Mardian sudah sampai di pasar pukul enam lewat setelah ia mengantar istrinya ke rumah sang majikan. Ia mengerem sepedanya di depan salah satu penjual sayur di pasar itu.
“Pak!” Serunya.
Penjual itu hanya melirik Mardian lalu melihat ke arah lain.
“Wah, sepertinya semua yang saya butuhkan ada di sini. Hm, apa ya? Ini saja! Saya beli ini!”
Mardian menunjuk-nunjuk ikan gurami dalam plastik transparan. Seperti tak mau membuang waktu dan tenaga, sang penjual mengambil plastik hitam dan memasukkan ikan itu ke dalamnya.
“Terus ini, seperempat kilo. Ini, dua saja. Kemudian ini dan ini masing-masing satu, eh, dua juga boleh.” Serbu Mardian menunjuk beberapa bumbu dapur yang berwarna cerah mencolok.
Setelah mendapatkan semuanya dan membayar dengan lembaran uang berwarna biru, Mardian berjalan ke tenda lain dan membeli beras di sana.
Sambil berpayah-payah karena membawa beras dan belanjaan lainnya, Mardian sampai ke rumah dengan roman ceria yang tak dimiliki siapapun.
“Bu! Makan-makan!”
Mardian terhenti. Semua jendela dan pintu masih ditutup.
“Jam berapa sekarang?”
Mardian meninggalkan semua belanjaannya di atas sepeda. Ia melangkah cepat menuju pintu dan mengetuknya.
“Bu! Assalamualaikum!”
Hening.
“Assalamualaikum!!! Bu!?”
Mardian mulai menggedor berulang-ulang.
“Bu!!!”
Mardian bertolak ke jendela kanan rumah yang masih tertutup. Dari lubang-lubang anyaman bambu itu, Mardian mengintip. Bu Lastri masih berbaring di atas tempat tidurnya. Lampu di ruangan itu masih menyala.
“Ibu! Bu!!!”
Mardian mengintip lagi. Wajah wanita tua itu begitu tenang, seperti semua malapetaka selama ini tak pernah terjadi. Di tangan kanannya yang tergolek di atas perut, tersungkur tasbih kecil miliknya.
“Ibu!!! Hari ini kita makan-makan!!!”
Mardian akhirnya kembali ke pintu utama. Tanpa mengambil ancang-ancang, Mardian menendang area sekitar gagang pintu. Mardian menendang lebih keras, menjejak dengan kesetanan dan tanpa ampun.
“Bu!!!”
Mardian berlari masuk setelah berhasil merusak kayu pengunci pintu. Ia masuk ke kamar Bu Lastri dan apa yang dilihatnya dari celah-celah dinding, masih sama seperti sekarang. Mardian berlutut di tanah samping tempat tidur, menghadap seonggok tubuh yang menghiraukannya. Mardian merasa gemetar melihat sang mertua. Pelan, ia menyentuh tangan Bu Lastri, menggenggamnya.
“Ibu...”
Jemari itu kaku seperti tak akan pernah lagi menyentuh kehidupan, putih pucat seperti tak ada lagi darah yang mengalir.
Mardian mencoba menekan dada mertuanya itu. Ia tak merasakan apa-apa. Mardian lalu menempelkan telinganya di sana. Ia tidak mendengar suara apapun. Ia melayangkan telunjuknya di depan lubang hidung Bu Lastri. Semuanya hampa. Semuanya mengasingkan Mardian dalam kegelapan.
“Tidak! Ini mustahil!”
Mardian menuruti nalurinya tanpa sempat menyeka air mata yang begitu mengganggu dan berat di matanya. Ia berlari kembali ke sepedanya, melemparkan dua plastik belanjaannya ke teras rumah seperti tak peduli lagi. Mardian mendorong sepedanya kuat-kuat dan segera melompat ke sadelnya.
Memasuki pekarangan rumah Ning Ayu, Mardian meninggalkan sepeda sebelum berhenti sempurna. Sepeda itu seketika terguling dan jatuh dengan roda depan yang masih berputar. Ia berlari menyalip seorang pria dan wanita yang juga tengah mengarah ke pintu.
“Mbak!!! Mbak Ning!!!”
Mardian mendorong pintu rumah Ning Ayu yang menutup sampai terbuka lebar dan menghantam dinding dalam ruang tamu.
“Mas mau berobat?”
Wanita yang bersama seorang pria tiba-tiba berseru kepada Mardian dari kejauhan.
“Saya ingin menemui Ning Ayu sekarang!” Jawab Mardian tak kalah kerasnya.
“Kami juga ingin menemui dia sekarang! Ini suami saya sakit-sakitan setelah pulang dari kuburan! Kami datang lebih dulu. Mas seharusnya antre setelah kami!”
Mardian menggaruk rambutnya dan mengibaskan tangannya sendiri ke bawah.
“Tolonglah! Saya butuh Ning Ayu lebih dari anda!”
“Saya juga butuh dia lebih dari yang anda kira!”
“Urusan saya ini berkaitan dengan iblis!”
“Urusan kami juga berhubungan dengan jin!”
“Apa-apaan ini?!”
Sebuah suara pukulan terdengar di pintu bersama dengan pertanyaan lantang yang tiba-tiba meledak. Ning Ayu sudah berdiri di sana dengan postur tegap, gagah, dan otot-otot leher yang menegang.
“Mbak Ning!” Seru Mardian dan wanita tadi bersamaan. Sang wanita meninggalkan suaminya dan menaikkan roknya sampai ke batas lutut lalu berjalan cepat mendekati sang dukun.
“Mbak Ning, mertua saya! Mertua saya!”
“Ada apa dengan Bu Lastri?!”
“Mbak! Saya mau mengobatkan suami saya!”
“Tahan, bu!”
Bungkam. Sergahan Ning Ayu seketika membuat si wanita diam dan sang tamu memelototi Mardian yang menyebalkan.
“Bu Lastri! Bu Lastri tidak bangun pagi ini!”
“Tidak bangun bagaimana?!”
“Dia tidak bangun! Saya sudah membangunkannya, tapi dia tetap diam dan tidak mau bangun!”
Ning Ayu terperanjat. Ia tak berkedip menatap wajah Mardian yang sudah lusuh oleh keringat dan air mata.
“Mbak, saya sudah ke sini lebih dulu. Suami saya butuh pertolongan...”
“Mas Mardian pulang dulu. Saya segera menyusul.”
Mardian mengangguk dan berlari menjemput sepedanya yang roboh di atas tanah tak berumput. Ning Ayu seketika layu. Pundaknya mengendur, tubuhnya juga tak lagi tegap. Bibirnya yang gemetar terlihat oleh siapapun yang berdekatan dengannya.
“Maaf ibu,” ucap Ning Ayu kepada wanita tadi, “tapi masalah yang dia hadapi juga berhubungan dengan keselamatan saya sendiri. Kami sedang dihadapkan dengan sesuatu yang sangat maut. Kalau saya sampai tidak selamat, saya tidak akan bisa menolong orang lain lagi.”
Awan perlahan bergulung dari arah selatan, menyisakan lebih sedikit lagi ruang bagi matahari untuk menyampaikan cinta Tuhan. Ning Ayu yang tak perlu berdandan sudah meninggalkan rumahnya beberapa menit kemudian. Di jalan, ia berhasil mengejar Mardian dan mereka sampai ke rumah bersama-sama.
“Dia ada di kamarnya.”
Baik Mardian dan Ning Ayu berlari menuju kamar Bu Lastri. Mardian langsung membuka jendela kamar. Namun, Ning Ayu justru berhenti. Matanya seakan terpaku kuat pada sosok pucat yang terbaring di atas tempat tidur. Ia memperhatikan sekujur tubuh Bu Lastri, termasuk tasbih yang ada di dadanya. Dengan air mata yang menetes, Ning Ayu duduk di sisi kasur dan menyentuh tangan Bu Lastri. Kulitnya terasa sangat dingin dan kaku.
“Apa yang terjadi pada Bu Lastri, Mbak Ning?”
Awan kelabu bergerak pelan mengepung matahari. Ning Ayu menatap langit, sesenggukan. Ruang cahaya seolah disempitkan dan hanya diberikan untuk menerangi jasad manusia yang dipilih olehNya. Di kala bumi menggelap pelan oleh gumpalan sendu di atap dunia, satu berkas cahaya kekuningan masuk tepat dari arah jendela, menyirami salah satu makhluk Tuhan yang kini telah pulang ke rumah yang sebenarnya. Ning Ayu tertunduk dan roboh tak berdaya di mayat Bu Lastri.
Lambat laun, berkas sinar Tuhan telah pudar oleh kegelapan yang terus bergerak. Tubuh sang dukun berguncang oleh erangan yang tak dapat lagi ia tahan. Jemarinya merenggut tasbih yang masih dalam genggaman sang mayat dan menggenggamnya erat sampai bergetar.
“Maafkan saya, bu..!”
Mardian tiba-tiba mendekat dan menarik kain baju Ning Ayu, memaksanya untuk berdiri menatap Mardian yang memerah.
“Jawab pertanyaan saya! Apakah ini karena Onum!? Jawab!”
“Saya tidak tahu...”
“Lonte!”
Mardian menampar pelipis Ning Ayu sampai wanita itu terjerembab ke kasur. Tangan Mardian tetap mengejar dan menarik lagi, memaksanya untuk berdiri lagi, memaksanya untuk menatap wajahnya lagi, memaksanya untuk menghadapinya.
“Dasar bajingan! Katakan kenapa dia bisa mati padahal kalian sudah mengubur Onum! Kalian membohongi kami! Kalian telah berbohong!!!”
“Saya tidak tahu, mas! Lepaskan saya!”
“Kalian ternyata bajingan! Kalian berbohong! Kalian bukan dukun! Ternyata kalianlah iblis yang sesungguhnya!”
“Dengarkan saya dulu, mas!”
“Bangsat!”
Untuk yang kedua kalinya Mardian menampar pelipis Ning Ayu, mengirimnya kembali tersungkur di atas tubuh Bu Lastri yang mati.
“Kalian setan! Lebih baik aku menguburmu di samping kuburan Onum sekarang!”
Kalap. Mardian menarik kain leher baju Ning Ayu. Namun, telapak tangan kiri sang dukun menahan dada Mardian.
“Sumingkiro! Ilatmu ilate musuh getih patih! Atimu atine raja pati wengi!”
Mardian tersentak mundur. Kedua tangannya mencengkeram dada kirinya sendiri. Ia meringis seperti dijerat maut. Ning Ayu berdiri. Telapak tangan kirinya terarah ke Mardian.
“Sumingkiro menungsa Mardian tunduk tunduk marang awakku! Ilatmu ilate musuh getih patih. Atimu atine raja pati wengi.”
Mardian mundur. Lalu, seperti tak kuasa melawan kekuatan yang tak ia ketahui darimana datangnya, Mardian berlutut, merintih dengan segenap suara yang ia miliki. Ia seperti seorang abdi dalem yang tunduk pada sang pangeran.
“Mbak Ning!!!”
Perlahan, Ning Ayu menurunkan tangannya. Mardian terengah-engah dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya menyangga tubuh di tanah.
“Dengarkan saya, mas.” Ning Ayu ngos-ngosan hanyut oleh emosi dan kekuatan yang baru ia keluarkan. “Saya dan Suseno sungguh tidak tahu tentang bagaimana Onum membunuh para korbannya karena itu tidak ada dalam cerita yang kami dengar. Kami melakukan ritual hari itu hanya berharap agar apa yang kami lakukan dapat menjaga Onum dari kebebasannya di muka bumi ini. Kalau ternyata hal itu tidak membendung kematian korban-korbannya, kalau ternyata ritual yang kami lakukan tidak berguna, itu semua di luar pengetahuan kami, mas! Kami sungguh tidak memiliki informasi apapun mengenai cara kerja Onum dalam membunuh para korbannya, dalam membunuh Bu Lastri, dalam membunuh kita!”
Mardian duduk di atas tanah. Tangan kanannya masih memijat bagian dada kirinya. Begitu pula dengan Ning Ayu. Ia duduk di tepi kasur. Sembari menghela nafas pelan, ia membuang muka dari Mardian.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Mbak Ning?”
Butir-butir air yang mulai terjatuh dari awan bak mutiara bening yang terbuang, mengubah kehidupan menjadi tak bergairah. Petir besar telah turun menebarkan ketakutan di antara manusia, termasuk Sekar di dalam dapur kerjanya. Ia menghentikan urusannya dan berjalan ke arah jendela dapur. Di luar keadaan benar-benar buruk. Derasnya hujan dan angin mengakibatkan jalanan depan rumah tampak seperti kabut yang menyembunyikan dunia dari penglihatan.
“Hujan deras, ya?” Cik Lin melangkah masuk dapur. “Sebenarnya saya mau ke toko saya, tapi mungkin tidak jadi karena cuaca sedang begini.”
Sekar hanya tersenyum dan kembali mengiris wortel.
“Apakah ada yang sedang kau pikirkan?” Tanya Cik Lin mendekati Sekar.
“Tidak.” Jawab Sekar singkat.
“Tapi kau tampak murung. Kau sakit? Masuk angin?”
Cik Lin menyentuh kening dan leher Sekar.
“Tidak. Saya hanya tiba-tiba merasakan sesuatu yang tak bisa saya pahami. Kegelisahan yang menyerang tiba-tiba tanpa saya tahu apa sebabnya.”
“Dari kapan?”
“Tadi pagi setelah saya bangun. Seperti ada sesuatu yang telah hilang dalam hati saya. Namun, sampai sekarang saya tidak tahu apa itu. Saya ingin menangis, tapi saya tidak menemukan alasan untuk menangis selain hanya menuruti hati saya.”
“Ya sudah jangan terlalu serius. Santai saja. Minum air hangat dan lupakan pikiran negatif yang datang. Kadang, hujan juga membuat hati menjadi sendu.”
Cik Lin mengusap kepala Sekar dan meninggalkannya. Tiba-tiba, wanita itu menutup mulutnya. Satu tetes air mata mengalir di pipi kirinya. Sekar cepat-cepat mengusapnya dan menarik nafas berkali-kali.
Sementara itu, Mardian melepas kaosnya dan berjalan tergesa-gesa ke dapur. Namun, Ning Ayu mencegahnya dengan menarik lengan pria itu.
“Mas, tolong pikirkan lagi! Pasti ada cara lain! Ini sangat tidak pantas untuk Bu Lastri!”
“Kalau mbak punya cara lain, kenapa tidak memberitahu saya? Mbak pikir ada yang sudi membantu pemakaman mertua saya itu? Keluarga kami sudah tercoreng dari kehidupan orang lain. Setiap hari kami hidup dalam ketakutan dan tekanan dari orang-orang kampung. Bila Tuhan menghukum kami karena dosa kami dan dosa ibu bapak kami, biarlah kali ini saya mengubur mertua saya sendiri. Walaupun hanya satu orang, setidaknya saya akan mengubur dengan segenap kasih sayang yang saya miliki sebagai menantunya.”
Mardian memapasi Ning Ayu.
“Setidaknya beritahu istrimu, mas! Dia yang lebih berhak memutuskan, bukan mas!”
Mardian terhenti, menyadari kebodohannya sendiri. Ia menoleh menatap Ning Ayu dan seolah ada pertukaran rasa antara mereka berdua yang hanya bisa menunggu waktu di bumi ini.
***
Pukul setengah enam sore awan masih menangis, seolah tak kuasa menjadi saksi mati atas kenyataan yang harus dihadapi para sasaran kegelapan sang iblis bayi. Pukul setengah enam, Mardian dengan mengenakan jas hujan miliknya, telah kembali ke rumah bersama Sekar.
“Loh, bukannya itu Mbak Ning?” Tanya Sekar sambil mengamati seorang wanita yang duduk sendiri di teras. Tak jauh darinya, sebuah motor bebek diam berteduh.
“Iya.” Jawab Mardian.
“Mbak Ning?” Seru Sekar. “Sudah dari tadi?”
Ning Ayu mengangguk sambil tersenyum.
“Mbak, saya sudah menyuruh menunggu di dalam kenapa tetap di luar?” Tanya Mardian sembari membuka jasnya.
“Tidak apa-apa.”
Sekar menoleh ke arah suaminya.
“Dia sudah dari tadi, mas?”
Mardian tak menjawab dan langsung masuk ke dalam. Ning Ayu sendiri tertunduk dan meremas-remas tangannya.
“Mari masuk, mbak.” Pinta Sekar sambil lalu. Namun ketika ia memasuki ruang tamu, Mardian telah duduk di salah satu kursi seperti tengah menunggu.
“Sekar, duduklah.”
Ning Ayu masuk sebelum Sekar duduk.
“Ada apa ya?” Tanya Sekar sambil melirik ke arah dua orang yang bersikap aneh tersebut. Namun, ia tetap harus duduk jika ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Sekar,” nada Mardian bergetar, menggigil, ”ada sesuatu yang ingin kami sampaikan kepadamu. Itulah sebabnya aku menjemputmu sore ini.”
Mardian memandang Ning Ayu.
“Sesuatu apa?” Tanya sekar.
Mardian menarik nafas. Berulang kali.
“Ibumu.”
“Kenapa?”
“Ibumu sudah tiada.”
Itulah yang terjadi. Di luar, sore semakin gelap dan kelam. Namun di dalam rumah itu, semuanya terasa gelap total. Sekar dengan jiwa wanitanya yang rapuh, pingsan ketika membuka kain selimut yang menutupi jasad ibunya. Ia tidak mengutuk atau mempertanyakan kegagalan Ning Ayu seperti yang dilakukan Mardian. Ia hanya terisak sampai tak mampu berkata-kata dan berlari ke dalam kamar Bu Lastri yang sudah tak memiliki kehidupan, dan ia tak sadarkan diri di sana. Sementara Mardian dan Ning Ayu tak dapat melawan ketetapan Sang Maha Kuasa. Dua manusia itu bersandar di kursi teras, menikmati kelunya kenyataan dan bayangan kematian yang mulai mengeroyok di pikiran mereka.
“Saya akan tetap melakukannya.” Bisik Mardian. “Tidak ada lagi cara yang bisa saya tempuh untuk membuat keadaan menjadi lebih wajar. Semua ini sudah terlanjur tak wajar dari awal. Saya yakin, dia juga berpikiran sama dengan saya.”
“Apakah kita memang tidak bisa berbuat apa-apa? Saya, dengan pengalaman bertahun-tahun menghadapi kegelapan yang ditebarkan oleh jin dan setan, belum pernah sekalipun menemui iblis yang begitu maut seperti Onum.”
“Kalau kita semua mati karena Onum, kenapa Tuhan hanya diam saja?”
Ning Ayu menoleh.
“Ini karma yang harus kita terima.”
“Saya sudah shalat dan memohon pertolongan Tuhan. Kata orang, kalau kita dekat dengan Tuhan, Tuhan akan menolong dan memudahkan urusan kita, tapi mana buktinya? Apakah Dia menelantarkan doa saya? Kenapa? Apakah kekuatan Onum lebih besar dari kekuatan Tuhan? Ataukah sebenarnya Tuhan itu tidak pernah ada?”
“Mas!”
“Dia tidak pernah menolong saya, mbak! Kalau Tuhan itu ada, Dia pasti akan menyelamatkan saya yang sudah berdoa padaNya! Namun apa hasilnya? Salah seorang yang saya doakan tetap mati karena Onum! Tuhan itu tidak ada! Tidak pernah ada!”
“Mas! Istighfar! Bencana yang lebih mengerikan akan terjadi kalau mas tidak segera memohon ampun atas apa yang baru saja mas ucapkan!”
“Saya sudah pernah merasakan bencana yang paling mengerikan dalam kehidupan saya, mbak dan bencana itu bukan hanya satu. Mbak tidak akan mungkin mengerti kehidupan saya karena mbak memang tidak pernah mengalaminya.”
Mardian berdiri.
“Saya akan mengubur mertua saya di belakang rumah sekarang. Saya tidak akan meminta tolong Mbak Ning lagi. Satu kematian sudah cukup bukti bagi saya. Mbak Ning tidak mampu mengalahkan Onum. Silakan kalau Mbak Ning mau pulang.”
Mardian masuk. Ning Ayu mengejarnya sampai pintu.
“Saya tetap akan berusaha mencari jalan keluarnya, mas! Jangan menyerah oleh keadaan!”
Tidak ada tanggapan. Tidak ada gunanya lagi memperjuangkan hal yang sudah jelas ditolak. Dada Ning Ayu tiba-tiba sesak. Ia sesenggukan dan tubuh yang melemah memaksanya untuk bersandar di dinding.
“Jangan menyerah, mas...jangan...”
Di belakang rumah, Mardian menggali tanah menantang lebatnya hujan. Tepat di samping galian itu, kuburan Onum yang ditutup kain putih masih memberi hawa maut dalam kewibaan yang tiada tanding. Selesai menggali, Mardian melangkah ke dalam kamar Bu Lastri dan memanggul mayat wanita itu di pundaknya. Ia kembali ke lubang kubur yang tergenang air dan menyeret Bu Lastri ke dalamnya tanpa memandikan, tanpa kafan, tanpa bunga, tanpa doa.
“Kami akan menyusul ibu. Setelah kita semua mati, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Bukan Tuhan yang menguasai dunia ini, bu, tapi kematian.”
Selesailah sudah. Mardian menutup sempurna rumah terakhir Bu Lastri dengan tanah basah. Dalam sisa-sisa tenaga dan harapannya di dunia ini, Mardian melepaskan cangkulnya. Ia mendongak, menyerahkan wajahnya untuk diterpa butiran hujan.
***
Share this novel