Mardian melingkari tanggal hari ini, dimana tanggal itu sudah ia ingat-ingat sebelumnya. Ia menghela nafas. Lalu, merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi dan berjinjit. Ia mengerahkan semua tenaga untuk meregangkan tubuhnya yang sudah terlalu letih oleh kehidupan. Pria itu melangkah ke dalam kamarnya dan melihat Bayu yang sudah terjaga di atas kasur milik Mardian. Di sekitar Bayu terbaring, terserak serpihan-serpihan kulit mati dari sang iblis.
“Sepertinya kau semakin mendekati duniamu. Bayu sayang, bapak ingin mengajakmu jalan-jalan. Mari kita ke bukit belakang. Bapak ingin bersamamu sebelum pergantian waktu dini hari nanti.”
Mardian menggendong Bayu dan melangkah melalui pintu belakang rumah. Saat melintasi kebun, Mardian mengamati tanaman-tanaman di sana. Semua pohon pepaya dan singkong layu dan mengering seperti Tuhan tak pernah meridhoi kehidupan mereka. Mardian membawa Bayu melewati jalan yang menanjak. Akhirnya, mereka sampai di atas bukit.
Mardian menurunkan Bayu dari pelukannya. Ia merentangkan tangannya dan meregangkan badan. Belum ada segumpal awan pun di langit. Warna biru yang membentang di atas sana seperti tak pernah tersentuh oleh debu dan kabut yang selalu membayangi setiap langkah manusia. Di bawah, Mardian dapat melihat atap-atap rumah warga yang terselip di antara pepohonan yang mengeroyok. Satu dua orang terlihat melintas di jalan desa.
Mardian lantas duduk. Ia membawa Bayu kembali ke dalam pangkuannya.
“Sepertinya dunia begitu indahnya bila dilihat dari sini.”
Mardian membelai kepala anaknya. Dua daging tumbuh yang menonjol di atas kepalanya terasa semakin besar dan tinggi. Mardian mendesah.
“Bayu, menurutmu bagaimana dunia ini? Bapak selalu berpikir bahwa dunia ini ada untuk tiada, seperti kita. Seperti kau dan bapak. Kita semua hidup untuk mati, bukan?”
Dua ekor burung pipit hinggap di dahan sebuah pohon kers di samping mereka. Daun-daunnya yang lebat seolah menjadi tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Namun, tak lama kemudian kedua burung itu terbang seperti ketakutan.
“Kau lihat, Bayu? Mereka terbang lagi. Mungkin mereka takut padamu. Takut akan sesuatu yang mungkin terjadi pada mereka jika terlalu lama di dekatmu. Sama seperti kehidupan bapak. Kadang bapak merasa sangat takut terhadap sesuatu. Kadang bapak ingin berlari dan membuka lembaran baru dalam kehidupan bapak. Namun, bapak merasa tak berdaya. Bapak seperti sesosok mayat yang hanya bisa pasrah di dalam kubur, menunggu binatang-binatang tanah memakan jasad bapak sedikit demi sedikit. Kenapa kehidupan bapak seperti ini? Sejak kecil bapak sudah tidak merasakan kehidupan yang menyenangkan. Orang tua bapak bercerai dan meninggalkan bapak sendirian di rumah. Akhirnya bapak meninggalkan rumah asli bapak dan dengan uang yang bapak punya, bapak menyewa kontrakan dengan harapan kehidupan bapak berubah. Namun ternyata, bapak semakin lama semakin mirip dengan sesosok iblis dibanding manusia. Mungkin bagi mereka yang pernah bapak rugikan, mereka juga menganggap bapak adalah sosok yang lebih jahat dibanding iblis. Mungkin bapak lebih jahat dibanding denganmu? Bisa jadi. Ibumu juga ternyata lebih jahat dari iblis itu sendiri. Nenekmu juga pernah seperti itu, walau akhirnya ia memilih untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang sebenarnya tidak ada itu. Manusia itu aneh ya? Sampai sekarang bapak belum bisa mengerti. Bahkan diri bapak sendiri...”
Angin berhembus. Dedaunan beterbangan di sekitar mereka. Untuk sejenak, Mardian dan Bayu menatap langit.
“Bayu...apakah di duniamu ada kebahagiaan untuk bapak?”
Sementara itu di rumah, Ning Ayu tengah duduk di kamarnya. Smartphone di tangannya menyambungkan ke sebuah kontak bernama “Dewi Dukun”.
“Halo mbak?”
“Hai, Mbak Ning! Ada apa?”
“Saya ingin tahu, apakah mbak sudah punya ramuan terbaik di dunia dari Afrika itu?”
“Oh, iya, sudah. Namanya Remedy of Rebirth. Ramuan reinkarnasi. Di Afrika, ramuan ini diperdagangkan secara rahasia di antara para dukun karena efeknya yang tak main-main. Siapapun yang meminumnya akan lenyap dari deteksi para jin. Ini cocok bagi mereka yang sedang dikejar jin atau dukun jahat.”
Bum! Kesadaran Ning Ayu seperti tersambar sesuatu yang lebih dahsyat dari petir. Ia kembali teringat oleh mimpinya. Sosok wanita semalam adalah Dewi yang tengah berbicara dengannya sekarang. Dewi yang menggandeng tangan Ning Ayu adalah simbol pertolongan. Sekarang, wanita itu menunjukkan ramuan terbaik di dunia padanya.
“Walau ini ramuan terhebat, tapi efek sampingnya juga menyeramkan, Mbak Ning.”
“Efek samping?”
Dewi lantas mengatakan sesuatu yang membuat Ning Ayu terdiam. Sesuatu mengenai efek samping yang tak pernah ia bayangkan selama ini.
***
Mardian membawa sepedanya ke pasar. Para pedagang memperhatikannya dari dalam tenda masing-masing. Seperti sudah lama, Mardian merasa bahwa dirinya sudah sedikit asing dengan tempat itu. Ketika ia menangguk kepada Pak Lukas, Pak Ponco, Bu Santi, sepertinya wajah-wajah itu mulai memudar dari dalam ingatannya.
Mardian akhirnya sampai ke tenda hitam, tempat dimana ia pertama kali bertemu dengan seorang gadis yang begitu menggoda, tempat dimana segala kehidupannya bermula, tempat dimana ibunya pernah berjuang di sini hanya untuk memberi makan anaknya yang pada akhirnya ditinggalkannya.
“Loh!? Cintaku??? Bagaimana kabarmu, sayang!? Masya Allah..!”
Mardian tersenyum memandang si nenek yang mulai berdiri dan berjalan cepat ke arahnya. Ia masih seperti dulu. Bedaknya tebal dan aromanya harum seperti bedak bayi. Lipstiknya berwarna merah menyala seperti milik Sekar saat malam dimana Mardian pertama kali mengetahui siapa sesungguhnya pujaan hatinya itu.
“Cin, bagaimana kabarmu?”
Nenek Sasya memeluk Mardian. Bau bedak ini lembut tapi sangat menyengat. Namun, bau tubuhnya yang lama bergulat dengan pepaya, petai, dan sampah-sampah yang tak diperhatikannya membuat aroma bedak menjadi aneh.
“Cin, apa yang terjadi sebenarnya? Ceritakanlah ke daku!”
Mardian tersenyum. “Kenyataan harus kita terima.”
Mardian melangkah menuju tenda milik Sasya. Ia melihat dagangan si nenek.
“Cintaku, dikau harus menceritakannya ke daku. Peristiwa itu sungguh mengejutkan daku, cin! Bagaimana bisa? Orang-orang membicarakannya. Lagipula, dikau baru muncul hari ini.”
“Nek, saya sedang tak ingin membicarakannya sekarang. Mungkin lain waktu saja.”
Mardian berdiri di tengah jalan, menatap sekeliling. Ia memperhatikan satu demi satu pedagang yang ada di sana dan orang-orang yang melewatinya. Kemudian, ia menuju ke tendanya. Mardian menurunkan bangku panjang yang ia letakkan di atas meja sebelumnya. Ia duduk, merasakan kayu dari kursi itu. Lalu, tangannya menyusuri permukaan meja. Di atas meja inilah Mardian menata lemper dan gorengan-gorengan yang ia jual dalam tampah dan kotak-kotak plastik. Mardian merogoh saku celana panjangnya. Ia mengeluarkan sebuah kunci. Dengan kunci tersebut, Mardian membuka sebuah gembok yang mengunci laci mejanya. Saat ia menarik laci itu, Mardian tersenyum. Sebuah radio tua berwarna hitam miliknya masih ada di sana. Mardian tersenyum. Namun ketika radio itu menyala, hanya suara statis yang muncul. Ia memanjangkan antenanya, tapi terasa begitu seret. Karat telah menggerogoti lapisan luarnya. Mardian mematikannya dan meletakkan radio itu kembali ke tempatnya semula, di dalam laci.
Mardian meletakkan tangannya di atas meja. Beberapa pedagang masih curi-curi pandang kepada dirinya. Mardian lalu menoleh ke arah kiri. Ia tahu, hanya ada kerumunan di sana, seperti pada arah lain. Namun, dari posisi ini, Mardian dapat mengenang kembali bagaimana dulu ia melihat dua orang wanita yang pada akhirnya menjadi bagian dari kehidupan Mardian. Mereka dulu dari arah sana, berjalan kemari.
Mardian kembali tersenyum.
“Cin, daku tahu dikau masih sedih walau dikau tak mau mengatakannya.”
Suara Sasya seperti mengutup pintu memorinya, menghapuskan seketika halusinasi yang Mardian ciptakan tentang istri dan mertuanya.
Mardian berdiri dan mengangkat bangkunya ke atas meja. Kemudian, ia mendekati Sasya.
“Nek,”
“Iya, cin?”
“Sebenarnya dari dulu saya penasaran. Apakah nenek memang sungguh bernama Sasya?”
Sasya tersenyum. “Itu hanya samaran, cin. Karena, daku menyukai nama itu. Itu adalah nama seorang wanita yang sangat dicintai oleh lelaki yang sangat daku cintai, sampai akhirnya laki-laki itu menikah dengannya. Daku tidak membenci wanita itu. Karena, dia memang cantik dan menyenangkan. Makanya, setelah kejadian itu, daku ingin menjadi seperti dirinya. Daku menjadi sering berdandan dan selalu menunjukkan sikap ceria, agar daku bisa menarik perhatian seperti dia. Daku juga menggunakan nama Sasya, dengan harapan daku bisa seperti dia dan akhirnya dicintai oleh lelaki yang daku cintai. Nama asli daku adalah Iin Margiati, dulu sering dipanggil Iin.”
Mardian tersenyum. Sasya menunduk menggigit bibirnya, seakan perkataannya barusan menghentak di hatinya sendiri.
“Nek,” Mardian mendekat padanya. “Saya ingin minta maaf.”
“Hah?”
“Sudah lama kita saling mengenal. Sudah banyak juga yang kita lalui di sini. Saya sering memiliki rasa tidak suka pada nenek karena...karena terkadang nenek banyak bicara... dan cabul juga. Selain itu, saya juga pernah memiliki keinginan agar nenek mati saja. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
Sasya tertegun. Kelopak matanya melebar, tapi tidak melotot. “Ada apa sebenarnya, cin? Dikau mau pergi?”
Mardian menggeleng. “Saya hanya ingin minta maaf...itu saja.”
“Cin, kemarilah. Peluk aku.”
Sasya melingkarkan lengan tangannya ke leher Mardian. Mardian tak bisa mengelak. Sekali lagi, bau aneh bedak bayi bercampur dengan bau pepaya dan petai terasa lebih memabukkan dari sebotol oplosan.
“Ada apa denganmu, cin? Daku merasa dikau akan meninggalkan daku untuk selamanya. Apakah ini perpisahan, cin? Dikau mau kemana?”
“Nek, nenek akan memaafkan saya atau tidak?”
“Iya, iya. Anggap semua itu tidak pernah terjadi. Anggap dikau tak pernah melakukan kesalahan pada daku. Daku juga minta maaf kalau punya salah, ya?”
Mardian melepaskan pelukannya.
“Nek, boleh tanya sesuatu?”
“Apa, cin?”
“Kapan terakhir kali nenek dicium lelaki?”
Sasya menatap Mardian. Sambil menahan genangan air mata yang tiba-tiba mengintip, ia mulai mengingat. “Daku sudah lupa. Pacar daku saja dulu belum pernah mencium daku.”
Mardian tersenyum. Lalu, ia mendekatkan bibirnya perlahan ke kening Sasya. Mardian mengecup kening berkerut itu. Meski bibirnya merasakan serpihan bedak, tapi Mardian mencoba untuk tak terganggu. Beberapa orang yang tengah berjalan berhenti menyaksikan pemandangan itu. Beberapa yang lain mulai berbisik satu sama lain. Begitu kecupan itu berakhir, air mata Sasya yang sudah berlinang menetes dari mata kirinya.
Mardian tersenyum. Ia kembali ke tendanya dan pergi dengan sepedanya. Sasya berdiri terbisu. Butir demi butir air mata mengalir di pipi dan berjatuhan dari dagunya. Kemudian, ketika sosok Mardian makin menjauh dari pandangan, Sasya terisak, sampai Mardian hilang ditelan kerumunan jauh di sana.
***
Mardian kembali ke desanya. Dalam perjalanan, ia berpapasan dengan beberapa warga. Kali ini, Mardian bisa melihat senyuman di bibir mereka saat melihat Mardian, seperti apa yang pernah dilakukannya tak pernah terjadi selama ini. Bahkan, ada yang bertanya darimana Mardian baru pergi, seperti itu, seperti dunia ini indah.
Mardian memasuki pekarangan rumahnya. Namun, sebuah motor terlihat di halaman rumahnya itu. Mengamati lebih jauh lagi, Mardian melihat seorang wanita tengah duduk di teras.
Mardian terperangah. Wanita yang duduk di sana bukan Ning Ayu. Ia jauh lebih tua dan pakaian yang ia kenakan bukan pakaian yang biasa Mardian lihat di pasar. Perhiasan-perhiasan emas menggelayut di leher dan tangan wanita itu.
Melihat Mardian datang, wanita itu berdiri. Dengan langkah yang terasa berat, Mardian mendekat ke arah wanita itu.
“Mardian?” Sapa si wanita.
Wanita itu tak bergerak. Matanya masih memperhatikan sosok anaknya itu dari atas sampai bawah.
“Darimana kau?”
Mardian memalingkan mukanya. “Darimana kau tahu alamat rumah ini?”
“Dari berita di televisi dan internet. Kata mereka, nama suami perempuan itu adalah Mardian dan tinggal di Jogomakmur. Setelah ibu ke sini sesuai alamat itu, ternyata ibu bertemu denganmu. Apakah perempuan itu istrimu, Dian?”
Mardian diam.
“Mardian, ibu ingin...”
“Berhentilah menggunakan kata ibu!”
Tubuh sang ibu tergetar mendengar bentakan itu. Otot-otot di wajah anaknya terlihat jelas.
“Maafkan ibu, Mardian. Ibu tahu ibu melakukan kesalahan besar. Namun akhir-akhir ini, ibu selalu memikirkan dirimu. Ibu sering teringat akan dirimu. Ibu juga selalu memimpikanmu dalam beberapa malam terakhir. Walau ibu sudah menyibukkan diri, bayang-bayangmu tak bisa ibu hapuskan.”
Mardian mencoba menghirup nafas walau debar di dadanya seperti menahannya dari menenangkan diri sendiri. Sang ibu melangkah mendekat.
“Mardian, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Ceritakanlah pada ibu. Ibu ingin tahu. Kita pernah hidup bersama. Ibu pernah begitu mengerti dirimu...”
“Kapan kau pernah mengerti aku? Kau anggap dirimu itu ibu bagiku?!”
Sang ibu tak dapat membendung perasaannya lagi. Mardian melangkah menuju pintu seperti tak mau membuang waktu dengan sang ibu.
“Ibu ingin bercerai dengan Charles.”
Mardian terhenti. Tangannya tertahan ketika sudah masuk melalui jendela untuk memutar kayu pengunci pintu.
“Kau tahu? Ibu sebenarnya tak pernah begitu bahagia bersama Charles. Dia memang memberi ibu harta yang melimpah. Namun, dia selalu memikirkan tentang pekerjaannya dan tak pernah punya waktu untuk mendengarkan perasaan ibu. Di kompleks itu, ibu tak terlalu bisa mengenal tetangga karena mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.”
Sang ibu memegang lengan Mardian.
“Mardian,” bisiknya terisak. “Ibu ingin kembali menjadi ibumu, membantu usahamu, dan memulai kehidupan baru bersamamu. Ibu tak ingin lagi hidup di sana. Ibu tak ingin lagi bersama Charles. Ibu rindu kehidupan kita yang dulu...ibu merindukanmu...”
Mardian melepaskan tangannya dari jerat genggaman sang ibu. Ia kembali meraih kayu pengunci dan memutarnya. Mardian masuk dan membanting pintu dan menguncinya.
“Mardian!”
Mardian bersandar di pintu yang tertutup rapat. Sang ibu terduduk di lantai teras. Tangannya menekan mulutnya dalam tangis yang kian menghebat. Segalanya sudah berakhir baginya. Tiap-tiap air mata yang mengalir terasa berdarah seperti hatinya saat ini. Semua emas yang ia kenakan, lipstik, parfum, bedak, dan pakaian itu tak lagi berarti. Ketika hati seseorang telah hancur, masih bisakah hati itu dirajut kembali dengan kekayaan? Mardian membiarkan punggungnya menggelincir di permukaan pintu. Ia duduk di tanah menahan apapun yang ada di hatinya saat ini. Rasa sedih, kecewa, marah, dan rindu berbaur tanpa ampun. Ia ingin menangis, tapi menangisi hal ini adalah sesuatu yang lucu. Ia ingin marah, tapi untuk apa? Ia ingin kembali, tapi juga tidak mungkin. Di luar, sang ibu melangkah tanpa tenaga ke motornya. Ia menatap pintu itu dari balik matanya yang basah, di antara nafas yang tersengal. Dari dalam, Mardian menutup matanya tatkala suara motor sang ibu terdengar dan mulai bergerak melirih sampai akhirnya sirna dalam kenangan masa lalu.
***
Share this novel