Episode 25

Family Completed 3810

Bu Surti Melihat si Embul membawakan segelas kopi panas.

"Gak kesasar kamu Ndut," tanya sang Ibu. 

"Kesasar sih enggak Bu, cuma hampir khilaf," jawab Endut.

"Pasti gara-gara liat banyak cewek Bali yang terkenal cantik-cantik," si Endut tersenyum.

"Thanks, buat kopinya. Lho kopimu mana? Masak cuma ibu yang ngopi, gak seru ah," lanjutnya. si Endut tepuk jidat, "o… iya. Mama sayang kopi papa kelupaan, tolongin bawa sini ya tayaangku, manismu, pujaan hatiku, dambaanku, pegangan setiap malamku,"

si Endut gak melihat, bahwa sedari tadi Aisyah sudah berdiri dibelakangnya, sambil tersenyum.

"Mulai, kumat konyolnya," pikir Surti, tapi ia menikmati setiap guyonannya.

Keasikan candaan mereka bertiga, ternyata mengusik Mat Sokran, yang sedang memikirkan keberadaan Arin, ia bergegas keluar kamar, "Ikutan donk," sapanya. Meski si Endut bukan karyawan baru, namun memang untuk pertama kali dia bersama dalam waktu yang mungkin cukup lama, sehingga Endut canggung dan sungkan.

"Biasa saja Ndut, gak perlu tegang begitu. Apalagi hari ini, gak ada bos atau anak buah. Karena kita lagi refreshing," ujar Bu Surti.

Meskipun majikan sudah memberitahukan, namun si Endut masih canggung juga.

"Mas bro, tolong belikan Ayam betutu, ada tak jauh dari sini kok, gak sampai 100m. Pesan dua ekor,nasi putihnya 6 bungkus,"

"Maaf pak gak perlu nasi putih, karena istri saya sudah memasak pagi tadi," jawab Endut.

"Ok, kalau begitu ya beli ayamnya, minta ayam kampung muda, yang gede, 2 dan plecing kangkung 4 porsi sambal dipisah,"

"Siap Pak," 

Saat si Endut keluar dari apartemen dan bermaksud menyeberang jalan, mata Arin tertuju pada si Endut. Jantung Arin berdetak kencang, tatkala yang dilihatnya memang si Endut. Tanpa berfikir panjang, Arin bergegas membuntuti langkah Endut.

Saat Endut menunggu pasanan, Arin menjawil tangan Endut bermaksud mengajaknya untuk bicara di tempat parkir.

si Endut kaget dan hampir tak percaya bahwa yang ada didepannya mbak Arin, hanya saja yang ada didepannya saat ini perutnya besar karena memang sedang hamil.

"Kamu kesini dalam rangka apa dan sama siapa?" Mata Endut  berkeliaran kesana-kemari, berharap ada tempat duduk tersembunyi yang bisa dipakai mereka berdua.

"Saya sama istri serta ibu dan bapak, kebetulan sekarang sudah ketemu, jadi gak perlu lagi mencari mbak Arin,"

"Hus!!!, Tolong rahasiakan pertemuan kita," pinta Arin memelas, sambil memegang tangan si Embul dan menggoyang goyangkan.

"Untuk sementara jangan banyak bertanya. Dan tolong jangan bilang ketemu saya," pinta Arin kemudian Arin berjalan sambil memegang perut yang sebentar lagi bakal lahir.

Entah kenapa si Endut merasa sedih saat melihat Arin berjalan sedikit susah sambil memegang perutnya. si Endut menyeka air matanya, kemudian kembali ke restoran itu.

Sejak itu, hati Endut merasa tidak tenang.

"Kok wajah mu kumel begitu, Ndut?, kayak habis kehilangan uang begitu,"

Menyadari akan dirinya yang tak mampu menguasai diri, sambil memegang perut buncitnya, "Datang duluan, eeee dagangnya bilang masnya kan gendut, tak duluin mbak yang cantik duluan ya, kasihan nanti keburu pingsan begitu kata dagangnya," ujar Endut, sambil meringis kecut.

Bercanda lepas, sambil menyantap semua makanan yang ada di meja, hingga tak tersisa.

Saat mereka berkumpul di ruang santai.

"Mas Ndut, besok antar bapak keliling, gak tau kemana tapi ya, keliling saja," pinta Mat Sokran.

"Kalau menurut Mama sih, kita harus mengatur jadwal Pa, misalnya jam sibuk, atau sore jam santai. Kalau nggak begitu kita percuma, keliling, gak bakalan mendapatkan hasil maksimal,"

"Bener juga sih, ya atur saja lah Ma,"

"Kalau hari, hari ini, kurang pas, coba nanti hari Sabtu, biasanya kan hari santai, bisa saja kita ke mall, swalayan dan semacamnya, saat itu bisanya orang memerlukan sesuatu, misal belanjaan dan kebutuhan yang lain," Saran sang Istri. Dalam hati si Endut, "dia yang kita cari ada disini."

"Oke,kalian berdua di rumah saja, aku dan ibu mau keluar, mencari udara segar. Gak pasti jam berapa pulang, jadi makan gak perlu nunggu kami," ujar sang bos cowok. Sebenarnya, mengajak si Endut, bukan bermaksud, untuk mengantar kedua majikannya keliling, untuk mencari keberadaan Arin, melainkan untuk membawakan mobil itu, supaya saat mencari Arin, gak harus memakai mobil sewaan, apalagi memakai jasa taxi.

Saat kedua majikannya keluar, si Endut termenung, memikirkan Arin yang ternyata perutnya sudah Segede itu, entah sudah berapa bulan usia kandungannya. Tapi fokus pikirannya, mengapa si Arin harus kawin lari.

"Pak, kenapa lagi? apa yang bapak pikirkan, sehingga sampai segitunya wajah ganteng itu berubah," canda Aisyah.

"Mbak Arin Ma," katanya lirih.

"Emang ada apa dengan mbak Arin?"  Tanya Aisyah. si Endut berusaha mengalihkan pembicaraan, kala si Gendut teringat  pesan untuk merahasiakan keberadaan Arin.

"Kira-kira, ah sudahlah bukan ranah kita membahasnya,"

"Ya sudah, kalau begitu antar aku beli sikat gigi dan keperluan wanita, sepertinya ada tanda-tanda bakal datang hari ini," pinta Aisyah.

"Waduh….CELAKA!!!" kata sang suami, membuat Aisyah terkejut.

"Ada apa Pak?" Tanya Aisyah, karena gak dijawab, Aisyah mengulangi pertanyaannya, hingga berkali-kali. si Endut melipat tangan sambil memasang muka yang sangat kecewa. Membuat Aisyah semakin kuatir akan keadaan sang suami. Aisyah duduk bersimpuh, di depan si Endut sambil berharap jawaban dari suaminya. Melihat sang istri semakin penasaran, ia pun menjawab: "Masak dua hari belum sempat kunjungan, kok tamunya sudah main datang tanpa permisi sama yang punya?"

Mendengar jawaban sang suami, Aisyah langsung berdiri mencubit pipi pujaan hatinya.

"Aduuh sakit, sayangku,"

"Biarin, Mama dengerinnya serius..eee," Aisyah cemberut, dikecupnya pipi Aisyah, lalu mereka keluar, menuju ke supermarket tak jauh dari apartemen itu.

****

Malam itu.

"Sudah jam segini, tapi ibu dan bapak belum balik?"

"Iya, setidaknya mereka berdua sudah pamit,"

"Yuk, bobo saja," ajak Aisyah.

"Kalau Mama ngantuk bobo saja dulu, aku belum ngantuk,"

Sementara itu tak jauh dari apartemen itu.

Tiga sekawan sedang berkumpul, Kotheo menggantikan tugas Arin.

"Sepertinya, besok Arin perlu perhatian khusus. Sudah ada tanda-tanda, Arin bentar-bentar pengen pipis ini," Mereka bertiga memang belum pernah tau, tanda-tanda seorang yang akan melahirkan. Jadi setiap kali Arin merasakan sakit, seperti petunjuk dokter, mereka membawa ke Rumah Sakit.

Sementara itu, Sokran dan Surti berada di sebuah restoran pinggir pantai, menikmati gurami nyat nyat khas Jimbaran.  si Surti melihat ponsel, ada puluhan kali nomer tak dikenal menghubungi. Surti kembali memasukkan ponsel di tas kecil yang dibawa.

Kembali menikmati menu lezat di restoran itu.

Saragih dan Kotheo mondar mandir gelisah di depan ruang operasi. Seorang dokter keluar dari ruangan itu. "Keluarga ibu Arin,"

Kotheo berlari kecil menghampiri, "Ya dokter,"

"Selamat ya, anak bapak lahir perempuan, sehat dengan berat badan 3,150. Sudah dipersiapkan semua perlengkapan bayi?"

"Terimakasih dokter...kami akan,mengambilnya, maaf saya gak mengerti,kira-kira apa saja," tanya Kotheo. Dengan tersenyum dokter menjelaskan secara rinci perlengkapan yang diperlukan bayi.

"Bang, Arin melahirkan,dengan selamat kamu tunggu saja disini, aku pulang mau ambil perlengkapan bayi. O iya lupa. Bayi lahir perempuan," Kotheo bergegas, pulang. Apartemen menuju Rumah Bersalin hanya memerlukan waktu 10 menit dalam keadaan normal, tapi karena sudah hampir subuh. Jalanan sepi.

Entah kenapa, pikiran si Endut sejak sore gelisah, sebentar-sebentar keluar, melihat ke arah apartemen tempat Arin tinggal. Begitu juga pagi menjelang subuh itu. Melihat mobil lewat di depannya menuju ke halaman parkir tepat di depan apartemen Arin, si Endut mendatanginya. Namun pengendara keburu masuk, ditungguinya mobil itu. Tak lama kemudian Kotheo membawa sesuatu dan masuk mobil. "Mas, ikut," pintanya.

"Bapak mau kemana?" 

"Mbak Arin," mendengar nama sahabat ya disebut, ia mengizinkan si Endut ikut numpang mobil itu dan melaju ke Rumah Bersalin. Tak ada sepatah katapun terucap. si Endut mengikuti dari belakang.

Tepat, Kotheo pas tiba di depan ruang oprasi, dokter memanggil, "keluarga Ibu Arin,"

Mereka bertiga menghadap,"suami Ibu Arin yang mana?"

Saragih dan Kotheo menjawab, "saya," dokter tersenyum.

"Maksud saya, dia," kembali keduanya bareng.

"Saya, supirnya," kata Endut.

"Okelah, perlengkapan bayi sudah disiapkan?"

Kotheo memberikan kepada dokter semua yang dibawanya.

"Ibu Arin sudah berada di ruangan kamar 102, sudah bisa di jenguk, tapi bayi masih dalam pengawasan dokter,"

"Terimakasih dok," kata mereka bertiga bersamaan.

Saat masuk keruangan, mata Arin tertuju pada si Endut. Arin tersenyum.

"Selamat ya Bu Arin," sapa si Endut, Arin tersenyum dan berkata lirih. "Jangan panggil aku Bu, panggil saja seperti biasanya," pinta Arin sambil meneteskan air mata. Melihat kesedihan Arin bang Batak mengusap air mata Arin perlahan, "Ingat jangan sedih, karena bayi mungilmu masih dan tetap merasakan apa yang mbak Arin rasa. Karena batin anak lebih peka, saat dia belum bisa bicara," kata nasehat bang Batak. Arin berusaha tersenyum. "Kalian bertiga adalah sahabat sejati, terimakasih buat semua dukungan dan waktu yang kalian berikan dengan tulus," air mata haru deras meleleh di pipi Arin. bang Batak menyeka perlahan. "Sudah, mbak istirahat saja, biar pulih tenaganya, dan luka bekas operasi biar cepat sembuh," kata bang Batak.

Mereka bertiga duduk berjajar di depan Arin, sehingga Arin tak ingin tertidur. Rasa bangganya terhadap mereka bertiga, memberikan kekuatan, serta melupakan rasa perih selama mengandung jabang bayi itu. 

"Entah kenapa, kali ini pikiranku berubah," katanya lirih. Aku ingin membesarkan sendiri anak ini," buat mereka berdua, apa yang dikatakan Arin bisa dimengerti, tapi tidak oleh si Endut, sama sekali tak tau apa maksud perkataan Non Arin. Tapi si Endut berusaha untuk menghilangkan rasa penasarannya.

Tak lama kemudian suster, mengantarkan bayi mungil itu untuk dilihat dan disayang oleh sang Mama, kemudian diletakkan pada ranjang bayi. 

"Maaf, ibu belum boleh bergerak sampai dua jam lagi,kalau ada apa- apa pencet bel saja,kami akan membantu." kata perawat,

si Endut beranjak dari tempat duduk, menghampiri bayi mungil itu. "Sebenarnya, ini bayi siapa, kok mereka berdua justru yang mendamping? rupanya ini alasan kenapa Non Arin meninggalkan rumah, tapi apa alasan mbak Arin melarang aku memberitahukan pada si bos, apa hubungannya?" Banyak pertanyaan dalam benaknya saat menyaksikan sendiri, bahwa Non Arin telah melahirkan bayi, tanpa seorang bapak yang mendampingi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience