BAB XX

Horror & Thriller Completed 15839

Esoknya, Mardian, dengan sudah mengenakan kain masker, mengambil cangkul di sudut dapur. Ia melangkah menuju gundukan tanah yang tertutup kain putih di belakang rumah. Di sisi gundukan, Mardian meletakkan cangkulnya di tanah. Ia menekuk lututnya dan berjongkok sambil menarik kain yang menutup gundukan.

“Baiklah, Bayu. Sudah bapak pikirkan masak-masak. Inilah keputusan yang tak akan pernah bapak sesali.”

Mardian berdiri dan mengangkat cangkulnya tinggi-tinggi. Tanah yang telah lembut oleh air hujan mampu menelan dalam baja cangkul yang tipis itu. Mardian terus mengeduk sampai ia melihat sebuah warna yang berbeda di antara butiran tanah yang dingin.

Mardian menarik karung hitam itu dan meletakkannya di atas tanah. Karung itu bergerak-gerak seperti saat terakhir Mardian melihatnya. Seperti seekor anak kucing yang ketakutan dalam perangkap, tak tahu takdir apa yang akan menimpanya. Namun, bau yang selama ini menjadi teror yang meresahkan, kini hanya samar, seolah terhanyut kalah oleh mantra atau telah padu menyatu di alam lain.

Kau ini benar-benar bukan manusia.” Mardian duduk di depan karung. “Selamat bertemu kembali, nak.”

Mardian membuka ikatan karung itu. Perlahan, ia membuka bibir karung dan mengintip ke dalamnya.

Bayi itu sungguh masih hidup. Matanya yang bulat seperti tatapan kucing dalam kegelapan. Mardian merogoh anaknya dan mengeluarkannya dari dalam karung. Ketika Bayu sudah terlepas seutuhnya dari jerat mantra, alis sang bapak mengernyit. Tangannya gemetar seperti ketika pertama kali ia menggendong anak kandungnya itu dalam dekapannya.

Kulit-kulit Bayu sudah mengelupas sebagian, menampakkan kulit baru yang berwarna gelap, berkilat seperti logam, dan lebih kasar. Sebagian kulit kepalanya mengelupas. Matanya kini lebih bercahaya kuning seperti bintang terang. Selain itu, ada satu hal lagi yang sangat mengganggu jiwa siapapun yang melihatnya. Ada dua tonjolan daging yang tumbuh di atas kepala Bayu.

“Bayu...”

Mardian memeluknya erat, seperti melampiaskan kerinduan yang baru terobati. Ia menggendongnya ke dalam rumah. Saat ia melepas maskernya, bau tubuh Bayu memang sudah lamat-lamat. Ia meletakkan bayi itu di atas meja makan dan duduk di kursi depannya.

“Kau akan segera berubah, nak.” Bisik Mardian sembari tersenyum, “Apa yang akan kau lakukan untuk membunuh bapakmu ini? Apapun itu, kau tetap akan membunuh bapak. Karena, memang inilah yang kau inginkan.”

Mardian membelai kepala Bayu, merasakan dua tonjolan yang ada di kepalanya.

“Seluruh warga sudah bapak beritahu. Mereka akan melihatmu malam ini ketika tahlilan yang tak berguna itu.”

Mardian menarik Bayu ke dalam dekapannya.

“Karena, semua akan sama saja. Ini bukan kesalahanmu. Ini kesalahan bapak dan ibu yang tak becus menjaga diri. Kau tidak pernah tahu kalau akan jadi begini. Bapak juga tidak tahu, apa yang akan terjadi bila iblis dalam dirimu benar-benar telah muncul sepenuhnya. Apakah kau akan tetap hidup? Apakah kau akan menjadi sisi lain dari iblis ini? Bayu, bapak mencintaimu dan bapak ingin mati di sisimu. Kau tak perlu repot-repot membunuh bapak. Bapak akan mengakhiri hidup bapak sendiri.”

Bayu menghisap jempolnya sendiri dalam pelukan sang ayah. Mereka berdua hanya diam dalam keheningan. Tak ada burung yang berani melintas di sekitar rumah. Tak ada angin yang bertiup dengan damai. Bumi seakan ketakutan dan meninggalkan mereka sendiri. Mardian dan Bayu, si korban dan sang pemangsa, bagai rusa yang malang dan singa yang menatap dari balik ilalang. Namun di rumah itu, mereka begitu erat membiarkan waktu dan keheningan menyatukan dua jiwa yang berbeda.

***
 
Ning Ayu duduk di bangku alun-alun memperhatikan hijau rerumputan yang ujung-ujungnya melambai mengikuti terpaan angin. Sesekali ia mengalihkan perhatiannya ke layar smartphone di tangannya, menggerakkan ibu jarinya untuk memeriksa laman chat. Beberapa meter di belakangnya, kendaraan pengguna jalan saling berlalu dalam urusan masing-masing. Namun, ada satu motor yang menepi dan berhenti di trotoar alun-alun. Ning Ayu menoleh ke arahnya. Sang pengendara motor melepas helmnya dan tersenyum. Ning Ayu membalas senyumannya setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Suseno.

“Sus, aku tidak enak dengan istrimu.” Kata Ning Ayu.

Suseno duduk di samping Ning Ayu. “Dia mengijinkan.”

“Sungguh? Apa yang kau katakan padanya?”

“Aku mengatakan kalau aku ingin bertemu denganmu yang saat ini sedang galau dan mengajak jalan-jalan.”

“Ih! Siapa yang mau jalan-jalan? Lalu jawaban dia apa?”

“Dia mengatakan kalau aku boleh menemuimu, menemanimu, mendengarkan keluh kesahmu, dan membuatmu nyaman hari ini.”

“Sus, aku serius.”

“Aku juga serius. Intinya, dia sudah mengijinkan. Karena, dia tahu situasimu.”

Mereka berdua melayangkan pandangan ke rerumputan.

“Jadi bagaimana? Apa ren...”

Ning Ayu tiba-tiba tersenyum dan menahan tawa dengan tangan di mulutnya.

“Kenapa?”

“Tidak.” Ning Ayu menyibakkan rambut di atas dahinya. “Tidak apa-apa. Ehm.”

“Lihat? Belum apa-apa kau sudah bahagia denganku.”

“Sus, jangan lagi.”

“Aku tak akan pernah lupa apa yang pernah kau lakukan padaku waktu itu.”

“Sus! Itu sudah berlalu. Kau sudah punya istri sekarang.”

“Memang, tapi pandangan pertama tak mudah dilupakan.”

“Sus, aku pulang.” Ning Ayu berdiri.

“Hey! Hey! Oke, oke. Aku akan bahas hal lain.”

Ning Ayu kembali duduk sambil sedikit tersenyum. Suseno diam sebentar seperti menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan.

“Apa rencanamu?”

“Rencanaku? Ehm! Rencanaku adalah melanjutkan hidup, mencari kekasih, hidup bahagia...”

“Aku serius, Yu!”

Ning Ayu tertawa sementara Suseno mulai gelap atas kelakuan wanita itu.

“Aku belum punya rencana, Sus. Masih sama.”

“Kita dihadapkan pada sesuatu yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Kita tidak punya bayangan apapun tentang Onum.”

“Sebelumnya aku tak memiliki firasat apapun mengenai apa yang akan terjadi. Tidak seperti biasanya. Aku selalu mendapat mimpi, perasaan, atau sekadar sekelebat bayangan di sela-sela kesibukanku. Namun kali ini...” Ning Ayu menggeleng.

“Kemarin aku menelepon ki Daud. Aku menanyakan bagaimana kalau Onum kita lawan dengan cara islam, seperti menggunakan doa-doa. Namun, beliau mengatakan bahwa Onum itu iblis tingkat tinggi. Kemungkinan harus dengan bantuan mereka yang sudah bergelar syekh dan sejenisnya. Ki Daud berkata, ia punya teman yang sekarang tinggal di London dan berprofesi seperti dirinya, dosen agama. Namanya Sulaeman. Akan tetapi, tentu kita harus membuat jadwal, dan kita juga membutuhkan banyak waktu dan dana untuk mendatangkan beliau di sini. Bisa jadi, beliau datang ketika semuanya telah berakhir.”

“Artinya ki Daud sendiri tidak mampu menolong kita.”

Suseno menoleh kepada Ning Ayu. Namun, ia tidak berkata apa-apa.

“Yu, kau sudah makan? Makan, yuk!”

“Kau ingin makan dimana?”

“Aku ingin ke Citrarasa.”

“Citarasa? Dimana itu?”

“Dekat area pantai Congot. Sekalian aku ingin melihat mangrove bersamamu.”

“Ajak istrimu, Sus, bukan aku.”

“Auramu sudah seperti malam tanpa rembulan saat lampu mati. Kau butuh piknik. Ayo! Kau harus ikut denganku!”

Suseno berdiri dan menarik lengan Ning Ayu.

“Tapi, aku tidak bawa uang sebanyak itu untuk bersenang-senang di sana!”

“Aku sudah persiapkan semuanya. Ayolah! Nanti dhuhur dan ashar, kita cari masjid dan shalat bersama. Selain itu, aku ingin merasakan lagi saat mengajakmu pergi seperti waktu itu.”

“Ingat istrimu, Sus! Kau bisa kena azab!”

Suseno mengambil helm yang tersampir di spion motornya dan menyalakan motor. Ning Ayu dengan jantung berdebar tak memiliki pilihan lain. Akhirnya, mereka meninggalkan alun-alun dan melaju ke selatan.

***
 
Menjelang siang, Ning Ayu dan Suseno sudah melahap kepiting panggang di rumah makan Citarasa. Langit yang biru, matahari yang terik, awan yang menggumpal kecil di atas permukaan air laut di kejauhan terasa begitu sempurna di hati.

“Kau suka?” Tanya Suseno sambil memandang Ning Ayu di depannya.

“Hm!” Wanita itu mengangguk.

“Aku tahu kalau aku tidak salah mengajakmu kemari. Kau terlihat lebih baik.”

Ning Ayu menatap Suseno sambil terus mengunyah daging kepiting.

“Aku memang belum pernah makan kepiting. Ternyata enak juga. Lagipula, tempat ini sudah jauh berbeda dibanding saat terakhir kali aku ke sini sekitar setahun lalu. Sekarang lebih tertata, lebih ramai, dan kebersihannya juga tampaknya cukup terjaga.”

“Dengan siapa kau ke sini setahun lalu itu?”

Ning Ayu melirik Suseno.

“Teman.”

“Pasti satu orang, kan? Pasti orang itu sangat istimewa di hatimu, kan? Pasti...”

“Sus...”

“Apa...?”

Nada suara pria itu nakal sekali. Pelan, tapi terasa menyebalkan. Ning Ayu mengambil tisu di dalam kotak dan mengusap bibirnya. Lalu, ia meminum es kelapa muda miliknya.

“Aku mau pulang.”

“Jangan! Jangan, jangan, jangan!”

“Pulang, ah.” Ujarnya sambil berdiri.

“Oke, oke, oke! Aku tidak akan menyinggung tentang masa lalumu lagi! Kumohon jangan pulang, ya? Waktu kita masih banyak. Ehm, bagaimana kalau kita ke pantai setelah ini? Oke?”

“Aku mau ke pantai sekarang.” Ning Ayu meninggalkan meja makan.

“Hey, tunggu aku bayar dulu!”

Akhirnya, makan siang mereka pun selesai mendadak. Suseno dan Ning Ayu beriringan ke pantai. Mereka melepas sepatu mereka dan memasukkannya ke dalam plastik yang mereka bawa. Kaki-kaki mereka bercumbu dengan butiran pasir yang lekat, dan meninggalkan jejak berantai di antara lubang-lubang persembunyian kepiting pantai. Ombak yang menyapu daratan membawa buih putih seperti memeriksa dunia luar lalu kembali lagi untuk mengirim kabar yang mereka dapatkan kepada kerajaan samudera.

“Yu, apa yang kau pikirkan?” Tanya Suseno melihat wanita itu diam selama berjalan di pantai.

Ning Ayu hanya menggeleng. Ombak datang menyapu kaki mereka yang telanjang. Di sekitar mereka, para perahu nelayan berjejer lengkap dengan sampan di dalamnya.

“Eh, aku ingin selfie!” Seru Ning Ayu sembari berlari ke salah satu perahu. Ia perlahan menaikinya dan membuka smartphone-nya. Lalu, ia memasang gaya dan mulai menekan tombol. Suseno tersenyum. Ning Ayu tampak seperti gadis kecil yang baru menyadari asyiknya selfie, atau seperti seseorang yang tengah mengabadikan kenangan sebelum dirinya pergi jauh.

“Sus, sini!”

Suseno melangkah mendekat.

“Sus, aku ingin selfie bersamamu.”

“Hah?”

“Aku ingin selfie bersamamu.”

Tatapan Ning Ayu berbeda. Seperti ada percikan paksaan kepada Suseno di balik tatapan dan senyum di bibirnya. Sebuah paksaan dari relung kalbu yang tengah menangis. Suseno tak berekspresi. Namun, getaran dalam dadanya sangat kuat. Apalagi di hadapannya, Ning Ayu sungguh berbeda. Tatapan dan senyuman itu bak boneka salju. Cantik, lembut, tapi menyimpan kerapuhan seolah memohon seseorang untuk selalu bersamanya dan menjaganya agar ia tetap hidup walau musim telah berakhir.

Sementara itu di rumah, Mardian mengumpulkan semua benda tajam yang ia miliki dan meletakkannya di atas balai-balai ruang tengah. Bayu duduk di samping benda-benda itu. Mardian mengambil satu demi satu dari semua benda tersebut dan menanyakannya pada Bayu apakah benda itu yang Bayu inginkan untuk menakhiri kehidupan ayahnya. Mardian mengambil sebilah pisau. Namun, Bayu tetap diam dan hanya menatap sang ayah dengan dua wajahnya yang berbeda, tapi sama-sama memberikan ancaman yang tidak main-main. Setelah mengetahui bahwa anaknya tidak memberi jawaban, Mardian mengambil benda berikutnya. Cangkul. Namun, Bayu tetap tidak memberi jawaban dalam bentuk apapun. Mardian mendesah lemah. Ia bingung apa yang Bayu inginkan.

Akhirnya, ia duduk di samping anaknya. Tiba-tiba, Mardian mendengar suara di dalam perutnya. Ia beranjak mengambil piring dan nasi. Ia membawa Bayu untuk duduk di sampingnya. Setelah melakukan suapan pertama pada dirinya sendiri, ia menyendok makanan dengan takaran lebih sedikit dan memberikannya pada Bayu. Ia meminta Bayu untuk membuka mulutnya dan bayi itupun membuka mulutnya. Lalu, Mardian memasukkan sendok ke dalam mulut Bayu. Bayu mengunyahnya. Mardian tersenyum melihat tingkah Bayu. Bayu duduk dan terkadang menepuk-nepuk telapak tangannya tanpa tujuan yang jelas. Terkadang menatap sesuatu dan beralih memandang yang lainnya. Mardian tersenyum, seolah malaikat kedamaian meniupkan benih-benih cinta dari telapak tangannya kepada hati Mardian.

Sang mata dewa bergerak turun dan langit yang menjadi kelopaknya berubah warna menjadi kuning cerah. Ning Ayu dan Suseno melangkah di atas jembatan kayu yang mengantar mereka untuk berkeliling mengitari hutan mangrove tepi pantai. Beberapa pasang laki-laki dan perempuan terlihat saling mengimpit menatap burung-burung camar yang berkejaran dan matahari yang semakin romantis. Ada juga orang tua dengan anak perempuan mereka yang masih kecil. Sang ayah menggendong putrinya itu dan si kecil menunjuk-nunjuk ke dalam hutan. Senyum yang terhias di bibir mereka seolah membisikkan kepada siapapun yang melihatnya bahwa dalam kehidupan yang penuh tanya ini, masih ada harapan untuk bahagia bagi mereka yang dalam hatinya penuh dengan cinta.

Ning Ayu melangkah di antara para pengunjung itu sambil sibuk memotret. Namun, ia tiba-tiba berhenti. Ia menatap langit dan menarik nafas. Bayang Mardian tergurat jelas di antara awan. Sosok itu menatapnya dengan air mata yang berkilauan terpantul oleh cahaya matahari yang kuning. Ning Ayu menoleh ke arah Suseno yang menyentuh pundaknya. Lalu, mereka berdua sama-sama menghadap matahari. Ning Ayu menyandarkan kepalanya di pundak Suseno. Suseno membiarkannya, seolah ia dapat melihat apa yang tengah Ning Ayu lihat dan merasakan apa yang tengah mengganggu pikirannya.

Sementara itu, Bayu tengah terbaring di atas kasur. Mardian di sampingnya, membelai-belai kepala anak tunggalnya itu. Hampir tak ada suara di dalam rumah itu. Bayu meringkuk menghadap ke ayahnya. Jari-jari tangannya yang mungil dan bulat mencengkeram kain kaos Mardian, seperti seorang anak yang tak mau kehilangan ayahnya. Mardian terus menatapnya. Ia menyentuh bagian wajah Bayu yang telah menunjukkan wujud iblisnya. Jari telunjuknya menelusuri pipinya, telinganya, dan dua buah daging yang menonjol di atas kepalanya. Mardian merapatkan dirinya pada Bayu dan memeluknya. Di tepi hutan mangrove, di atas jembatan itu, Ning Ayu dan Suseno masih menatap matahari. Orang-orang semakin sepi tatkala cahaya senja perlahan tertidur. Suseno merangkul Ning Ayu yang bersandar di bahunya.

***
 
Ning Ayu terbangun dari tidurnya. Ruangan remang-remang karena hari masih terlelap. Wanita itu merenungkan apa yang baru saja ia lihat dalam lelapnya. Ada sesosok wajah wanita yang menyelinap tanpa ijin ke alam mimpinya, menggandeng tangannya dengan senyum dan roman yang sangat ceria.

“Mbak Dewi...”

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience