BAB XI

Horror & Thriller Completed 15839

Pagi ini sepertinya begitu cerah dengan semangat yang luar biasa dari sang raja langit. Pasar pagi kota ini sudah menggeliat sejak beberapa jam yang lalu. Mardian datang dengan tergesa-gesa. Ia menuntun sepedanya ke dalam tenda dan menyandarkannya di belakang. Ia segera membuka laci meja dagangnya dan mengeluarkan sebuah radio hitam kecil. Ia memanjangkan antenanya dan memutar volume untuk menyalakan radio.

“Sepertinya dikau senang sekali, say!”

Seorang wanita berseru dari sebelah tenda Mardian.

“Oh, tentu saja saya senang, nenek Sasya tercinta!”

“Kenapa? Dikau baru dapat utang lagi?”

Mardian mengibaskan tangannya. “Ah, jangan bicara seperti itu!”

Mardian mengeluarkan barang-barangnya dan menatanya di atas meja. Bibirnya memonyong sedikit dan kemudian bersiul.

“Cin, dikau harus hati-hati lho! Hidup penuh utang hanya akan merasakan pengejaran tiada akhir. Daripada celaka nantinya, lebih baik berhentilah mencari kenikmatan sesaat dengan utang.”

“Nenek ini bicara apa? Memangnya siapa yang berutang?”

“Lalu, kenapa dikau tampak bersemangat sekali pagi ini?”

“Itu karena saya memang sedang ingin bersemangat, nek! Tidak ada gunanya bersedih hati. Bukankah dunia ini cepat sekali berputar?”

Perempuan tua yang bernama Sasya itu memperhatikan Mardian. Ia diam dari dalam tendanya, tapi kerutan di antara alisnya jelas terlihat saat ini, sementara Mardian asyik dengan musik dari radio kecilnya sembari membuka lempernya dan melahapnya sendiri.

Tiba-tiba ia menghentikan kunyahannya. Ia menurunkan lemper yang tengah digenggamnya menjauh dari mulutnya yang masih penuh. Matanya tak berkedip menatap ke satu arah.

Di kejauhan, tepatnya di antara orang-orang yang berkunjung ke pasar itu, seorang gadis berambut panjang dengan celana jeans panjang yang ketat berjalan dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya. Mereka tampak melihat-lihat apa saja yang dijual di tempat itu. Mardian menarik laci mejanya dan menaruh sisa lemper di dalamnya. Ia berdiri dengan tatapan yang masih terpaku pada gadis tadi. Setelah menoleh ke kanan, depan, dan kiri, dan menyadari bahwa tak ada yang sedang memperhatikannya, bahkan Sasya sekalipun, Mardian memperhatikan pakaiannya, menarik-narik ke bawah kaos yang ia kenakan, dan mengangkat kedua tangannya bergantian untuk mencium aroma ketiaknya. Setelah itu, dengan masih berdiri, ia kembali memberikan perhatian penuh kepada wanita yang berjalan semakin mendekati tendanya. Ketika mereka hampir sampai, Mardian melangkah ke depan tenda.

“Selamat pagi, ibu dan nona!” Seru Mardian. “Apakah kalian sedang mencari gorengan? Kemari! Kemari! Saya punya banyak gorengan dan semuanya masih hangat! Saya juga punya lemper bakar loh! Sudah pernah mencoba lemper bakar, belum?”

Dua wanita itu saling pandang.

“Memang enak kalau lemper dibakar?” Tanya sang ibu.

“Oh, tentu saja! Kalau tidak percaya, mampir kemarilah! Kemari!”

Mardian mengambil sebatang lemper yang masih hangat dengan daun pembungkus yang berkilat.

“Ini!” Mardian menyodorkan lemper itu ke sang ibu. “Kalau ibu pernah makan lemper, ibu pasti tahu bedanya setelah melihat lemper ini. Bagaimana? Ada yang beda?”

Sang ibu dan gadis itu mengamati lemper yang diberikan. Mardian, sambil menunggu jawaban, mencuri-curi pandang kepada gadis di hadapannya.

“Baunya enak, ya?” Respons sang ibu. “Boleh dicicipi?”

“Oh, silakan! Satu itu saya kasih gratis untuk ibu dan mbak!”

Sang ibu mengambil sedikit dari bagian lemper dan melahapnya. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk-angguk dan menawarkan pada sang gadis.

“Bagaimana?”

“Enak!”

“Beda dari lemper biasa, bukan?”

“Iya. Lemper ini lebih gurih.”

“Hm, iya. Enak.” Lanjut sang gadis.

“Benar, kan?” Mardian tersenyum lebar. “Lemper seperti ini memang belum pernah ada di kota ini! Jadi, ibu dan mbak tidak akan menyesal datang kemari.”

“Berapa harganya?”

“Seribu lima ratus. Karena, dagingnya banyak.”

“Baiklah.”

Sang ibu dan gadis itu memilih lemper.

“Kalau boleh tahu, ibu dan mbak ini namanya siapa? Ehm, saya memang suka berkenalan dengan para pembeli saya, agar lebih akrab.”

“Oh, nama saya Lastri dan ini anak saya, Sekar. Kalau mas sendiri?”

Mardian tidak tahu mimpi apa dirinya semalam. Namun, hari itu ia begitu bahagia. Desa Jogomakmur, RT 2/5. Alamat itu terus terngiang di kepala Mardian, terus mengusik jiwanya sampai ia bisa tidur setelah malam semakin larut, atau lebih tepat, beberapa saat setelah pergantian waktu.

***
 
Suatu hari, Mardian menutup dagangannya lebih awal. Sisa dagangan ia bungkus kembali dan ia masukkan ke dalam karung.

“Jadi, tadi pagi dikau membawa dagangan lebih sedikit karena ingin tutup awal? Mencurigakan!” Seru Sasya. “Mau cari korban siapa lagi, sekarang?”

“Oh, bukan, bukan. Kali ini beda ceritanya. Saya harus pulang dan ganti pakaian yang bagus dan rapi.”

“Cin, orang-orang di sini sudah banyak yang memusuhimu! Daku tahu dari mata mereka. Jangan menambah masalah dirimu dengan keuntungan sesaat!”

“Alah!”

Sambil tertawa kecil, Mardian menaiki sepedanya dan meninggalkan pasar dengan Sasya yang masih menatap kepergiannya.

Sesampainya di kontrakan, Mardian mengganti pakaiannya. Ia membutuhkan waktu beberapa lama untuk memilih baju dan celana. Setelah itu, ia keluar dengan membawa bungkusan rapi. Ia meletakkan bungkusan itu di keranjang sepedanya. Ia juga mengelap sepedanya sampai ia yakin bahwa tak ada satu debu atau kotoran pun yang masih membandel.

Sekitar setengah jam kemudian, ia berhenti di depan sebuah rumah kecil beranyaman bambu. Tiba-tiba, ada suara yang terdengar dari dalam rumah itu. Sebelum Mardian turun dari sepedanya, seorang pria keluar dari dalam rumah.

“Pokoknya saya pegang perkataan Bu Lastri. Jangan bohong lagi!”

Bu Lastri melangkah ke luar.

“Iya, saya akan berusaha semampu saya. Lagipula, saya tidak mungkin menghilang. Bapak selalu bisa menemui saya sewaktu-waktu.”

“Gusti Allah selalu mengawasi Bu Lastri. Ingat itu!”

Pria itu meninggalkan rumah Bu Lastri. Saat berpapasan dengan Mardian, si pria tidak menyapa. Ekspresi wajahnya sangat kencang seperti seseorang yang sedang ingin menghancurkan kepala orang lain.

“Lho? Mas Mardian?!”

Mardian yang tengah memperhatikan pria tadi segera menoleh. Bu Lastri segera mengajak Mardian masuk.

“Silakan duduk. Mau minum teh, kopi, atau susu?”

“Teh saja.”

“Baiklah. Sekar! Tolong buatkan teh! Ada Mardian!”

Salah satu pintu yang terlihat dari ruang tamu membuka. Seorang wanita melongok dari dalam. Sekar. Setelah melihat siapa yang datang, ia mengangguk kepada Mardian sembari melempar senyum.

Hari itu, Mardian menghabiskan waktu sorenya di rumah Bu Lastri. Sekar juga ikut duduk di samping ibunya. Sesekali, Bu Lastri meninggalkan mereka agar mereka bisa mengobrol dengan lebih leluasa.

“Sekar, sebenarnya kamu kerja dimana?”

“Ehm, aku kerja di sebuah bar.”

“Bar? Apa itu?”

“Itu, tempat untuk nongkrong seperti kafe.”

“Memang ada tempat seperti itu di kota ini?”

“Ada sih, tapi buka setiap malam.”

Sejak hari itu, Mardian menjadi lebih sering ke rumah Bu Lastri. Ia juga mengajak Sekar jalan-jalan. Meski demikian, Sekar tak pernah memberitahukan dimana sebenarnya ia bekerja. Sekar selalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

Hari demi hari terasa lebih bermakna bagi Mardian. Banyak cerita dan peristiwa yang sepertinya selalu membawanya kembali pada Sekar. Mardian menceritakan semua tentang hidupnya, mulai dari perceraian orang tuanya, sang ibu yang meninggalkannya di rumah kontrakan yang lama-lama ia sendiri tak mampu membayarnya, Mardian yang akhirnya tak bisa menamatkan masa SD-nya, sampai ia mencari kontrakan yang lebih murah untuk menetap dan melanjutkan kerja ibunya sebagai penjual lemper. Sekar juga demikian. Ayahnya meninggal setelah sakit menahun yang menguras semua uang mereka dan kehidupan yang sangat memprihatinkan karena ia dan ibunya sama-sama tak bekerja. Setelah bercerita tentang masa lalu, mereka berdua menemukan satu kesamaan. Mereka tak dekat dengan saudara-saudara mereka. Mardian dan Sekar sama-sama punya hambatan yang menjauhkan mereka dari para saudara yang mereka miliki.

Setelah merasa cukup dekat, Mardian mengajak Sekar ke kontrakannya. Di sana, Mardian tak henti-hentinya memandangi sosok yang ada di dekatnya itu. Bibir yang merah dan pantat yang bulat. Ditambah lagi dengan sifat lembut dengan suara yang memanja.

***
 
Suatu saat, Mardian mengajak Sekar ke kontrakannya lagi. Setelah basa-basi panjang lebar tentang masa depan, mantan pacar, dan tipe pasangan idaman, Mardian berdehem. Ia menatap mata Sekar.

“Sekar, ada yang ingin kukatakan padamu.”

“Hm?”

Mardian mengambil nafas dua kali dan menatap Sekar dengan sepenuh hati, seperti tengah menahan rasa yang begitu kuat dan harus diutarakan dengan sangat hati-hati.

“Sekar, aku menyukaimu.”

Sekar memandang lelaki itu. Air mukanya sedikit berubah.

“Hah?”

“Sekar, maukah kau jadi pacarku?”

Sekar jadi diam mendengarnya. Bibirnya sedikit mengembang, dan sepertinya lebih ke rasa geli daripada bahagia.

“Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali melihatmu. Ketika di pasar itu, saat kau dan ibumu berhenti di tendaku, aku merasa sangat senang. Aku merasa itu adalah takdir untuk kita. Sekar, aku ingin membahagiakanmu. Aku akan menjadi pacar yang setia. Aku tak mungkin menduakanmu karena aku merasa kau adalah yang terbaik untukku.”

Entah kenapa Sekar malah tertawa. Ia menutup mulut yang cekikikan dengan tangannya.

“Mas, serius?”

“Aku serius, Sekar. Aku mencintaimu!”

“Cinta apa cinta?”

Sekar cekikikan lagi, mengacuhkan laki-laki yang tersangkut di ambang hidup dan mati cinta. Pundak Mardian melemas turun, sama seperti hatinya yang ambruk. Tawa Sekar dalam situasi yang seperti ini terasa lebih kejam dibanding penolakan.

“Kenapa mas mencintaiku?”

“Karena...karena kau baik. Kau juga membuatku bahagia.”

Sekar tertawa makin keras. Mardian yang terdiam melihatnya sempat berpikir apakah ia memilih wanita yang benar?

“Aku tidak pantas untukmu, mas. Mas belum tahu siapa aku sebenarnya. Masih banyak wanita lain yang lebih baik dari aku.”

“Aku mencintaimu, Sekar. Aku tidak peduli siapa dirimu sebenarnya. Aku akan melangkah bersamamu dan membahagiakanmu. Kalau perlu, aku akan memberikan apa yang kau minta.”

Sekar mulai tenang. Namun, ia hanya menyibakkan rambut panjangnya tanpa berkomentar. Mardian mencoba menggenggam tangannya. Namun, Sekar menariknya.

“Kita berteman saja, mas.”

“Kenapa?”

Sekar tersenyum. Kali ini, justru dia yang menggenggam tangan Mardian.

“Aku mau pulang, mas. Sudahlah, kita berteman saja. Itu lebih baik daripada pacaran. Masih banyak yang lebih baik daripada aku. Oke? Aku pulang, ya mas!”

“Sekar!” Mardian mengulurkan tangannya untuk menggapai pujaan hati. Namun, Sekar terlanjur sudah berlari ke jalan. Mardian tak mengejarnya. Ia seperti terlilit oleh kekalahan dan menjadi bisu atas apa yang telah terjadi. Ia menarik tangannya dan menatapnya, mengepalkannya, dan air mata pun mengalir dalam isak yang hebat. Ternyata, dirinya hanyalah seorang pecundang yang memalukan. Tangan itu...tangan itu bahkan tak mampu membendung Sekar. Ia merasa sangat lemah dan ingin mati. Mati karena ditinggal oleh cinta yang menghancurkan dirinya menjadi berkeping-keping.

Sebenarnya tanpa ia tahu, Sekar sering tersenyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan pulangnya...

*** 
 
Mardian seperti berubah menjadi sosok lain. Ia jarang berjualan di pasar. Ketika ia datang, hanya sunyi tanpa kata yang menghiasi sosoknya. Bahkan, Sasya pun menjadi diam juga karena Mardian tak menanggapi jejalan kata-kata dari Sasya. Mardian juga menjadi boros rokok dan mulai sering onani di kamar mandinya.

Suatu malam dalam keterpurukannya, ia bersepeda. Kota ini seolah tak menawarkan siapapun untuk tempat bersandar bagi dirinya. Orang-orang itu punya dunia sendiri dan tak mungkin peduli dengan dunia seorang pecundang. Mardian terus mengayuh sampai ke daerah pinggiran dari kota itu.

Di salah satu sudut kota yang gelap dan tak banyak orang, Mardian melihat seorang wanita tengah berjalan dengan seorang laki-laki. Wanita itu mengenakan pakaian ketat yang menampakkan bahunya yang putih. Ia juga mengenakan celana pendek dan sepatu dengan hak tinggi. Rambutnya terkucir di belakang seperti ekor kuda. Mardian memperhatikannya dari kejauhan. Ada suatu rasa yang membuatnya ingin memperhatikan wanita itu lebih lama lagi.

Akhirnya, wanita itu tanpa sengaja menoleh ke arahnya, Mardian baru sadar siapa yang tengah ia amati. Dari balik make-up yang tebal, wajah aslinya masih dapat Mardian kenal. Postur tubuh ia kenal. Pantatnya juga ia kenal. Langkah wanita itu sempat terhenti. Namun, si pemuda yang bersamanya mengalihkan perhatiannya dan mereka naik ke sebuah motor di tepi trotoar, dan ketika mereka mulai pergi, sang wanita kembali menatap Mardian.

Di rumah, Mardian masih tak mempercayai apa yang ia lihat. Wajah dan tubuh wanita itu tak bisa membohonginya. Dia adalah Sekar yang begitu ia cintai. Malam itu, Mardian tak dapat memejamkan mata. Pikirannya seperti puting beliung yang memporak porandakan semuanya.

Akhirnya, ia tak berangkat lagi ke pasar keesokan harinya. Dengan kantung mata yang kendur, Mardian harus melakukan sesuatu untuk membebaskan pikiran yang begitu menyiksa itu. Ia melesat ke Desa Jogomakmur tanpa sarapan.

Akhirnya, Mardian berhasil mengajak Sekar ke Alun-alun.

“Sudah berapa lama kamu kerja seperti itu?”

“Belum lama. Awalnya aku sering berhubungan dengan mantan pacarku. Saat itu aku merasa begitu bahagia. Namun setelah dia pergi, aku menjadi ingin melakukannya lagi. Aku memang suka melihat pria tampan. Kebetulan, ada beberapa dari warga Jogomakmur yang tampan. Sampai pada akhirnya istri-istri mereka mulai membenciku karena aku begitu nakal dan sering menggoda mereka. Sampai sekarang, banyak wanita Jogomakmur yang membenciku karena menganggapku wanita murahan. Aku tidak keberatan. Aku memang menyukainya. Apalagi aku juga ingin hidup enak dengan punya banyak uang. Jadi, aku mencoba untuk menjadi wanita malam, dan ternyata, mas melihatku tadi malam.”

“Ibumu tahu hal ini?”

Sekar mengangguk. “Dia bahkan memintaku untuk bekerja dengan baik agar bisa mendapat uang banyak. Apa sih, yang bisa dilakukan oleh wanita yang tak tamat SMP seperti aku ini untuk mencari uang selain dengan menjadi wanita panggilan? Lagipula, aku menikmati apa yang kulakukan.”

“Sekar, berhentilah menjadi pelacur. Hiduplah bersama denganku.”

“Mas, aku dan ibuku sudah hidup miskin sejak ayahku meninggal. Aku tidak ingin terus menerus seperti ini. Kalau mas jadi pacarku, apakah mas bisa memperbaiki kehidupanku?”

“Aku bisa melakukannya!” Mardian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah dompet. “Lihat! Aku bukan pedagang biasa!”

Mardian memperlihatkan isi dompetnya. Beberapa lembar uang tampak berwarna merah dan sisanya berwarna biru dan ungu.

“Aku pandai berbisnis, Sekar. Aku bisa mendapatkan uang dengan mudah setelah aku berhasil melakukan bisnisku! Ini!”

Mardian mengeluarkan uang-uang itu dan menyerahkannya ke Sekar.

“Ambillah. Sebagai tanda bahwa aku tidak berbohong. Masih banyak tabunganku di rumah! Kalau kau mau, aku akan memberimu uang setiap hari jika kau bersedia jadi pacarku. Aku juga akan membuktikan kalau aku bisa lebih hebat dari mantanmu itu!”

Sekar tertawa lagi, terbahak-bahak kali ini.

Setelah hari itu, Mardian dan Sekar resmi menjadi sepasang kekasih. Bu Lastri juga telah menyetujui hubungan mereka. Mardian selalu memberi Sekar uang setiap hari dan berjanji akan memberi lebih banyak lagi bila mereka menikah nanti.

Mardian merasa hari-harinya berubah. Setiap malam setelah menutup tendanya, ia selalu mengunjungi Sekar sambil membawakan lemper dan beberapa gorengan lain yang sudah ia bungkus rapi. Juga, ia menyelipkan beberapa lembar rupiah kepada sang pujaan hati. Mardian juga sering membawanya ke kontrakannya, seperti malam ini.

“Aku mencintaimu, Sekar. Aku akan membuktikan janjiku waktu itu padamu sekarang juga.”

Malam ini, untuk yang pertama kalinya, Mardian mematikan lampu kamarnya dengan Sekar di atas kasurnya. Tubuh seorang gadis ternyata seperti ini. Kehangatannya tak dapat digantikan. Kelembutannya begitu menggoda. Mardian merasa dirinya hilang malam itu. Hilang dalam cinta yang menggebu dan tak terkendali.

***
 
Mardian akhirnya pindah ke rumah Bu Lastri di desa Jogomakmur. Mardian melepaskan kontrakannya karena Sekar merengek agar kekasihnya ikut membantu kehidupan mereka di rumah itu. Di sana, Mardian mulai berani pergi ke warung dan nongkrong di sana sambil mengajak bicara dengan siapapun. Awalnya, Mardian merasa kesulitan. Warga yang mengetahui bahwa Mardian punya hubungan dengan keluarga Bu Lastri menjadi penuh wasangka. Ketika Mardian bertanya, mereka berkata bahwa Bu Lastri dan Sekar adalah benalu uang. Mereka sering pinjam uang tanpa pernah mengembalikannya.

Meski demikian, Mardian terus mengajak mereka bicara. Mardian terus mengunjungi warung setiap hari. Ia selalu terlihat bersemangat dan berkata yang baik-baik. Lalu, satu-dua orang mulai mengenal Mardian sebagai pribadi yang berbeda dibanding Bu Lastri dan Sekar.

Butuh waktu yang sangat lama bagi Mardian untuk dekat dengan banyak orang. Ia bahkan mulai berani untuk bertamu ke rumah warga dengan tujuan menjalin silaturahmi.

Kurang lebih satu bulan berikutnya, Mardian mendekati salah satu warga desa. Mardian mengajak pria tersebut untuk berbisnis kelinci. Ia berkata bahwa ia akan beternak kelinci Australia. Nantinya, anak-anak kelinci itu bisa mendatangkan uang yang banyak. Mardian menjanjikan bagi hasil yang sangat besar, yaitu 60% bila orang itu bersedia bekerja sama dengannya. Nanti, orang itu wajib membawa temannya untuk ikut berbisnis dan temannya itu akan mendapat bagian yang sama. Namun sebelum itu, si pria harus meminjami Mardian uang agar bisnis tersebut bisa dilakukan. Untuk memperkuat citra dirinya, Mardian sampai sering mentraktirnya di warung atau membawakan lemper buatannya.

Akhirnya, uang itu terkumpul dan Mardian sudah punya segudang rencana yang harus ia jalankan satu-satu. Suatu hari ketika ia tiba di pasar, ia menghampiri beberapa pedagang di sana. Mardian memberikan selembar amplop tebal kepada mereka.

“Maaf, lama saya mengembalikannya. Yah, mau bagaimana lagi. Mitra bisnis saya membawa pergi semua uang kita. Anda tahu sendiri bukan, jaman sekarang banyak sekali penipuan. Haduh..! Eh, tapi saya punya bisnis baru. Bisnis saya sekarang ini bekerjasama dengan orang-orang dari Inggris, eh, bukan! Dari... dari Amerika. Ya! Amerika! Mau tahu bisnis kali ini? Wah! Kali ini kita akan untung besar kalau sepakat!!!”

Namun, semua pedagang hanya menerima amplop itu dan menghiraukan tawaran Mardian. Mereka bahkan tak mengucapkan terima kasih atau melontarkan gelagat yang hangat. Meski demikian, Mardian meninggalkan mereka dalam senyuman yang begitu cerah seperti langit di hari itu.

Beberapa minggu kemudian, rumah Bu Lastri mulai sering didatangi oleh warga yang ingin tahu perkembangan bisnis mereka dengan Mardian. Tanpa terasa, sudah ada tiga orang yang menggocek tabungan mereka demi bisnis kelinci Australia yang katanya sangat menggiurkan itu. Namun, Mardian selalu hanya berkata bahwa untuk saat ini, ia masih belum menemukan kelinci Australia yang sesuai dengan harapannya. Sialnya lagi, ia sudah blusukan ke seluruh penjuru kota ini dan tidak ada yang menjual kelinci dengan sperma yang bagus. Ia harus memilih dengan cermat agar keturunan dari kelinci itu bisa memuaskan, begitu kata Mardian.

Pada suatu malam, ketika Mardian, Sekar, dan Bu Lastri sedang asyik menonton televisi di ruang tengah, terdengar gedoran di pintu depan. Mardian berbisik kepada Sekar agar mengatakan pada mereka bahwa ia sedang tidak di rumah. Sekarpun keluar. Ia mengatakan apa yang Mardian sarankan padanya. Namun, orang-orang yang ternyata banyak sekali jumlahnya itu menampiknya. Mereka menyeret Sekar menjauh dari pintu dan masuk ke dalam rumah. Bu Lastri mencoba menghentikan mereka sambil gemetar. Namun, ia pun mendapat perlakuan sama. Beberapa orang menggeledah seisi rumah sampai ke dapur dan di dapur, mereka melihat pintu dapur yang terbuka. Mereka bergegas keluar dan tanpa sengaja melihat Mardian tengah mengintip dari seberang kebunnya. Tunggang langgang, Mardian mulai berlari. Warga mengejar. Sifat berubah beringas. Mardian terus lari sampai kakinya membawanya ke bukit belakang rumah. Di sana, ia tak bisa melakukan apa-apa. Namun, suara para pengejar semakin dekat. Akhirnya, Mardian mengambil risiko untuk menuruni bukit dalam kegelapan malam dan jahatnya bebatuan yang menyembul di badan bukit.

Di halaman depan rumah, Sekar dan Bu Lastri menangsi sambil terduduk di hadapan para warga. Pak Lurah berdiri di depan pasukannya, tegap menatap dua wanita malang itu.

“Kalian berdua adalah racun bagi desa ini! Para warga ini telah berkali-kali mengadu kepadaku tentang kalian! Sekarang, coba para bapak dan ibu sekalian mengatakan kebrengsekan apa yang telah mereka perbuat pada anda semua! Satu-satu!”

“Lastri!” Seru salah seorang warga. “Kau telah meminjam uangku berbulan-bulan lamanya. Kau berkata bahwa kau akan mengembalikannya dalam waktu dekat. Mana?!”

“Saya pasti akan mengembalikannya! Mohon bersabar, bu!”

“Dia juga meminjam uangku!” Seru warga yang lain. “Dia mengatakan bahwa uang itu akan ia gunakan untuk biaya pengobatan saudaranya di Jogja. Katanya, dia akan mengembalikan uang itu dalam waktu kurang dari sebulan, tapi mana hasilnya? Ini sudah hampir tiga bulan, dan setiap kali aku mendatanginya, dia selalu berkata padaku untuk bersabar karena Allah mencintai orang yang sabar. Dasar tai!”

“Sekar juga pernah menggoda suamiku!” Seru seorang ibu lainnya tak mau kalah. “Dia mendekati suamiku sampai suamiku diam-diam memberikan tabungannya pada Sekar. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau ini wanita murahan?!”

“Cukup!” Seru Pak Lurah. “Sekarang, bagi yang pernah merasa dirugikan, silakan ambil semua barang berharga di dalam rumah itu. Bawa kemari dan nanti kita pikirkan pembagiannya!”

“Setuju!!!” Gemuruh para warga.

“Libas harta mereka sekarang!!!”

Setelah mendengar komando bak di tengah serbuan ke markas musuh, Semua warga laki-laki berlarian masuk ke dalam rumah. Di dalam, mereka mengambil televisi, dvd player, kipas angin, perhiasan, dan semua uang yang bisa mereka temukan. Setelah itu, mereka keluar dan menaruh barang-barang tersebut di halaman, tak jauh dari dimana Sekar dan Bu Lastri merana.

Sekar hanya tertunduk sambil meratap dalam tangis yang terisak. Tak lama kemudian, lima orang yang mengejar Mardian terlihat di jalan depan rumah itu. Mereka menyeret kain kaos Mardian yang telah berpeluh. Setelah sampai di gerombolan warga yang lain, kelima orang itu menendang Mardian sampai tersungkur di depan istri dan mertuanya. Di dalam lingkup cahaya lampu teras, wajah Mardian tampak membiru di bagian pelipis dan sekitar bibir. Bibirnya juga berdarah. Kaus yang ia pakai compang-camping, membukakan lecet dan memar di kulit tubuhnya.

“Hmph, benar juga.” Kata Pak Lurah. “Bajingan akan bertemu bajingan juga. Kau tidak salah bertemu Sekar, Mardian. Karena memang di tempat inilah kau akan mati bersama istri dan mertuamu si Lastri itu.”

“Mohon ampun, pak!” Bu Lastri merangkak ke kaki Pak Lurah. “Saya memang bersalah! Mohon ampuni saya dan keluarga saya!”

“Anjing!” Tegasnya sembari menendang kepala perempuan tua itu.

“Kalian tahu? Aku tidak akan mengampuni kalian! Selamanya aku tidak akan pernah mengampuni orang seperti kalian!!!”

“Pak Lurah, bagaimana kalau kita bakar saja mereka?!”

Teriakan orang itu disambut meriah oleh warga lainnya.

“Ya sudah! Ambil minyak! Siramkan ke mereka!”

Seorang warga berlari menjauh. Ketika ia datang beberapa saat kemudian, tangannya sudah membawa jeriken.

“Siramkan!!!” Seru Pak Lurah.

Orang itu menyiramkan minyak tanah melalui kepala Mardian, Sekar, dan Bu Lastri. Aroma minyak menggumuli sekujur tubuh mereka. Mardian dan Bu Lastri tidak melawan, tapi terus memohon ampun kepada warga. Mereka mengeraskan suaranya, menekankan ratapan darahnya sampai batas yang mereka mampu. Namun, warga tak mempedulikannya. Apalagi ketika mereka mendengar janji demi janji yang masih terucap dari bibir Mardian. Sekar mencoba bersembunyi di belakang tubuh sang ibu. Namun, itu tak mengubah keadaan dalam kepungan orang-orang bermata merah.

“Biar Pak Lurah saja yang membakar mereka!”

Seluruh warga berteriak tanda setuju.

“Assalamualaikum! Ada apa ini!?”

Semua orang menoleh. Seorang pria bergamis dengan jenggot tebal melangkah cepat ke arah kerumunan.

“Ustaz Gandjar?”

“Astaghfirullah, ada apa ini?!”

Pak Lurah mendekat.

“Beruntung ustaz datang. Jadi, ustaz bisa ikut menyaksikan. Lihat!”

Pak Lurah menunjuk Mardian dan keluarganya yang sudah basah oleh air minyak sampai tubuh mereka memantulkan cahaya yang menerpa.

“Ustaz pasti sudah tahu betapa dzolimnya mereka kepada kita. Si Sekar beberapa kali menggoda pak Rahman, pak Hardi, dan pak Jaka sampai ketiga orang itu sering ribut dengan istri mereka. Lastri, seperti benalu di desa ini dengan sering berutang kepada kami, termasuk kepada istri saya dengan berbagai macam alasan dan tak ada satupun dari utang-utangnya yang ia bayar. Lalu, Mardian. Orang baru yang tinggal di rumah Lastri yang tak jelas statusnya. Dia membohongi beberapa orang dengan mengajak mereka berbisnis yang ternyata uang itu hanya untuk kesenangan dirinya sendiri. Maka, saya sebagai RT di sini ingin memberi mereka hukuman sekaligus melenyapkan mereka dari muka bumi ini. Kami ingin membakar mereka agar desa ini menjadi makmur kembali.”

“Astaghfirullah! Jangan, Pak Lurah! Bawa saja mereka ke polisi!”

“Tidak! Bahkan, kamipun akan membakar para polisi jika mereka berani menangkap kami karena hal ini.”

“Pak Lurah, mungkin mereka memang bersalah, tapi membunuh bukan jalan keluar terbaik. Jika anda semua membunuh orang-orang ini, bisa jadi desa ini semakin dirundung petaka karena dosa kalian itu. Lagipula, bapak ini RT di sini. Bapak harus lebih tenang!”

“Mereka telah mendzolimi kami, ustaz! Kini, giliran kami mendzolimi mereka! Kami tidak peduli Tuhan menganggap kami orang dzolim! Kami ingin membalas perlakuan mereka terhadap kami! Ustaz tidak kasihan terhadap kami yang sudah lama jadi korban? Sementara bila kami melaporkan mereka ke polisi, mereka tetap bisa lepas jika mereka memberikan hadiah pada para polisi itu! Polisi juga bisa jadi setan seperti orang-orang ini kalau berurusan dengan uang, ustaz!”

Warga berseru sambil mengangkat tangan mereka. Ustaz Gandjar melihat barang-barang di halaman.

“Semua barang itu untuk apa, Pak Lurah?”

“Itu barang mereka yang mereka beli dari uang kami dan kami ingin mengambil semua kekayaan mereka. Kami ingin mengambil semua yang masih menjadi milik kami!”

Ustaz Gandjar meratakan tatapannya ke Mardian, Sekar, dan Bu Lastri di atas tanah. Wajah mereka begitu menyedihkan dan tak berani mengangkatnya.

“Pak Lurah, tolong tenangkan jiwa Pak Lurah dulu! Jangan jadi orang yang serakah! Pak Lurah dan yang lain ingin membunuh mereka dan mengambil barang-barang mereka juga? Begini saja, pak! Para warga ini boleh mengambil barang-barang itu dengan pembagian yang disaksikan oleh warga lainnya. Nanti setuju atau tidaknya kita diskusikan bersama. Namun untuk menghabisi nyawa mereka, itu sungguh tidak manusiawi, pak! Sungguh! Bapak ini RT di sini! Untuk kali ini, saya mohon ampunilah mereka. Mereka pasti akan menderita tanpa harta mereka itu. Biarlah mereka hidup dalam kondisi demikian agar mereka bisa belajar dari peristiwa ini dan mengambil hikmahnya.”

Pak Lurah menatap Mardian dan keluarganya. Lalu, menghempaskan pandangan ke warga yang terdiam.

“Saya mohon, Pak Lurah,” suara ustaz Gandjar merendah. “Ampunilah mereka. Lestarikan makna desa Jogomakmur ini, pak. Saya mohon dengan segala kerendahan hati, walaupun saya bukan siapa-siapa di hadapan bapak.”

Pak Lurah menghela nafasnya. “Baik. Saya pribadi menerima usulan ustaz.”

Pak Lurah berbalik dan memandang seluruh warga.

“Kita ampuni mereka kali ini! Kita juga diamkan mereka! Jangan sampai ada yang berwelas asih pada mereka, termasuk anda, ustaz Gandjar! Dan kalau mereka berulah semaunya lagi, kita tidak akan kasih ampun!”

Seluruh warga mengangguk. Malam itu, Mardian, Sekar, dan Bu Lastri telah kehilangan segalanya. Semua surga dunia yang mereka nikmati dari hasil merontoki uang orang lain telah sirna, seperti debu yang disapu angin. Bu Lastri memeluk Sekar yang masih terguncang, membelai-belai rambut anaknya yang basah oleh minyak. Sambil mengucurkan air mata, Bu Lastri berbisik pada Sekar, “Kita tobat, nak...kita tobat...kita tobat...”

***
 
Angin dingin tanpa terasa menyelimuti kulitnya sudah sejak tadi. Malam semakin larut. Bintang-bintang dan rembulan sudah bergeser jauh dari posisi sebelumnya. Di pangkuannya, Bayu ternyata tak bergerak. Mata mungil itu telah tertutup kelopak dengan sangat eratnya. Mardian tersenyum. Ia mencium kening lebar anak itu dan beranjak bangkit untuk pulang ke rumah.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience