Kepala Bayu bergerak-gerak. Matanya masih menutup rapat. Mulutnya mulai terbuka. Tubuh anak itu bergerak-gerak riuh di atas tempat tidur Bu Lastri. Dari balik kelopak, bola matanya tak tenang. Lalu, kedua tangannya setengah terangkat. Jari-jarinya menekuk, gemetar, dan ia mulai mencakar-cakar tubuhnya sendiri. Keningnya mengkerut dan rahangnya menegang, tapi anak itu tetap tidak bersuara sedikitpun di atas ranjang. Cakaran demi cakaran terus ia lakukan dari wajah sampai perutnya, dan kakinya pun ikut ricuh, menghentak-hentak ke udara, menghantam-hantam kasur seperti sekarat.
Di dapur, Sekar dan ibunya hampir selesai memasak pagi ini.
“Sekar, sudah waktunya membangunkan Bayu.”
“Ibu sajalah.”
“Kenapa?”
Sekar hanya menggeleng lesu. Bu Lastri menarik nafas melihat anak perempuannya seolah hendak lari dari tanggung jawab yang jelas harus ditanggungnya. Wanita tua itu meninggalkan urusannya dan berjalan ke kamarnya. Namun saat baru sampai ruang tengah, ia mendengar sesuatu. Sebuah suara berisik dari dalam kamarnya. Bu Lastri memelankan langkahnya dan memperhatikan suara itu sampai ia hampir mencapai pintu kamarnya. Saat ia membuka pintu itu, ia melihat sang cucu berguncang hebat seperti kesetanan. Bayu berguling ke kanan dan kiri. Ia mencakar-cakar tubuhnya sendiri. Kedua kakinya menjejak udara kosong berkali-kali. Nafasnya terdengar keras dan perih, dan kali ini, matanya sudah terbuka dengan pupil hampir membalik ke atas bersembunyi di kelopaknya.
“Bayu!!!”
Sekar yang masih di dapur mendengar teriakan ibunya. Ia langsung berlari menuju kamar dan melihat sendiri apa yang terjadi.
“Sekar! Tolong Bayu!”
Bu Lastri memeluk Bayu yang terus tersiksa tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Sekar mendekat, tapi ia juga tak tahu apa yang terjadi pada Bayu.
“Bayu kenapa ini, Sekar? Cepat lakukan sesuatu!”
“Tapi apa yang harus Sekar lakukan, bu?”
Sekar menghampiri Bu Lastri yang tengah mendekap Bayu. Termanja oleh naluri alamiahnya, ia mengekang kedua tangan Bayu agar tak mencakar kulitnya sendiri. Dirinya dan Bu Lastri membaringkan Bayu ke kasur. Bayu yang sudah tak berdaya dalam kekangan masih terus mengerahkan kekuatannya untuk memberontak. Perjuangan yang sia-sia itu akhirnya meredup. Bayu kelelahan dan tenaganya berangsur hilang. Jari-jari tangan yang sekeras cakar elang perlahan melemas. Kaki yang menendang-nendang liar sekarang terjatuh diam ke kasur. Tersisalah raut wajah yang masih tergigit derita dan dada yang kembang kempis.
“Allahu akbar! Allahu Akbar! Allahu akbar...”
Bu Lastri meratap sambil terus menyebut nama Tuhan dan memohon ampun atas apa yang terjadi pada Bayu. Sekar hanya menangis tak bertenaga. Pandangannya tak lepas dari sang ibu yang memeluk Bayu erat sambil terus menciuminya dalam getaran ketakutan.
***
Badan anak itu panas pagi ini. Bayu hanya terbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya. Bu Lastri mencoba memaksa Bayu untuk makan, tapi anak itu tidak membuka matanya. Nafasnya cepat dan keningnya berkeringat.
Bu Lastri berjalan ke kamar mandi dimana Sekar tengah menggosok baju di sana.
“Sekar, apa rencanamu untuk Bayu?”
“Sekar belum tahu.”
Bu Lastri memandang anak perempuannya itu.
“Kita harus melakukan sesuatu, Sekar.”
“Tapi Sekar tidak punya ide apa-apa. Kita juga tidak mungkin membawanya ke puskesmas. Entahlah, Sekar pusing.”
“Bagaimana kalau kita bawa dia ke Ning Ayu? Mungkin dia bisa mengobatinya.”
“Ibu saja yang bawa dia. Jangan Sekar. Orang-orang pasti akan mencibir kita.”
“Kau saja yang ke sana. Tidak perlu membawa Bayu. Di sana kau ceritakan permasalahannya. Ibu yakin Ning Ayu punya obatnya.”
Sekar hening. Ia mengangkat pakaian yang baru digosoknya ke dalam ember. Lalu, ia mengambil satu pakaian lagi, membentangkannya di lantai kamar mandi, dan menggosoknya.
“Nanti cucian itu biar ibu saja yang menyelesaikannya.”
Sekar menggeleng. Ia tetap meneruskan pekerjaannya. Mata Bu Lastri memejam sebentar. Lalu, ia berjalan menuju kamarnya. Ia membuka lemari pakaiannya dan mengambil sebuah kain yang biasa digunakan untuk mengganti kain meja makan. Ia lantas ke dapur, mengambil sebuah baskom dan mengisinya dengan air. Di kamar, Bu Lastri merendam kain tadi ke dalam baskom dan memerasnya. Lalu, ia melipat kain itu dan menempelkannya di kening Bayu. Bayu sempat bergerak sedikit, tapi kembali diam.
Menjelang siang, Bayu masih dalam ketaksadarannya dan keringat tak henti-hentinya keluar dari pori-pori wajahnya. Bu Lastri berkali-kali meninggalkan pekerjaannya untuk menengok cucunya itu dan membalik kompresnya.
“Sekar, salah satu dari kita harus menemui Ning Ayu untuk meminta obat. Kau mau ibu atau kau sendiri yang berangkat?” Tanya Bu Lastri pelan.
“Ibu saja yang pergi. Tanpa diawasi Bayu juga pasti masih terlelap.”
“Kau harus tetap memperhatikan Bayu, Sekar. Bagaimanapun dia sedang sakit. Ibu yang akan pergi menemui Ning Ayu jika itu maumu. Semoga dia ada di rumah dan tidak sedang sibuk.”
Bu Lastri mempersiapkan dirinya untuk pergi menemui sang dukun. Ia hanya berganti pakaian dan mengenakan pewangi. Hanya enam menit waktu yang diperlukannya dan Bu Lastri mulai berjalan meninggalkan rumah.
Sementara itu di jalan utama desa yang kering dan berumput di kedua sisinya, dua wanita tengah baya berjalan beriringan. Mereka mengenakan daster dan kaki-kaki mereka yang beralaskan sandal jepit melangkah dengan tempo yang santai.
“Saya benar-benar ingin tahu seperti apa anak Sekar itu. Karena seperti kata Pak Lurah, bahwa bisa saja bayi dengan wujud seperti setan itu membawa bencana bagi orang-orang kampung ini, termasuk kita.”
“Tapi saya tidak mau cari-cari masalah dengan dia, bu. Saya akan pulang ke rumah kalau suasana mulai tidak enak nanti.”
“Saya juga tidak ingin ribut dengan mereka. Saya hanya ingin melihat bayi itu dan mungkin sedikit mengingatkan bahwa itu bisa jadi adalah kutukan dari Tuhan karena kehidupan masa lalu mereka yang kotor.”
“Tidak perlu begitu. Maaf, bukan berarti saya ada di pihak mereka. Saya hanya tidak ingin mereka menjadi kalap dan keselamatan kita terancam. Siapa tahu mereka diam-diam mengincar kita dan melakukan sesuatu pada kita.”
“Kalau mereka mengancam kita, artinya mereka mengancam seluruh warga. Kita tahu sendiri bahwa tidak ada satu warga pun yang menyukai mereka. Tenanglah! Mereka tidak akan berani. Mereka harusnya sadar bahwa mereka pernah kurang ajar di sini. Walau mungkin sekarang mereka sudah tidak begitu, tapi saya yakin kebiasaan itu akan terulang suatu saat nanti.”
“Mereka pasti tersiksa hidup di dalam masyarakat yang tak peduli pada mereka. Akan tetapi, itu semua memang dari diri mereka sendiri. Saya kira juga di semua tempat pasti ada aturannya. Kampung ini juga punya aturan, punya adat yang harus dipatuhi. Lagipula, orang-orang di sini tahu kesopanan. Tapi, tiga orang itu hidup di sini seolah-olah ini kampung milik mereka. Apalagi dulu sewaktu Mardian mulai kenal Sekar dan sering datang kesini, sering nongkrong di warung-warung. Sejak saat itu mereka bertiga makin menjadi.”
“Untung Pak Lurah tegas waktu itu. Dia melakukan hal yang benar. Kau masih ingat bagaimana muka tiga orang itu di depan warga? Sejak saat itu mereka jadi diam dan tak berani sembarangan lagi di sini.”
“Terkadang saya merasa kasihan pada mereka.”
“Saya juga beberapa kali merasa iba, tapi perasaan itu segera hilang setelah teringat kembali betapa buruk perangai mereka dulu. Eh, bukankah itu...”
Ia menghentikan langkahnya untuk mengamati sesosok wanita tua yang sedang berjalan berlawanan dengan arah mereka di kejauhan. Langkah wanita itu cepat dengan wajah yang menunduk.
“Kebetulan sekali kita bertemu Bu Lastri di sini,” bisik salah seorang di antara mereka.
Dua wanita tadi memperlambat jalannya sambil terus memperhatikan wanita itu. Sampai di satu titik, wanita tadi melihat mereka berdua dan tersenyum.
“Bu Sari dan bu Ratih? Mau kemana ini?”
“Bu Lastri sendiri mau kemana?” Tanya bu Ratih.
Terlihat ada jeda dari Bu Lastri. Tangannya sedikit diangkat dan digerak-gerakkan.
“Saya...ehm, ingin ke warung. Bumbu dapur di rumah habis. Bawang putihnya, eh iya, bawang dan cabai habis.”
“Tumben sekali. Sepertinya kalian jarang pergi ke warung.”
“Iya, tidak ada yang tahu kalau ternyata bumbu dapur kami hampir habis. Jadi, saya menyempatkan diri ke warung siang ini. Ibu-ibu ini mau kemana?”
“Cuma mau jalan-jalan.”
Setelah menjawab demikian, bu Ratih merangkul pinggang bu Sari sambil sedikit mendorongnya. Bu Lastri mengamati mereka. Ia merasakan jantungnya berdebar dan tanpa terasa, ia mematung memandang dua wanita tadi yang meninggalkannya.
“Kenapa ibu mendorong saya? Kita sudah bertemu Bu Lastri,” suara bu Sari berbisik menekan.
“Kita langsung saja ke rumahnya, agar punya kesempatan melihat bayi itu.”
Tak memakan waktu lama, dua wanita itu sampai di halaman depan rumah Bu Lastri. Di sudut depan teras rumah itu, dua burung perkutut dalam sangkar masing-masing bertengger diam seperti benda mati. Kepala mereka hanya bergoyang sedikit melihat kedatangan dua wanita tadi.
Mata bu Ratih seketika berbinar melihat pintu rumah yang terbuka. Dia menarik tangan bu Sari dan mengajaknya ke pintu.
“Permisi!”
Bu Lastri mengetuk pintu dan kepalanya melongok-longok ke dalam ruang tamu. Tak lama, Sekar muncul dari ruang tengah. Saat melihat dua wanita tadi, Sekar tak sanggup menyembunyikan letupan keterkejutannya. Alih-alih tersenyum dan mendatangi mereka, Sekar hanya berdiri di batas ruang tengah dan ruang tamu.
“Ada apa?” Tanya Sekar seketika.
“Boleh kami masuk?” Suara bu Ratih keras dan bernada intimidasi. Sekar tak langsung menjawab.
“Ada perlu apa kalau saya boleh tahu?”
Suara Sekar lebih lirih dari sebelumnya. Ia masih bergeming di posisinya.
“Kami mendengar kabar kalau tetangga kami yang bernama Sekar sudah punya momongan. Kami penasaran. Oleh karena itu, kami kemari.”
“Tidak!” Sekar menyeru seketika. “Saya tidak punya anak! Saya tidak pernah melahirkan siapapun itu!”
“Kalau begitu apakah itu artinya Pak Lurah telah membohongi kami?”
Sekar terjebak dalam situasi yang mulai meliku.
“Kalau kau memang punya anak, kenapa tidak pernah kau bawa ia keluar rumah? Ibu yang baik pasti akan membawa anaknya keluar rumah untuk memperkenalkannya pada yang lain. Namun, kami merasa kau menyembunyikan anakmu itu.”
“Tidak. Aku tidak punya anak. Pak Lurah telah berbohong pada kalian.”
“Kita masuk pada intinya saja, Sekar. Apakah benar bayimu tidak normal?”
Dada Sekar seperti terhujam oleh sesuatu yang runcing dan penuh racun.
“Pak Lurah berkata bahwa ia melihat kau menggendong sesosok bayi ketika ia hendak memakai kamar mandimu. Dia melihat dengan kedua matanya. Kau menggendong bayi dengan muka yang mengerikan seperti setan. Apakah itu anak kandungmu, Sekar?”
“Bukan...”
“Kau tidak sedang membohongi kami, kan?”
“Sebaiknya kalian pergi sekarang...”
“Sekar, jika benar kau telah melahirkan anak yang mirip setan, ada kemungkinan anak itu akan membawa bencana bagi kampung ini.”
“Kalian pergi!”
Sekar masuk ke dalam. Ia mengambil penutup makanan dan berlari menuju ruang tamu. Ia berteriak dan melemparkan benda itu ke kepala bu Ratih dan bu Sari. Dua tamu wanita itu menjerit dan mundur. Dengan batin masih dilanda kegelapan berlapis luka menganga, Sekar mengambil vas bunga kecil di atas meja ruang tamu dan melemparkannya secara kalap. Vas bunga melesat hampir membentur kepala bu Ratih, dan berakhir dengan remuk penuh kemalangan di atas tanah.
“Sekar! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan kampung ini, kalian sekeluargalah yang harus mempertanggungjawabkannya! Khususnya bayi setan yang kau lahirkan ke dunia ini!”
“Kalian yang harus pergi dari rumahku!!!”
Sekar menarik kursi yang paling dekat dengan pintu. Dengan bersusah payah meluapkan semua tenaganya, Sekar mengangkat kursi itu sampai di atas kepalanya.
“Kau orang gila, Sekar!”
Sekar melemparkan kursi itu dan membuat dua wanita tadi berhamburan meninggalkan halaman rumah. Sekar terduduk dan menangis tersedu-sedu di depan pintu. Seakan memasrahkan dirinya pada bumi untuk menelan semua yang ia miliki karena segala kekuatan batinnya telah hilang oleh siksa yang tiada henti-hentinya. Untuk beberapa waktu lamanya, Sekar masih menyendu. Lama-lama, ia membungkukkan tubuhnya seperti orang bersujud dan sambil terus menangis, menempelkan ujung kepalanya ke lantai teras yang sembab.
***
Bu Lastri mengamati pajangan dan hiasan-hiasan di dinding rumah Ning Ayu. Sesudah itu, matanya melirik lampu gantung besar yang sudah kekuningan sejauh tiga meter dari lantai tengah ruang tamu. Tak lama kemudian, Ning Ayu muncul dari dalam dengan ekspresi wajah yang datar.
“Maaf menunggu lama. Saya sedang memasak.”
Ning Ayu segera duduk di seberang Bu Lastri.
“Apakah saya mengganggu?”
“Apa tujuan Bu Lastri kemari?”
“Bayu, anak Sekar itu hari ini sepertinya tidak sehat.”
Ning Ayu tidak terkejut mendengarnya. Ia tetap menatap lawan bicaranya dengan tenang.
“Bagaimana kondisinya?”
“Pagi tadi, saat saya dan Sekar memasak di dapur, Bayu tiba-tiba seperti orang kesakitan. Ia berguling-guling seperti sangat menderita. Tangannya juga mencakari badannya sendiri. Menurut Mbak Ning, dia kenapa?”
Ning Ayu terdiam. Cukup lama. Wajahnya sama sekali tak berbeda. Namun tanpa lawan bicaranya ketahui, sebenarnya saat ini Ning Ayu dilanda rasa tidak nyaman yang begitu kuat. Apalagi, seluruh rambut halus di tubuh Ning Ayu tiba-tiba meremang sampai-sampai ia tidak dapat merasakan kulitnya sendiri, dan sebelum Bu Lastri menanyakan apa yang terjadi, Ning Ayu bangkit dari kursinya.
“Sebentar.”
Ning Ayu kembali masuk meninggalkan Bu Lastri yang juga mulai diserang perasaan tidak nyaman dan pikiran yang aneh-aneh.
Ning Ayu masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu dan bersandar di pintu itu. Ning Ayu menekan dadanya yang berdebar, mencoba menarik nafas panjang.
“Ini sudah dimulai. Ini sudah dimulai.”
Wanita itu menghampiri lemari kaca yang berisi botol-botol dan bungkusan-bungkusan kecil tertata rapi.
“Ini sudah dimulai...”
Ning Ayu membukanya dan mengambil dua bungkusan dengan campuran berwarna hitam di dalamnya. Ia memperhatikan bungkusan di tangannya.
“Bu Lastri.”
Ning Ayu duduk dan meletakkan dua bungkusan di atas meja.
“Berikan ramuan ini ke Bayu dua kali sehari. Ambil sejumput saja dan satukan dengan air di mangkuk. Airnya tidak perlu banyak-banyak. Setelah itu, minumkan ke Bayu. Dua kali sehari saja.”
Bu Lastri mengambil bungkusan itu dan mengamatinya.
“Sebenarnya Bayu sakit apa, Mbak Ning?”
“Mungkin dia hanya demam. Sering-sering berdoa saja agar Bayu cepat sembuh.”
Bu Lastri menatap sang dukun.
“Mbak Ning, sebenarnya apa yang terjadi dengan Bayu? Mbak Ning tidak pernah menceritakannya pada kami. Kami adalah keluarganya, kami perlu tahu apa yang terjadi pada anggota keluarga kami. Mbak Ning, kenapa Bayu memiliki wujud seperti itu? Kenapa proses persalinan Bayu juga sedemikian mengerikannya, sampai saya sendiri hampir tidak mempercayainya? Apa benar kalau...Bayu adalah manusia setengah setan?”
“Saya tidak tahu...”
“Mbak pasti tahu! Mbak pernah menyebut kata Onum! Mbak tahu semua tentang Bayu, tapi mbak masih bungkam. Tolonglah keluarga kami! Kami semua sudah menderita dan sekarang muncul Bayu yang memperparah kondisi kami. Tolong beritahu saya semuanya. Apa Onum itu? Kenapa Bayu begitu?”
Lalu, sebuah suara menghampiri kesunyian ruang tamu itu, suara samar yang datang dari dalam sana. Suara yang berdering sebelum Ning Ayu mengolah jiwanya untuk menenangkan diri dan mengatakan kebenaran mengenai Onum pada Bu Lastri.
“Sebentar.”
Sang dukun kembali meninggalkan Bu Lastri sendiri. Dari ruang tamu ini, Bu Lastri dapat mendengar suara sapaan dari Ning Ayu di dalam sana. Walau tak begitu jelas, Bu Lastri sedikit bisa menangkapnya, terlebih lagi ketika Ning Ayu terdengar sedikit menekankan suaranya.
“Kapan? Bagaimana bisa?”
Bu Lastri tetap di tempat, menunggu sang dukun menyelesaikan urusannya, sampai akhirnya Ning Ayu muncul kembali.
“Maaf Bu Lastri. Ada saudara saya yang baru saja tiada. Saya harus segera bersiap. Mungkin pembicaraan kita bisa dilanjut lain waktu.”
“Innalillahi...siapa yang meninggal?”
“Kemenakan saya. Dia memang sudah menderita kelainan jantung sejak lahir. Pagi tadi di sekolah ia dimarahi gurunya. Mungkin karena terlalu keras dia langsung pingsan, kejang-kejang juga katanya. Akhirnya dia dilarikan ke rumah sakit dan ternyata dia tidak ada saat di sana.”
“Ya Tuhan...”
“Maaf, pembicaraan kita tertunda. Saya harus pergi.”
“Iya. Maaf sudah merepotkan. Oh iya, obat ini berapa harganya?”
“Kalau untuk sekarang tidak perlu. Ibu bisa membayar saya kalau Bayu sudah lebih baik. Semoga dia lekas sembuh.”
“Terima kasih, Mbak Ning. Baiklah, saya permisi dulu. Semoga kemenakan mbak diampuni semua kesalahannya dan bahagia di sana. Saya akan ikut mendoakan.”
“Amin. Terima kasih.”
Bu Lastri menghela nafas seraya beranjak meninggalkan rumah itu. Ning Ayu berdiri di pintu, menatapnya sampai tak terlihat di balik rumah-rumah.
“Takdir atau kebetulan?” Pikirnya termenung.
***
“Aku sudah tidak bisa lagi menahan semua ini, mas! Mas jarang di rumah! Mas tidak bisa memahami perasaanku!”
“Aku tahu bagaimana kondisi kita, Sekar. Tapi alangkah keterlaluan bila kau tidak mau lagi bersama Bayu. Kita orang tuanya. Kita harus sabar menghadapi cobaan ini.”
Bu Lastri hanya diam di kursi itu, memandang dengan mata berair sepasang manusia di hadapannya.
“Kita semua sedang dalam situasi yang tidak enak, Sekar. Kau tahu, hari ini tidak ada seorang pun yang membeli dagangan kita. Lihat! Satu karung itu berisi utuh, bahkan aku juga tidak memakannya sedikitpun. Dagangan itu utuh, Sekar. Beratnya sama antara pagi tadi dan sekarang. Kau juga harus tahu betapa aku pusing memikirkan bagaimana keluar dari kondisi ini. Aku mohon Sekar, kendalikan dirimu. Bersabarlah.”
“Bayu sudah memberi kegelapan dalam keluarga kita, mas! Dia terlahir hanya untuk membuat kita makin susah dalam hidup yang sudah susah ini. Dia bukan manusia, dia iblis. Aku tidak mau punya anak iblis, mas.”
“Sekar,” Bu Lastri akhirnya ikut bicara walau bibirnya bergetar. “Ibu pun merasakan hal yang sama sepertimu. Bayu memang bukan anak normal, tapi kita tidak bisa menyalahkan dia. Dia tidak berbuat salah pada kita, bukan? Orang-oranglah yang memang sudah membenci kita. Ini bukan salah Bayu. Kita lebih baik perbanyak doa dan mohon ampun pada Tuhan...”
“Bu, tidakkah ibu perhatikan? Salah satunya adalah dagangan Mas Mardian menjadi tidak laku setelah Bayu lahir. Tidakkah ibu perhatikan itu?”
“Itu hanya kebetulan belaka. Percayalah! Hidup kita tidak akan lebih baik kalau kita tidak bisa dewasa dalam keadaan semacam ini.”
“Jadi ibu pikir ibu sudah lebih dewasa?”
Sekar berdiri dengan postur menantang, mengangkat sedikit dagunya dan berjalan beberapa langkah ke arah ibunya.
“Sekar...” Panggil Mardian dengan suara yang lembut.
“Kalau ibu memang tidak keberatan Bayu ada di sekitar kita, jadilah ibu bagi Bayu. Sekar sudah tidak mau lagi.”
“Sekar...”
“Sekar, kita pikirkan bersama-sama cara mengatasi semua ini...”
“Aku sudah memikirkannya, mas!”
“Tanpa harus membuang Bayu! Tanpa harus mengalihasuhkan anak kita ke ibumu sendiri!”
“Lalu apa!? Ada saran? Mau membunuhnya?”
“Sekar...”
“Istigfhfar, Sekar!” Bentak Bu Lastri.
Dan sebelum panas gejolak antara mereka makin memerah, sebuah suara yang sangat asing terdengar menggeram dari dalam kamar. Sontak, suara itu membungkam mulut mereka. Hawa dingin menjalar setiap jengkal tubuh mereka bagai ular, melilit badan mereka dan membuka rahangnya, memamerkan taring-taring haus darah yang dingin, yang kemudian mengait masuk ke sanubari, meruntuhkan segenap tenaga dan kesadaran yang mereka miliki. Lalu, dengan sangat kejam dan tanpa ampun, taring-taring itu mencabik-cabik relung keberanian hingga luluh lantak dalam kegelapan.
“Mardian...”
Bu Lastri merapat ke menantunya. Tangannya merangkul lengan Mardian yang kurus. Mardian perlahan mengayun langkah menuju sumber suara. Itu berasal dari dalam kamar Mardian. Suara geraman itu cukup panjang, lalu berhenti dan berulang lagi tiada henti. Mardian, hanya seorang diri mendekati pintu kamar sedang Sekar dan Bu Lastri menggigil di tempat mereka berdiri.
Pintu kamar itu sedikit menutup. Mardian masih ragu untuk membukanya lebar-lebar atau sekadar melongok ke dalam untuk mencari tahu teror apa yang sedang terjadi. Ia menoleh, memandang dua wanita di belakangnya dengan perasaan tak karuan. Namun, Sekar dan Bu Lastri tak sedikitpun bergerak. Mereka seperti terhipnotis oleh geraman asing yang tak pernah mereka dengar sebelumnya. Merasa bahwa dialah yang paling dekat dengan sumber suara dan menjadi sosok yang selalu diandalkan dalam keluarga, Mardian akhirnya mendorong pintu kayu kamarnya itu.
Satu-satunya makhluk hidup di dalam kamar tersebut hanyalah Bayu yang terbaring demam di tempat tidur mungilnya. Mardian bergidik tatkala ia mendengar lagi suara tersebut. Ia tidak dapat memercayai kenyataan bahwa suara geraman itu memang berasal dari anak kandungnya sendiri.
Mulut Bayu memang tengah sedikit terbuka dan suara aneh itu memang berasal dari sana. Geraman itu sangat ganjil dan tidak dapat dibayangkan oleh yang hidup. Sebuah suara yang belum pernah terdengar di dunia ini dan tidak menyerupai suara manusia atau binatang manapun.
Kaki Mardian mulai tidak kuat menopang tubuhnya. Namun, pria itu tetap mendekati Bayu untuk memeriksa apa yang sebenarnya telah terjadi. Di luar, Bu Lastri memanggil-manggil menantunya itu dengan bisikan-bisikan.
Mardian telah mencapai tempat tidur kecil. Diamatinya Bayu tertidur dengan nafas yang pelan teratur.
“Bayu...”
Ada rasa yang begitu besar dalam diri Mardian yang mampu menjinakkan rasa takutnya itu. Sebuah rasa dimana hanya orang tua yang memilikinya ketika berdekatan dengan anak yang mereka cintai. Mardian membungkukkan badannya ke tempat tidur, mengulurkan tangannya ke kepala Bayu, dan menyentuhnya lembut. Sementara itu, geraman panjang Bayu terus berulang.
“Mardian!”
Bu Lastri dan Sekar berimpitan mengintip dari balik pintu kamar. Mereka menatap Mardian dengan raut yang bercampur antara ketakutan dan rasa penasaran. Mardian hanya menoleh kepada mereka dalam sekejap dan kembali memandang anak bayinya. Namun setelah itu, tampak bibir Mardian yang bergetar perlahan mengembang. Ia tersenyum lebar sambil menatap Bayu. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang tengah dirasakan atau dipikirkan oleh Mardian dalam situasi yang tak wajar ini. Namun, Tangan kiri pria itu terus mengusap kening Bayu dengan pelan dan penuh kasih.
“Bayu mengigau.” Bisiknya sembari tersenyum.
***
Share this novel