BAB XII

Horror & Thriller Completed 15843

Langit kurang begitu ceria. Beberapa kali angin dingin menerpa dunia, seperti tengah berlari dari kehampaan. Bu Lastri berbaring di kamarnya dengan selimut yang menutupi kaki sampai leher. Mardian masuk kemudian.

“Sudah selesai.”

“Bagaimana kondisinya?”

“Masih sama. Kulit-kulitnya hanya sedikit lebih membuka dari hari kemarin. Namun, tetap saja belum bisa dibersihkan. Barusan saya memandikannya juga hanya saya usap dengan kain basah pelan-pelan.”

Mardian duduk di tepi ranjang. Bu Lastri menggenggam tangan menantunya itu.

“Maafkan ibu, kau jadi tidak bisa ke pasar hari ini.”

Suaranya tidak seperti kemarin-kemarin, seakan Tuhan sedang meminta kembali apa yang menjadi miliknya pelan-pelan.

“Tidak apa-apa. Di pasar juga mungkin tidak ada hasilnya.”

Bu Lastri menarik nafas panjang.

“Mardian, apa rencanamu terhadap Bayu?”

“Mardian ingin menunggu kabar dari Ning Ayu seperti apa yang ia katakan waktu itu. Saat ini, hanya dia yang bisa menyelamatkan kita. Kita hanya bisa menunggunya.”

Pagi ini, Ning Ayu sudah berada di rumah Suseno. Seperti sebelumnya, mereka berdua menggunakan ruang ritual untuk membicarakan hal ini. Suseno sudah siap dengan telepon pintar yang ia tempel di telinganya. Sejenak menanti, akhirnya pria keriting itu melempar salam kepada lawan bicaranya.

“Iya, ki. Ning Ayu sudah di sini bersama saya. Jadi, ki Daud tidak terganggu dengan urusan kita ini? Iya. Iya, saya juga tidak menduganya. Bagaimana kalau ki Daud langsung saja berbicara dengan Ning Ayu?”

Suseno memberikan teleponnya pada Ning Ayu.

“Assalamualaikum, Ki Daud.”

“Walaikumsalam! Ning! Bagaimana kabarmu!? Mendengar suaramu sepertinya kau selalu sehat!”

“Iya, saya baik, ki. Ki Daud benar sekarang di Brunei?”

“Iya, di Brunei. Ketemu kawan lama. Berangkat sudah hampir seminggu yang lalu.”

“Kapan kembali ke Indonesia?”

“Belum tahu. Sebenarnya, kawan saya minta tolong untuk menyembuhkan penyakit istrinya yang orang asli Brunei. Dia sudah berobat kesana-kemari tapi tidak kunjung sembuh juga. Nah, ketika saya mencoba menyembuhkan, ternyata ada perobahan. Jadi, saya mungkin masih lama di sini . Mungkin, sampai istri kawan saya itu benar-benar sembuh.”

“Oh, begitu...”

“Lantas, bagaimana denganmu, Ning Ayu? Bagaimana ceritanya?”

Ning Ayu kemudian menceritakan semua tentang Onum sampai pada ancaman maut yang ditebarkannya. Pada kalimat akhir, Ning Ayu berkata, “Saya takut sekali, ki...”

“Jangan pernah takut, Ning Ayu! Jangan pernah takut sekalipun terhadap iblis! Onum memang tidak bisa dimusnahkan, tapi mungkin dia bisa kita kurung. Nah, istilahnya kita segel, begitu. Walaupun belum pernah ada yang mencobanya, tapi kau bisa menggunakan mantra penyegel terhadap Onum. Kau masih punya kitabnya, kan?”

“Iya, masih, Ki Daud.”

“Coba kau mulai melakukan persiapan. Buka kembali kitab itu, pelajari lagi, dan mulailah melakukan syarat-syaratnya: mandi tengah malam dengan air kembang, puasa, tiga hari berturut-turut, dan jangan sampai kena cahaya. Setelah itu, coba temui Onum kala siang dan mulailah ritual penyegelan itu. Ajak kawan-kawanmu. Siapa tahu kau bisa lebih kuat. Namun, saya tidak bisa menjamin bahwa mantra itu bisa berhasil. Kau mulai sekarang harus siap menghadapi semua kemungkinan terburuk.”

“Ki, kalau saya gagal, apakah saya benar-benar akan mati?”

“Saya tidak tahu, tapi menurut mitosnya, Onum akan membunuh siapapun yang ia lihat saat lahir. Saya sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah hal yang sangat baru dalam kehidupan kita. Saya dari sini akan ikut mendoakan agar kau bisa menanganinya. Saya benar-benar akan mendoakanmu agar berhasil. Kau harus bertindak sebelum semua korbannya mati. Kau harus bertindak sebelum dia berubah menjadi iblis penuh.”

Ning Ayu hanya tertunduk dalam diam ketika percakapan berakhir. Suseno memandangnya was-was, menunggu sampai Ning Ayu mengembalikan telepon itu padanya.

“Jadi bagaimana?” Bisik Suseno. Ning Ayu menatap kawan lamanya itu dengan dera bimbang yang menghadang.

***
 
Sore hari, tidak seperti biasanya Sekar sudah pulang ke rumah. Ia langsung menuju kamarnya tanpa menyapa ibunya yang duduk di ruang tamu dengan jaket tebal yang menghangatkan tubuhnya. Dari kursi, Bu Lastri sempat mencium aroma wangi Sekar yang melintas di depannya.

“Sekar?”

Bu Lastri berdiri dan mengikuti anaknya sampai ke pintu kamar. Sekar tengah mengganti pakaiannya di kamar miliknya.

“Wangi sekali. Kau sudah mandi di sana?”

“Sudah.” Singkat tanpa membalas tatapan sang ibu.

“Bagaimana kerjaanmu hari ini?”

“Sangat baik. Setidaknya jauh lebih baik dari di dalam rumah ini.”

“Kau mau makan?”

“Sudah tadi. Sekar mau tidur.”

“Bayu sudah tidak bau dari sini, bukan? Kembalilah ke sini dan tidurlah bersama suamimu. Selama kau tidur di kamar ibu, Mardian selalu kesepian. Bagaimanapun, kau adalah istrinya. Dia butuh teman.”

Sekar tidak berucap apa-apa.

“Suamimu sedang mandi. Dia pasti senang melihatmu pulang cepat. Kalau kau mau tidur, tidurlah di sini bersama Mardian. Ibu mohon.”

Bu Lastri tidak memaksa anaknya lebih jauh. Ia perlahan menjauh dari pintu kamar dan kembali duduk di ruang tamu, menatap dunia luar yang menjingga sambil beberapa kali mendekap tubuhnya sendiri yang menggigil.

Malam, Mardian dan Bu Lastri duduk berdua di ruang tengah. Mereka menikmati makan malamnya. Ikan asin yang digoreng garing dengan sambal hijau terasa cukup memuaskan dengan nasi yang baru dihangatkan. Setidaknya, mereka masih bisa menikmati makan di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan.

“Sekar tidak mau diajak?” Tanya Bu Lastri.

Mardian hanya menggeleng. Bu Lastri tiba-tiba menghentikan makannya.

“Mardian,” bisiknya, “coba kalau ada kesempatan yang baik, tanyakan padanya apakah dia sudah mendapat upah kerjanya? Kita tidak bisa berlama-lama lagi seperti ini. Kalau dia sudah punya, katakan padanya bahwa kita butuh uang untuk membayar listrik. Ibu melihat dia semakin tidak betah di rumah.”

“Mana mungkin dia mendapat uang sekarang. Dia baru beberapa hari bekerja.”

“Tapi kondisi kita yang seperti ini juga tidak membuat nyaman. Bicaralah padanya, Mardian. Pelan-pelan.”

Malamnya, Mardian beringsut naik ke atas ranjangnya. Sekar tetap bergeming memeluk guling. Mardian menatap sebentar tubuh istrinya itu dari belakang. Ada kilatan hasrat saat menatap lekuk pinggang Sekar. Sudah berapa lama ia sendiri tanpa merasakan sentuhan wanita yang ia cintai itu? Sudah berapa lama ia menjalani hidup seperti orang buangan yang merindukan kehangatan dalam setiap malamnya? Mardian perlahan memeluk Sekar, merangkulkan tangannya ke pinggang istrinya. Ia ingin membelai pinggang itu, merasakan lekuk tubuh Sekar seperti saat pertama kali ia melakukannya di kontrakan waktu itu.

“Kau sudah tidur, sayang?”

Sekar tidak menjawab. Mardian mengurungkan niatnya. Ia menahan tangannya untuk tetap melingkar di pinggang Sekar. Mardian ingin menikmati tidurnya dengan memeluk wanita yang sudah ia kecewakan. Ia hanya ingin memeluknya saja sampai terlelap. Ia tidak meminta Sekar untuk membalas kasih sayangnya. Ia hanya ingin Sekar tetap menganggapnya suami dengan cara yang normal dan seperti keluarga lain. Mardian hanya ingin Sekar bersamanya saat Bayu mengambil nyawa mereka suatu hari nanti.

***
 
Hampir tengah malam Ning Ayu bangun oleh alarm dari smartphone-nya. Ia mematikan alarm itu dan sambil mengumpulkan kesadarannya, membuka kontak telepon. Di baris dengan nama Suseno, ia memencetnya.

“Halo, Sus, kita jadi, kan?”

Tidak sampai tiga menit, Ning Ayu memakai sandalnya dan melangkah menuju ke mejanya. Di atas meja terdapat baskom besar dengan bunga sepuluh rupa di dalamnya. Ning Ayu membawanya ke kamar mandi.

Setelah membuka seluruh pakaiannya, ia menumpahkan seluruh isi baskom itu ke dalam bak mandi. Ia masuk ke dalam bak dengan air yang hanya setengahnya dan berendam di dalamnya. Ia bersila dan membiarkan tubuhnya menyatu dengan keheningan malam dan dinginnya air bumi.

“Niyat ingsun adus, angedusi badan, manggih toya kahyangan, byur njaba, suci njeroning roh badan.”

Setelah itu, ia menangkupkan kedua telapak tangannya dan mengambil air.

“Niyat ingsun adus, angedusi badan, manggih toya kahyangan, byur njaba, suci njeroning roh badan.”

Ning Ayu mengguyurkan air itu melalui ubun-ubun dan disusul dengan usapan kepala sampai wajah satu kali.

Ning Ayu menangkupkan keuda telapak tangannya di dalam air.

“Niyat ingsun adus, angedusi badan, manggih toya kahyangan, byur njaba, suci njeroning roh badan.”

Ning Ayu melepas air di dalam tangkupan tangannya ke depan dadanya dan ia mengusap dada, kedua payudaranya, dan perutnya.

Setelah itu, Ning Ayu kembali menangkupkan tangannya di dalam air.

“Niyat ingsun adus, angedusi badan, manggih toya kahyangan, byur njaba, suci njeroning roh badan.”

Ia membelai pinggul, turun ke kemaluannya, dan kedua kakinya sampai ujung jari-jarinya. Akhirnya, Ning Ayu menutup matanya dan menyilangkan kedua tangannya. Ujung jari tangan kanan menyentuh bahu kiri dan ujung jari tangan kirinya menyentuh bahu sebelah kanan. Malam ini bersama Suseno, Ning Ayu memulai persiapannya untuk membuka ilmu penyegelan. Mereka bermeditasi di dalam air, mencoba meraih kondisi jiwa yang lebih tinggi.

***
 
Mardian terbangun oleh suara-suara di dekatnya. Saat ia membuka mata, ia melihat Sekar duduk di tepi kasur. Tangannya cepat melipat pakaian-pakaiannya. Sebuah tas punggung bersanding dengan tas kresek hitam besar di samping Sekar.

“Sekar?”

“Aku mau pergi, mas.”

Mardian segera duduk. Matanya pedih ketika tercium udara dunia.

“Pergi kemana?”

“Aku sama sekali tidak bisa lagi hidup di sini.”

“Sekar...” Tangan Mardian menarik bahu Sekar, sedikit memaksa wanita itu untuk menatapnya.

“Sekar, kau bicara apa? Kau mau pergi kemana?”

“Aku tidak perlu mengatakannya. Jangan khawatir, mas. Aku akan tetap pulang kemari beberapa kali.”

“Sekar, aku harus tahu kau pergi kemana!” Tekan Mardian. Ia menggeser duduknya semakin mendekati Sekar. “Aku suamimu. Aku harus tahu kau pergi kemana dengan semua barang ini. Kau mau meninggalkan aku?”

Sekar menatap suaminya. Ia tetap tenang tanpa ekspresi.

“Aku hanya butuh ketenangan, mas. Biarkan aku pergi dan hidup di luar rumah ini. Kita tetap akan ketemu saat aku kemari.”

“Tidak, Sekar! Kau tidak boleh pergi! Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan ibumu?! Bagaimana dengan Bayu?”

“Aku tidak peduli dengan Bayu, mas! Aku sudah tidak peduli dengan dia!”

“Lalu bagaimana dengan aku dan ibumu?! Kalau kau tahu, dia sudah beberapa hari terakhir ini tampak kurus dan pucat. Ibumu sedang sakit tanpa kau tahu, karena kau tidak pernah peduli pada kami. Ibumu bercerita padaku bahwa dia sering berkunang-kunang dan tubuhnya sangat lemas. Apakah kau tahu itu, Sekar? Dia sering memikirkanmu.”

“Mas, kalau mas tidak mau aku pergi, lakukan sesuatu pada Bayu. Apapun itu. Lakukan sesuatu agar aku tidak melihat atau mencium baunya lagi.”

“Bayu sudah aku taruh di kandang ayam, apa lagi yang masih salah?”

“Memangnya kalau di dalam kandang itu lantas baunya tidak sampai ke sini? Aku masih mencium baunya dari kamar ini, mas. Lalu, bagaimana ketika aku mandi? Kandang itu di dekat kamar mandi, bukan?”

“Itu bukan masalah besar, Sekar...”

“Bayu itu pembawa sial, mas. Kalau dia tetap di sini, kita akan menderita!”

“Kita tidak bisa melakukan apapun terhadap Bayu!”

Hening seketika.

“Maksud mas?”

Mardian kelabakan. Terbata-bata. Ia hampir tidak mampu merangkai kata di bibirnya.

“Sekar, kumohon jangan pergi...”

“Aku tetap akan pergi.”

Sekar bergegas mengepak pakaian-pakaian yang sudah ia lipat. Pakaian sisanya, langsung ia masukkan ke dalam tas kresek tanpa menatanya.

Sekar berjalan cepat ke arah pintu kamar. Mardian mengejarnya. Ia menarik tangan Sekar dan menjauhkannya dari pintu.

“Sekar, tolong jangan lakukan ini! Aku akan pikirkan cara...”

“Tolong, mas. Kalau mas sayang aku, biarkan aku pergi.”

Tatapan Sekar yang mulai berair tak terbantahkan. Ia bahkan tak melawan cekalan suaminya.

“Sekar...”

Sekar masih menatap Mardian. Kali ini, satu butir air matanya menetes.

“Aku mencintaimu, Sekar.”

“Lepaskan tanganku, mas. Aku mohon...”

Dalam kegalauannya, genggaman tangan Mardian melemah sampai akhirnya terlepas seluruh tenaganya. Namun, tanpa Mardian duga Sekar mengangkat tangannya dan menyentuh pipi pria itu.

“Aku mencintaimu.” Bisik Sekar.

Sekar perlahan mengecup bibir Mardian. Mardian tak tahu apa yang sedang terjadi. Sekar seolah memberikan kasih sayang yang telah meredup selama beberapa waktu terakhir melalui ciumannya. Lidah itu menjalari lidah Mardian dan memberikan lembut kerinduan di dalam mulutnya. Nafas Mardian mulai terengah. Namun saat itu, bibir Sekar mulai menjauh dan meninggalkan satu benang tipis antara lidahnya dengan lidah Mardian, seperti suatu ikatan yang begitu hangat tapi sangat rapuh, dan ketika benang itu terputus oleh jarak, Sekar berpaling dan membuka pintu. Mardian tak sanggup berkata apa-apa. Ia bahkan tak mampu memanggil nama istrinya. Hanya kehancuran dan air mata yang meracau dalam hati. Sekar membuka pintu depan, melangkah keluar, memberi satu tatapan sayang kepada Mardian dan menutup pintu itu kembali. Sekar pun seolah lenyap ditelan kabut dan embun dalam fajar yang belum terbangun.

Ketika matahari sudah naik esoknya, Mardian menceritakan hal ini pada Bu Lastri. Spontan wanita itu menjerit meronta-ronta. Ia menampar Mardian, memukul-mukul dadanya, dan memaksa-maksa pria itu untuk segera mencari Sekar dimanapun ia berada kini. Ia mengutuk Mardian karena telah gagal menahan Sekar untuk tetap di rumah itu. Ia mengungkapkan kekecewaannya atas seorang menantu yang begitu lemah dalam bersikap dan tidak becus menjaga hati istrinya. Ia juga kecewa kepada Mardian yang tidak mengatakan pada Sekar mengenai kebutuhan listrik di rumah mereka. Tiba-tiba Bu Lastri meneriakkan nama Sekar. Ia berlari sampai ke luar rumah sambil berteriak-teriak dalam keadaan baru bangun, belum sarapan, dan belum mandi. Mardian juga mengejarnya dan memeluk tubuhnya erat dari belakang agar mertuanya tidak sampai ke jalan. Menghadapi tekanan yang begitu besar, mereka berdua ambruk terguling di atas tanah. Bu Lastri menangis, Mardian jadi ikut menangis. Mereka berdua seperti sedang berlomba untuk menentukan siapa yang paling keras tangisannya dan siapa yang paling menderita wajahnya. Namun setelah cukup lama mengerahkan segenap derita yang meledak, jeritan Bu Lastri berangsur-angsur berkurang dan ia tak sadarkan diri di depan menantunya.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience