Episode 23

Family Completed 3810

Dengan memegangi perutnya yang mulai buncit Arin dan Saragih. Berjalan-jalan pagi. Mengelilingi taman kota. Layaknya pasutri muda. Sesekali Arin duduk di bangku  yang ada ditangan tu. Dan Saragih terus mendampingi dengan setia dan tulus.

"Mbak istirahat dulu, jangan terlalu dipaksakan," disekanya keringat Arin yang meleleh di jidat hingga pipinya.

Sambil memandangi wajah Saragih. "Terima Kasih bang, sudah selalu menemani Arin hingga saat ini.". 

"Siapapun akan melakukan hal yang sama, apalagi kita teman satu tim dalam kerjaan." Arin tersenyu ceriah.

"Langkah selanjutnya, nanti bagaimana." Tanya Saragih yang sudah tau, bahwa dia sudah mulai tegar.

"Ya, seperti rencana semula. Begitu aku masuk rumah sakit. Dan ada tanda-tanda Si bayi ini lahir. Abang langsung hubungi nomer yang sudah saya kasih ke Abang."

"Bukan itu maksudnya." Saragih berhenti tak melanjutkan pertanyaan dan mengalihkan pembicaraan. "Yu dedek sudah pengen minta jalan jalan tuh." Katanya sambil mengelus bayi yang ada di perut Arin, kemudian mengundangnya: "anak mama yang pinter." Saat Saragih mengelus perut Arin dirasa bayi itu bergerak-gerak kencang, hingga Arin meng aduh. "Tayank, dedek geraknya perlahan donk, mama jadi kaget ini."  Pinta Arin sambil mengelus-elus. Dedek yang ada dalam perut itu seakan mengerti apa yang dikatakan Arin hingga tenang, sesekali bergerak. Perlahan.

Begitu juga saat bang Batak mengajaknya berbicara, seakan bayi dalam kandungan itu mengerti  dan bergeraknya lincah hingga membuat Arin menahan sambil menggigit bibirnya sendiri.

Siang itu, saat berada di apartemen.

"Mbak Arin pengen di masaki apa?" 

"Kayak kemarin saja, kasihan sayur kemarin dalam kulkas kan masih cukup buat kita hari ini." Jawab Arin.

Sejak mereka sudah saling terbuka dan menceritakan keberadaan masing-masing. Saragi memang sering menginap di tempat Arin. Dia gak tega meninggalkan sendirian. Bahkan mereka bekerja satu ruangan di ruang tamu yang ada di apartemen itu.

Terdengar pintu diketuk. "Biar, aku yang buka mbak." Saragi bergegas keluar dan membuka pintu. "Selamat siang. Mbak Arin ada?" 

Walau sudah mengetahui bahwa Arin sudah selalu bersama si Saragih, namun perjaka tua, si Kotheo Pumakedi, tidak mengendorkan dan tetap berusaha mendekati Arin, hanya saja kini dia menganggap sebagai sahabat. Perhatiannya kepada Arin sungguh istimewa, sampai-sampai semua kesukaan Arin tau. Maklum seringkali Kotheo Pumakedi hampir setiap malam menemani mereka berdua di tempat Arin kadang sampai pagi. Sepertinya mereka bertiga nyambung. Dan menggantikan tugas Arin, mencari-cari hotel, restaurant dan tempat -tempat yang ada hubungannya dengan pekerjaan Arin. Untuk dijadikan satu paket kunjungan wisata yang bakal dipromosikan di biro tour n travel juga  kapal pesiar,perusahaan Arin bekerja.

"Ini saya bawakan makanan kesukaan Arin. hehehe.. sudah bangun apa masih molor jam segini." Sapanya.

"O iya tadi pagi diajak jalan-jalan gak. Gitu dah kalau gak di ingetin. Selalu saja lupa. Ayo bangun cah ayu.. bebynya biar gak malas nanti." Saragi cuma tersenyum melihat perhatian dan sayangnya terhadap Arin.

"Tadi kami jalan-jalan berdua saja. Habisnya, tak lihat pintu masih terkunci rapat. Ya sudah tak tinggal saja." Jawab si Saragi.

Apalagi kalau si jabang bayi diajak bercanda sama Kotheo kadang tingkahnya membuat sang mama kesakitan menahan gerak di perutnya.

"Cepat selesaikan masaknya kalian berdua. Arin punya cerita. Mimpi semalam." Mendengar Arin. Keduanya bergegas menuju ke dapur. Mereka bekerja sama Kampak. Walau terkadang berantem soal kurang atau terlalu banyak racikan bumbu saat memasak.

"Lho pas kan bahan masakan yang aku bawa hari ini. Aku memang sengaja beli yang langsung bersih dan minta dipotong sekalian, biar tinggal kasih bumbu. Matang tinggal lep…lep..lep." Canda Ko Teo.

"Mas bro, itu goreng, biar langsung bareng matengnya." Pinta Saragi.

"Siap mas bro." Tak lama kemudian hidangan siap disantap mereka bertiga.

Ko Teo bergegas mencuci perabotan yang habis dipakainya memasak. Sedangkan si Saragi, buru- buru mandi. Tiga sekawan yang baru mereka kenal dengan sama-sama memiliki masalah berat. Kini hadir menjadi saudara dalam sependeritaan. 

******

Sementara itu di rumah Aisyah.

Usai mimpi mengerikan itu, dia tampak gelisah banget. Aisyah ingin menghiburnya, tapi gak tau apa yang harus dikatakan kepada Bu Surti.

"Mimpi itu terkadang dari pikiran kita yang terus menerus serta terpendam, ketika kita tidur muncullah apa yang pernah kita pikirkan. Hanya saja bercampur aduk menjadi mimpi buruk." Kata Aisyah disamping Bu Surti.

"Tapi, mimpi itu seperti nyata banget. Mungkin ibu setiap hari, setiap detik ibu selalu mendambakan anak. Supaya kebahagiaan kami menjadi lengkap. Membuat semalam ibu bermimpi, dan dalam mimpi itu ibu hamil 6 bulan. Lucunya dalam mimpi itu, ibu baru mengetahui, ketika ibu pergi bersama suamimu ke dokter ." Bu Surti berdiri dari tempat duduk, lalu membanting kan diri di ranjang. Kemudian tengkurap, kakinya di lipat ke atas dan kedua tangannya dipakai menyangga dagunya. "Maaf, Aisyah duduk."

Sambil memandang Aisyah ia melanjutkan ceritanya: "Suamiku bukan tipe orang yang bisa berperilaku kasar, tapi semalam dia kasar dan menyeret ibu sampai terjatuh. Bahkan dia minta cerai." Matanya berkaca-kaca saat menceritakan mimpi semalam.

"Ibu mempunyai firasat, mudah-mudahan firasat ibu meleset. Bahwa kepergian Arin ada hubungannya dengan ini."

"Maksud ibu?" Tanya Aisyah memotong pembicaraan. 

"Tolong jangan ceritakan, walaupun kepada suamimu. Ibu percaya kamu bisa merahasiakan ini." Aisyah mengangguk ia memperhatikan dengan penuh keseriusan.

"Arin adalah gadis baik, rajin pintar, semua kriteria ibu ada padanya." Si Surti diam sejenak. Kemudian membenahi posisinya. Karena merasa gak nyaman si Surti duduk.

"Ibu, pernah meminta Arin untuk menjadi Istri bapak, supaya ada keturunan. dan itu sering kali ibu ceritakan kepadanya. Tapi bapak sendiri menganggap dan memperlakukan Arin seperti anaknya sendiri." Lanjut Bu Surti itu terdengar suara mobil parkir di depan.

*Suami saya sudah pulang Bu."

Ceritain akhirnya dihentikan.

"Kok, udah pulang pak?".

"Ya, mumpung lewat, kebetulan inget saja liat sate komoh kesukaan ibu, jadi ya mampir. Karena ibu disini ya tak bawa kesini." Sebenarnya si Endut sengaja membelikan kesukaan majikan, Endut tau akhir-akhir ini gak selera makan.

"Terimakasih." Kata Bu Surti. Aisyah langsung menyiapkan makan untuk Bu Surti. Setelah si Endut melihat bahwa majikan ya lahan menikmati makan siang itu, dia pun pamit untuk kembali bekerja.

Mobil si Endut terdengar sudah menjauh. Bu Surti kembali menceritakan mimpi itu. "Sejak Arin pergi, entah itu secara kebetulan ibu gak tau yang pasti mimpi itu sering kali datang. Dan ibu melihat Arin sangat sedih. Berjalan tanpa arah tujuan, sambil memegang perut yang ibu lihat semakin besar dan hampir melahirkan. Dalam mimpi ibu juga melihat, bapak sering melintas tapi seakan dia tak mempedulikan si Arin dan sibuk dengan kesedihannya sendiri.". Bu Surti meneguk air putih di gelas kemudian menghela napas panjang.

"Nampaknya ponselmu bunyi itu."  Kata Bu Surti. Aisyah, berlari. Dibukanya pesan. "Ada pesanan nasi tumpeng untuk 70 orang. Menu minta yang istimewa, diambil besok sore katanya." Dengan senyum ceria ia memberitahukan pada Bu Surti.

"Bagus lah, gimana apa kita belanja sekarang?" Tanya Bu Surti.

"Bahan semua sudah ada Bu, paling tinggal beli sayur untuk hiasannya dan dagingnya bisa nanti sore, langsung di jagal jadi dapat yang baru motong."

"Apa yang bisa dikerjakan hari ini ibu bantu."

"Jadi ngerepotin ibu."

"Enggak. Lagian ibu pengen tau resep apa yang membuat masakan jadi istimewa." Puji Bu Surti.

"Bumbunya sih biasa, sama dengan racikan kebanyakan, yang membedakan adalah, Aisyah memasak dengan kasih sayang." Jawab Aisyah.

"Yah, ibu juga sering dengar kata ini sering diucapkan oleh para chef terkenal. Sudah ayo kita mulai." Ajak Bu Surti. "O.. iya seperti apa penampakan nasi tumpeng yang dipesan untuk 70 orang itu?"  Ditunjukkan foto-foto semua yang pernah dipesan.

"Kamu dapat foto-foto ini dari mana?" Tanya Bu Surti sambil melihat- lihat penuh kekaguman. Memang tidak mewah tapi penataan yang sangat dekoratif sehingga mengundang selera.

"Itu Aisyah kumpulkan dari pesanan sebelumnya, jadi itu koleksi pribadi. Sekaligus itu masakan Aisyah yang pernah dipesannya.”

Sore itu mereka berdua mempersiapkan pesanan, tapi nampaknya Aisyah sudah terbiasa dengan pesanan seperti ini, sehingga gak terlalu sibuk seperti yang dibayangkan oleh Bu Surti.

“Ini semua berkat mbak Arin Bu," kata Aisyah, 

"Dia memang sangat peduli dan gak bisa melihat orang susah. Dia lebih baik gak makan jika melihat di depannya ada orang sedang kekurangan, karena dia mengalaminya sendiri saat itu. Bagaimana perihnya.

"Ma, mbak Dian Heppi, katanya pesan nasi tumpeng untuk anaknya ulang tahun, sekaligus syukuran karena di terima di sekolah yang diimpikan untuk sekitar 50-70an orang. Tak suruh telepon sendiri katanya malu." Kata si Endut dalam telepon.

"Untuk kapan pak?"

"Dua hari lagi sekitar jam 3 sore diambil."

"Ya wis siap. Minta nomer WA, mama kirim contoh-contoh yang mana dia pilih."

"Okey."

"Ada pesanan lagi dari mbak Heppi Bu. Mas Endut telepon."

"Dian Heppi, adminnya ibu?"

"Iya."

Melihat istri si Endut tampak ceria Bu Surti merasakan ikut gembira..

Seakan menutupi kegelisahan dan masalah yang dihadapi si Surti saat ini.

-Bersambung-

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience