Waktu telah menelan hari. Kegelapan langit yang berbintang mulai bangkit dari tidurnya, memanggil makhluk-makhluk malam untuk menguasai dunia sekali lagi. Mardian tengah menata galon-galon berisi minyak tanah di dalam kamarnya. Bayu duduk memperhatikannya di atas kasur.
“Kau tahu, nak? Walau bapak sudah menggunakan banyak uang untuk membeli minyak-minyak ini tadi sore, bapak masih punya sisa uang yang tidak sedikit. Huh! Hidup ini aneh, ya? Punya banyak uang ketika bapak sudah mau mati.”
Ada sepuluh galon berisi minyak di kamar. Bola mata Bayu berkilat memandang benda-benda itu. Mardian duduk di sebelah anaknya, memandang Bayu sambil tersenyum.
“Nanti, bapak ingin membakar semuanya. Bapak ingin membakar diri bapak juga. Mungkin, kau juga ikut bapak bakar.”
Mardian membelai kepala bocah itu. Dua daging yang tumbuh terasa semakin keras. Sambil mendesah, Mardian merebahkan dirinya di atas kasur.
“Tinggal menunggu waktu...”
Sementara itu, Ning Ayu duduk di kursi ruang makan. Ia bersandar di kursi. Tangan kirinya memegang sebuah toples dan tangan kanannya mengambil biskuit yang ada di dalamnya dan melahapnya. Kelopak matanya tak berkedip menatap meja makan. Tak ada yang istimewa di atas meja itu. Namun, wanita itu terus menatapnya sembari tangannya terus mengambil biskuit.
Ning Ayu melirik jam dinding. Waktu sudah hampir pukul setengah sembilan. Ia memungut satu lagi biskuit dari toples lalu menutup toples itu pelan-pelan.
Ning Ayu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Namun, ia berhenti seketika. Tangannya menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya. Jantung itu berdegub cepat, seperti sesuatu akan terjadi. Namun, Ning Ayu hanya menarik nafasnya dan naik ke atas tempat tidurnya. Ia meletakkan kepalanya di atas bantal dan menarik selimut sampai ke lehernya.
Tiba-tiba telinganya mendengar sesuatu.
Suara mesin motor terdengar di depan rumah. Mata Ning Ayu seketika membelalak. Ia bergegas bangun dan membuka pintu depan rumah. Ketika pintu itu terbuka, seorang wanita berlari kecil menghampiri Ning Ayu.
“Mbak Dewi?!”
“Mbak Ning!!!”
Wanita itu menyerahkan bungkusan tersegel kepada Ning Ayu.
“Maaf, mbak! Hari ini saya ada urusan keluarga yang mendesak sekali. Jadi, saya baru bisa mengantarkannya sekarang.”
“Oh, tidak apa-apa, mbak. Tidak apa-apa.”
“Memangnya pasiennya mbak sudah siap untuk meminum ramuan ini?”
“Saya sudah bicara padanya dan katanya, dia siap.”
“Wah, kasihan sekali. Hanya karena jin dia harus kehilangan dirinya. Awalnya saya tidak yakin bahwa ramuan ini akan laku. Maka dari itu, saya hanya membeli satu botol.”
“Untuk kali ini, satu botol sudah cukup.”
“Hm. Ya sudah. Saya pamit dulu, mbak! Saya lelah sekali ingin beristirahat.”
“Aduh, saya jadi tidak enak. Hati-hati di jalan, Mbak Dewi! Sekali lagi, terima kasih banyak!”
Dewi kembali ke motornya dan melaju ke luar dari halaman rumah. Ning Ayu masuk tanpa menutup pintu. Di kursi ruang tamu, ia duduk. Tangannya membuka paket itu. Sebuah botol kecil berlabelkan Remedy of Rebirth tampak terhimpit spon-spon penahan. Ning Ayu mengambilnya, memperhatikannya.
FOR EXTREME CIRCUMSTANCES ONLY!
WARNING!!!
THIS BOTTLE CONTAINS LIQUID
THAT CAN UNDO YOUR SOUL
TO IT'S AFTERBIRTH!
THERE IS NO TURNING BACK
ONCE YOU USE THIS!
MAY SPIRITS OF WISDOM GUIDE YOU...
Ning Ayu gemetar. Inilah Remedy of Rebirth yang berpeluang menjadi satu-satunya jalan keluar.
Wisdom...
Bayangan Mardian segera memenuhi otaknya. Tiba-tiba ia terjebak dalam bisikan jiwanya yang berisik. Bisikan-bisikan itu saling berdebat, memperebutkan hati Ning Ayu akan keputusan final: Dirinya atau Mardian. Namun, salah satu bisikan itu mengatakan sesuatu yang membuat Ning Ayu terhenyak.
“Tidakkah kau merasakan? Aura Mardian hari ini begitu kelam. Jangan-jangan...”
Ning Ayu bergerak cepat. Ia menyambar tas di kamarnya dan memasukkan botol itu ke dalamnya. Sejurus kemudian, ia mengendarai motornya keluar gerbang.
Sementara itu di dalam kamar, Mardian tengah menyalakan koreknya. Perlahan, ia mendekatkan ujung api ke jari tangannya.
“Uh!” Mardian menarik tangannya. “Ternyata api itu panas sekali. Apakah aku berani melakukannya nanti?”
Mardian menoleh ke anaknya. “Bagaimana ini, Bayu? Apinya panas sekali. Baru terkena sedikit saja bapak tidak kuat. Apalagi kalau seluruh tubuh bapak dimakan api. Hm, coba kalau kau yang terkena api.”
Mardian menyalakan kembali koreknya dan menarik tangan Bayu. Ia menaruh api tepat di bawah lengan Bayu. Bayu sama sekali tak bergerak.
“Wow! Kau benar-benar bukan manusia, Bayu!”
Mardian tersenyum lebar dalam ketertegunannya.
“Hm...tampaknya, bapak harus lebih kuat lagi agar bisa tahan api. Hahaha..!”
Suara motor terdengar di halaman rumah dan ketokan menyusul di pintu depan. Mardian turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu.
“Oh, Mbak Ning? Silakan masuk.”
Ning Ayu melangkah masuk. “Semuanya baik-baik saja?”
Mardian tertawa. “Saya akan bunuh diri tepat tengah malam nanti.”
“Apa?!”
“Silakan duduk, mbak. Jangan sungkan. Anggaplah rumah sendiri.”
“Mas mau bunuh diri dengan cara apa?”
“Oh, baiklah. Ikut saya! Kemari!”
Mardian melangkah menuju kamarnya. Ning Ayu mengikuti. Setelah di dalam, Mardian menunjukkan galon-galon minyak itu.
“Saya ingin menghancurkan semua yang tersisa. Walaupun ini bukan rumah saya, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa dicari di sini. Saya akan melakukannya tepat tengah malam nanti, saat dimana saya berulang tahun yang ke-33.”
Aura Mardian memang relatif menghitam. Namun, senyuman di bibir pria itu tampak santai dan tak dibuat-buat. Tatapan Ning Ayu bergeser ke atas tempat tidur. Jantungnya seketika berdegub pelan, tapi kuat. Rambut halus di tubuhnya meremang. Mata kecil itu tengah menatapnya juga.
“Oh ini, Bayu sudah seperti ini sekarang. Waktu itu saya menggali lagi kuburannya. Karena, saya ingin melihat anak saya sebelum saya mati.”
Ning Ayu melangkah pelan. Ia duduk di samping Bayu. Sementara Mardian keluar kamar sembari bergumam, “Kebetulan...kebetulan...”
“Jadi seperti ini dirinya yang sesungguhnya? Tak lama lagi, Onum akan benar-benar sempurna.”
Jari Ning Ayu meraba kulit Bayu. Ia menelusuri wajah dan kepala bayi itu. Jarinya juga merasakan kerasnya dua daging yang tumbuh di atas kepala anak itu. Setelah itu, Ning Ayu menyusuri dada Bayu dimana kulit manusianya sudah hampir seluruhnya mengelupas. Ning Ayu mengembalikan tatapannya ke mata Bayu. Dua makhluk yang tak biasa itu saling menatap. Mata Bayu yang berwarna kuning samar itu seperti memberi pesan kepada Ning Ayu bahwa tak ada jalan untuk lari dari dirinya.
Tiba-tiba, pupil mata Bayu melebar. Bayu tak lagi memandang sang dukun, melainkan ke arah belakang wanita itu. Ning Ayu menoleh. Namun saat itu, sebuah benda berat dan keras menghantam tengkuknya dengan sangat jahat. Ning Ayu roboh di lantai. Namun, ia masih memiliki kesadarannya. Lalu, dengan pukulan yang lebih beringas, Ning Ayu terkapar dalam kegelapan. Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia juga tak sempat melihat siapa atau apa yang melakukan perbuatan keji ini padanya. Dalam kesadaran yang mulai memudar, telinganya masih mampu menangkap suara seseorang.
“Kita ini adalah calon korban, Mbak Ning! Kenapa kita tidak mati bersama saja?”
Lalu, tawa dari laki-laki itu terus meledak sampai sang dukun tak lagi mendengarnya.
***
Menjelang pukul setengah dua belas malam, Sebuah motor yang dikendarai Suseno berhenti di depan rumah Ning Ayu. Ia berjalan cepat ke pintu dan mengetoknya.
“Assalamualaikum!”
Tak ada jawaban.
“Assalamualaikum! Ning Ayu!”
Senyap.
Suseno mengeluarkan teleponnya dan menelepon Ning Ayu. Tak ada yang mengangkat telepon itu.
“Yu!!! Ayu!!!”
Gedoran Suseno makin bertenaga. Namun, yang ia dapat tetaplah kesunyian tanpa tanda kehidupan. Pria itu berpikir sejenak. Ia menutup matanya. Seluruh emosi teredam. Auranya bergejolak. Dalam hatinya, ia mampu merasakan aura Ning Ayu. Namun, aura itu tidak di sini, melainkan jauh di arah timur.
“Bahaya..!”
Suseno bergegas menyalakan motornya dan melaju ke arah dimana auranya memberi kabar kepadanya.
Di rumah Mardian, Mardian tengah mengguyurkan galon-galon minyak itu ke dinding-dinding rumahnya. Dinding dari anyaman-anyaman bambu itu menjadi berkilat. Aroma minyak mengudara. Setelah semua selesai, Mardian kembali ke kamarnya. Ia melihat masih ada satu galon lagi yang tersisa. Ia menyeringai. Sementara di samping galon itu, Ning Ayu terduduk di kursi dengan tak sadarkan diri. Tubuhnya terikat oleh kawat, seolah mengamini kehendak sang iblis untuk tidak melarikan diri.
“Bayu sayang,” bisik Mardian sembari membelai kepala Bayu. “Kau tidak bisa mati, bukan? Tapi bapak ingin melihatmu ikut menyala dalam api. Bapak harap kau tidak keberatan. Bapak hanya ingin melihat sesuatu yang menakjubkan sebelum bapak mati.”
Mardian mengangkat galonnya dan mengguyurkannya ke tempat tidur dan seluruh tubuh Bayu. Begitu pula dengan tubuh tak berdaya Ning Ayu.
“Nah, tinggal menunggu pukul 00.00 dan pertunjukan akan dimulai!”
Tanpa ia sadari, Suseno sudah sampai ke depan rumah Mardian. Ia buru-buru turun dari motornya. Begitu ia membuka helmnya, hidungnya seolah diserbu oleh aroma minyak. Selain itu, ia melihat motor milik Ning Ayu ada di pelataran ini. Suseno segera berlari ke pintu. Di rumah ini, Suseno juga menggedor pintu dengan seluruh tenaga.
“Mas Mardian! Ning Ayu!”
Sunyi. Aneh sekali.
“Mas Mardian! Ning Ayu!” Teriaknya lebih keras.
Masih dingin. Ini jelas tidak beres.
Tiba-tiba pintu terbuka. Mardian menemui Suseno dengan mimik yang cerah.
“Oh, mas Suseno? Ada keperluan apa malam-malam begini?”
“Apa yang terjadi, mas? Mana Ning Ayu?”
“Oh, dia baik-baik saja. Mas Suseno jangan khawatir.”
“Apa yang akan kau lakukan pada Ning Ayu, Mardian? Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan. Aku merasakan perasaan yang begitu kuat sampai tidak bisa tidur. Dimana Ning Ayu, Mardian?”
“Wohoy! Jangan terlalu serius, mas Suseno! Ini adalah urusan kami, saya dengan Mbak Ning. Jadi, lebih baik mas kembali saja ke rumah dan tidur. Memangnya mas tidak mengantuk?”
Tangan Suseno menarik Mardian ke samping. Ia berjalan ke dalam.
“Ning Ayu!!!”
Suseno masuk ke ruang tengah. Tak ada sosok yang dicarinya, melainkan hanya dinding dan tanah yang lembab oleh minyak.
“Sudah kubilang jangan ikut campur!!!”
Mardian menjejak punggung Suseno. Suseno terguling. Namun, ia segera bangkit kembali. Di tengah situasi yang memanas, di hadapan iblis bayi yang masih terdiam menatap mereka, dua manusia itu saling berhadapan dengan amarah yang menyala di dada masing-masing.
***
Share this novel