Mardian duduk di sebuah kursi kayu panjang, sepanjang meja di hadapannya. Ruangan ini begitu sederhana. Dua kursi panjang mengapit di dua sisi meja. Sebuah papan berwarna putih tergantung di dinding seberang Mardian. Sebuah jam dinding berdetak lirih dengan jarum hampir mencapai pukul tujuh malam. Di luar, gemericik air dari kegelapan angkasa yang berhamburan ketika mengenai lekuk-lekuk tubuh bumi masih begitu riang dan tak mau berhenti.
Air di ujung-ujung rambut Mardian masih belum kering dari semenjak turun dari mobil polisi yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan membawanya ke sini. Inilah dia. Di dalam sebuah ruangan dengan luas tak lebih dari 3x5 meter, Mardian duduk berhadapan dengan majikan istrinya, cik Lin dengan penampilan yang sangat berbeda.
“Maafkan saya, Mardian.” Setelah bungkam cukup lama di antara keduanya, cik Lin akhirnya mulai bicara.
“Bagaimana kejadiannya, cik? Kenapa bisa seperti ini?”
“Saya hanya melakukan kata hati saya, Mardian. Sebuah kata hati yang muncul ketika seorang istri telah disakiti oleh suaminya yang sangat ia cintai.”
“Cik Lin...membakar istri saya?”
“Iya. Saya membakar kemaluannya yang telah menjadi pujaan nafsu suami saya. Saya ingin daging itu hancur sehancur hati saya, Mardian. Kemudian, saya menyiramkan lebih banyak bensin dan api itu membesar sampai melahap tubuhnya.”
Mardian terdiam. Ada kerutan di tengah alisnya. Meski begitu, sama sekali tidak terlihat otot yang menegang atau perubahan warna muka pria itu. Di sisi lain, air mata cik Lin mulai terlihat.
“Dia telah berselingkuh dengan suami saya, Mardian. Mereka telah tidur saat saya tidak di rumah. Saya telah mengetahui semuanya. Suami saya membelikannya handphone dan mebayarkan kos untuknya dimana setengahnya menggunakan uang saya. Coba kau pikirkan bagaimana perasaan saya sebagai istrinya!”
Mardian menarik nafas. Ia melemaskan tubuhnya dan bersandar di sandaran kursi.
“Maafkan saya, Mardian. Saya tahu apa yang saya lakukan ini tak akan pernah direstui oleh Tuhan. Tuhan mungkin tak akan lagi memberi cahaya kasihnya pada saya. Namun, karena itulah saya akhirnya menyerahkan diri saya ke polisi. Saya ceritakan semuanya agar saya merasa bebas dan karena saya tahu saya telah melakukan kejahatan. Kau tahu Mardian, sebelum saya membunuh istrimu, saya minta dia untuk memasak rendang. Karena, saya sangat menyukai masakan itu. Saya ingin menikmati masakan istrimu yang memang enak sekali itu sebelum ia tak bisa memasak lagi. Saya ingin menikmati hidup sebelum saya meringkuk di dalam sel yang dingin. Jadi, apapun keputusan pengadilan nanti, saya akan menerimanya dengan ikhlas.”
“Apa yang terjadi pada Sekar adalah sesuatu yang sudah pasti dan saya tidak akan ikut campur dalam persidangan nanti. Saya sudah mengikhlaskan kematiannya.”
Cik Lin terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Bagi saya, tidak ada Tuhan di dunia ini. Yang ada hanyalah kematian yang terkadang memberi isyarat sebelumnya. Cik Lin tahu kenapa terkadang kehidupan ini tidak adil? Karena Tuhan memang tidak ada. Kalau Tuhan ada, kehidupan ini akan adil dan tidak akan ada manusia yang putus asa.”
Cik Lin masih belum kembali dari ketakpercayaannya.
“Kau ateis?”
“Hah?”
“Kau ateis? Kau tidak percaya Tuhan?”
Mardian menggeleng tanpa ragu. Lalu, ia berdiri dan melangkah ke pintu keluar.
“Cik Lin tak perlu khawatir. Semua sudah terjadi. Kematian Sekar bukan hal asing bagi saya, walau saya juga tak tahu kalau hari ini adalah hari kematiannya. Cik Lin tak perlu khawatir dengan dosa atau pengampunan. Semua itu hanya ada di pikiran kita sendiri yang berasal dari mitos dalam kitab suci.”
Mardian membuka pintu, melepaskan seringaian senyum kepada cik Lin. Ia meninggalkan wanita itu yang masih duduk terperangah tanpa berkedip menatap Mardian. Tanpa ia sadari, tangan kanannya yang gemetar menggenggam salib kecil berwarna perak yang menggantung di lehernya.
Tumpahan air langit benar-benar belum mengalami penghabisan walau hari mulai tidur dengan membawa kisah-kisah manusia yang seperti takkan pernah berakhir. Pukul sembilan malam, Mardian sudah di rumahnya. Ia duduk di dalam dapur, di belakang pintu terbuka yang membuatnya dapat memandang dua gundukan makam milik Bu Lastri dan Bayu. Ia hanya menatap mereka dari atas kursi. Tak ada rokok atau secangkir teh yang bersamanya. Ia bahkan masih mengenakan pakaian yang ia pakai ketika menemui cik Lin sekaligus memberi keterangan yang diperlukan di kantor polisi.
Tiba-tiba, di tengah lebat dan sesaknya suara hujan, deru mesin terdengar mendekat dari arah depan rumah. Tak lama setelah suara itu berhenti, ketokan keras di pintu depan seolah menyentak menyibak suara hujan.
“Mas Mardian!”
Suara wanita. Mardian meninggalkan kursinya dan membukakan pintu. Sosok dalam jas hujan hitam berdiri di depan pintu. Ning Ayu.
“Saya pikir rumah ini masih kosong seperti tadi. Boleh saya masuk?”
Mardian hanya mengangguk. Ning Ayu kembali ke motornya yang masih berada di bawah hujan. Ia menuntunnya ke teras sekaligus melepas jas hujannya di sana.
“Apa yang sebenarnya terjadi, mas? Tadi mas di mana?” Tanyanya seraya masuk.
Mardian duduk dan mempersilakan wanita itu untuk duduk.
“Mbak Ning tadi datang ke sini?”
“Iya, sekitar pukul setengah delapan. Mas dimana saat itu?”
Mardian diam sejenak, menanti serentetan halilintar yang meluluhlantakkan dinginnya malam kelam.
“Yang paling penting adalah Sekar sudah mati. Tinggal kita berdua yang tersisa sekarang. Cepat atau lambat Mbak Ning dan saya akan menyusul menuju kegelapan.”
“Pasti ada jalan, mas.” ucap Ning Ayu lirih, tapi menekan. “Mas jangan gampang menyerah. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.”
“Iya. Saya setuju itu. Hanya saja, terkadang jalan keluar itu adalah kematian itu sendiri. Sudahlah, Mbak Ning. Mungkin kematian memang jalan keluar bagi saya yang sudah hidup menderita seperti ini. Ketika saya mati, penderitaan itu akan lenyap dan saya akan bebas tanpa beban duniawi lagi.”
Malam semakin menelan hari. Ning Ayu kembali ke rumahnya. Ia berlari ke kamar mandi dan mengguyur dirinya dengan air. Ia duduk di lantai, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Setelah berjuang menahan diri, Ning Ayu akhirnya berteriak. Ia membenturkan kepalanya ke lututnya berulang-ulang. Ia menarik-narik rambut panjangnya dengan sekuat tenaga.
Dering telepon terdengar. Dengan tergerus kepedihan yang meleingking di hatinya, Ning Ayu merambat ke meja ruang tengah dimana ia meletakkan teleponnya.
“Iya?”
“Yu? Kau sudah tidur? Aku barusan lihat di televisi tadi ada pembunuhan dan salah satu korbannya bernama Sekar dari desa Jogowangi. Apakah itu Sekar istri Mardian?
“Ya. Sudah tadi sore kejadiannya.”
“Jadi bagaimana ini, Yu? Kita harus bertindak cepat. Kau semakin dalam bahaya.”
Ning Ayu menggeser kursinya dan duduk.
“Aku juga tidak tahu, Sus. Aku bingung. Aku putus asa. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membendung takdir ini.”
“Kenapa kau jadi begini? Jangan pernah menyerah! Mintalah pertolongan pada Allah! Hanya Dia yang bisa menolong kita! Shalatlah, Yu! Sehebat apapun kekuatan iblis, Allah tetaplah Pencipta mereka. Ingatlah, bahwa maut semakin mendekatimu dan Mardian! Jangan sia-siakan waktu yang semakin menipis ini, Yu!”
“Sebenarnya...aku sudah mulai shalat lagi, Sus. Belum lama ini. Aku merasa sudah terlalu jauh berpaling.”
“Wow! Subhanallah! Jangan menyerah, Yu! Kalau kau sudah mulai shalat lagi, Allah pasti akan memberimu petunjuk! Pasti itu! Mata batinmu sudah terasah! Kau harus sering-sering membaca getaran alam. Insya Allah, kau akan menemukan sesuatu yang sudah Allah titipkan pada mereka.”
Lambat laun, hujan berubah menjadi gerimis dan keheningan mulai turun menyelip di antara yang lelap, Ning Ayu mengambil air wudhu dan melakukan shalat sunah. Setelah menyelesaikan dua rakaat, Ning Ayu kembali bersujud.
Tanpa ia sadari, sujudnya kali ini begitu tenang. Para jin tak ada yang bisa menggoda. Mereka terhalang oleh sebuah kekuatan yang tak tahu darimana asalnya. Sebaliknya, para malaikat di langit membentangkan sayap-sayap mereka. Mereka berlomba tuk mendoakan wanita bernama Ning Ayu kepada Rabb mereka di atas Arsy. Lalu, mereka juga berebut untuk turun ke bumi. Mereka mengubah wujud mereka menjadi pria paling tampan dan saling berjuang untuk menghangatkan jiwa Ning Ayu yang tengah kedinginan. Begitu indah suasana di dalam kamar itu. Sayang, Ning Ayu tak mampu merasakannya. Ia hanya terus berdoa dalam sujudnya yang tak henti-henti.
***
Pagi-pagi, Pak Lurah sudah menarik akselerasi motornya di jalan desa. Lalu, ia berbelok ke rumah Mardian. Pria itu memperhatikan lampu-lampu rumah yang masih menyala dan pintu depan yang menutup. Ia mematikan motornya dan turun.
“Permisi! Assalamualaikum!”
Senyap.
“Assalamualaikum!!!”
Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Kemudian, seseorang membuka pintu itu.
“Kau masih tidur, Mardian?”
Mardian memicingkan matanya ketika membuka pintu. Matahari seperti balas dendam pagi ini setelah hujan besar-besaran yang tak memberinya ruang tuk menilik bumi hari kemarin.
“Semalam kau tidak tidur? Lihat mukamu!” Kata Pak Lurah sambil menunjuk-nunjuk muka Mardian. “Hey, kemari! Aku mau bicara.”
“Saya belum membeli palu pengganti, pak. Datanglah lain waktu!”
“Bukan soal itu. Lupakan saja urusan yang seperti itu. Sini! Duduklah!”
Pak Lurah duduk di salah satu kursi. Mardian duduk di sebelahnya.
“Dimana istrimu sekarang? Masih di rumah sakit?”
“Apa peduli anda? Itu adalah urusan saya sendiri. Jangan ikut campur kalau hanya untuk mengolok-olok kami lagi.”
“Aku tidak akan mengolok-olok siapapun, Mardian. Dimana dia sekarang? Bu Lastri mana? Sepertinya sudah lama aku tidak melihatnya.”
“Lalu apa? Kenapa tiba-tiba anda jadi perhatian begini?”
“Dengar!” Pak Lurah mencondongkan tubuhnya ke arah Mardian. “Bagaimanapun juga, dia istrimu. Kau harus menguburkannya dengan baik.”
“Mengubur? Untuk membawanya pulang dari rumah sakit saja saya tidak mampu membayar. Sudahlah!”
“Mardian! Aku akan membantumu.”
Mardian terperanjat. Apa-apaan..?
“Mardian, aku sudah memikirkan ini dari sejak aku datang ke sini kemarin. Aku tahu kau pernah melakukan hal buruk pada desa ini. Akan tetapi, aku menyadari bahwa kau tetap menjadi bagian dari warga di sini. Mardian, aku bersedia memaafkan kesalahanmu.”
Seolah palu Pak Lurah yang hilang tiba-tiba kembali dalam wujud gaib dan menghantam kepala Mardian dengan sangat perkasa. Selain itu, ia merasa tak bisa bergerak, seperti tubuhnya terbekukan oleh sesuatu yang tidak dingin.
“Aku ingin membantumu dan mertuamu itu untuk memakamkan Sekar. Untuk sekarang, aku tidak ingin menanyakan mengenai apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana peristiwanya. Itu nanti saja. Sebenarnya, aku sudah menyebar undangan untuk mempertemukan seluruh warga hari ini. Nanti di sana, aku akan mengajak semua orang untuk memaafkanmu dan menyumbang dana serta tenaga untuk acara persiapan pemakaman sampai datang ke rumahmu untuk melakukan tahlilan selama tujuh hari.”
“Sebenarnya apa yang telah terjadi, Pak Lurah?”
“Nanti saja membahas hal itu. Yang penting, aku sudah katakan bahwa aku memaafkanmu. Sebenarnya, beberapa warga, termasuk ustaz Gandjar juga beberapa kali menemuiku dan mengatakan bahwa aku harus mengajak warga untuk memaafkan kalian. Karena menurut mereka, hal seperti itu tidak ada gunanya. Yang sudah berlalu biarlah menjadi peristiwa untuk dilupakan. Sekarang, aku tanya padamu. Kau ingin memulangkan istrimu atau tidak?”
“I...iya”
“Kalau begitu, sekarang kau bersiap-siap. Para warga akan datang pukul delapan pagi nanti. Saat di sana, aku ingin kau meminta maaf kepada semua yang hadir dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Setelah itu baru aku akan melanjutkan dengan meminta kesediaan semuanya untuk memaafkanmu. Oke? Bu Lastri mana? Masih tidur? Kau ajak dia juga. Datanglah ke balai desa sebelum pukul delapan.”
Lidah Mardian masih terpaku. Ketika Pak Lurah beranjak pergi, ia hanya diam di kursinya sambil memperhatikan sang tamu kembali ke motornya.
***
Pukul delapan pagi, balai desa belum penuh oleh warga. Mardian terlihat mengayuh sepedanya dan berhenti di samping balai desa. Semua warga memperhatikannya. Mardian mencoba untuk tenang dan tersenyum. Ia memberanikan diri untuk menyalami siapapun yang sudah tiba. Hanya beberapa orang yang bersedia membalas Mardian. Setelah itu, ia duduk di kursi paling belakang.
Pak Lurah datang beberapa saat kemudian. Begitu datang, ia mendekati Mardian.
“Mana Bu Lastri?”
“Dia sakit. Jadi, tidak bisa datang.”
“Bagaimana, sih? Seharusnya dia juga datang. Ya sudahlah mau bagaimana lagi. Kita tunggu dulu mereka yang belum datang.”
Setelah menanti, akhirnya warga mulai terlihat. Pak Lurah melangkah ke depan hadirin dan mulai membuka acara.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Serempak warga yang sudah duduk di kursi masing-masing menjawab salam itu. Setelah itu, Pak Lurah memberikan pengantar secara umum dan tak berpanjang-panjang.
“Para warga yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena dalam surat yang saya bagikan kepada saudara tempo hari, tidak tercantum hal apa yang akan kita bahas hari ini. Karena, saya tidak tahu apa yang harus saya tuliskan. Maka, saya mencantumkan dalam baris perihal bahwa akan ada pengumuman penting hari ini. Sehingga, bila saudara bertanya-tanya mengenai pengumuman apa yang akan saya sampaikan, saya bisa memahaminya. Sekali lagi, saya mohon maaf.”
Pak Lurah memberi isyarat dengan tangannya ke arah Mardian. Semua warga menatapnya dan beberapa orang mulai berbisik dengan sebelahnya. Mardian berdiri dan maju ke samping Pak Lurah. Namun, walau Mardian sudah di depan, warga masih duduk dengan tenang. Bahkan, beberapa orang yang saling berbisik mulai diam memperhatikan sosok Mardian yang tak berani mengangkat wajahnya.
“Saudara, setiap manusa pasti pernah memiliki masa lalu yang buruk. Kita pernah memiliki masa-masa yang buruk. Selama ini, kita telah membenci Mardian. Kita telah mengasingkannya. Saya telah ikut menolaknya sebagai bagian dari desa Jogomakmur ini. Saya, sama seperti saudara sekalian, telah menaruh dendam yang sangat besar terhadap Mardian. Namun, pada akhirnya saya sadar bahwa kebencian tidak akan membuat kita jadi pribadi yang lebih baik. Kebencian hanya membuat hati kita semakin gelap dan tidak akan pernah merasakan ketenangan dalam hidup. Oleh karena itu, pada hari ini saya ingin mengajak saudara sekalian untuk bersama-sama memaafkan semua kesalahan yang pernah Mardian lakukan pada kita. Saya ingin kita semua membuang ego dan dendam di hati kita, dan menerima Mardian sebagai bagian dari kehidupan masyarakat kita. Apalagi kemarin tersiar kabar mengejutkan bahwa istri Mardian, Sekar, telah berpulang. Jadi, sudahlah. Kita akhiri hubungan yang sudah lama tidak sehat ini dan memulai kehidupan baru yang mencerminkan nama desa kita, yaitu desa Jogomakmur. Namun sebelum itu, saya ingin Mardian meminta maaf kepada semua yang hadir di sini dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang merugikan warga desa Jogomakmur lagi. Sebenarnya, saya juga mengundang Bu Lastri. Namun, beliau sepertinya sedang sakit. Jadi, tidak bisa hadir bersama kita. Mardian, silakan!”
Mardian menatap wajah para warga. Situasi begitu hening beberapa saat. Ia menatap Pak Lurah. Pak Lurah menggeser posisinya mendekat kepada Mardian.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, terima kasih sudah hadir di sini. Saya ingin memohon maaf yang seikhlas-ikhlasnya atas semua dosa yang telah saya, Sekar, dan Bu Lastri perbuat di sini. Saya pernah merugikan desa ini dengan menjadi penipu, sering berutang, dan tidak bisa menjaga perkataan saya hingga menyakiti hati bapak dan ibu sekalian. Saya juga telah menghilangkan palu milik Pak Lurah...”
Mardian menatap Pak Lurah dan mulai sesenggukan.
“Maafkan saya, ya pak...”
Pak Lurah merangkul Mardian. Ia menepuk-nepuk punggung pria yang pernah ia benci sampai ke dalam tulang sumsumnya itu. Setelah itu, ia melepas rangkulannya dan menyilakan Mardian untuk melanjutkan penyampaiannya.
“Demikian istri saya yang sekarang sudah tiada, bersama Bu Lastri yang pernah menjadi benalu dengan tidak pernah menghadiri acara pernikahan, tidak pernah melayat, dan lain-lain. Akhirnya, kami mendapat karma dari perbuatan kami sendiri. Hidup kami semakin menderita dan selalu mendapat kesialan yang tak pernah kami duga. Saya sungguh mohon maaf dalam kesempatan ini kepada hadirin. Maafkanlah kami. Maafkanlah diri kami yang pernah menjadi iblis di antara bapak dan ibu sekalian. Saya bersumpah tidak akan mengulangi kesalahan saya. Karena, saya telah hidup dalam kegelapan dan rasanya sakit sekali. Jika itu memang hal yang harus saya terima, saya sudah menerimanya. Namun, saya ingin minta maaf. Saya ingin mendapat pengampunan sebelum saya mati. Andaikata bapak dan ibu keberatan untuk mengampuni saya, ya tidak apa-apa. Mungkin memang ini yang harus saya terima seumur hidup saya. Inilah hukuman yang pantas diberikan kepada seorang bajingan seperti saya. Namun, bila bapak dan ibu tidak berkenan memaafkan saya, setidaknya maafkanlah semua kesalahan Sekar dan mertua saya. Saya mohon maafkanlah mereka...”
Pak Lurah membelai punggung Mardian yang tertunduk seperti seseorang yang telah kalah dalam kehidupan ini. Air-air matanya berjatuhan mengenai debu lantai balai kota.
“Bagaimana, bapak-bapak dan ibu-ibu? Maafkanlah dia dan keluarganya. Tidak ada gunanya berlarut-larut dalam kebencian. Bahkan, saya sudah menyesali diri saya sendiri yang telah membencinya selama ini. Sekarang, saya minta bapak-bapak dan ibu-ibu yang bersedia memaafkan Mardian dan keluarganya untuk berdiri.”
Warga saling berpandangan dengan ekspresi masing-masing. Namun, salah seorang pria berjenggot panjang dengan gamis putihnya berdiri. Dialah ustaz Gandjar.
“Mas Mardian, selain anta meminta maaf kepada kami, anta juga harus meminta maaf kepada Allah, melakukan tobat nasuha, dan memohon petunjuk agar Allah memberi jalan yang lurus kepada anta. Bersediakah anta?”
Mardian terdiam.
Tidak ada Tuhan. Tidak ada Tuhan. Aku tidak percaya pada Tuhan!
“Mas Mardian? Bersediakah anta?” Tegas sang kyai sekali lagi.
Tidak ada Tuhan. Tidak...
“Baik,” jawab Mardian. “Saya bersedia bertobat. Saya bersedia bertobat.”
“Alhamdulillah. Allah telah memberi anta petunjuk. Ana bersedia memaafkan anta atas nama Allah dan Rasulullah. Insya Allah, ana juga akan bertobat karena telah mengikuti bisikan syaiton dalam hati ana untuk memusuhi anta. Yang lain bagaimana? Ana minta hari ini kita semua bertobat dari kesesatan dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah!”
Sang kyai menatap para hadirin. Lalu, salah seorang ibu berdiri.
“Saya bersedia memaafkan Mas Mardian!”
Lagi, seorang pria yang duduk di sebelah wanita tadi berdiri.
“Saya juga!”
Kemudian, dua, tiga, enam sampai dua belas orang berdiri. Mereka memberi jawaban yang sama.
“Alhamdulillah,” kata Pak Lurah. “Yang lainnya?”
Masih ada belasan orang yang tak beranjak dari kursinya. Namun, ada seorang pemuda yang berdiri.
“Kenapa yang datang hanya Mardian? Seharusnya, si Lastri itu juga hadir walau dia sedang sakit. Kalau begini, dia seperti lebih memilih bermalas-malasan dengan penyakitnya dibanding datang dan meminta maaf.”
“Sebenarnya...” Mardian berhenti, “Sebenarnya dia tidak sedang sakit.”
Pak Lurah spontan menatap Mardian.
“Saya...saya hanya tidak tahu harus berkata bagaimana. Sebenarnya...Bu Lastri...Bu Lastri sudah meninggal.”
Hadirin gaduh. Pak Lurah mencengkeram lengan Mardian.
“Apa?” Bisik Pak Lurah. “Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian?!”
Pagi itu seluruh warga desa berbondong-bondong mendatangi rumah Mardian. Beberapa di antara mereka mempersiapkan keranda dan liang kubur bagi Bu Lastri dan Sekar di area pemakaman desa Jogomakmur. Para ibu mulai memasak. Beberapa pemuda lain, menggali kuburan Bu Lastri di belakang rumah Mardian dan meletakkannya di dalam kamar. Mardian juga berjanji akan memberitahu apa yang tersembunyi di balik kain putih yang menutupi gundukan tanah samping kuburan mertuanya itu. Namun, ia akan menunggu waktu sampai semuanya selesai.
Mardian juga melakukan salah satu tradisi kuno yang masih bertahan hingga sekarang. Ia mengambil satu buah genteng rumahnya dan membantingnya ke tanah dengan saksi ustaz Gandjar sebagai suatu simbol harapan agar maut yang menimpa keluarga Mardian tak menyebar ke rumah-rumah lainnya. Setelah itu, ia dan Pak Lurah mengunjungi rumah sakit tempat Sekar terbaring tak bernyawa dan melakukan pembayaran untuk pemulangan Sekar.
Menjelang tengah hari, sirine sebuah mobil ambulans melengking di sepanjang jalan desa dan berhenti di pekarangan rumah Mardian. Jenazah Sekar telah pulang. Jasad itu langsung disandingkan dengan jasad ibunya di atas meja. Di ruang tengah, Mardian duduk dan tak bicara sedikitpun. Tatapannya seperti mengembara ke alam lain atau ke ingatan masa lalu yang pernah terukir bersama istri dan mertuanya. Di meja itu sudah tersanding beberapa makanan berupa wafer, donat kecil, dan kerupuk pembelian warga setelah meninggalkan balai desa pagi tadi. Meski demikian, Mardian tak memakannya. Ia hanya duduk tanpa suara.
Setelah melakukan shalat jenazah, mereka mengangkat jasad Sekar dan Bu Lastri. Diiringi bacaan tahlil para warga menuju tempat peristirahatan terakhir bagi dua manusia yang telah terpanggil. Mardian mengusung keranda milik istrinya. Di bawah awan sore hari yang kusam, iring-iringan para pelayat memenuhi jalan. Anak-anak berlarian di samping pembawa keranda bak pengawal. Bunga-bunga merah muda menghambur dari keranjang mereka. Udara yang lembab seketika meranum harum mengantar kepergian mereka yang tak abadi ke alam keabadian. Malam itu, Mardian melakukan tahlilan dengan setengah hati.
***
Share this novel