Hari demi hari seolah berganti dengan begitu lambat. Sekar tak pernah kembali ke rumah semenjak kematian Bu Lastri. Ia menjadi lebih sering melamun ketika bekerja seperti hari ini. Sekar duduk di dapur menunggu air masak dalam cerek. Tercenung. Pandangannya melayang ke jendela seperti waktu itu.
“Sekar, airnya sudah masak.”
Suara itu mengejutkannya. Ia gelagapan dan mematikan kompor dengan segera. Setelah itu, ia menuangkan air tersebut ke dalam termos.
“Maafkan saya, cik. Maaf.”
Gemetar, air yang ia tuangkan beberapa kali meleset dari lubang termos. Cik Lin yang memperhatikannya berjalan mendekat.
“Pelan saja, Sekar. Kau menumpahkannya.”
Sekar langsung mengambil kain pel di laci meja dan mengelap lantai yang basah.
“Sekar, sebenarnya kau kenapa? Kalau sakit seperti katamu waktu itu, kau tidak mungkin seperti ini. Kau kelihatannya sedang ketakutan dan putus asa. Kenapa? Ceritakanlah.”
“Cik Lin, bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Tanya apa?”
“Apa kesedihan terbesar cik Lin selama hidup?”
Cik Lin mengernyitkan keningnya.
“Kalau saya tidak pernah merasa begitu sedih. Namun, ketika ada seseorang yang meminjam uang dan tidak mau mengembalikannya, saat itulah saya merasa sedih dan marah. Karena, saya merasa dipermainkan oleh fakir miskin yang tidak tahu malu. Seharusnya, mereka malu menjadi orang miskin, tapi mereka memperburuk dirinya sendiri dengan berutang dan tidak mau membayarnya. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?”
Sekar tersenyum dan menaruh kain itu di dalam ember kecil di kamar mandi.
“Tidak apa-apa. Saya hanya merasa bahwa kehidupan ini kadang tak adil.”
Cik Lin tertawa sambil memukul-mukul meja.
“Oalah, Sekar! Bagaimana mungkin kau bisa berpikir seperti itu? Kehidupan ini indah dan selalu berputar. Ketika kau susah, waktu akan membawamu kembali kepada kebahagiaan, sama seperti uang. Dalam kehidupan saya, ketika uang saya berkurang, saya selalu bekerja lebih keras untuk mengumpulkan uang lagi. Hasilnya, uang yang saya dapatkan seringkali lebih banyak dari sebelumnya. Itulah sebabnya saya jarang sekali bersedih. Sekarang ini kau sudah bekerja di sini. Kau tidak perlu khawatir. Selama kau bekerja dengan baik, saya dan suami saya akan mempertahankanmu di sini, bahkan memberimu bonus. Kau harus menabung uang yang sudah kau terima dan ketika kau sudah mengumpulkan banyak uang, ingat kata-kata saya, kau akan merasa bahwa kehidupan ini sangat menyenangkan seolah kau memiliki semuanya. Saya yakin, kau akhir-akhir ini terlihat murung hanya karena roda kehidupanmu belum berputar saja. Percayalah! Kau akan menemukan kembali senyum manismu ketika kau sudah punya tabungan yang banyak. Itu pengalaman pribadi saya, loh!”
Cik Lin tertawa sedangkan Sekar memaksakan diri tersenyum.
“Bersemangatlah dalam hidup ini! Oke? Sebentar lagi saya mau pergi. Inilah rutinitas saya, mengelola toserba sekaligus menjadi bos yang baik bagi karyawan-karyawan saya. Kalau kau sudah selesai, nyalakan saja televisinya. Tidak apa-apa.”
Dengan nada tawa yang besar, tubuh Cik Lin yang bagai gunung itu bergerak menjauh.
Di rumah, Mardian sedang menguleg bumbu. Ia memasukkannya ke dalam wajan di atas tungku dengan api yang membara di dalamnya. Setelah membolak-balik bumbu itu agar campur dan matang, Mardian mengambil sebuah baskom berisi potongan ikan-ikan gurami. Ia mengambil beberapa potongan dengan tangan dan memasukkan perlahan ke dalam wajan.
“Aku akan menikmati kalian tanpa ada yang mengganggu,” bisiknya dengan bibir yang mengembang ceria.
Mardian mengangkat wajan ketika matang dan mengambil dua potong dengan nasi di piring. Namun, ketika ia berjalan ke depan, langkah Mardian terhenti di depan sebuah kalender yang terpasang di ruang tengah. Mardian mengamati kalender itu dan pandangannya berhenti di sebuah tanggal.
“Hah? Benarkah ini?”
Seolah masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya itu, Mardian memperhatikan kalender cukup lama.
“Ha! Baiklah! Ulang tahunku kali ini akan menjadi hal yang paling bersejarah!”
Mardian melanjutkan langkahnya ke teras dan duduk di salah satu kursi. Dengan menyilangkan kaki, Mardian mulai melahap makanannya. Namun baru satu kali suapan di mulutnya, seorang nenek dengan memanggul kayu bakar di punggungnya berjalan di jalan utama depannya.
“Sarapan dulu, Mbah Ponirah! Biar kuat dan tidak cepat mati!” Seru Mardian sembari mengangkat piringnya. Namun, si nenek hanya memperhatikan Mardian dengan kening kusut sambil terus berlalu. Mardian cekikian sendiri dan melanjutkan mengisi perutnya dengan leluasa tanpa sedikitpun horor di wajahnya.
Sementara itu, Sekar mengantarkan Cik Lin sampai ke pintu depan rumah. Di luar pagar, sebuah mobil terparkir. Terlihat beberapa wanita berada di dalamnya dengan musik keras yang Sekar tak mengenalnya.
“Cik setiap pergi selalu bersama mereka. Sebenarnya mereka itu siapa?”
“Mereka teman-teman saya. Saya hanya menumpang dan turun di toko. Ehm, sudah ya! Sampai ketemu nanti!”
Sekar mengangguk. “Hati-hati di jalan, Cik Lin!”
Cik Lin melangkah ke mobil itu dan mereka meninggalkan tempat itu tanpa menunggu lama.
Sekar masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu. Ia mengeluarkan smartphone-nya dari saku dan membuka ruang chat. Dalam layar 3 inchi itu, tertulis nama koh Andi.
Koh, cik Lin sdh prg. Sy sndirian di rmh. Kesepian :(
Sekar menarik nafas. Ia membuka ikatan rambutnya dan beranjak pergi dari sofa.
***
Menjelang tengah hari, dua insan yang tidak terikat dalam pernikahan yang halal saling berpeluk di atas ranjang. Sekar membiarkan koh Andi memeluk dirinya dalam hangatnya selimut setelah kebutuhan emosional keduanya usai. Jemari koh Andi menyelip di antara rambut Sekar yang terurai pasrah dan lembab.
“Kau tampak murung, Sekar. Apakah kau masih belum bisa melupakan ibumu atau ketakutan akan kutukan dari...siapa namanya? Onum?”
“Keduanya.” Bisik Sekar lemah menatap dada berambut koh Andi yang berkeringat.
“Sayangnya aku tidak bisa membantumu, Sekar. Namun, aku akan selalu ada setiap kali kau membutuhkanku. Handphone dan kos hanya beberapa bukti bahwa aku memang ingin melihatmu bahagia. Bukan hanya harta, tubuhku pun kuberikan padamu. Dibanding dengan istriku. Aku sudah tahu sejak lama kalau dia jarang ke tokonya dan malah keluyuran dengan teman-temannya ke mal. Hanya saja, aku masih membiarkannya selama ini tanpa ia tahu.”
Sekar tersenyum. Ia mengusap satu butir keringat yang mengalir di dada koh Andi.
“Koh ganas sekali sampai berkeringat seperti ini.”
“Kau juga agresif sekali, Sekar. Biasanya kau bermain dengan lembut, tapi kali ini kau sangat panas dan berani.”
Mereka berciuman. Berkali-kali. Namun, ciuman terakhir koh Andi tak dibalas.
“Koh,”
“Hm?”
“Kalau saya mati, apakah koh Andi akan merindukan saya?”
Tak ada jawaban dari Koh Andi. Sekar mengangkat dagunya untuk memandang pria perkasa itu.
“Sekar...”
Koh Andi memeluk Sekar erat sekali seperti seorang kekasih yang hendak berpisah. Sentuhan ini terasa lain di tengah perasaan hati yang sedang gundah. Sekar mulai terisak sampai suara sendunya terdengar.
“Sekar...”
“Koh,” bisik Sekar dengan suara yang menekan. “Saya ingin bersama koh Andi lebih lama lagi. Miliki saya lagi, koh. Lakukan apapun yang koh inginkan. Lumat tubuh saya! Cintai saya dengan semua yang koh miliki! Saya takut sekali, koh...”
Sekar memeluk pria itu dan menggigit bahu kekarnya. Bak binatang liar yang menggila, Sekar naik ke tubuh koh Andi dengan wajah yang merah dan dingin oleh air mata. Kakinya mengapit pinggang pria itu. Ia menyerang koh Andi dengan semua yang ia miliki.
“Cepat lakukan sesuatu koh!” Jerit Sekar sambil menangis. “Bahagiakan saya sebelum maut mengambil jiwa saya dan mencampakkannya ke dalam dunia yang tak saya mengerti! Peluk diri saya koh, sebelum diri ini tak lagi dapat koh miliki...”
Koh Andi tak mampu membendung hasrat dengan linangan air mata Sekar. Keduanya kembali bergumul, bercinta dengan sepenuh darah yang mendesir, dan saling menyetubuhi jiwa masing-masing seakan segalanya tak lagi kan terulang.
Jauh dari rumah yang tengah bergelora itu, di dalam sebuah kamar yang ditelan keheningan, Ning Ayu tak beranjak dari kursinya dari tadi. Sebuah tumpukan buku ada di atas mejanya. Mata wanita itu melekat erat dengan baris-baris kata dalam sebuah buku yang ada di hadapan dirinya. Berbagai mantra tertulis, berbagai simbol tergurat dalam lembaran-lembaran yang telah menguning. Namun tiba-tiba, matanya yang redup bergerak melirik ketika sebuah deringan memecah kesunyian. Nama Suseno muncul dari dalam layar yang berkedip.
“Assalamualaikum?” Sapa Ning Ayu.
“Walaikum salam. Kau sibuk?”
Ning Ayu menyandarkan punggungnya.
“Tidak. Aku sedang tidak memiliki pasien hari ini.”
“Oh, baguslah. Aku hanya ingin menanyakan perkembangan sampai detik ini. Jadi bagaimana? Apakah masih ada keganjilan setelah ritual itu?”
Jantung wanita itu berdegub kuat mendengarnya.
“Ehm, tidak ada. Tidak ada.”
“Sungguh? Keluarga itu juga baik-baik saja?”
“Ehm, iya. Semuanya baik.”
“Alhamdulillah. Akan tetapi, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Kau tetap harus waspada. Walaupun kau juga korban, tapi kau memiliki tanggung jawab untuk menjaga mereka. Kalau sesuatu terjadi lagi, aku siap membantumu. Karena, aku tidak ingin kau kenapa-kenapa.”
Ning Ayu tertawa. “Kau mengkhawatirkanku, Sus?”
“Tentu saja. Aku temanmu dan kau dalam bahaya. Mana mungkin aku tak ikut pusing?”
“Iya, Sus. Aku pasti akan menghubungimu kalau aku butuh bantuan. Namun untuk sekarang ini, semuanya masih baik-baik saja. Jadi, kau tak perlu memikirkanku.”
“Baik. Baik. Aku hanya ingin menanyakan hal itu. Aku akan melanjutkan pekerjaanku sekarang. Jaga dirimu. Assalamualaikum!”
“Walaikum salam.”
Ning Ayu meletakkan kepalanya di atas buku, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia mengangkat lagi kepalanya menjauh dari permukaan kertas-kertas buku. Sambil mendesah, ia menyibakkan rambut panjangnya dan menelusuri lagi apa saja yang tertera di dalam buku itu.
Lembar demi lembar ia lalui. Halaman demi halaman terasa seperti kertas kosong tanpa arti, tanpa jawab, dan hanya memercikkan makin banyak tanda tanya. Dukun wanita itu menyangga kepalanya dengan kedua telapak tangan di keningnya, mencengkeram, dan memijatnya.
"Tujuh buku mantra dari 3 aliran mistis tak memberiku jalan keluar, pikirnya. Apakah kekuatan Onum memang sebegitu hebatnya? Apakah semua yang sudah dipilih akan benar-benar mati tanpa bisa dihindari?"
Ning Ayu menggeser kursinya ke belakang dan berjalan ke ruang makan. Ia menuangkan air dari dalam tempat air minum plastik ke sebuah gelas dan meminumnya sampai habis.
"Lahirnya Onum adalah kesalahan keluarga itu. Aku tidak seharusnya mengalami hal seperti ini. Jika dipikir, merekalah yang pantas mati karena mereka dan generasi pendahulunya telah bersalah. Sedangkan aku hanya seorang dukun yang terseret tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku harus memikul tanggung jawab yang bahkan aku sendiri pun tidak pernah tahu apakah aku bisa memikulnya."
Ning Ayu melangkah ke pintu depan. Di sana, ia bersandar di kusen pintu, menatap jalan depan rumah yang sepi dan jeblok karena jenuh oleh air hujan kemarin hari.
"Apakah aku harus menolong mereka?" Jantung wanita itu berdetak kuat seketika. "Aku bisa saja memikirkan diriku sendiri. Sehingga, aku bisa fokus untuk melindungi diri tanpa memikirkan untuk melindungi mereka. Itu akan memakan waktu lebih singkat. Akan tetapi, apakah aku akan melakukan itu? Haruskah aku mulai bersandiwara?"
Sebuah motor terlihat memasuki halaman rumah Ning Ayu. Tiga orang turun: seorang pria, seorang bocah, dan seorang wanita, dan si pria mengangguk kepada Ning Ayu yang tengah melamun di pintu.
"Aku punya kehidupanku sendiri di sini," batinnya.
“Permisi.” Sapa si pria sembari mengajak yang lain untuk mendekat ke teras. “Kami mau mengobatkan anak kami.”
Ning Ayu tersenyum.
“Silakan masuk.”
Ning Ayu mempersilakan mereka untuk masuk terlebih dahulu. Tanpa mereka tahu, wanita itu memperhatikan mereka dari belakang.
"Tapi, hampir setiap hari orang-orang seperti ini datang ke rumahku. Setiap kali mereka datang, aku menolong mereka dengan segenap kemampuan dan kasih sayang yang aku miliki. Lalu, muncul kebahagiaan terbesar ketika melihat mereka pulang dengan senyuman dan harapan yang tinggi di hati mereka untuk sembuh."
Ning Ayu menatap langit dan merekahlah senyuman gelinya sambil menutup mata. "Kehidupan ini kadang menyebalkan."
***
Roda-roda sebuah mobil MPV berwarna hitam bergulir memelan. Sampai di depan sebuah rumah, roda-roda itu sempurna berhenti. Pintu belakang sebelah kiri terbuka. Cik Lin melompat turun dari dalam.
“Siska, semoga adikmu cepat sembuh. Kalau ada apa-apa, kau kabari kita-kita. Oke?”
“Iya, terima kasih. Aku juga minta maaf acara kita jadi hanya sebentar. Aku minta doanya, ya Lin.”
Setelah mereka saling melambaikan tangan, mobil itu bergerak meninggalkan Cik Lin. Ketika sudah berada di halaman rumah, cik Lin melihat motor milik suaminya terparkir di sana dan pintu rumah tertutup. Senyum yang baru beberapa menit lalu menjadi perhiasan di wajahnya, seolah kini terbakar hangus dan kusam. Cik Lin berjingkat. Ia mendorong pintu pelan-pelan dan tanpa suara. Di dalam rumah, cik Lin tak melihat siapapun.
Sebaliknya, ia justru mendengar suara.
Sepertinya dari lantai dua. Suara itu samar, tapi sangat jelas milik seorang wanita. Dada cik Lin sesak. Tubuhnya yang seperti gunung gemetar di tempat, terlebih ketika muncul suara laki-laki yang bersahutan dengan suara si wanita, seperti dua ekor binatang yang saling memperebutkan sesuatu. Siapa iblis wanita yang tega melakukan hal terkutuk seperti ini di tempat yang bukan miliknya? Siapa juga iblis lelaki yang begitu tak berperasaan berbagi keintiman dengan sangat egoisnya?
Kedua tangan cik Lin mengepal. Ia menangis sampai bahunya naik hampir menempel di pipi karena terlalu menahan diri. Lalu, masih dengan langkah sangat hati-hati, cik Lin keluar rumah, menutup kembali pintu seperti sebelumnya, dan berjalan pergi bagai tamu yang tak dibutuhkan. Sebelum ia melewati gerbang, cik Lin menyempatkan diri menatap jendela lantai dua yang merupakan jendela kamarnya. Air mata membanjir di pipinya. Mulutnya yang lebar seolah akan selalu menganga demi rasa sakit yang berdarah di hati, demi rasa sakit yang akan abadi sepanjang hidupnya. Akhirnya, cik Lin meninggalkan rumah itu. Seperti seorang anak manis, ia menutup kembali gerbang yang dibukanya.
***
Share this novel