BAB III

Horror & Thriller Completed 15839

Sepeda Mardian membelok ke gapura pasar pagi di kota ini, Purworejo. Ia memasuki area pasar dengan jarak tenda antar pedagang yang cukup berdekatan. Embun pagi masih bergelayut di ujung-ujung tenda yang masih belum bersua dengan pemiliknya hari ini. Plastik dan kertas bekas bungkus jajanan tersebar di sepanjang celah antar tenda. Warna dan bentuk mereka telah menyatu dengan paving, tanah, dan air limbah sisa dagang yang dilupakan. Sepeda Mardian mendesir di atas tanah sembab dengan masih empat sampai lima pedagang lain yang baru membuka tenda mereka dan mempersiapkan pergulatan dagang untuk hari ini. Mardian melukis senyum di bibirnya setiap kali ia memapasi mereka. Namun, mereka hanya membalas dengan anggukan tanpa menyapa dengan senyum atau suara dan buru-buru membuka rahang dengan lebar melepaskan angin mimpi semalam yang masih tersisa.

Sebuah tenda berwarna hitam terlihat di antara tenda-tenda pedagang lain yang masih sunyi beberapa puluh kaki di depan Mardian. Pandangannya menyapu sekitar tenda itu sampai titik terjauh ke depan. Tidak ada orang yang terlihat. Sampah-sampah belum disapu. Bau hari ini juga tak berbeda dari bau terakhir ketika ia menutup dagangannya sore kemarin. Mardian merenggut rem ketika ia telah sampai di depan tenda hitam miliknya.

Mardian mendengus begitu turun dari sepeda. Ia selalu mencium bau sampah yang seperti ini setiap pagi. Bau ini berasal dari tempat Sasya, perawan tua setengah gila yang menjual dagangan berbau menyengat seperti ikan asin dan petai yang dipadukan dengan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Parahnya lagi, ia termasuk pedagang paling jorok di seantero pasar pagi kota Purworejo ini. Ia tak pernah benar-benar berniat membersihkan gubuknya dan limbah dari semua dagangannya itu membusuk bersama lumpur dan sampah lain di pinggir gubuknya.

“Kalau saja kau masih muda sedikit, aku pasti berani menegurmu.”

Mardian mengumpat sambil mengangkut karung besar yang dibawanya dan disandarkannya di depan meja miliknya.

“Kalau saja gubukmu tidak bersebelahan denganku, aku tidak akan berpikiran seperti ini terhadapmu, dasar kempot.”

Mardian mengambil pisau yang ia sembunyikan di salah satu laci mejanya. Ia berjalan ke karung itu lagi dan membuka tali penutupnya. Dengan mulut yang masih manyun dan tenaga yang kuat, tali pengikat karung menjadi semrawut.

“Aku yakin bukan hanya aku saja yang ingin kau cepat mati. Memangnya siapa yang bisa bersabar berdekatan denganmu yang seperti itu?”

Mardian melemparkan pisaunya ke atas meja dagang. Setelah itu, ia membuka karung besarnya dan segera ia mengambil bungkusan pertama. Ia meletakkannya di meja disusul dengan bungkusan-bungkusan lainnya. Lalu, Mardian mulai menurunkan dua kursi yang ia miliki. Salah satunya adalah tempat duduk Sekar sebelum ia hamil dan melewati masa-masa sekarang ini.

Mardian membuka bungkusan-bungkusannya. Semerbak aroma lemper bakar dan aneka gorengan mengudara, bercampur dengan lembap atmosfer pagi ini sekaligus dengan aroma sampah gubuk sebelah. Aroma gurih daun pisang lemper yang dibakar memang masih dominan. Namun, Mardian tahu bahwa sensasi ini tak akan lama karena bau comberan perawan gila itu. Mardian melirik tenda wanita itu dengan geram.

“Baiklah, kadang hidup butuh berkorban. Hanya saja, kenapa aku yang selalu berkorban?”

Mardian mengambil sapu lidinya yang ia sandarkan di belakang gubuk. Pria itu berjalan ke gubuk Sasya dan berdiri di sana, menatap tanah.

“Aku melakukan ini bukan untukmu, tua bangka. Aku melakukan ini demi daganganku sendiri.”

Mardian menghirup nafas dan menahannya. Ia mulai menyapu sampah-sampah dan air di area itu. Sampah itu sedikit bertumpuk, menyebabkan gerakan sapu Mardian menjadi berat dan tenaganya terkerahkan penuh. Ia menyisir sampah-sampah itu ke serokan dan membuangnya ke tempat sampah besar yang tak begitu jauh dari lokasinya. Ia melakukannya lagi dan lagi hingga bau yang menyiksa itu tak lagi mengganggu lempernya.

“Baiklah! Kita mulai ritual pertama!”

Mardian bergegas membuka laci mejanya. Sebuah radio hitam seolah tengah menunggu sang pemilik di dalamnya. Mardian mengambil radio itu dan memutar power radio.

“... anggota DPR itu akan diproses hari ini. Ini adalah momen yang sudah dinanti-nantikan oleh rakyat Indonesia demi melihat bagaimana keadilan hukum di negara...”

“Halah...” gerutunya seketika.

Mardian memutar ke kanan. Suara statis terus berisik melewati beberapa saluran. Lalu, muncul lagu nyaring dengan irama yang menggoda pagi hari.

“Jujur saja, aku takut nanti kisah kasih masa lalu terulang lagi~”

Mata Mardian melebar.

“Asoooy!!!”

Pria itu meletakkan radio di meja dan mengeraskan volumenya. Ia mengangkat tangan dan bergoyang untuk mulai mempersiapkan dagangannya.

***
 
Sekar membuka pintu kamar mandi. Handuk berwarna merah tua membalut tubuhnya. Ia menyemburkan nafas sambil bergidik. Asap tipis terlihat menguap dari dalam mulutnya. Bu Lastri sedang mengaduk sup di dalam panci di atas tungku. Sementara itu, Bayu diam dalam balutan selendang di depan dada Bu Lastri.

“Sekar,” sapanya ketika melihat anak perempuannya masuk dapur.

“Cuaca sedang bagus. Ajaklah Bayu ke luar rumah, agar ia melihat matahari.”

“Hah? Lantas bagaimana kalau orang-orang melihat Bayu?”

“Di belakang rumah saja. Tidak akan ada yang melihatmu di belakang rumah.”

“Kenapa bukan ibu saja? Sekar akan menggantikan ibu memasak. Ibu saja yang menggendongnya keluar...”

Bola mata Bayu bergerak cepat ke arah ibunya. Namun, tak ada yang menyadarinya.

“Kau ibunya, Sekar. Bagaimanapun, kau yang melahirkannya. Kau harus memberi perhatian padanya. Nanti setelah sarapan, ajak dia jalan-jalan di belakang rumah.”

Sekar mendesah. Ia meneruskan langkahnya ke dalam kamar. Di dalam, ia segera melemparkan handuk yang melilit tubuhnya ke atas kasur. Ia duduk sejenak, menenangkan diri. Sepoi-sepoi angin yang menyelip dari jendela membelai kulitnya yang telanjang, serasa menyejukkan sampai ke jiwa yang tengah kalut.

Bu Lastri mematikan api kayu-kayu bakar di dalam tungku, meninggalkan asap yang mengepul menyelimuti panci sup. Wanita tua itu mengambil sebuah mangkuk besar di rak piring. Lalu, ia menyiduk sup di panci ke dalam mangkuk.

“Sekar, supnya sudah matang!”

Bu Lastri membawa sup itu ke ruang tengah, saat Sekar keluar dari kamarnya.

“Ayo sarapan dulu. Kondisimu masih lemah. Mukamu masih pucat.”

Ia meletakkan mangkuk ke atas meja makan bersanding dengan nasi yang menggunung di dalam enamel.

“Ibu persiapkan semuanya dulu. Ini, gendonglah Bayu.”

Bu Lastri menyerahkan Bayu pada Sekar yang tanpa ekspresi menerimanya. Bayi itu menatap sang ibu dan merapatkan kepalanya ke dalam pelukannya. Ia mengusap-usapkan wajahnya di dada wanita itu. Sekar yang menjadi salah tingkah dibuatnya. tetap berusaha untuk tenang dan tidak terlalu peduli.

Tak lama kemudian, Bu Lastri muncul dari dapur dengan membawa kelengkapan makan lainnya. Sekar menunggu semuanya beres. Perlahan, ia menengadah. Pandangannya sejurus ke arah genteng kaca yang berada di atasnya. Dari dalam ruangan ini, Sekar dapat melihat warna biru yang tersaring bening kecokelatan genteng itu sendiri. Tiba-tiba ada satu rasa yang merasuk ke hati wanita itu, membuat otot-otot di wajahnya mengendur, jalan nafasnya melembut, dan setiap kedipan mata yang terjadi, Sekar seolah mengerti bagaimana perasaan yang dimiliki oleh pagi kali ini.

Langit benar-benar bersih di desa ini, seperti membawakan berkat Tuhan yang khusus disampaikan hanya untuk Jogomakmur. Warna cerahnya seolah memantulkan birunya samudera yang begitu jernih. Di sela-sela selimut hijau yang berdiri menghadap angkasa, riuh suara binatang-binatang berparuh masih bersemangat. Kerap kali mereka terbang menampakkan diri untuk menjalani ritual pagi yang tak bosan-bosannya.

Selesai makan, Sekar melangkahkan kaki keluar dari pintu belakang. Bayu bergelung dalam pelukannya sambil berkali-kali merogoh ke balik kancing baju Sekar.

“Kau bisa bawa dia ke bukit sana. Mungkin Bayu akan tertarik melihat sebagian dari desa ini. Kau juga bisa sambil menyegarkan diri.”

Bu Lastri kembali menghilang ke dalam dapur. Sekar mulai berjalan masuk ke halaman belakang rumah. Beberapa tanaman singkong menjadi yang pertama yang menerima kedatangan Sekar dan Bayu. Sebanyak tiga garis tanah di tiap sisi jalan menjadi tempat bersemayam batang-batang singkong dengan baru dua dan tiga helai daun yang tumbuh. Di belakang tiga garis itu, sekumpulan pohon pepaya seolah menjadi peneduh bagi batang-batang singkong muda.

Bayu tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Kelopak matanya tak berkedip. Sekar mencoba menerka apa yang anak itu lihat. Tak jauh di depan mereka, ada salah satu tangkai daun pepaya yang melengkung sedikit memotong jalan. Sekar berjalan mendekatinya dan menunggu respons dari Bayu. Benar. Tangan anak itu mencoba meraih tangkai. Sekar memetiknya dan memberikannya pada Bayu.

“Kau suka ini?” Tanyanya.

Bayu menggenggam tangkai itu dengan satu tangannya. Ia melihat-lihat daunnya yang bercabang lima, seperti seorang peneliti atau seseorang yang sedang mengagumi keagungan ciptaan Tuhan.

Namun, sesuatu terjadi dengan tiba-tiba.

“Jangan!”

Sekar menarik tangkai itu dari tangan Bayu saat sang anak hendak memasukkan salah satu cabang daun ke dalam mulutnya sendiri.

“Kau tidak boleh memasukkan ini ke dalam mulutmu! Daun ini mentah dan kotor! Kau bisa sakit!”

Bayu menoleh kepada sang ibu dan menatap tangkai itu lagi. Ia mengulurkan tangannya ke tangkai yang dipegang Sekar. Sekar memberikannya dengan setengah hati kali ini. Bayu menggenggam tangkai itu dan tak berani mendekatkan ke mulutnya lagi. Kemudian, dengan gerakan yang lemah, anak itu perlahan menyandarkan kepalanya ke dada sang ibu.

“Bayu...”

Ada sebuah getaran yang dirasakan Sekar. Ada suatu perasaan yang sangat kuat yang membuatnya ingin sekali-sekali menyentuh darah dagingnya itu dengan hati seorang ibu. Degub jantung itu tak seperti biasanya. Bayu pasti merasakannya. Bayu pasti mendengarnya. Ini sangat berbeda. Kepala anak itu begitu hangat di dadanya. Lalu, angin sejuk bertiup. Keheningan ini begitu lain dan getaran yang terasa masih sangat kuat. Sekar menggerakkan tangannya. Telapak tangannya mendekat ke kepala Bayu. Awalnya ia ragu, tapi ia tetap melanjutkannya.

Tiba-tiba, Bayu mengocok tangkai yang digenggamnya. Lalu, mengibaskan tangkai itu ke segala arah. Salah satunya mengenai muka Sekar. Setelah itu, entah disengaja atau tidak, Bayu membuang tangkai yang digenggamnya, dan dengan gerakan yang penuh manja, ia menggeliat seolah ingin turun.

“Kamu tidak boleh turun di sini! Ibu akan membawamu ke bukit. Di sana, kamu bisa bergerak sepuasnya.”

Sekar mengatur posisi Bayu yang kacau akibat geliatan Bayu yang bertenaga. Ia kembali mengencangkan selendangnya dan melanjutkan perjalanan.

Setelah melintasi kebun, mereka sampai ke sebuah kolam. Air di dalamnya berwarna kehijauan dan sudah menjadi rumah bagi ikan-ikan lele yang diusung dari pasar ikan lebih sepuluh tahun yang lalu. Di salah satu sudut kolam ada satu kotak yang terbuat dari empat anyaman bambu yang saling mendukung dengan ikatan tambang. Di dalamnya, ada satu ikat bambu-bambu yang melintang diagonal dari satu sisi kolam ke sisi yang lain. Saat Sekar melewatinya, ada seekor ikan lele yang menyembul ke permukaan, seperti ingin memberi salam pada sang majikan atau hanya ingin melihat sesosok makhluk ganjil yang terlahir dari rahim sang majikan.

Melewati celah sempit dengan semak-semak liar yang sebagian cabangnya memotong jalan ditambah dengan jalan yang mendaki dan licin, Sekar sampai harus beberapa kali mengatur posisi Bayu lagi. Keningnya mulai mengeluarkan titik-titik keringat. Sempat pandangannya tak fokus dan keseimbangannya hampir melarikan diri. Sekar menggunakan tangannya untuk menyangga diri di sebuah batang pohon nangka.

“Aku tidak seharusnya membawa Bayu ke bukit. Kenapa aku masih melakukannya?”

Sekar mendesah dan melirik Bayu. Tanpa sengaja, ia melihat seekor nyamuk dengan asyiknya berlabuh di kepala Bayu yang putih bersih tanpa rambut. Sekar bergerak pelan-pelan. Tangannya terangkat untuk membunuh nyamuk itu. Namun ketika ia hampir mengerahkan kekuatannya, nyamuk kecil terguling dan jatuh ke selendang. Dengan kening yang mengernyit, Sekar mengambilnya. Nyamuk kecil itu tak bergerak sama sekali. Sekar tertegun sampai mulutnya sedikit menganga.

“Nyamuk ini mati?” Pikirnya.

Ia memperhatikan binatang malang itu dengan teliti untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia pikirkan barusan adalah sebuah kesalahan. Namun, nyamuk kecil tetap tak bergerak di telapak tangan Sekar.

Menyadari apa yang telah terjadi, tubuh Sekar berubah dingin. Nyamuk itu mati dengan sendirinya. Nyamuk itu mati tanpa ada alasan untuk mati di kepala Bayu. Bayu sama sekali tak melakukan apapun, begitu pula dengan Sekar, tapi kenapa nyamuk itu bisa mati saat menghisap darah Bayu?

Sekar tahu dirinya digelayuti bermacam perasaan dan tanya. Namun, ia mencoba menekannya, menyimpannya dalam kotak hati yang bisa ia buka pada saat yang tepat.

Di atas bukit itu, Sekar mengakhiri langkahnya. Angin di sini lebih kencang dan riang, seperti selalu berkejaran. Tanah bukit ini terlapisi oleh rumput dan ilalang. Ada juga beberapa semak yang menjadi pagar di tepian bukit. Sekar tersenyum merasakan dunia yang sangat berbeda ini, seolah semua yang merontokkan kebahagiaan dirinya tak pernah ada dan terjadi. Wanita itu masih berdiri di atas bukit, menyaksikan segala sesuatu yang tertangkap oleh pandangannya.

Di depan mereka, sebuah gambaran kehidupan tertampak. Sebanyak lima rumah warga terlihat di sela-sela pepohonan yang bergerombol. Sebuah jalan utama desa yang berkelok-kelok juga terlihat sampai ujung jalan yang seperti ular yang menyusup ke dalam rimbunnya pohon-pohon desa jika dilihat dari sudut ini. Di sisi kanan, sekelompok pohon jati memberi pemandangan tersendiri, seperti sekelompok manusia yang tinggi hati dan antisosial yang berujung pada lahirnya kesenjangan terhadap kelompok lain. Sekar mengangkat wajahnya, memperhatikan samudera di langit. Sampai detik ini, bintang yang bernama matahari itu masih kesepian di lereng timur kanvas biru. Namun, ia tak terlihat murung pagi ini walau sendirian. Ia juga tak bergerak menjauh atau mendekat yang bisa menimbulkan fenomena maut di muka bumi. Ia tetap berada di posisi yang seharusnya, tanpa punya niat tuk mengancam, seolah selalu tawakal memberi sepercik energi kehidupan di planet yang telah menjadi kewajibannya ini.

Sekar mencari area rumput yang tidak basah dan duduk di situ. Ia melepaskan selendang yang mengikat dan meletakkan Bayu di atas rumput. Bayu langsung duduk dan kedua telapak tangannya menyentuhi alam di sekitar tubuhnya. Sekar menghirup nafas panjang. Ia merasa paru-parunya berembun dan sepanjang tenggorokannya menjadi freezer sesaat. Kesejukan ini tak hanya merasuk ke dadanya, tapi juga ke setiap celah otaknya. Wanita itu membaringkan tubuhnya, memutar kepalanya ke samping untuk mengawasi Bayu yang perlahan merangkak.

“Bagaimana mungkin kau bisa merangkak, Bayu? Kau baru kemarin kulahirkan. Bayi normal tidak mungkin melakukan ini.”

Tiba-tiba Bayu melihat sesuatu di dekatnya, seekor belalang. Ia berusaha menangkapnya dengan jari-jari yang masih belum sempurna. Sekar terus memperhatikan tingkah polah darah dagingnya itu.

“Bagaimana mungkin kau tak bersuara sedikitpun dari kemarin? Bagaimana mungkin kau tak pernah menangis?”

Bayu merangkak menghampiri Sekar. Ia menidurkan kepalanya di dada dan tangannya merogoh ke balik baju Sekar. Sekar membuka kancingnya satu demi satu dan mengeluarkan payudaranya dari balik bra yang dikenakannya. Bayu tiduran di atas tubuh Sekar dan mulutnya mulai menghisap puting kecokelatan itu.

“Siapa sebenarnya kamu, Bayu? Kenapa Tuhan memberikan kamu padaku?”

Mereka berdua terbenam hening di atas bukit itu, di antara hempasan dingin udara pagi dan di bawah mata langit yang tak berawan. Sekar perlahan menutup matanya.

***
 
Sementara itu, pasar sudah ramai oleh pedagang maupun pengunjung. Mardian tak bersuara di dalam gubuknya. Ia mengamati kaki-kaki pengunjung yang melintas di depannya, juga yang berbelok dan berhenti di tenda pedagang lain.

“Yang doyan jengkol, yang doyan petai! Mari kemari ada jengkol dan petai!”

Sasya, perawan tua yang bertempat di samping Mardian berseru setelah seorang pembeli meninggalkan tendanya dengan membawa sebuah plastik yang sudah berisi. Mardian diam-diam memperhatikannya. Wanita itu selalu mengenakan lipstik tebal dan bedak bayi yang tak mampu menutupi keriput-keriput di wajahnya.

“Pepayanya besar-besar bu! Pepayanya enak dan empuk! Pisangnya juga besar-besar seperti pisang suaminya ibu!”

Wanita tua itu tertawa sampai terpingkal. Giginya yang kuning sudah hampir habis. Mardian masih menatapnya tanpa bicara. Tiba-tiba, si wanita menoleh kepada Mardian. Gelagapan, pria itu terlambat menyelamatkan mukanya.

“Kenapa cintaku? Diam-diam dikau memperhatikanku, ya? Tumben sekali tidak ada yang beli. Punya daku sudah terjual dua, loh!”

Mardian masih panik. Namun, rasa gemasnya yang kian gelap dari hari ke hari terhadap perempuan itu menutupi rasa takutnya.

“Ini masih pagi,” sahut Mardian. “Hari masih panjang untuk menunggu rejeki.”

“Dikau tahu, ini karena dikau tidak jualan beberapa hari kemarin. Orang-orang mudah sekali melakukan perubahan. Mereka mungkin sudah mendapat pengganti yang lebih enak dari punya dikau. Perkara yang lebih besar seperti cinta saja bisa dimain-mainkan, gampang pindah-pindah hati, apalagi cuma lemper, tempe, tahu, mereka bisa dengan mudah mendapatkannya di tempat lain. Bagi para suami, kalau mereka tidak bisa mendapatkan tempe yang mereka inginkan, mereka kan masih punya tempe istrinya.”

“Setan!” Spontan Mardian menoleh ke arah perempuan itu dengan mata agak melotot. Tangannya juga seketika mengepal keras siap jotos. Untungnya, si perawan tak melihat reaksi pria itu dan seruannya tadi hanya sampai di benaknya saja.

Sasya kembali tertawa sampai hampir tak dapat menahan diri. Mardian sungguh tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia terus mengumpat di dalam, terus mengumpat sampai mukanya mulai memerah.

“Woy, Mardian!”

Beruntung, seseorang memanggil dari kejauhan. Proses perubahan warna di wajah Mardian terhenti. Sesosok pria berkulit putih, bertubuh tegap, dan bermata sipit mendekati gubuk Mardian.

“Koh Andy!” Sahut Mardian.

Sasya ternyata juga melihatnya. Ia mengangkat tangannya dan berseru, “Halo, cintaku!”

Pria itu mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah Mardian. Mereka bersalaman. Sementara ia hanya tersenyum tipis ke arah Sasya.

“Kemarin-kemarin kenapa tidak jualan? Saya mau ngemil lemper tapi ternyata tidak jualan. Saya juga kesulitan mencari mas karena mas tidak punya telepon.”

“Saya masuk angin. Badan saya benar-benar tidak bisa dibujuk untuk jualan.”

“Tapi sekarang sudah sehat, kan?”

“Iya, sudah.”

Koh Andy mulai melihat-lihat lemper yang dihidangkan. Ia memungut satu dan menciumnya.

“Rasanya sih, sama dengan lemper yang lain, tapi saya suka aromanya. Sebenarnya, kemarin saya juga ingin tanya bagaimana cara membuatnya. Karena, istri saya juga suka dan justru dia yang menyuruh saya untuk meminta informasi cara pembuatan lemper ini.”

Mardian tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Lalu, ia memberitahu Koh Andy proses pembuatan lemper bakar itu. Koh Andy memanggut-anggut dengan mimik yang serius menatap sang ahli sambil membuka lemper yang sudah diambilnya.

***
 
Seorang pria bertubuh gemuk dan berkumis tebal mengendarai motornya masuk ke halaman rumah Mardian. Ia turun dan segera menuju pintu rumah.

“Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam!”

Bu Lastri keluar dari dalam dan mengangguk canggung.

“Pak Lurah? Silakan duduk...”

“Rumah ini masih sama saja seperti dulu. Kenapa kalian bisa betah tinggal di sini?”

Pak Lurah duduk di kursi kayu dan merasakan sesuatu. Ia melongok ke kaki kursi.

“Kursi macam apa ini? Apa Mardian sudah tidak punya tenaga untuk memperbaikinya?”

Bu Lastri duduk di kursi depan Pak Lurah.

“Mungkin dia belum sempat. Dia juga sibuk seharian. Malam hari dia sudah lelah dan ingin beristirahat. Boleh saya tahu, ada perlu apa bapak datang kemari?”

“Seperti inikah caramu menerima tamu? Tidak ditawari minuman malah ditanya. Memangnya kau anggap saya orang seperti apa?”

Bu Lastri tersentak.

“Pak Lurah mau minum apa? Saya akan buatkan teh.”

Bu Lastri bangkit dari duduknya.

“Tidak perlu!” Sentak Pak Lurah. Bu Lastri kembali duduk. Lututnya mulai gemetar.

“Saya ingin memberitahu, bahwa akan ada kerja bakti untuk memperbaiki jembatan. Jembatan yang ada di dekat warung Bu Nur. Tahu, kan? Tahu tidak? Nah, jembatan itu sudah rapuh dan mengancam keselamatan orang-orang yang menggunakannya. Tanggal 19 bulan ini akan ada kerja bakti untuk memperbaiki jembatan itu. Tolong kasih tahu Mardian. Dia wajib datang.”

Bu Lastri masih terpaku memandang Pak Lurah.

“Tapi, kenapa tidak ada rapat warga? Biasanya ada rapat untuk masalah seperti ini.”

“Kemarin-kemarin sudah ada rapat, kan? Mardian juga sudah dapat surat undangannya...”

“Kami tidak pernah mendapat undangan apa-apa.”

“Tidak mungkin! Saya sudah menyuruh ajudan saya untuk menyebarkan undangan ke semua warga. Bilang saja kalau kalian pelupa semua!”

Bu Lastri mengelus dadanya.

“Dan bapak kemari hanya untuk mengabarkan hal itu? Tumben sekali bapak menyempatkan datang ke rumah orang-orang yang seperti kami.”

Pak Lurah tersenyum sinis. Lalu, ia berdiri dan berkacak pinggang. Pandangannya jelalatan ke seluruh penjuru hingga langit-langit. Setelah itu, ia menaikkan celana panjangnya.

“Saya hanya ingin melihat rumah ini dan ternyata dugaan saya benar. Kondisi kalian masih sama. Tahukah kalian bahwa kalian adalah keluarga termiskin di kota ini? Bukan hanya di desa ini, tapi di kota ini! Kalian seharusnya tahu diri! Kalian seharusnya sadar apa yang telah kalian lakukan di masa lalu. Kalian mencemari nama baik desa ini! Kalian menjadi sampah masyarakat! Inilah hukuman Tuhan pada orang-orang macam kalian! Tuhan memberi kalian kemiskinan dan membiarkan kalian terpuruk di dalamnya!”

Dada Bu Lastri bergejolak. Namun, ia tak punya daya apa-apa. Semua yang dikatakan Pak Lurah tepat sasaran, menghujam ke fakta.

“Sudahlah! Saya mau pakai kamar mandi. Dimana kamar mandinya? Kalau rumahnya seperti ini kamar mandinya seperti apa?”

Tanpa ijin, Pak Lurah melenggang menelusuri ruang makan dan menuju dapur. Bu Lastri mengikutinya tanpa berkata. Namun, ia akhirnya berhenti dan duduk di balai-balai dapur.

“Kalian harusnya sering-sering bertobat agar rumah kalian tidak seperti ini.”

Pak Lurah menerobos pintu belakang dan langsung menuju kamar mandi. Akan tetapi, langkahnya tertahan sebelum ia sampai ke kamar mandi. Ia menatap sesosok wanita di kejauhan yang sedang berjalan memasuki pekarangan. Sesaat kemudian, wanita itu juga melihat Pak Lurah. Seperti sebuah kilat menyambar jantungnya, sang wanita mematung. Degub jantungnya mulai terdengar olehnya sendiri. Di dalam benaknya, segala kemungkinan terburuk mulai memercik bagai api.

“Sekar?” Seru Pak Lurah.

Justru Bu Lastri yang terperanjat mendengar panggilan itu dan segera berlari keluar. Ia melihat Sekar di kejauhan. Pak Lurah maju beberapa langkah dan fokus matanya ke arah sesuatu di balik selendang yang melilit Sekar.

“Kau...kau punya anak?”

“Itu anak saudara kami!” Teriak Bu Lastri.

“Tadi dia kemari dan menitipkan anaknya...”

“Jangan bohong!”

Pak Lurah memotong penjelasan Bu Lastri sambil mengacungkan jari padanya dan berjalan mendekati Sekar. Tanpa pertahanan, Sekar hanya mundur dan sebisa mungkin menutup Bayu dengan selendangnya. Namun, Pak Lurah terlanjur tak terbendung.

“Apa ini?”

Sekar berusaha membelakangi Pak Lurah, tapi tangan laki-laki itu mencengkeram bahu Sekar dan membalikkan tubuhnya lagi. Mau tak mau, Pak Lurah sudah melihat apa yang berusaha disembunyikan Sekar. Bu Lastri berlari mendekat.

“Cukup, pak!” Teriaknya.

“Apa ini, Sekar..? Apa...makhluk apa ini?”

Bu Lastri sampai ke anaknya. Kedua tangannya memeluk Sekar, sambil berusaha menutupi Bayu.

“Apa yang terjadi pada kalian?” Sambung Pak Lurah. “Apa yang terjadi pada bayi ini? Bagaimana kau bisa melahirkan bayi seperti ini?”

Sekar mulai menangis. Bu Lastri menatap Pak Lurah keras.

“Bapak tak seharusnya berlama-lama di rumah orang. Ini rumah kami! Bapak boleh pergi sekarang!”

Pak Lurah melangkah mundur, tapi masih menatap Bayu. Lalu, ia tersenyum dan memandang dua wanita di hadapannya.

“Oh, jadi begitu...” senyum Pak Lurah melebar. “Keluarga setan melahirkan anak setan. Hm...jadi begitu...”

“Tolong, Pak Lurah...” suara Bu Lastri melembut dan memelas.

“Cepat atau lambat orang-orang akan tahu kenyataan ini...”

“Pak Lurah, keluar dari pekarangan kami!”

Telunjuk Bu Lastri teracung ke depan. Matanya melotot dan nafasnya menderu. Pak Lurah masih menyeringai dan mengangkat kedua tangannya. Ia mengangguk-angguk lalu meninggalkan dua wanita dalam kekacauan. Sekar menangis sampai hampir tak bisa berdiri. Bu Lastri menahan tubuhnya dan merengkuh anak perempuannya itu dalam dekapannya.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience