Episode 27

Family Completed 3810

"Ma, sepertinya kita harus berangkat ke Bali," kata si Endut kepada Aisyah malam itu, saat mereka berdua sedang rebahan.

"Dalam rangka apa?" Tanya Aisyah lirih.

"Mbak Irma," jawab si Endut. Mendengar nama yang selama ini dirindukan oleh Aisyah, ia langsung bangun dan menarik sang suami turun dari tempat pembaringan serta menarik tangan suaminya. si Endut heran dan bertanya, "lho mau kemana ini?" Tanya si Endut, namun Aisyah tak menjawab dan tetap menariknya hingga di ruang tamu.

Aisyah dan si Endut saling berpandangan.

"Coba ceritakan, kenapa mbak Arin?" Pinta Aisyah, sambil memegang tangan Endut dengan kedua tangannya.

"Gak tau," jawab si Endut singkat.

"Serius sedikit," pinta Aisyah dengan sedikit memaksa. Ditunjukkannya WA kiriman Arin kepada istrinya.

"Cuma ini?" 

"Iya," jawab si Endut dan tetap merahasiakan pertemuannya dengan Arin setahun yang lalu.

"Ya,sudah screenshot kirim ke Bu Surti," saran Aisyah.

"Besok saja,"

"Sekarang saja siapa tau ini pesan mendesak?" Paksa Aisyah. si Endut melakukan apa yang disarankan sang istri.

Si Surti membukanya tanpa menjawab, ia langsung meluncur ke rumah si Endut. 

Tak lama kemudian dengan wajah sedikit tegang ia mengetuk pintu, tanpa menunggu jawaban ia masuk, kemudian menutup pintu. Dilihatnya suami istri itu tegang dan hanya memandang sang majikannya masuk tanpa disambut.

Si Surti bergegas duduk dihadapan mereka berdua, "Kira-kira ada apa ya?" si Endut dan istri sontak hanya mengangkat kedua bahu meneka serta menggelengkan kepala, tanpa kata, dan hanya memandangi sang majikan dengan tatapan hampa.

"Okey, coba cek penerbangan ke Bali hari ini jam berapa?" Pinta sang majikan.

"Barusan saya lihat 3 jam lagi,"

"Ya sudah kalian siap-siap sekarang," 

"Sudah bu," mereka bertiga tampak tegang, sehingga tak satupun kata terucap.

"Ada apa mbak Arin ya? Kenapa kok gak langsung sama ibu?" Banyak pertanyaan yang ada dalam pikiran si Endut yang terlintas.

"Emang selama ini Arin gak pernah hubungi kamu tho ndut?" Tanya sang majikan, untuk mencairkan suasana.

"Baru kali ini Bu," jawabnya singkat penuh kecemasan.

"Kira-kira ada apa ya dengan Arin, kok pesannya justru dikirim ke kamu bukan langsung ke Ibu?" Tanya sang majikan.

"Mungkin dia ganti hp bu, lha nomernya juga baru," jawab si Endut.

"Tapi kok tau nomer kamu?" Mendengar apa yang dikatakan sang majikan, hati si Endut berdebar kencang.

"Bingung mau jawab apa," kata si Endut dalam hati.

"Bu, taxi sudah datang," kata si Endut untuk mengalihkan perhatian.

Sepanjang perjalanan tak satu katapun terucap. Hingga sampai Bandara Ngurah Rai Bali.

"Coba kamu hubungi Arin bilang kita sudah sampai di Bali," pinta sang Majikan.

Beberapa kali dihubungi tapi gak tersambung. "Bu nomernya gak bisa dihubungi," kata si Endut.

"Chat di WA saja," kata bu Surti.

Si Endut belum sampai chatting, "mbak "mbak Arin kirim sherlock bu," kata si Endut. 

"Ya sudah, kita cari hotel buat rehat, nanti sore kita baru ke alamat itu," kata sang majikan dengan nada datar. Mendengar yang dikatakan sang majikan, mereka berdua jadi salah tingkah, bingung apa yang harus dikatakan.

"Pak antar kami ke restoran terdekat, sebelum ke hotel," kata bu Surti kepada supir taxi.

"Baik bu,"

Sementara itu dalam waktu yang bersamaan.

"Mbak, tenangkan hati," bisik bang Batak. Beda dengan Ko theo yang sudah kadung jatuh hati kepada Yolan gadis mungil yang sejak awal dia yang merawatnya. Sambil menggendong Yolan sebentar-sebentar mengusap air mata. Ia gak tega melepaskan Yolan, tapi sebulan terakhir setiap hari bang Batak dan Arin berusaha untuk meyakinkan Ko Theo, akhirnya dengan berat hati dia merelakan untuk melepas bayi mungil yang selama ini dia rawat sepenuh hati dan segenap jiwanya untuk diambil orang lain.

"Sayang, inget ya, nanti kalau sudah besar jangan sampai lupa sama om Ko Theo Pomakedi ya," kata Ko Theo pada si kecil Yolan. Sejak masih dalam kandungan Arin, bayi ini memang seakan lengket sama Ko Theo. Dulu sebelum lahir masih di dalam kandungan. Setiap kali Ko Theo mengajaknya bicara, dia bergerak kencang sehingga Arin kesakitan karena gerakannya. Seakan apa yang dikatakan Ko Theo sang bayi dalam kandungan itu mengerti. Begitu pula saat ini, kalau diajak bercanda bisa tertawa sampai terpingkal-pingkal. Itu pula yang membuat Ko Theo tak rela melepaskan Yolan, namun sang Ibu telah menyadari rencana awal, itulah sebabnya Arin Pun harus rela melepas Yolan dengan berat hati.

Arin berdiri dan menyodorkan kedua tangannya, meminta agar dia menggendong Yolan. 

"Anak mama yang cantik, nanti Yolan harus pinter ya, dan gak boleh rewel sama mama Surti," kata Arin lirih dan mencium Yolan. Air mata Arin menempel di pipi Yolan. Kemudian memberikan Yolan kembali pada Ko Theo.

"Bang, sepertinya aku tak sanggup menyerahkan Yolan. Sementara aku pergi dulu ya," kata Arin lirih kepada bang Batak

"Memang mbak Arin mau kemana?" 

"Entahlah bang, yang pasti, Arin gak sanggup melihat Yolan diserahkan kepada ibu," Arin berusaha untuk menahan tangis perihnya di depan Yolan. Bayi mungil itu seakan mengerti apa yang dirasakan sang Mama, ia memandangi Arin tanpa berkedip, terlihat diwajah Yolan si kecil tak ada senyum sedikitpun terhias, tak seperti biasanya.

"Bang, nanti kalau Ibu kesini, jangan lupa surat, untuk mengurus akta kelahiran Yolan.  Semua sudah atas nama ibu kan?" bang Batak mengangguk.

"Mbak Arin, berapa lama pergi?" Tanya bang Batak dengan penuh cemas.

"Gak lama kok bang, sampai Yolan dibawa ibunya, jujur Arin masih membutuhkan kalian berdua, sampai kalian berdua bosan," kata Arin lirih dan segera ia mengambil kunci mobil.

Sore itu, terdengar suara mobil berhenti di depan apartemen. Bang Batak segera keluar menyambut tamu.

"Mari, monggo silahkan masuk," sambut Bang Batak. Bu Surti melihat sekeliling apartemen itu. 

"Arin ada?", Tanya bu Surti.

"Maaf, barusan dia pergi. Mari masuk dulu, kita bicara di dalam," pinta bang Batak.

Mata bu Surti langsung tertuju pada bayi mungil dan cantik itu.

"Cantiknya, ciapa namanya?" Tanya bu Surti.

"Kenalkan,nama saya Yolan Ma," jawab Ko Theo. Bu Surti meminta untuk menggendongnya, saat berada dalam gendongan bu Surti Yolan terus memandang dan tak berkedip, sesekali senyum tipis tanpa suara tersungging di pipi Yolan. Mama Surti menciumnya perlahan. Yolan terus memandang Mama barunya.

"Apa cayang, cantik," Yolan tersenyum. Bening bola mata dan senyumnya yang nggemesin membuat Bu Surti jatuh cinta pada pandangan pertama. Si Surti memandang Aisyah memberi tanda agar dia menggendong Yolan. Melihat sang majikan, iapun menggendong Yolan.

Tak lama kemudian bang Batak menyodorkan map surat-surat. Bu Surti membuka dan melihat serta membacanya. "Ini, perlengkapan surat-surat yang bakal diperlukan," kata bang Batak. Tak banyak kata dari mereka berdua, terlebih Ko Theo yang sedari tadi hanya diam sambil sesekali mengusap air mata. Ko Theo bergegas masuk. Tak seberapa lama ia membawa beberapa koper.

"Ini, pakaian Yolan beserta semua mainan, tolong pesan. Yolan suka buah yang dijual untuk siang, susu dan yang lain sudah saya catat lengkap, beserta jam. Istirahatnya. Dan jangan lupa, setiap sore bacakan cerita, dia suka mendengarkan cerita sampai ketiduran. Di koper itu semua buku cerita. O iya kalau dia nangis saat selesai baca cerita, berarti minta diulang ceritanya sampai dia tertidur. Supaya gak sampai lupa. Sudah saya rekam semua di flashdisk. Tolong jangan lupa," kata Ko Theo kemudian dia bergegas masuk.

"Maaf, dia sedikit kecewa. Karena sejak pulang dari rumah sakit, dia yang merawatnya," kata bang Batak. "Mendengar apa yang dikatakan kedua lelaki ini, jelas tak satupun dari mereka adalah suami Arin" kata Bu Surti dalam hati.

Beberapa saat mereka diam membisu, tak sepatah katapun terucap, Bu Surti langsung pamit. "Ya sudah kalau begitu kami pamit dulu," kata Bu Surti. Saat meninggalkan ruang tamu sampai keluar ruangan, Yolan memandang bang Batak, seakan dia pamit, saat bang Batak melambaikan tangan pada Yolan, ia memandang dan tersenyum.

"Selamat jalan sayang, semoga kau bahagia bersama mama barumu," kata bang Batak dalam hati. Sejak awal hanya bang Batak yang sanggup menahan kesedihan itu, namun ketika taxi tak terlihat. Bang Batak berlari masuk. 

Dan menangis sambil menutup mulut dengan tangannya bermaksud agar suara tak terdengar orang lain, sedang Ko Theo sendiri sejak tadi menutup kepalanya dengan bantal sambil tengkurap serta bersembunyi dibalik selimut tebal.

"mbak Arin pulanglah, mereka sudah pergi," pinta bang Batak dalam telepon kemudian menutupnya.

Tak lama kemudian Arin datang. Malam itu, semalaman mereka bertiga tak ada yang tidur. Duduk di ruang tamu dengan posisi mereka sendiri-sendiri, tanpa kata.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience