BAB IV

Horror & Thriller Completed 15839

Hari ini Sekar tak berselera makan, masih sama seperti hari kemarin. Dua malam ini ia juga tak dapat tidur nyenyak. Ia menjadi sering diam, kantung matanya mengendur, dan tak bergairah melakukan apapun. Sekarang di balai-balai ruang tamu, Sekar hanya diam memandang Bayu yang bermain sendiri di sampingnya.

Bu Lastri keluar dari ruang tengah sambil bersendawa. Ia duduk di samping Sekar dan kedua tangannya membopong Bayu. Ia mendudukkannya di pangkuan dan menciuminya berkali-kali. Sekar hanya melirik saja.

“Jangan terlalu dipikirkan,” kata Bu Lastri lembut. “Jangan menyusahkan dirimu sendiri.”

Bayu merengek-rengek minta diturunkan ke balai-balai lagi. Tangannya menggapai-gapai ke permukaan balai-balai itu. Bu Lastri melepaskannya pelan.

“Bayu bukan hanya milikmu, tapi juga milik Mardian dan ibu. Kau tidak sendirian menanggung hal ini. Kau tidak bersemangat seperti ini hanya akan membuat masalah terasa lebih berat. Ini adalah ujian. Perkataan Pak Lurah jangan dimasukkan ke hati.”

“Perkataan Pak Lurah adalah awal dari mimpi yang lebih buruk, bu” Sekar menatap jendela. “Orang-orang akan tahu bagaimana Bayu dan mereka akan semakin benci pada kita. Kita bisa diusir dari sini.”

“Jangan berpikiran seperti itu, Sekar! Jangan berpikiran terlalu buruk akan hal yang belum terjadi!”

“Tapi itu pasti! Ibu jangan berpura-pura tidak bisa merasakannya! Apa yang dikatakan Pak Lurah benar, Bayu memang tidak seutuhnya manusia.”

“Astaghfirullahal’azim...Sekar, sadarkan dirimu! Mohon petunjuk pada Tuhan!”

Seekor kupu-kupu terbang dari luar memasuki ruang tamu melalui pintu. Sayapnya berwarna biru dengan motif hitam. Ia terbang mendekat dan melintas di hadapan Sekar dan Bu Lastri, mengundang diam di antara dua wanita itu. Seperti hendak memberi pertunjukan yang menghibur di sela perdebatan yang mulai keras, kupu-kupu itu terbang ke kanan dan ke kiri, lalu berhenti sebentar di depan Sekar dan melayang cantik ke arah Bayu. Dua wanita itu terus memperhatikan tingkahnya. Mata Mereka tak lepas mengikuti gerak terbang kupu-kupu sampai akhirnya hinggap di kepala Bayu. Kupu-kupu itu menegakkan sayapnya dan melakukan gerakan-gerakan kecil yang lemah.

Lalu, Bayu menangkap binatang itu dengan tangannya.

Masih dalam kurungan kesunyian, Sekar dan Bu Lastri terbelalak. Bayu menjeramah binatang tak berdaya itu. Bunyi yang terdengar dari dalam genggamannya sudah cukup jelas mengabarkan apa yang terjadi. Si bayi membawanya ke depan matanya. Di sana, ia membuka jemari dan menyaksikan hasil karyanya. Kupu-kupu yang malang, kupu-kupu luluh lantak. Melayang hanya menjemput maut di ranah neraka.

Dan Bayu melahapnya.

“Bayu!”

Bu Lastri menjerit dan menarik tangan Bayu yang seperti telah dengan mulutnya. Serpihan sayap kupu-kupu seperti memulas sekitar mulutnya. Sementara di dalam mulut mungil itu, riuh gembur seperti nikmat sekali.

“Bayu, apa yang kamu lakukan?!”

Bu Lastri menggendong Bayu ke ruang tengah. Sekar masih terpaku akan apa yang baru saja dilihatnya. Dari ruang tengah, suara Bu Lastri terdengar panik dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Tiba-tiba Sekar memunculkan ingatannya kembali saat ia melihat seekor nyamuk yang menghisap darah di kepala Bayu. Ia masih ingat bagaimana binatang hitam itu terguling tak bernyawa dan jatuh ke selendang. Setelah itu, ingatannya beralih pada tuturan keras Pak Lurah kemarin.

“Keluarga setan melahirkan anak setan!”

“Keluarga setan melahirkan anak setan!”

“Keluarga setan melahirkan anak setan!”

Perkataan sakit itu terus berulang di kepala Sekar sampai ia kesulitan bernafas. Dadanya sesak tertekan derita dan teror yang ia anggap akan hadir di hidupnya. Air matanya mulai menitik ketika ia melihat serpihan sayap kupu-kupu di atas balai-balai. Ia tak kuasa merasakan keheranannya atas bayi mengerikan seperti Bayu. Dalam hatinya, ia merasakan makhluk-makhluk jiwa merangkak keluar. Mereka meraung-raung dengan teriakan dan tangisan yang begitu sendu dan menyayat. Teriakan dan tangisan mereka terus bergemuruh dalam dada Sekar dan meletup-letup melalui tenggorokannya. Meski demikian, Sekar berhasil menahan semua itu. Ia hanya membiarkan basah air matanya di pipi dan isak tangis yang sudah tak tertahan membebaskan diri mereka.

***
 
Sebuah sedan merah metalik menepi di samping trotoar pasar pagi yang kusam dan lembab. Dua bayangan manusia terlihat di dalam mobil itu. Mereka tak segera turun, melainkan mengamati pasar yang sudah penuh orang. Lalu, pintu kiri mobil terbuka. Sepasang kaki ramping dengan sepatu hak tinggi menjejak aspal jalan. Ia adalah seorang wanita dengan hijab menyala yang tak terlalu serius digunakan untuk menutup rambutnya. Sebuah kalung dan gelang berlapis yang dikenakannya memantulkan cahaya kuning ke segala arah, menarik perhatian orang-orang di sekitar mobilnya. Wanita itu memungut sebuah kacamata polaroid dari saku baju dan memberi isyarat pada seseorang yang masih di dalam mobil dengan tangannya.

“Mami yakin mau masuk ke tempat seperti ini?”

Seorang pria dengan tubuh kekar berkemeja putih body fit muncul dari balik pintu kanan. Bibirnya menyungging sambil melihat si wanita.

“Kita hanya sebentar, pi.” jawab si wanita. “Ayolah, tidak ada salahnya sekali-sekali kita masuk ke tempat yang seperti ini.”

Si wanita memasang kacamatanya dan melangkah dengan hati-hati menuju gapura pasar. Matanya terus menatap medan yang akan menjadi pijakan kakinya. Di belakang, Si pria menyentuh dahinya dan menengadah sambil masih tersenyum lebar dan geleng-geleng.

“Haduh! Kita seperti orang aneh di tempat ini, sayang!”

Setelah berkata dengan nada tinggi dan memancing perhatian lebih banyak orang sekitar, pria itu meludah beberapa kali sebelum mengikuti si wanita.

Mereka berdua memasuki pasar, menapaki jalan tanah yang lunak oleh air. Tanpa menunggu lama, sepatu mereka sudah berat oleh lumpur. Si pria terus meludah dengan diikuti tatapan sinis para pedagang yang tengah menganggur.

“Jangan meludah seperti itu, ah!” Si wanita menyenggol lengan si pria.

“Dengar! Seumur-umur papi belum pernah ke tempat seperti ini. Ini ide gila menurut papi. Lihat tempat ini! Sampah dimana-mana! Sepertinya semua orang kampung memang tidak bisa menjaga kebersihan. Tidak heran kalau hidup mereka stagnan menjadi pedagang.”

Si wanita menghentikan langkahnya di percabangan jalan dan melongok-longok ke semua penjuru.

“Lihat sepatu papi!”

Si pria memperlihatkan sol sepatunya yang menjadi cokelat oleh lumpur. Namun, si wanita tak meresponsnya.

Langkah mereka sampai di tikungan. Si wanita berhenti lagi, memperhatikan sekeliling. Tak jauh dari tikungan itu, sebuah tenda hitam terlihat di antara tenda-tenda lain yang didominasi warna merah dan biru. Si wanita mempercepat jalannya. Makin dekat, meja kayu dengan kotak-kotak plastik tempat gorengan didagangkan terlihat. Di belakang meja itu, Mardian duduk sendirian menatap jalan dengan rokok yang menyala di tangannya.

Wanita tadi berhenti di sudut tenda, memperhatikan seorang pemuda yang bergeming atas kehadirannya.

“Silakan dilihat-lihat dulu mau beli apa. Lemper bakar itu adalah makanan terbaik yang saya miliki.”

Mardian hanya berkata demikian sambil tetap menatap ke depan. Tangannya bergerak ke arah mulutnya. Satu hisapan yang tak terlalu bertenaga dan ia masih tak tertarik pada dua pendatang itu.

“Mardian?” Tiba-tiba wanita itu memanggilnya.

Mardian melirik. Awalnya, ia hanya melihat sosok wanita dengan perhiasan yang mencolok dan terkesan pamer. Namun, lama-lama ia menyadari siapa yang tengah berdiri di depannya itu.

“Bagaimana kabarmu, Mar?” Tanyanya lagi.

“Jadi kamu yang bernama Mardian?” Si pria ikut nimbrung sambil berkacak pinggang.

Mardian sedikit melongo. Ia berdiri dan tak berkedip menatap si wanita.

“Halo?! Kau masih waras, kan?”

Wanita itu mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih detail wajah Mardian. Sementara Mardian tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dirinya merasa terjebak antara masa lalu dan apa yang ia hadapi kini. Gejolak peristiwa demi peristiwa yang pernah dilaluinya seperti gempa yang mengguncang keseimbangan rasanya. Muncul rasa malu, gundah, rasa ingin lari, ingin menangis, dan rindu, tapi semua itu membeku dalam kelu lidahnya.

“Ibu...”

Satu kata terucap tanpa ia sadari, satu kata yang dapat merangkum semua yang ada di dalam kepala dan dadanya. Satu kata yang mampu ia munculkan di saat kata-kata lain terasa begitu pahit tuk diucapkan dan begitu lemah tuk disuarakan di depan seseorang yang pernah menjadi bagian dari sejarah Mardian.

“Sudah lama kita tidak bertemu. Aku pikir hidupmu sudah berubah.”

“Aku...aku masih seperti ini. Hanya di sini aku mencari nafkah.”

Suara Mardian lemah, kalah oleh rasa yang masih tak jengah dalam hatinya. Lalu, ia melirik ke si pria yang mendampingi ibunya. Si pria mengangkat dagunya, menatap balik Mardian dengan tajam.

“Kenalkan, ini suamiku sekarang. Namanya Charles.”

Mardian hanya mengangguk dengan sedikit senyum menatap Charles. Namun, Charles tetap dalam posisi dan ekspresi yang sama.

“Dia yang membuatku jadi seperti ini. Aku tidak menyesal meninggalkan kehidupanku yang dulu. Yah, manusia memang harus secepatnya melakukan perubahan, bukan?”

Mardian tersenyum dan menunduk.

“Ibu mau beli sesuatu, atau memang hanya ingin bertemu denganku?”

“Oh, aku ingin membeli lempermu ini. Berapa harganya?”

“Dua ribu.”

“Sudah lama aku tidak merasakannya. Kau tahu, hidupku tidak sama dengan dulu. Semenjak aku menikah dengan Charles, setiap hari aku makan makanan mahal dan selalu minum susu. Charles juga menjaga tubuhku dengan buah-buahan. Jadi, aku tidak pernah lagi memakan makanan seperti ini.”

Charles mengambil salah satu lemper paling atas dalam tumpukan dan mencium aromanya.

“Jadi ini lemper bakar? Baunya sih lumayan,” katanya sambil membolak-balik lemper itu. Si wanita tersenyum lebar.

“Iya. Baunya memang gurih karena dibakar. Dulu mami yang mengajarinya membuat ini. Tanpa mami duga, Mardian belajar dengan cepat.”

Sebenarnya, mendengar kata “mami” memberi Mardian sebuah gelitikan halus. Namun, rasa lain dalam dadanya mampu meredam sensasi itu.

“Lalu kenapa di rumah mami tidak pernah membuatnya? Maksud papi, sekali-sekali membuatnya.”

“Sebetulnya mami juga kurang begitu suka, tapi hari ini mami ingin kita mencicipinya, sekali-sekali.”

“Kurang begitu suka? Apa rasanya tidak enak? Wah, penipuan kalau begitu. Aromanya enak, tapi rasanya tidak enak. Bagaimana ini Mardian?”

“Selera orang berbeda,” jawab Mardian cepat.

“Oh ya, kau tinggal dimana sekarang? Sudah berkeluarga?” Tanya si wanita mengalihkan pembicaraan.

“Aku sudah punya istri. Ibu tidak perlu tahu aku tinggal dimana. Aku yakin ibu tidak akan mungkin mengunjungi rumah kami.”

Charles menoleh ke istrinya dengan setengah tertawa. “Jadi pedagang sombong benar anak ini. Orang kampung memang sulit dimengerti.”

Si wanita tersenyum. Ia memilih-milih lemper dan menciumi aroma setiap lemper yang ia pilih. Kadang ia meminta suaminya untuk ikut memilih. Mardian hanya berdiri dengan lesu. Batang rokok yang ia selipkan di antara jari telunjuk dan tengah terbakar hampir habis tanpa ia sadari.

“Oke, ini sepuluh saja. Tolong dibungkus.”

Si wanita menyerahkan sepuluh lemper pilihannya pada Mardian. Mardian mengeluarkan plastik dan menaruh lemper-lemper itu di dalamnya.

“Ini, tidak perlu ada kembalian.”

Si wanita menyodorkan uang seratus ribu pada Mardian. Sebenarnya, Mardian sedikit tergugah oleh uang itu. Namun, ia berusaha menahan diri dan tetap diam. Ia segera memasukkan lembar uang itu ke dalam laci.

“Baiklah, aku permisi. Oh iya, aku tinggal di Permata Kencana Residence, nomor 19C. Jika kau mau mampir, silakan.

“Bicara apa kamu, mi?” Tanya Charles menyeringai, geli dengan perkataan istrinya. “Mau jadi apa dia kalau masuk ke Permata Kencana?”

“Aku sering di rumah karena memang tidak bekerja. Hanya kadang-kadang aku memasak untuk katering. Oke, sampai jumpa.”

Si wanita bertolak dari tenda. Namun, si pria justru masih di tempat dan memanggil istrinya.

“Sebentar mi! Hey, Mardian! Dimana toilet umum di sini? Aku tidak mungkin kembali ke dalam mobilku dengan sepatu yang penuh sampah seperti ini.”

Mardian menghela nafas melihat Charles yang menatapnya dengan postur menantang.

***
 
Senja datang merundung kota. Garis horison memerah seakan ingin mengepung biru langit yang masih tersisa. Mardian memasukkan dagangannya ke dalam plastik-plastik. Lalu, mengumpulkan semuanya ke dalam karung. Si Sasya juga demikian. Perempuan tua seperti itu melakukan semuanya sendiri, tanpa teman, tanpa pendamping jiwa. Beberapa kali ia duduk dan menyeka keringat di keningnya. Namun seperti biasa, sampah di sekitarnya menumpuk dan ia tak pernah memperhatikannya.

Mardian membuka laci mejanya. Di dalamnya hanya ada satu lembar uang seratus ribu pemberian ibunya tadi. Tak ada yang lain. Hanya bungkus rokok, korek, serta radio yang selalu dibunyikannya tiap pagi. Mardian memungut uang itu dan menaruhnya ke dalam dompet yang tipis dengan beberapa jahitan yang sudah terlepas. Sasya diam-diam memperhatikannya.

Pedagang lain sudah meninggalkan tenda masing-masing. Hari yang bersemangat sudah hampir habis, tertinggallah keheningan dan kegelapan yang mulai menyemut pasar pagi.

“Cintaku, daku jalan duluan ya! Jangan cemberut terus!”

“Ah, ya! Hati-hati di jalan!” Sahut Mardian sambil tersenyum.

Sasya menaiki sepeda keranjangnya dan perlahan mengayuhnya, meninggalkan markasnya yang berantakan dengan bau yang khas. Mardian berdiri setelah selesai mengikat karungnya. Beratnya hampir sama dengan berat saat ia membawanya kemari pagi tadi.

Pemuda itu memandang angkasa. Satu dua titik bintang yang terang mulai terlihat. Rembulan yang berwarna keemasan juga masih malas untuk bangkit.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu di langit itu. Perlahan, garis-garis temaram tergambar di sana. Semua lengkungannya membentuk sesuatu. Setelah itu, ada warna-warna yang muncul. Itu adalah sebuah lukisan. Tidak! Kemudian gambar itu bergerak dan memiliki suara. Mardian seperti menyaksikan sebuah film di layar langit yang maha luas.

Sesosok wanita muda berdiri menatapnya dari layar langit dan tersenyum. Di sampingnya, ada sebuah koper besar yang sedikit menggelembung dengan retsliting yang tak sepenuhnya tertutup. Wanita itu kemudian sedikit berjongkok dan menyentuh pipi Mardian. Di sana, Mardian masih berusia dua belas tahun.

“Kamu tidak perlu khawatir,” ucap wanita itu. “Kamu sudah besar. Kamu harus hidup mandiri. Kamu harus mengejar cita-citamu. Jangan repot-repot cari ibu, ya. Kamu harus hidup tanpa ibu. Kamu seharusnya tidak terlahir, Mardian. Ini semua ulah ayahmu yang tidak mampu ibu bendung. Ibu sebenarnya tidak pernah siap melahirkan seorang anak, tapi ayahmu yang terlalu memaksa. Akhirnya, dia pergi meninggalkan kita. Maafkan ibu, Mardian. Ibu tidak siap untuk hidup denganmu dalam kondisi keluarga kita yang seperti ini. Ibu harus pergi dan kau harus hidup tanpa ibu. Ibu sudah mengajarkanmu cara membuat lemper dan menggoreng tempe dan yang lainnya. Kau bisa hidup dengan itu. Ibu harap suatu saat nanti hidupmu bisa berubah, Mardian.”

Wanita itu meninggalkan rumah. Mardian hanya diam menatapnya di ambang pintu. Entah kenapa waktu itu, pandangan matanya sama sekali tidak tertutup air mata. Mardian kecil hanya berdiri sambil mencium sisa-sisa terakhir parfum sang ibu yang tak dapat lagi ia cium di kemudian hari.

“Apakah aku adalah anak haram bagimu, hanya karena kau melahirkanku sebelum kau benar-benar bersedia? Kau sudah melupakan kita. Bahkan, aroma parfummu tadi sungguh lain. Kau hidup enak sekarang, ibu.”

Bayangan sosok ibu yang berjalan pergi mulai mengabur terbaur kembali dengan langit yang menggelap. Rembulan mulai menaik dan tanpa disadari, lokasi pasar pagi sudah gelap dan senyap. Mardian mengamati sekelilingnya dan perlahan menaiki sepedanya menuju jalan raya.

Mardian tidak tergesa-gesa untuk pulang. Langit masih memiliki semburatan sinar terang di ufuk barat. Suara-suara adzan juga baru terdengar dari satu masjid ke masjid lain. Sepeda Mardian menyusuri jalan yang penuh dengan kendaraan roda dua dan empat. Ia berusaha mengambil posisi paling tepi. Tiada yang tahu apa yang ia pikirkan saat ini. Mardian bagai titik tak terlihat di antara ramai dan gemerlapnya kota, sebuah noktah di antara para karyawan kantoran berdasi dan seragam-seragam papan atas yang sedang menikmati perjalanan pulang. Mardian bagai kemurungan di antara senyum dan tawa segerombol anak muda yang berpacu tanpa helm di atas motor-motor mereka.

Mardian berbelok masuk melalui jalan tikus yang tak begitu ramai. Ia memperlambat sepedanya ketika melewati sebuah swalayan.

Swalayan itu punya dua lantai dan lampu-lampu yang bagus, sebuah tempat yang  cahaya lampunya bisa membuat bintang kejora malu. Putaran roda sepeda Mardian sangat pelan. Matanya terus menatap lampu-lampu itu. Ia juga menatap lalu lalang orang-orang yang keluar masuk swalayan itu. Mereka orang kaya, pikirnya.

Kemudian, Mardian melihat sesuatu.

Di tepi trotoar sudut kanan depan swalayan, seorang pria tua dengan topi cokelat dan pakaian yang sudah berwarna abu-abu kumal duduk tanpa teman. Di sampingnya, ada satu karung yang sepertinya terisi penuh. Di depan pria itu ada sebuah cawan kecil. Mardian memperhatikannya yang seorang diri tanpa ada yang peduli.

“Dia selalu di sana setiap menjelang malam,” pikirnya.

Mardian tak dapat melihat isi cawan biru itu dari atas sepedanya yang melaju.

“Apakah ia sudah dapat uang hari ini? Apakah ada di antara para pengunjung swalayan itu yang memberinya uang? Ataukah sebenarnya dia sudah punya banyak uang yang ia simpan di balik kantung bajunya?”

Mardian berhenti. Posisinya hampir sepenuhnya melewati area swalayan. Ia terus menatap pria tua di sana.

“Benarkah kalau kita memberi uang pada mereka yang membutuhkan, kita akan mendapat rejeki yang banyak?”

Mardian merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan dompet dan membukanya.

“Kalau aku memberikan uang ini padanya, apakah Tuhan akan membantuku melewati kondisiku yang sudah bertahun-tahun seperti ini? Apakah jika aku memberikan ini padanya, Tuhan akan mengampuni semua dosaku? Apakah Tuhan akan membuat para tetangga memaafkanku dan menerimaku di desa?”

Mardian menatap pengemis itu sekali lagi.

“Apakah dia lebih membutuhkan daripada aku? Aku hanya punya satu lembar uang ini dan aku yakin hal ini tidak akan terjadi pada hari esok. Dalam keluarga, hanya aku yang mencari nafkah. Aku baru punya anak yang membutuhkan perhatian khusus. Apakah aku harus memberikan uang ini pada pengemis itu? Apakah hal ini memang bisa menyelamatkanku walau hanya sedikit?”

Seorang anak berlari dari dalam swalayan. Ia menghampiri pengemis itu dan memberikan sesuatu padanya. Lalu, ia berlari ke arah pria dan wanita yang baru keluar juga dari swalayan. Mereka bertiga berjalan bersama-sama. Si anak tampak mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya membelai-belai rambutnya.

Air mata Mardian menitik. Namun, berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya menyeret dompetnya kembali ke dalam saku celananya. Ia bergegas pergi dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan pulang. Tidak ada yang tahu kenapa Mardian tergesa-gesa untuk mengayuh kembali. Tidak ada yang tahu kenapa Mardian terisak sepanjang jalan.

***
 
Mardian membuka pintu rumahnya. Tak ada siapapun di ruang tamu.

“Assalamualaikum!”

“Walaikum salam!”

Itu suara sekar dari dalam kamarnya. Mardian melongok. Sekar tengah berbaring bersama Bayu di sampingnya. Sekar tersenyum.

“Bagaimana hari ini?” Tanyanya.

Mardian menurunkan pandangannya dan menghampiri pintu kamar Bu Lastri yang sedikit terbuka. Mardian melihat mertuanya itu tengah duduk di atas sajadah.

Mardian kembali ke luar rumah. Ia melepas tali yang mengunci karung dagangan di atas boncengan sepedanya. Lalu, ia mengangkatnya masuk ke dalam dan menaruhnya di atas meja makan di ruang tengah. Sekar keluar kamar sambil menggendong Bayu. Begitu melihat karung yang terisi penuh itu, Sekar sempat menghentikan langkahnya. Mardian melepas bajunya dan berjalan menuju kamar mandi tanpa bicara.

Sekar membuka tali pengikat karung. Ia mengeluarkan plastik-plastik dagangan satu demi satu dan menaruhnya di atas meja makan. Sebelum Sekar menyelesaikan semuanya, Bu Lastri muncul di kejauhan. Ia mendekat, melihat semua plastik dagangan yang penuh, dan berpandangan dengan anak perempuannya. Ia membelai bahu Sekar.

“Kau buatkan teh untuk suamimu. Ibu akan mengurus ini.”

Sekar melangkah ke dapur. Ketika melintas di depan pintu belakang, Sekar berhenti dan menatap kamar mandi. Pintunya terkunci, tapi tak ada suara apapun di sana. Sebagai seorang istri, ia hanya menerka bagaimana perasaan suaminya sekarang ini. Tanpa kata apapun, kesunyian di sana sudah membawakan kabar gejolak hati Mardian pada sang istri.

Malam terus bergulir. Bulan sabit di langit tak ubahnya seperti senyuman sinis akan kehidupan yang semakin tidak dapat dimengerti. Mardian tak banyak bicara saat makan malam. Ia pun tak menghabiskan waktu bersama rokoknya di teras rumah seperti yang biasa ia lakukan seusai makan. Mardian langsung merebahkan dirinya di kasur. Naluri kebijaksanaan dalam diri Bu Lastri gaduh mengusik. Ia berbisik pada Sekar yang baru saja membereskan meja makan.

“Malam ini biar Bayu tidur dengan ibu. Kau temani saja suamimu.”

Akhirnya, Sekar masuk ke dalam kamarnya. Bayu sudah berada dalam pelukan Bu Lastri. Rumah itu menjadi sepi sebelum pukul sembilan malam.

Sekar beringsut di samping Mardian dan memeluknya pelan. Mardian yang menghadap tepi tempat tidur tak bergerak.

“Kamu sudah tidur, mas?” Bisiknya lembut di telinga Mardian.

“Hm...”

Sekar membelai rambut di pelipis Mardian dan menyatukan pipinya dengan pipi Mardian yang dingin. Sekar menutup matanya dan menyelaraskan irama nafasnya dengan nafas sang suami, demikian pula dengan irama jantung dan segala suka duka di malam ini.

“Menjelang siang tadi, ibuku datang ke tendaku,” Mardian membuka suaranya. “Aku hampir tak mengenalinya lagi. Dia sudah berubah.”

“Hm? Ibumu? Apa yang dia lakukan? Dia merindukanmu? Dia beli dagangan kita? Dia tinggal dimana sekarang?”

Mardian diam sejenak mengatur perasaannya.

“Dia tidak merindukanku. Dia hanya ingin memperkenalkan suaminya sekarang. Dia sudah menjadi orang kaya. Dia sudah hidup enak. Kalau kau melihatnya tadi, gelang-gelang dan kalungnya tampak mahal. Wajahnya juga lebih...cantik.”

“Dia tinggal dimana sekarang?”

“Dia memberikan alamatnya padaku. Tetapi, apakah itu penting? Dia seperti patung es di tengah lautan. Aku tak bisa menggapainya tanpa perahu, dan jika aku berhasil menyentuhnya, ia begitu dingin dan tak kan pernah mencair. Kenapa dia begitu tega meninggalkan aku dulu? Apa salahku, Sekar?”

Sekar tak dapat merangkai kata. Ia hanya merapatkan pelukannya.

“Apa maksud ia menemuiku kalau hanya untuk membuka kembali perih yang sudah lama menutup. Kenapa juga ia membawa suaminya padaku? Seorang pria yang bahkan tak punya hubungan darah denganku. Aku begitu kacau hari ini, Sekar. Aku seperti seorang manusia yang menanggung seluruh isi dunia sendirian. Apalagi bila aku menyadari apa yang terjadi pada keluarga kita di sini ini. Kita seperti orang yang penuh dengan penyakit. Kita tidak punya teman, kita tidak punya sandaran, kita tidak punya pertolongan. Orang-orang membuang kita. Kita begitu menyedihkannya sampai-sampai apa yang kita buat dan kita jual dengan susah payah tak memberikan rejeki yang kita butuhkan.”

“Dan aku juga melahirkan Bayu yang seperti itu...”

Sepasang manusia itu terdiam dalam renungan masing-masing.

“Kamu jarang di rumah, mas. Kalau kamu tahu perasaanku, aku selalu ketakutan. Aku takut jika orang lain melihat Bayu dan berpikir yang tidak-tidak, dan berbicara buruk tentang kita, dan akhirnya semakin menjauhi kita. Kamu juga pasti berpikir begitu. Lalu, seperti yang sudah aku dan ibu katakan tadi, Pak Lurah berhasil melihatnya. Aku tak tahu neraka seperti apa yang akan kita hadapi nanti. Kita bisa-bisa diusir dari sini.”

Mardian membalikkan tubuhnya dan merengkuh Sekar.

“Aku takut, mas! Aku rasanya tidak bisa lagi bersama Bayu. Aku tidak pernah ingin punya anak seperti dia.”

“Aku juga tidak pernah mau, Sekar. Aku juga ingin punya anak yang lucu yang tawanya mampu menggemaskanku dan tangisannya mampu menggetarkan hatiku. Namun, Bayu tetaplah anak kita. Kita tidak tahu bagaimana ketika ia dewasa nanti. Lebih baik kita tetap menjaga dia seperti orang tua menjaga anaknya.”

“Aku sungguh tidak tahan, mas...”

“Sekar...”

Mardian memeluk Sekar erat-erat. Begitu eratnya seolah ia tak mau kehilangan separuh tubuhnya.

“Mas, kita bawa saja Bayu ke tempat lain.”

“Maksudmu?”

Sekar bisu dan Mardian menerka apa arti kata-kata istrinya itu.

“Kau ingin kita membuang Bayu?”

Sekar masih diam dan air mata mulai menitik. Namun, lantas ia berusaha menatap Mardian dan mengatur nafasnya.

“Kita bawa Bayu ke masjid atau kemanapun di luar kota dan tak ada yang melihat kita. Kita bisa lakukan ini tengah malam dimana tak seorang pun tahu. Kita tinggalkan dia di sana dan pulang. Mas, kamu tahu Bayu bukan bayi normal. Kemarin sebelum Pak Lurah datang, aku melihat seekor nyamuk menghisap darah Bayu dan nyamuk itu langsung mati. Aku melihatnya sendiri! Kita juga sama-sama tahu kalau burung-burung di rumah kita tak pernah lagi berkicau setelah kelahiran Bayu. Lalu, daganganmu! Mas berkata bahwa akhir-akhir ini semakin jarang pembeli yang datang ke tenda kita. Mas pasti merasa bahwa itu semua terjadi setelah Bayu lahir. Kamu pasti merasakan itu semua, mas!”

“Sekar, cukup...”

Tekanan suara Mardian dalam bisikannya kali ini menembus dinding bambu kamar Bu Lastri. Bayu belum tidur di sampingnya. Mata bulatnya memandang dinding kamar.

“Ada apa, Bayu? Kamu belum mengantuk?”

Bu Lastri tersenyum. Jari telujuknya memainkan jemari tangan kanan Bayu. Namun, Bayu tak tertarik dengan sentuhan itu. Ia tetap menatap dinding tempat suara ayahnya berasal.

“Bayu...”

Bu Lastri memeluk Bayu dan membelai kepalanya. Ia mendekap kepala anak itu seolah tak mau sang anak merasakan apapun selain kehangatan dan cinta yang seharusnya. Tangan Bayu merenggut kain baju neneknya itu dan menarik-nariknya lemah. Suara dari kamar sebelah memang tak terdengar lagi, tapi Bayu seakan mampu merasakan apa yang terjadi. Tubuhnya bergerak-gerak seakan ia tengah menekan rasa yang hendak membeludak, seakan dadanya penuh dengan erangan dan ratapan dahsyat yang hampir meledak. Bu Lastri hanya membiarkan anak kecil itu menarik-narik kainnya, mengungkapkan rasa yang barangkali tak mampu diungkapkannya dengan cara lain, sampai ia lelah dengan hatinya dan berangsur menyatu dengan alam mimpi dalam malam yang berkelambu sendu.

*** 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience