. Katanya, ada salah satu ramuan yang merupakan ramuan terhebat di dunia. Namun, saya lupa namanya. Mungkin, suatu saat nanti mbak bisa datang ke tempat saya dan melihat-lihat.”
“Ramuan terhebat di dunia? Ramuan untuk apa itu?”
"Saya juga masih belum tahu. Saat ini, mereka sedang bereksperimen dengan hal tersebut. Jadi, saya akan menunggu mereka selesai terlebih dulu untuk lebih jelasnya,"
Setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, Dewi pamit, Ning Ayu melanjutkan kembali apa yang sempat tertunda. Ia menarik gas motornya dan meninggalkan Agung Sari.
Dua puluh menit kemudian, Ning Ayu berbelok ke sebuah jalan aspal kecil dengan papan “ANDA MEMASUKI WILAYAH KELURAHAN JATIMAWAR” di atasnya. Kelurahan padat penduduk dengan rumah-rumah yang saling berimpit.
Ada sebuah rumah bercat biru dengan kusen-kusen kuning. Pintu dan atapnya juga berwarna kuning cerah. Halamannya tidak begitu luas, tapi penuh dengan tanaman hias. Sebuah kolam dengan air yang terus mengalir dari ujung atas tumpukan batu-batu alam terpajang di sebelah kanan rumah, hampir tanpa jarak dari pagar depan yang berupa tembok berwarna kuning. Ning Ayu menghentikan motornya di depan rumah itu. Ia turun, masuk menuju ke teras, dan mengetuk pintu sambil melongok ke dalam ruang tamu yang senyap.
Tiba-tiba, dari dalam rumah muncul seorang pria berambut keriting. Usianya mungkin hampir sama dengan Ning Ayu dengan perawakan yang cukup bongsor. Ketika menuju ruang tamu, pria itu sumringah menyapa Ning Ayu.
“Hai!” sapa Ning Ayu.
“Masuk silakan!”
Ning Ayu langsung duduk dan meletakkan tas di sampingnya, sementara pria berambut panjang tadi masuk kembali. Sambil menunggu, sang dukun memerhatikan ruangan tersebut. Dinding ruang tamu itu dihiasi dengan beberapa kaligrafi. Di salah satu sudut, terdapat lemari kaca yang penuh dengan kitab.
“Yu, sini!”
Pria tadi muncul kembali dan melambaikan tangannya ke arah Ning Ayu. Ning Ayu mengikutinya. Pria itu membawanya ke sebuah ruangan yang tak begitu besar dan tanpa kursi. Hanya ada karpet yang menutup lantai, lemari kaca di salah satu sisi ruangan, dan kotak besar di sisi yang lain. Cahaya matahari masuk melalui jendela kaca dengan teralisnya. Begitu masuk, pria itu menutup pintunya, seolah-olah tak ada seorang pun yang boleh ikut campur.
Mereka berdua duduk bersila, berhadapan.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya si pria dengan senyum yang tak pernah hilang sedari tadi.
“Sus, sepertinya baru beberapa bulan yang lalu kita terakhir kali bertemu. Jangan terlalu serius seperti ini, ah. Atau jangan-jangan, setelah kau berumah tangga, sikapmu kau jaga juga, yah?”
“Loh, kita memang akan membicarakan hal yang serius seperti katamu lewat telepon semalam, bukan?”
Ning Ayu tersenyum. Pria bernama Suseno itu sangat berbeda dengan yang ia kenal dulu. Mereka berdua memang baru kali ini kembali bertemu setelah Suseno mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi adik kelas Ning Ayu saat SMP.
Pintu ruangan terbuka. Seorang wanita berjalan masuk dengan membawa baki. Di atasnya, dua cangkir teh siap dihidangkan.
“Mbak Ning,” sapa wanita itu sambil bersimpuh dan meletakkan bakinya di karpet.
“Afifah!” Seru Ning Ayu tersenyum lebar ke arah Afifah yang merupakan istri Suseno itu.
Ning Ayu dan Afifah berpelukan.
“Bagaimana kabarnya, Mbak Ning? Sehat?”
“Iya. Eh, kamu sudah isi belum?” Tanya Ning Ayu sambil mengusap perut wanita berhijab panjang itu.
“Alhamdulillah, sudah. Mbak Ning sendiri kapan undang-undang kami?”
Ning Ayu tersipu. Ia sedikit kaku dalam senyumnya.
“Tuhan masih menutupkan tabirnya untukku. Tapi meski begitu, aku menikmati hidupku. Setidaknya untuk saat ini, aku memang belum berpikir untuk menikah.”
“Oh, tidak apa-apa. Setiap orang punya waktu sendiri-sendiri. Tidak bisa disamakan. Itu rahasia Ilahi. Hanya saja kalau sudah waktunya, jangan lupa undang kami.”
Ning Ayu tertawa. “Aku tidak mungkin melupakan kalian.”
“Baiklah. Saya permisi. Silakan dilanjut.”
Afifah melangkah mundur dan menutup pintu dari luar, meninggalkan Suseno dan Ning Ayu dalam keheningan. Suseno dan Ning Ayu saling menatap, tapi tidak ada yang memulai pembicaraan terlebih dulu.
“Baiklah. Bismillah. Jadi bagaimana? Kau yakin itu Onum?”
“Iya.”
Hening lagi. Suseno mengangkat cangkirnya menuangkan teh ke atas tatakan.
“Aku juga baru tahu, Onum ternyata bukan hanya mitos. Para dukun harus segera diberitahu.”
“Kau sudah menghubungi Ki Daud?”
“Belum. Aku hanya memberitahukannya padamu. Hanya kau yang tiba-tiba muncul di pikiranku saat itu.”
Suseno menyeruput air di tatakan. Genggamannya sedikit gemetar dan air teh itu terlihat beriak.
“Aku sudah melihatnya. Aku melihatnya dalam mimpiku. Akulah sasaran terakhirnya.”
“Ada berapa orang dalam keluarga itu?”
“Tiga. Mardian, Sekar, istri Mardian, dan Lastri, ibu dari Sekar. Mereka semua berada dalam ruangan itu ketika Onum lahir, termasuk aku.”
Suseno menyeruput lagi sisa teh di tatakan. Kedipan di kelopak matanya terlihat cepat.
“Mitos itu mengatakan bahwa siapapun yang berada dalam satu ruangan dimana Onum dilahirkan, akan mati satu demi satu. Waktu itu aku sungguh tak tahu harus bagaimana. Aku tidak mungkin pergi begitu saja. Aku juga tidak mungkin melakukan hal lain selain terus membantu keluarnya Onum. Walau pada akhirnya, Onum merangkak keluar dari rahim dengan tangan dan kakinya sendiri.”
Suseno tersedak. “Dengan tangan dan kakinya sendiri?!”
“Iya, sesuai dengan apa yang dikatakan mitos itu.”
Suseno menggaruk kepalanya dan nafasnya semakin terdengar. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Di tengah kebingungannya, pria itu menunduk. “Jadi bagaimana sekarang?”
“Aku tidak tahu. Aku kemari ingin membahas jalan keluarnya denganmu.”
“Kau sudah punya rencana apa?”
Ning Ayu menggeleng.
“Onum tidak bisa dibunuh dengan cara apapun. Membuangnya juga tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika ia sudah memiliki sasaran, ia akan terus memburunya walau apapun yang terjadi, walau jarak ruang dan waktu memisahkannya dengan calon korbannya. Ia akan menemukan kalian dengan cara yang tak pernah kalian tahu.”
Ning Ayu menggigit bibir bawahnya. Sekejap tatapannya menggelincir turun di tengah kabut resah yang menyemut hatinya. Keletihan dalam menghadapi berbagai kemungkinan mulai terasa. Ia menatap teh di depannya dengan hampa.
“Benarkah tidak ada sesuatu pun yang sanggup membunuhnya?” Lirihnya.
“Mitos itu hanya mengatakan bahwa Onum adalah salah satu jenis manusia iblis yang abadi. Mungkin, ada cara untuk mengalahkannya, bukan membunuhnya.”
“Apa?”
“Aku belum tahu soal itu. Yang pasti, membunuhnya adalah usaha yang sia-sia. Kita mungkin harus memberitahu Ki Daud mengenai hal ini. Bagaimanapun, dia guru kita. Dia mungkin memiliki pemikiran lain berdasar pengalamannya menjadi paranormal. Jangan lupa juga, kita masih punya kawan-kawan seperguruan yang bisa dihubungi.”
Ning Ayu kembali dirasuk diam. Ia masih memandang teh itu dan tak menyentuhnya sama sekali. Melalui permukaan air yang kecokelatan di dalam cangkir, ia melihat bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu tampak sangat menyedihkan dengan kulit kendur dan sorot mata tanpa kehidupan.
Seperti inikah diriku nanti ketika nyawa telah dicerabut oleh sang iblis, pikirnya.
***
Akhirnya, waktu yang begitu dinantikan oleh Sekar tiba. Mardian juga sudah ikut berjualan bersamanya. Koh Andi datang lagi hari ini ke tenda hitam dan mengatakan sesuatu yang menghangatkan jiwa wanita itu.
“Semalam aku dan istriku sudah setuju. Kau bisa mulai bekerja di rumahku besok. Kau bisa melakukan pekerjaan dapur dan membersihkan rumah.”
Sekar mendekap dadanya sendiri dan melirik Mardian. Mardian juga memandang Sekar. Namun tanpa ia tahu, Sekar sebenarnya sedang berjuang untuk tak terlihat salah tingkah atau melonjak-lonjak. Ia hanya memendam lonjakan itu hanya di dalam hatinya saja.
“Terima kasih banyak, koh,” suara dari bibir Sekar mengalun lembut. “Saya akan bekerja sebaik-baiknya dan tidak akan mengecewakan koh Andi. Saya akan selalu datang tanpa meninggalkan satu hari pun. Masakan saya juga enak. Koh Andi dan Cik Linda pasti tidak akan menyesal. Pokoknya, saya akan memberikan yang terbaik untuk koh Andi dan Cik Lin.”
Koh Andi tertawa. Sekar juga mengikutinya.
“Kalau boleh tahu, pukul berapa dia harus siap di rumah koh Andi dan kapan ia sudah boleh pulang?” Tanya Mardian.
“Sekar bisa datang sebelum jam sarapan. Tapi untuk hari pertama, dia bisa datang sedikit lebih siang. Besok aku yang mengantarkannya ke rumahku. Jadi, kau bisa tetap menjaga tendamu, Mardian. Untuk waktu pulang, dia bisa pulang sore hari. Yah, sama seperti ketika kalian pulang dari sini. Jam-jam itu Sekar sudah boleh...”
“Tidak sampai malam, koh? Sekar tiba-tiba menyela. “Tidak apa-apa kalau harus sampai malam. Saya akan rajin bekerja!”
Mendengar itu, Mardian seketika menoleh. Wajahnya sedikit mengerut.
“Oh, tidak perlu,” jawab Koh Andi sambil melirik cepat ke arah Mardian lalu kembali lagi ke Sekar. “Kasihan anakmu jika kau tinggal sampai malam.”
Meski demikian, rasanya kata ‘bahagia’ itu sendiri masih belum cukup besar untuk mewakili apa yang Sekar rasakan sekarang ini. Begitu dahsyat gemuruh dalam dadanya. Jantungnya serasa tak kuasa menahan semua itu. Kalau bisa, Sekar ingin pulang sekarang dan berteriak sekencang-kencangnya sambil melompat setinggi-tingginya. Namun sayang, ia masih di antara orang-orang. Masih sangat lama ia harus menanti untuk tiba di rumah. Dalam duduknya, di depan seseorang yang sangat ia hormati karena kebaikan hatinya, Sekar hanya dapat mengusilkan kakinya di bawah, mengetuk-ketukkan tumitnya ke tanah agar banjir perasaan yang memenuhi ruang hatinya dapat ia lampiaskan sedikit-sedikit.
Hari itu Mardian dan Sekar tidak mendapat uang selain dari koh Andi yang membeli dua pisang gorengnya tadi pagi sambil mengantarkan kabar gembira itu. Sore hari, mereka meninggalkan pasar seperti biasanya.
“Mas...” Sekar yang membonceng di belakang Mardian menatap punggung suaminya, “kok dari tadi diam saja?”
Entah apa yang Mardian pikirkan, Sekar belum dapat menerkanya. Bahkan ketika malam tiba, saat-saat mereka berkumpul untuk menghabiskan sisa lemper yang masih banyak, Mardian tak banyak bicara. Namun, sampai sebelum mereka berpisah menjelang tidur, Sekar tak menanyakannya lagi. Keganjalan dalam hatinya tertutup rapat tanpa celah oleh rasa gembira akan perubahan yang terjadi padanya esok hari. Malam ini, Sekar menghabiskan separuh waktu tidurnya untuk memikirkan pekerjaan barunya, kehidupan barunya, dan tentunya, kegembiraan dan kelegaan yang selama ini ia inginkan jauh di lubuk hati. Di sisi lain, Mardian tak lekas memejamkan matanya. Ia berbaring menatap genteng tanpa bergerak.
Tak jauh dari dirinya, Bayu mulai mengigau lagi.
***
Esok tiba dengan sinar angkasa yang berwarna biru tanpa awan bak samudera di langit. Sekar berada di warungnya untuk menunggu kedatangan koh Andi. Ternyata, koh Andi muncul pukul tujuh dan langsung menyapa calon pekerjanya itu. Setelah meminta ijin pada Mardian, koh Andi membawa Sekar bersamanya. Sekar melambaikan tangan pada suaminya sebelum berlari dan melangkah beriringan dengan koh Andi.
“Mau kemana istrimu, cin!?”
Sasya yang tengah sepi pembeli tampaknya memiliki waktu untuk ikut campur. Namun, Mardian tak keberatan untuk menceritakan kenyataannya.
“Wah, aku juga mau kalau seperti itu, cin! Bekerja di rumah majikan yang cakep. Paling kerjaannya cuma jadi pembantu biasa. Begitu mudah dan tidak perlu mikir. Kalau aku yang di sana, aku bisa mendapat penghasilan dobel, cin!”
“Kok bisa?”
“Karena dia pasti akan menjadikanku simpanannya! Dikau tahu? Banyak pembantu yang jadi wanita simpanan majikannya dan wanita simpanan pasti lebih disayang dibanding istrinya. Kalau daku sih, selalu siap kalau sewaktu-waktu Andi Lau itu menambatkan hatinya pada diriku. Daku bicara serius! Demi Tuhan daku siap.”
Mardian hanya tersenyum sambil memalingkan muka. Namun, dalam hatinya ia berteriak dengan api yang menyembur dari mulutnya, "Orang gila! Orang tidak tahu malu! Sedang kesurupan ya, nek?! Ngaca! Mikir donk! Otak jangan kau taruh di selangkangan!"
Mardian diam walau bibir dan rahangnya menegang. Pria itu memandang langit. Warna biru membuatnya teringat Sekar. Kecerahan ini seakan memang milik Sekar. Langit itu adalah milik Sekar dan hari ini adalah Sekar itu sendiri. Mardian tidak tahu apa yang akan terjadi. Mardian tidak pula bisa melakukan sesuatu yang lebih baik. Di sini, di dalam tenda hitam yang pernah menjadi milik ibunya, Mardian hanya dapat menunggu di belakang lemper, tempe, dan gorengan lain miliknya sambil berharap agar hari ini benar-benar ada hal yang baik, sebaik langit di atas sana.
Sementara itu, koh Andi telah sampai ke rumahnya bersama Sekar. Sekar turun dari motor dan melepas helmnya. Koh Andi membuka gerbang rumah dan mengendarai motor itu masuk ke halaman.
“Cik Lin di rumah?” Tanya Sekar seraya mengikuti koh Andi masuk ke halaman.
“Iya. Dia yang akan menjelaskan semuanya. Ini kan hari pertamamu. Pasti banyak yang kau belum tahu. Semoga kau bisa beradaptasi hari ini.”
Sekar tersenyum dan mengangguk dua kali. Lalu, koh Andi mempersilakan Sekar untuk masuk. Setelah koh Andi sudah di dalam, pria itu segera memanggil-manggil cik Linda, istrinya. Sekar melepas alas kakinya di luar pintu dan duduk di sofa. Oh...begitu empuk dan lembutnya sofa itu bercumbu dengan pantat Sekar. Oh...Sekar seperti hampir terbenam di situ.
Kemudian, sesosok wanita berambut keriting dengan tubuh tak begitu tinggi dan cenderung lebar seperti gunung berjalan menghampiri Sekar dengan ekspresi sangat ceria. Senyuman di bibirnya begitu lebar, sampai-sampai kedua matanya yang sipit semakin rapat tertutup.
“Sekar, bagaimana kabarmu?”
Cik Lin mengulurkan tangan kanannya. Sekar langsung berdiri dan menyambutnya dengan genggaman yang bertenaga. Lalu, mereka berdua duduk.
Tanpa basa-basi panjang, Cik Lin yang memegang kendali mulai membahas tentang apa yang akan Sekar kerjakan mulai hari ini. Cik Lin menjelaskan semuanya, mulai dari masakan favorit keluarganya sampai masalah jemuran. Namun, lama-lama monolog itu berkelok topik ke anak laki-lakinya yang sedang kuliah di Jakarta dan baru mendapat tawaran dari temannya untuk ikut jadi fotografer di sebuah majalah. Setelah cukup lama Cik Lin asyik dengan ceritanya sendiri, koh Andi muncul dari dalam dan menatap meja. Ia menundukkan tubuhnya untuk membisiki sesuatu pada cik Lin. Sontak cik Lin menutup bibirnya dengan jari-jari tangannya. Matanya yang sipit sedikit melebar melirik Sekar.
“Oh, Sekar! Kau mau minum apa? Saya terlalu asyik dengan kata-kata sendiri sampai melupakanmu! Atau kau mau ambil sendiri? Bukankah hari ini kau sudah mulai bekerja? Bagaimana kalau kau yang ambil sendiri? Sini, saya antar kamu!”
Setelah sesi malu-malu dalam diri Sekar, wanita itu akhirnya berdiri sambil masih membawa tasnya dan membuntuti cik Lin. Cik Lin mengajak Sekar berkeliling untuk memperkenalkan segala sesuatunya, termasuk tata cara menggunakan rice cooker, microwave, dan mesin cuci. Koh Andi tak membuka mulutnya sedikitpun. Ia hanya memandang calon pembantunya itu dari belakang. Tatapannya begitu dalam, seperti ada sesuatu yang memercik dalam pikirkannya saat menatap Sekar.
***
Share this novel