Beberapa warga mulai muncul satu demi satu di area jembatan desa yang rusak. Semua bambu penyangga jembatan itu sudah menghitam dan keropos oleh derasnya air. Pak Lurah yang mengenakan kaus bertuliskan “Koperasi Sejahtera” telah menunggu di warung terdekat.
“Kita lihat, dia datang atau tidak.” Ujar Pak Lurah. Rokok yang dihisapnya baru terbakar sepertiganya.
“Mungkin dia tidak akan datang,” sahut pak Omar, salah satu warga. “Dia pasti tidak akan nyaman bersama kita.”
“Sebenarnya saya juga tidak terlalu berharap dia untuk datang. Hanya saja, kalau dia tidak datang tanpa alasan, artinya dia mendzolimi tugasnya sebagai warga desa.”
“Dia terlanjur mempersulit dirinya sendiri. Harusnya dia tahu malu. Dia bukan orang kaya. Kenapa dia malah menjadi preman dan suka mengingkari utang-utangnya. Bukan hanya dia saja yang butuh uang, benar tidak? Kita semua juga butuh uang. Sehingga, tidak aneh kalau semua warga jadi begini terhadap dia. Parahnya, Lastri dan Sekar juga sama bejatnya. Pada akhirnya, mereka punya anak yang seperti itu. Pak Lurah sungguh sudah melihatnya sendiri, bukan?”
Pak Lurah mengangguk. “Anak yang belum jadi. Seperti janin yang belum saatnya untuk lahir. Anak setan.”
“Oh ya, Pak Lurah!” Suara pak Omar tiba-tiba meninggi. “Saya baru ingat! Kemarin saya hendak ke kota. Ketika saya melewati rumah Mardian, saya mencium bau yang sangat menyengat. Saya tidak tahu bau apa itu, Pak Lurah. Namun, saya merasa bau itu seperti bau busuk. Bau busuk yang aneh dan sangat tajam. Saya tidak tahu bau apa itu.”
“Persis saat pak Omar melewati rumah itu?”
“Iya, Pak Lurah! Sumpah, Pak Lurah! Saya menciumnya saat melewati rumah Mardian. Hanya saja, saya tidak melihat apapun yang mencurigakan di sekitar sana.”
Tiga pria lain mendatangi warung dan ikut mengerubungi mereka.
“Sepertinya makin lama keluarga itu makin aneh. Apalagi anak mereka.” Geramnya.
“Apa apa, pak?” Tanya salah seorang dari tiga warga yang baru datang.
“Mardian.”
“Kenapa? Dia buat ulah lagi?”
“Entahlah.”
“Maksudnya?”
“Kalian sudah pernah melewati depan rumahnya akhir-akhir ini?”
Ketiga pria tadi berpandangan.
“Belum. Kenapa?”
“Nah..! Ceritakan, pak Omar!” Seru Pak Lurah tersenyum lebar.
Di saat mereka tengah berkerumun di depan warung, dua warga lain datang. Melihat keseriusan orang-orang di depan warung, mereka segera bergabung dan mendengarkan apa yang tengah dibicarakan.
Sementara itu, Mardian masih duduk di depan pintu belakang. Ia memperhatikan Bayu yang sudah terbangun.
“Apakah saya harus berangkat?” Keluh Mardian lemas.
“Berangkatlah! Kita akan mendapat lebih banyak masalah kalau kau tidak datang.”
“Orang-orang itu pasti akan menyerang saya. Mereka akan menginjak-injak hati saya. Mereka akan memanfaatkan saya dengan alasan bahwa saya pantas mendapatkannya.”
“Jika itu yang terjadi, terimalah semua yang mereka katakan. Itu lebih baik dibanding kau tidak memenuhi tugas yang diberikan padamu.”
“Saya ingin di rumah. Saya akan membantu ibu di rumah.”
“Tidak perlu. Bukankah ibu selalu melakukannya sendiri setiap hari?”
“Tapi saya melihat akhir-akhir ini ibu tidak sehat. Saya sering melihat ibu kelelahan dan muka ibu pucat. Sudah beberapa hari ini. Ibu tidak pernah mengatakannya pada saya, tapi saya tahu. Ibu lebih kurus sekarang.”
Sejenak, Bu Lastri tidak menanggapinya. Ia hanya terus mengiris bawang merah di atas talenan. Namun, ia menghentikannya dan memandang Mardian.
“Ibu memang lelah akhir-akhir ini, tapi ibu sungguh tidak membutuhkan bantuanmu. Pagi tadi kau sudah membantu ibu menyapu dan mencuci piring. Sekarang ibu bisa memasak dan kondisi ibu baik-baik saja. Kau tidak perlu terlalu khawatir. Pergilah. Temui mereka di jembatan itu dan bergabunglah. Kau harus kuat menjalani ujian ini.”
Mardian tidak bisa memaksa. Ia beranjak mandi dan berganti pakaian. Mardian menuntun sepedanya ke luar rumah dan menaikinya. Di jalan, ia tidak mengayuhnya dengan cepat dan tidak berani menaikkan pandangannya.
***
Mardian tiba ketika kerja bakti sudah dimulai. Semua mata para pekerja menyatu ke sosoknya yang layu. Pak Lurah yang awalnya memanggul beberapa bambu panjang, menghentikan langkahnya. Ia menaruh bambu-bambu itu di tanah dan mendatangi Mardian.
“Kenapa terlambat?! Apa maksudmu?!”
Mardian turun dari sepedanya. Pak Lurah sudah berdiri sambil berkacak pinggang.
“Warga yang lain sudah mulai dari tadi. Mereka adalah manusia-manusia yang punya rasa tanggung jawab. Mereka tidak pernah buat masalah. Kapan kau bisa jadi seperti mereka? Sekarang, bawa bambu-bambu itu ke bawah jembatan. Jangan tanya apa yang harus kau lakukan di sana!”
Mardian masih bisu. Ia melepas sandalnya dan segera mengangkat bambu-bambu yang sebelumnya dibawa oleh Pak Lurah itu. Warga yang lain masih memperhatikan Mardian sampai ia masuk ke dalam kali dan bergabung dengan dua orang yang sudah ada di posisi itu.
“Biar dia yang mengerjakannya!” Bentak Pak Lurah pada dua orang itu.
Dua pria itu langsung menghentikan kegiatan mereka dan berjalan keluar dari air.
“Kerjakan itu!” seru salah seorang dari mereka tepat di telinga Mardian.
Mardian sudah masuk ke dalam air. Namun, ia berhenti dan memandang semua orang, khususnya dua orang yang meninggalkannya. Ia mengamati bagian bawah jembatan itu. Lalu, ia melihat beberapa bungkus paku, lima gulungan tali tambang, dan perkakas lain di pinggir kali. Mardian mencoba menata bambu-bambu yang dibawanya ke bawah jembatan dan bergerak ke tepi kali dimana ia melihat perkakas tadi. Namun, tanpa ia duga bambu-bambu itu tergelincir dari tempatnya dan terburai semua ke dalam air. Mardian buru-buru mencari dan mengumpulkannya kembali.
Pak Lurah berbisik pada dua pria tadi, “Bantu dia, tapi sedikit-sedikit saja. Bisa kacau semua kalau dibiarkan.”
Mardian dan warga lainnya melanjutkan pekerjaan mereka. Namun, Mardianlah yang melakukan semuanya secara penuh. Mardianlah yang berkeringat karena sibuk menerima semua perintah yang datang silih berganti. Pada satu waktu, ketika semua perintah itu datang hampir bersamaan disertai cemoohan dan kutukan, air mata Mardian sempat hampir menetes di pipinya. Namun, Mardian sanggup menahan perasaannya. Di sela-sela kesibukannya, bayangan istrinya tiba-tiba memercik di benaknya. Kemarin dia pulang terlambat dan tidak berkata apapun sampai saat berangkat kembali.
***
Seseorang mengendap-endap masuk ke dalam teras rumah koh Andi. Dua daun pintu depan terbuka lebar. Orang itu berjinjit masuk menyeberangi ruang tamu dan langsung menuju ruang tengah. Suasana begitu senyap di dalam seperti rumah mati. Beruntung baginya, lantai ruang tengah tertutup karpet merah tebal sehingga suara langkahnya semakin teredam.
Ia mengintip ke dalam dapur. Tidak ada siapapun. Dapur itu sangat rapi dan bersih. Bahkan, wastafel yang selama ini berwarna kusam, kini mengkilap seperti baru. Orang itu kemudian merayap ke lantai dua. Dari tangga ia mendengar suara di lantai itu. Ia merayap semakin naik sampai ia berada di lantai dua dan melihat seorang wanita.
Wanita itu hanya seorang diri. Ia tengah asyik dengan senandungnya di tengah kesunyian. Beruntung bagi penyusup itu, si wanita yang menyapu lantai berada pada posisi yang membelakangi tangga. Tanpa ragu, si penyusup berjinjit mendekat ke arah si wanita sambil mengulurkan kedua tangannya dengan cari-cari yang menekuk dan siap mencengkeram leher si wanita sampai mati.
“Ba!!!”
Si wanita menjerit. Sapu yang digenggamnya terpental dan spontan tangannya menarik sesuatu yang mencengkeram lehernya. Namun, cengkeraman itu terlepas sebelum ia melepaskannya dan wanita itu membalikkan tubuhnya menghadap si penyerang.
“Koh Andi!?”
Sosok yang berdiri di depannya dengan mata sipit dan senyuman yang mengembang adalah koh Andi.
“Kau takut?”
“Kaget, koh! Takut juga!”
“Itulah yang bisa terjadi. Kau di sini sendirian dan membiarkan pintu depan terbuka lebar dua-duanya. Besok lagi, tutuplah daun pintu yang satunya dan biarkan daun satunya lagi terbuka sedikit saja. Jangan seperti sekarang ini.”
“Oh, maafkan saya. Sudah kebiasaan di rumah saya pintu selalu terbuka lebar ketika ada orang di dalam. Baiklah saya tutup sekarang.”
“Eh, nanti saja. Nanti saja. Tidak apa-apa.” Koh Andi merenggut lengan Sekar, menahannya agar tak pergi dan menarik ke hadapannya lagi.
Sekar tersenyum. “Kenapa koh Andi pulang?”
“Memangnya tidak boleh?”
“Oh...”
“Aku hanya ingin melihatmu.”
Sekar tersipu. Tangan koh Andi memegang kedua lengan Sekar seperti seorang kekasih.
“Koh,” bisik Sekar masih malu-malu menatap pria itu, “terima kasih atas bonusnya kemarin. Saya tidak menduga bahwa saya akan mendapat bonus, padahal saya tidak melakukan apa-apa.”
“Kan aku sudah bilang kemarin, masakanmu sungguh enak. Lebih enak dari masakan istriku. Sikapmu juga sangat ramah kepadaku. Kalau kau terus bersikap baik, ramah, lembut, dan bisa membuatku bahagia, mungkin aku akan memberimu lebih banyak lagi.”
“Koh Andi sudah baik sekali terhadap saya. Tentu saya akan lebih giat lagi bekerja dan lebih menyenangkan hati koh Andi dan cik Lin.”
“Sekar, menurutmu aku orang baik?”
Sekar mengangguk mantap. “Koh Andi adalah orang paling baik yang pernah saya temui di dunia ini. Bahkan, suami saya tidak sebaik koh Andi.”
“Sungguh?” Koh Andi mendekatkan bibirnya ke telinga Sekar, “Apakah aku adalah yang terbaik bagimu saat ini?”
Nafas koh Andi beraroma mint.
“Iya.” desah Sekar lembut.
Entah siapa yang memulainya, entah bagaimana kejadiannya. Tiba-tiba saja tubuh mereka saling berimpit. Sekar bahkan tak ingat sejak kapan jemarinya berada di dada koh Andi, membelainya dan merasakan dada pria itu di balik kaos yang dikenakannya.
“Sekar...”
“Hm..?”
“Aku ingin kau mandi. Tinggalkan pekerjaanmu dulu.”
Sekar menatap koh Andi. Koh Andi juga. Lama.
“Setelah itu, pakai handukmu dan jangan berpakaian terlebih dulu. Aku akan menunggumu.”
Koh Andi menuju ke sebuah pintu di lantai dua ini dan membukanya dengan kunci di dalam saku.
“Oh iya, tutuplah pintu depan terlebih dulu. Dua-duanya.”
Ia memandang Sekar, membiarkan tatapan mereka bertemu dan berangkulan, lalu masuk ke dalam ruangan itu dan menutup kembali pintunya. Sekar hanya berdiri di lorong itu, menatap pintu kamar koh Andi.
Di jembatan yang tengah dibangun, Mardian tiba-tiba merasakan sepercik kerinduan. Ia menghentikan kegiatannya dan berdiri untuk merasakan percikan di hatinya itu. Tanpa ia duga, percikan rindu yang tiba-tiba muncul itu membentuk sosok istrinya. Ada Sekar di hati Mardian dalam situasi yang tidak seharusnya. Mardian mencoba menggali apa yang terjadi pada dirinya. Namun, ia sungguh melihat Sekar. Istrinya tampak begitu cantik dan mendekap tubuhnya seperti seorang bocah manja. Terbuai oleh perasaannya, palu yang ia genggam jatuh mencebur ke dalam air. Mardian segera mencarinya dalam kepanikan.
“Woy!” Bentak pria di sampingnya. “Apa yang kau lakukan dengan palunya?”
Mardian terus mencari. Ia sampai memasukkan kepalanya ke dalam air.
“Kita butuh palu itu, bajingan!”
Orang itu menendang Mardian ketika ia sedang membungkuk menggapai-gapai dasar kali. Mardian terguling sampai seluruh tubuhnya tercebur ke dalam kali. Air telah menyatu dengan dirinya.
“Hey, ada apa ini?” Pak Lurah mendekat.
“Orang sialan ini membuang palunya ke kali!”
“Palu? Palu milik siapa? Palu milik saya, bukan?!”
“Iya!”
Pak Lurah yang berdiri di atas jalan langsung turun dan menarik Mardian dari dalam air lalu melemparnya ke tepi.
“Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Mardian!?”
Mardian tak sanggup menjawab. Tangannya masih menekan pinggangnya yang nyeri akibat tendangan maut tadi.
“Kau seperti flu yang selalu kembali meskipun sudah diobati. Kau terlihat menyesal dan mencoba mendapatkan kembali simpati orang lain. Namun, mendadak kau menebar wabah yang merugikan dari balik wajah memelasmu itu. Apa maumu sebenarnya? Kau ingin kejadian malam itu terulang lagi?”
“Suruh dia pulang lagi saja, Pak Lurah!” Salah satu dari warga di seberang kali berseru.
Segera warga yang lain mengekor seruan orang itu.
“Buang saja dia ke kali!”
“Bakar saja!”
“Jangan percaya dengan penyesalannya!”
“Mungkin dia sedang pusing karena anak setannya!”
“Kasihan anaknya, berwujud setan karena bapaknya iblis terkutuk!”
“Woy Mardian! Benarkah bau busuk itu dari anakmu? Kenapa bukan kau saja yang bau busuk?!”
“Apakah anakmu itu membusuk, Mardian!? Kasihan. Anak yang tidak tahu apa-apa harus menanggung dosa orang tuanya.”
Mereka semua mencibir ke arahnya. Di tepi kali, Mardian hanya meringkuk dalam gempuran yang begitu sakit di dadanya. Ia mencoba berdiri, tapi rasa malu seolah membebani tubuhnya. Pak Lurah berjalan ke tepi dan mengacungkan telunjuknya ke arah Mardian.
“Kau...” Suaranya bergetar dan parau. “Kau harus membelikanku palu yang baru, Mardian! Palu yang persis seperti itu!”
Mardian akhirnya mampu berdiri. Namun, masih bergeming di posisinya dan terus meringis.
“Mardian, kau lebih baik pergi dari desa ini. Tidak ada yang mau menerimamu lagi!”
“Bukan hanya dia,” pria lain mengoreksi seruan orang tadi, “tapi juga Sekar dan Lastri. Mereka semua penyakit di desa ini!”
“Mardian! Rumahmu sebenarnya bukan di sini, kan? Bawa saja mereka ke rumahmu yang asli!”
“Lebih baik kau tidak menampakkan mukamu lagi di sini.” Suara Pak Lurah lebih tenang sekarang. “Begitu pula dengan Lastri dan Sekar. Tinggallah di dalam rumah, kunci pintu, dan bersembunyilah selama kalian masih hidup. Sebab, kalian sungguh adalah musibah di sini. Kalian tidak perlu repot-repot pergi. Cukup bersembunyi di dalam rumah sehingga kami tidak melihat kalian atau mencium bau kebusukan anak setan kalian itu.”
Suara Pak Lurah segera mendapat dukungan bak orasi dalam pemilu. Gemuruh kecaman dan ancaman berhamburan dari mulut warga. Mardian naik ke atas jalan dan menuju sepedanya.
“Kalau sampai anak setanmu menimbulkan bencana di desa ini, aku akan menjadi orang pertama yang membakar anakmu itu!”
Pak Lurah jelas tidak main-main. Jiwanya sudah memerah seperti matanya saat ini.
Tubuh Mardian yang basah bergetar saat ia menunggangi sepedanya. Namun, ketika roda sepeda sudah berputar, Mardian merasakan sesuatu. Ia melongok ke bawah. Roda sepedanya kempes. Dua-duanya.
“Kenapa? Kempes ya?” Seru seseorang kemudian cekikikan melirik temannya.
Mardian turun lagi dari sepedanya. Tak ada cara lain. Ia melangkah meninggalkan area jembatan sambil menuntun sepedanya.
Kalah. Rasanya seperti terjerembab ke dalam lumpur dosa. Mardian mengakui mimpinya waktu itu benar. Dirinyalah yang seharusnya bau busuk. Kebusukan itu memang bukan datang dari luka, melainkan dari masa lalunya. Bayu tidak seharusnya menanggung apa yang telah dilakukannya. Bayu hanya seorang bayi yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa yang telah terjadi. Iblis sesungguhnya adalah dirinya, Mardian. Jiwa yang mencoba melarikan diri dari pusaran hitam kehidupan, walau kenyataannya, pelariannya justru menjebaknya dalam kenistaan.
Mardian hanya bisa melangkah pulang dengan membawa penyesalan yang mungkin tidak akan pernah berakhir. Ia tidak mencoba untuk berlari, melainkan melangkah pelan dan pasrah. Ia juga tidak berusaha untuk menyembunyikan wajahnya. Pandangannya ke depan dan siap menerima cemoohan warga lain yang melihatnya pulang.
Di sisi lain, Sekar membuka pintu kamar koh Andi. Tubuhnya yang basah hanya berbalut handuk merah muda miliknya. Di ranjang, koh Andi bersandar menatapnya. Lalu, ia bertumpu pada kedua lututnya dan menegakkan tubuhnya, tersenyum pada Sekar sebagai tanda kehangatan. Sekar melangkah mendekat dengan sedikit keraguan di wajahnya. Namun, sebelum ia sempat berkata apapun, koh Andi mengulurkan tangannya. Sekar menyembutnya. Jemari mereka saling bertaut dan koh Andi menarik wanita itu ke atas ranjang, pelan dan penuh perasaan.
Detik ini, entah kenapa Mardian tak mampu menahan getaran di hatinya. Ia kembali teringat Sekar dengan sendirinya, tanpa alasan. Ia ingin sekali memeluk istrinya itu dan entah bagaimana caranya membangun kembali kehidupan yang jauh lebih baik. Akhirnya, Mardian tak kuasa menahan air mata. Ia tidak terisak, tapi air mata itu nyata membentuk suatu garis bening di pipinya. Meski demikian, Mardian justru tersenyum sambil mengusapnya. Mungkin, inilah yang Tuhan inginkan untuknya. Bila Tuhan sudah berkehendak, apakah manusia mampu melawan? Mungkin Tuhan ingin melihat Mardian menangis. Jadi, Mardian memilih untuk tersenyum sebagai bukti bahwa ia menerima apa yang Tuhan inginkan. Namun, tanpa pria itu ketahui, tangisan itu bukan hanya miliknya seorang. Detik itu juga, Sekar menitikkan air mata yang sama dengan Mardian tatkala koh Andi melepas handuk yang membalut Sekar dan mendekap tubuhnya erat, membelai punggung, pinggang, dan semua yang Sekar miliki tanpa sisa. Mata Sekar mulai sembab ketika koh Andi mengecup bibirnya dan menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sekar sungguh tak mampu menolak gairah koh Andi. Ia hanya dapat menghembuskan desah tertahan ketika koh Andi membenamkannya ke atas kasur yang begitu empuk dengan sprei yang lembut yang belum pernah Sekar rasakan dalam kehidupannya dan menerima segala kenikmatan yang koh Andi beri di sekujur tubuhnya.
***
Mardian dan Bu Lastri melakukan shalat maghrib di balai-balai ruang tengah. Saat selesai, Mardian buru-buru turun dan melepas sarungnya. Ia menuju ke kamar dan mengenakan kainnya untuk menutup hidung. Setelah mendapat senter di meja kamar, Mardian melangkah ke halaman belakang dan membuka kandang ayam. Ia mengeluarkan Bayu dari dalam.
“Bayu sayang, ayo kita jalan-jalan ke bukit belakang.”
Mardian menggendong Bayu melintasi kebun singkong dan menuju bukit. Sesampainya di sana, Mardian tidak melepas Bayu. Ia memeluk anak itu dan mengusap-usap kepalanya yang tanpa rambut dan kulit yang masih kasar siap mengelupas. Pemandangan desa dari bukit ini cukup jelas. Sinar rembulan yang hampir purnama di langit memberi kelembutan pada malam dan hati. Dari situ, Mardian bisa melihat beberapa warga yang melintas di jalan utama serta suara pujian-pujian yang masih didendangkan dari masjid-masjid terdekat.
Bayu menatap ayahnya, seperti menegaskan keingintahuannya atas maksud dari sang ayah membawanya kemari.
“Kau menatap bapak?” Bisik Mardian. “Apakah kau tahu kenapa bapak membawamu kemari? Bapak hanya ingin bercerita. Sebuah cerita yang kau belum pernah dengar. Bapak ingin menceritakan padamu apa yang telah terjadi pada kehidupan kami. Bapak ingin kau tahu semuanya. Bapak ingin kau mendengar semuanya. Tidak masalah kalau kau tidak mengerti apa yang bapak katakan. Tidak masalah sama sekali. Hanya saja, semua ini terasa begitu kejam dan tidak semestinya. Bapak bahkan tidak mengerti apa yang telah terjadi awal mulanya.”
Mardian mengecup kening Bayu dari balik kain maskernya. Bayu memejamkan mata ketika kain itu menempel di kepalanya. Lalu, Mardian mulai bercerita di bawah rembulan dan bintang-bintang yang pucat, di antara angin malam yang membawa angannya kembali ke masa lalu.
***
Share this novel